Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu:
Pertarungan Politik dan Simbolik[1]
Oleh:
Cahyo
Pamungkas[2]
Abstrak
Tulisan
ini merupakan hasil studi literatur untuk menjawab pertanyaan apakah Pemilu
2009 merupakan representasi dari kedaulatan rakyat dalam perspektif kekuasaan
simbolik (Bourdieu, 1991). Paper ini berusaha merefleksikan kembali
secara teoritik, pandangan mainstream bahwa pemilu dalam demokrasi
liberal merupakan arena partisipasi politik rakyat. Penjelasan yang ditawarkan
adalah bahwa Pemilu merupakan “double game” yaitu arena perjuangan untuk
memperoleh kekuasaan negara sekaligus kekuasaan simbolik dalam dunia makna.
Relasi antara “the representatives” dan the “represented” melalui
Pemilu menyembunyikan relasi kompetisi antar pelaku politik dan relasi yang
mengatur hubungan antara wakil-wakil rakyat dan konstituennya. Pemilu tidak
lain mereproduksi sekaligus memberikan legitimasi terhadap relasi dominasi
dalam struktur sosial. Menjadikan pemilu sebagai representasi kedaulatan rakyat
mensyaratkan adanya krisis legitimasi di mana pihak-pihak yang tersubordinat
dalam struktur sosial mempertanyakan relasi dominasi yang ada.
Kata
kunci: election, double game, symbolic power, social
reproduction
Pendahuluan
Pemilu sebagai sebuah
realitas dapat dilihat sebagai arena pemilihan wakil-wakil rakyat (the
representatives) atau penyelenggara pemerintahan dalam sebuah negara.
Namun, kalau pemilu diletakkan sebagai sebuah realitas ilmiah, maka pemilu
dapat dibaca sebagai sebuah proses sosial yang digerakkan oleh sistem,
mekanisme, atau struktur tertentu yang memiliki keterkaitan dengan
prinsip-prinsip pembagian dunia sosial. Tulisan ini dimaksudkan untuk
mengungkapkan bagaimana Pemilu menjadi proses sosial dan arena bagi reproduksi
relasi dominasi dalam masyarakat. Dengan kata lain, pertanyaan yang ingin
dijawab oleh paper ini adalah bagaimana proses sosial menjadikan Pemilu sebagai
sarana legitimasi bagi kelompok-kelompok politik tertentu untuk mempertahankan
atau merebut kekuasaaan. Pendekatan yang digunakan adalah bahwa pertarungan
aktor-aktor dalam pemilu tidak semata-mata untuk perjuangan politik, namun juga
perjuangan dalam wilayah dunia makna.
Sistem
Politik Demokrasi Liberal
Demokrasi merupakan kata
yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani demokratia. Kata ini
merupakan gabungan dari kata demos yang sebetulnya berarti orang miskin
atau orang banyak (rakyat) dan kata kratos yang berarti kuasa. Terminologi
ini seringkali didefinisikan sebagai suatu rezim politik di mana kehendak
rakyat menjadi hukum yang mengatur suatu negara (Lane dan Ersson 2003). Pada
perkembangannya muncul beragam definisi tentang demokrasi, tetapi “kekuasaan
yang berada di tangan rakyat” menjadi semacam konsep baku.[3]
Robert Dahl (1992)
menjelaskan tentang tatanan politik yang demoraktis yakni sebuah sistem politik
di mana para anggota-anggotanya memandang diri dan orang lain dalam posisi dan
status yang sama secara politik karena sama-sama berdaulat, memiliki kemampuan,
dan lembaga yang diperlukan untuk memerintah dirinya sendiri. Menurutnya (Dahl
2001), indikator demokrasi sebuah negara adalah adanya: pejabat yang dipilih,
pemilihan yang bebas dan fair, hak pilih mencakup semua orang, hak untuk
dipilih, kebebasan mengungkapkan pendapat, informasi alternatif, dan kebebasan
untuk membuat asosiasi.
Sedangkan Huntington
(1995) menyebut sistem pemerintahan non demokratis seperti monarki absolut,
kerajaan birokratis, oligarki, aristokrasi, rezim-rezim konstitusional dengan
pemberian hak suara dalam pemilu yang terbatas, despotisme perorangan, rezim-rezim
komunis dan fasis, kediktatoran militer dan jenis-jenis pemerintahan yang
serupa di mana pada lamanya tidak ada sistem pemilu sebagai cara untuk
melakukan pergantian kekuasaan, tidak adanya keadilan dalam pemilihan,
pembatasan terhadap partai politik, tidak adanya kebebasan pers. Merujuk pada
Scumpeter, Huntington mencoba membuat kategorisasi demokrasi secara prosedural di
mana definisi demokrasi berdasarkan aspek pemilihan umum merupakan definisi
yang minimalis karena seharusnya demokrasi memiliki konotasi yang lebih luas
dan idealistis.
Huntington lebih
menekankan kepada metode demokratis yaitu prosedur kelembagaan untuk mencapai
keputusan politik di mana di dalamnya individu membuat keputusan melalui
perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. Baik Huntington
maupun Dahl pada dasarnya mendasarkan definisi demokrasi secara prosedural
yakni pemilihan umum yang adil dan menjadikan pemilu sebagai indikator utama
untuk menilai demokratis atau tidaknya suatu negara.[4]
Jika pemilu sebagai esensi dari demokrasi maka titik tolak dari proses
demokratisasi ialah pergantian rejim politik non-demokratis dengan pemerintahan
yang dipilih secara demokratis. Demokrasi prosedural seringkali didefinisikan
sebagai proses di mana penilaian individual (individual judgement) diterjemahkan
ke dalam keputusan-keputusan otoritatif (authoritative decisions),
dipertentangkan dengan demokrasi substantif yang memasukkan prinsip-prinsip
substantif keadilan di dalam lingkup demokrasi (Dowding dkk, 2004).
Pengalaman sistem
demokrasi di Inggris menunjukkan bahwa pada realitasnya bukan suatu pemilu yang
memungkinkan rakyat untuk menyatakan kehendaknya (kekuasaannya), tetapi
partai-partai yang berkuasa harus selalu berhubungan dengan kehendak rakyat
(Mac Iver 1984). Menurut Dahl (1992), pemilu adalah lembaga sekaligus praktik
politik yang memungkinkan terbentuknya pemerintahan perwakilan yang merupakan
gambaran yang ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman
modern. Pemilu memiliki fungsi sebagai sarana legitimasi politik, perwakilan
politik, mekanisme sirkulasi elit yang berkuasa, dan sarana pendidikan politik
bagi rakyat (Harris 1997). Secara teoritik, partai-partai politik peserta
pemilu memiliki fungsi sebagai berikut: representasi, konversi dan agresi,
integrasi (partisipasi, sosialisasi, dan mobilisasi), pemilihan pemimpin,
pertimbangan dan perumusan kebijakan, serta kontrol terhadap pemerintah
(Macridis 1996). Fungsi representasi yakni mengekspresikan dan
mengartikulasikan kepentingan tertentu, kelas tertentu, atau kelompok sosial
tertentu.
Kedaulatan rakyat sebagai
esensi demokrasi dapat diwujudkan apabila demokrasi deliberatif muncul sebagai
dasar dari interaksi sosial.[5] F
Budi Hardiman (2005) menjelaskan demokrasi deliberatif sebagai suatu pandangan
bagaimana mengaktifkan individu sebagai warga negara untuk berkomunikasi,
sehingga komunikasi yang terjadi pada tingkatan warga dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan publik pada tingkatan sistem politik. Namun perlu dicatat
bahwa sistem politik menggunakan bahasa yang berbeda dari masyarakat sipil, sehingga
tingkatan-tingkatan komunikasi ini harus dipahami agar aspirasi mereka bisa
dimengerti oleh sistem politik.
Habermas (1989)
mengasumsikan bahwa suatu negara hukum tidak dapat dipertahankan tanpa
menggunakan sistem politik demokrasi yang bersifat radikal.[6] Dengan
perspektif demokrasi deliberatif, negara tidak lagi menentukan hukum dan
kebijakan-kebijakan politik lainnya dalam ruang publik yang tertutup, namun
media dan organisasi masyarakat sipil ikut berpengaruh dalam proses pembentukan
hukum dan kebijakan politik itu. Dengan demikian, arena publik merupakan ruang
bagi negosiasi untuk mempersiapkan dan mengarahkan perundang-undangan secara
diskursif.
Adapun proseduralisasi kedaulatan
rakyat dalam demokrasi deliberatif adalah membuat kedaulatan rakyat sebagai
proses komunikasi.[7]
Pertanyaannya kemudian ialah kapan rakyat berdaulat. Menurut teori demokrasi
deliberatif, kedaulatan terjadi bukan karena orang berkumpul dengan tubuhnya di
suatu tempat sebagaimana diyakini JJ. Rousseau, tetapi juga harus ada
komunikasi publik. Dalam konteks ini, demokrasi representatif tetap diperlukan
dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu mencoba melihat bahwa peranan
komunikasi publik itu harus semakin besar.
Paper ini tidak
dimaksudkan untuk membandingkan dan menilai masing-masing model demokrasi
seperti yang telah dijelaskan di muka. Namun, demokrasi akan dilihat sebagai
proses sosial pada ranah politik yang mencakup partai-partai politik, politik
pemilihan (electoral politics), dan kekuasaan politik yang
diinstitusionalisasikan. Institusionalisasi kekuasaan ini berkaitan erat dengan
bahasa dan kekuasaan simbolik. Ranah politik adalah arena di mana para
pelaku-pelaku sosial (aktor-aktor politik) berusaha untuk membentuk dan
mentransformasikan nilai-nilai dan pandangan mereka tentang dunia di mana
kata-kata (words) digunakan sebagai tindakan dan karakter kekuasaan
(Bourdieu 1991).
Pertarungan
Simbolik Pada Pemilu 2009
Secara teoritik, pertarungan
simbolik adalah pertarungan antara para pelaku sosial yang menempati posisi
dominan dengan mereka yang berada pada posisi marjinal (Bourdieu 1991: 239).
Keduanya memproduksi berbagai wacana yang dapat memperkuat posisi objektifnya
dalam ranah politik sekaligus memperlemah posisi politik agen politik yang
lain. Agen politik yang berada pada posisi dominan akan memproduksi orthodoxa
yakni wacana yang mendukung keberadaan wacana dominan yang dianggap absah (doxa)
dalam ranah. Sementara, agen politik pada posisi marjinal akan memproduksi heterodoxa
yaitu wacana yang menentang keberadaan doxa (Bourdieu 1977: 168-169).
Wacana ini pada dasarnya adalah praksis politik yang merupakan dialektika
antara habitus dan ranah.
Pertarungan simbolik
pada pemilu dapat dilihat pada perjuangan untuk menciptakan sistem pemilu yang
dibentuk (rules of the game), strategi agen-agen politik profesional dalam
wilayah dunia makna, dan diskursus politik yang disampaikan ke publik. Keduanya
merupakan strategi reproduksi relasi-relasi dominasi dalam wilayah simbolik
yakni membentuk dan mempertahankan diskursus politik yang dianggap absah (legitimate)
oleh rejim politik yang berkuasa. Baik Pemilu pada masa Orde Baru maupun
pasca-Orde Baru menggunakan sistem pemilu dan diskursus politik yang dianggap
absah dan merupakan rules of the game yang harus ditaati oleh
pelaku-pelaku sosial di dalam ranah politik.
Bagian berikut
menjelaskan sebagian dari diskursus-diskursus politik yang digunakan oleh rezim
yang berkuasa untuk melegitimasi kekuasaannya pada masa Orde Baru maupun
pasca-Orde Baru. Pemilu pada masa Orde Baru dapat dipahami kalau ditempatkan
dalam kerangka sistem politik Orde Baru yang dibangun selama 1966-1969, yakni
penataan kehidupan politik yang diarahkan untuk mewujudkan stabilisasi
kehidupan politik dan ekonomi (Haris, 1997). Pada konteks tersebut, Pemilu
dilihat sebagai instrumen stabilisasi dan mempertahankan kekuasaan (pro-status
quo). Pemilu pada masa Orde Baru tersebut ditandai oleh beberapa karakter
sebagai berikut: dominasi, monopoli, dan pemihakan Pemerintah dalam keseluruhan
proses pemilu. Partai politik tetap ada meskipun tanpa peran peran politik, dan
partisipasi politik tetap ada walaupun tanpa masyarakat di dalamnya (Haris,
1997).
Aturan-aturan dan sistem
Pemilu yang diciptakan oleh rezim Orde Baru melegitimasi terhadap pemilihan dan
pembatasan agen-agen politik profesional yang ingin masuk dalam ranah politik. Salah satu diskursus politik yang dianggap
absah dan kebenarannya tidak boleh dipertanyakan pada masa Orde Baru adalah Demokrasi
Pancasila. Mantan Menteri Dalam Negeri, Jenderal TNI (purn) Amir Machmud (1996)
menjelaskan definisi resmi Demokrasi Pancasila yakni demokrasi di mana
kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila Pancasila.
Hal ini dimaknai bahwa penggunaan hak-hak demokrasi harus selalu disertai oleh
rasa tanggung jawab kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
sesuai dengan harkat dan martabat manusia, menjamin dan mempersatukan bangsa,
dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Demokrasi seperti ini
memiliki konsekuensi politik yakni melarang pengingkaran terhadap Ketuhanan
YME, propaganda terhadap ateisme, dan kosmopolitanisme yang menganggu identitas
nasional; dan menuntut pemeliharaan budi pekerti yang luhur, memelihara integrasi
nasional, terwujudnya keadilan sosial.
Pada akhirnya,
pertarungan simbolik ini akan menghasilkan kekuasaan simbolik. Dengan demikian,
pertarungan simbolik adalah pertarungan yang didasarkan atas perebutan
kekuasaan simbolik dan ditujukan untuk memperoleh legitimasi atas dominasi
terhadap pelaku sosial lainnya. Bourdieu dalam Choses dhites (1987),
sebagaimana dikutip Rusdiyarti (2003: 38), menjelaskan bahwa keberhasilan dalam
pertarungan simbolik ditentukan oleh
kepemilikan kapital simbolik dan strategi investasi simbolik.
Sebagai implikasinya,
arena perjuangan para pelaku sosial tidak lain adalah ruang-ruang sosial budaya
melalui bahasa dan konstruksi kapital simbolik. Bahasa merupakan kapital
kultural yang memiliki kaitan erat dengan pertarungan simbolik karena relasi
bahasa selalu merupakan relasi kekuasaan simbolik (Bourdieu dan Wacquant 1992:
142). Wacana yang diekspresikan dalam bahasa merupakan simbol bertujuan untuk
dinilai, dipercaya dan dipatuhi di mana hal ini merupakan kekuasaan simbolik. Wacana
dominan (doxa) merupakan kekuasaan simbolik dalam ranah sosial, didukung
oleh kelompok sosial dominan, dan berhadapan dengan wacana-wacana lain yang
menentangnya (Bourdieu 1977: 167-169).
Selanjutnya, apakah
jatuhnya rejim politik Orde Baru pada tahun 1998 yang disertai oleh Pemilu 1999
dapat dikatakan perubahan ataukah transformasi sistem politik. Pandangan mainstream
menyebutkan bahwa sistem pemerintahan pasca-Orde Baru adalah rezim politik
demokratis yang ditandai oleh adanya pemilihan umum yang cukup fair dan
menguatnya perimbangan kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Transformasi sistem politik berarti bahwa pergantian sistem politik
termasuk sistem pemilu ditempatkan sebagai rules of the game yang
memberikan legitimasi terhadap kekuasaan agen-agen politik profesional. Sebagai
konsekuensinya, sistem politik yang digunakan sedemokratis apapun tidak dapat
dilepaskan dari kepentingan agen-agen politik profesional dari kelas yang
berkuasa yang mencakup dua hal mempertahankan kekuasaan dan melegitimasi
pandangan tentang dunia sosial yang absah.
Kemudian, pertanyaannya
adalah bagaimanakah pemilu dan sistem politik demokrasi menjadi suatu kebenaran
yang tidak dapat ditanyakan lagi keabsahannya. Jika ditelusuri lebih jauh,
sistem pemilu yang berfungsi mengatur bagaimana agen-agen politik profesional
bertarung di dalamnya, adalah instrumen politik yang diciptakan untuk
melegitimasi jenis pertarungan politik seperti apa yang dianggap absah.
Demikian juga, kemenangan seperti apa yang dianggap absah oleh sistem politik
demokrasi. Proses pemapanan legitimasi sistem politik demokrasi berawal dari
sistem pemilu yang diciptakan sehingga sistem pemilu bukanlah sesuatu yang
netral dari pertarungan politik dan simbolik. Syamsuddin Haris, Profesor
Riset Ilmu Polititik LIPI, berpendapat bahwa perubahan yang cukup positif dalam
sistem Pemilu 2009 adalah berkaitan dengan cara pemberian suara yaitu menandai
dengan alat tulis.[8]
Perubahan-perubahan
lainnya terkait tarik-menarik kepentingan partai besar, menengah, dan partai
kecil yang relatif tidak memiliki dampak langsung bagi peningkatan kualitas
representasi dan kualitas akuntabilitas wakil rakyat. Proses penyusunan UU
Pemilu melibatkan tiga aktor besar yakni Pemerintah, DPR, dan Partai-Partai
Politik dengan kecenderungan berpolitik dan kepentingan politik yang
berbeda-beda. Namun, jika ditelusuri lebih jauh terdapat dua kelompok besar politisi
di DPR.[9]
Kelompok pertama yakni mereka yang mencoba mewarnai pembahasan dengan merujuk
pada disiplin keilmuan untuk meluruskan sejumlah konsep yang dianut dalam
RUU Pemilu. Kelompok kedua yaitu mereka yang lebih mengedepankan kepentingan
praktis untuk tetap mempertahankan. Hal ini mengakibatkan terjadinya beberapa
distorsi dalam sistem Pemilu. Beberapa hal di bawah ini termasuk dalam sejumlah
distorsi yang mendasar dalam sistem Pemilu 2009.
1.
Aturan
Peralihan tentang Parpol Peserta Pemilu dan Parliamentary
Treshold.
Besaran daerah pemilihan
dengan alokasi 3-10 kursi merupakan langkah maju karena akan berimplikasi pada
berkurangnya jumlah partai yang memperoleh kursi di DPR, sehingga fragmentasi
partai di DPR sedikit berkurang dan pemerintahan yang lebih efektif dapat
diwujudkan. Namun, langkah maju tersebut dicederai oleh kesepakatan lain, yakni
membolehkan semua partai yang memperoleh kursi DPR hasil Pemilu 2004, meskipun
gagal mencapai electoral threshold 3 persen, untuk langsung ikut Pemilu 2009.[10]
Partai-partai mementahkan kembali kesepakatan yang telah tercantum dalam UU No
12 Tahun 2003 demi transaksi atau pertukaran kepentingan di antara para
politisi partai.[11]
Politik transaksional
dapat dilihat pada pasal-pasal krusial seperti pasal 21 dan 22 tentang jumlah
kursi dan daerah pemilihan.[12]
Selanjutnya tentang Electoral Treshold Pemilu 2004 yang kemudian dianulir yang muncul
pada aturan peralihan pasal 315 dan 316. Kaukus delapan partai yang meninjau
ulang pasal 310 (UU Pemilu 2009) dipicu oleh persoalan inkonsistensi konseptual
dalam memaknai Electoral Treshold dan Parliamentary Treshold[13]
serta adanya ketidakadilan pada pasal 315 dan 316 dalam ketentuan peralihan.
Kaukus tersebut berpandangan bahwa Parpol yang memiliki kursi di DPR (meski itu
hanya satu buah) langsung menjadi kontestan Pemilu 2009 dianggap tidak adil.
2.
Perhitungan
sisa suara dan BPP
Berkaitan dengan penghitungan sisa suara,
semestinya para politisi partai berpegang pada pengurangan distorsi yang ada
pada UU No 12 Tahun 2003. Seperti diketahui, salah satu distorsi itu adalah
terabaikannya prinsip proporsionalitas ketika perolehan suara diterjemahkan ke kursi
legislatif sehingga terjadi kesenjangan besar antara perolehan suara dan perolehan
kursi.[14]
Ditariknya sisa suara ke provinsi cukup menyesatkan dan hal ini akan menciderai
demokrasi karena jika sisa suara ditarik ke provinsi, pemilih tidak pernah
mengetahui, suara yang diberikan, nantinya akan diberikan ke mana.[15]
Adanya dua model BPP DPR dapat diihat sebagai
distorsi dalam sistem Pemilu.[16]
Pada pasal 205 dan 206 yang mengatur teknis pembagian kursi tahap I, II, dan
III. Pada tahap I, kursi dibagi ke partai politik. Bila terdapat sisa kursi,
dilakukan penghitungan pada tahap II dengan sekurang-kurangnya memenuhi 50
persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP). Selanjutnya, bila setelah
penghitungan tahap II masih terdapat sisa, ditentukan BPP baru DPR yang
merupakan akumulasi suara sisa partai kontestan pemilu dibagi sisa kursi di
provinsi. Dampaknya, terdapat dua lapis penentuan BPP yang tentu akan
menyebabkan nilai kursi yang tidak seimbang antara BPP awal dengan BPP baru.
Dampak lain, penentuan kursi tahap III yang ditarik ke provinsi justru
menafikan makna keterwakilan politik di suatu daerah pemilihan.
3.
Syarat-syarat
pencalonan anggota DPD
Pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), pada UU Pemilu ini cenderung mundur dibandingkan UU No 12 Tahun 2003.[17]
Sebagai representasi daerah, setiap calon anggota DPD seharusnya bertempat
tinggal di daerah pemilihannya, tetapi sekarang ini persyaratan domisili telah
dihapus. Hakikat peserta pemilihan DPD yang semestinya bersifat perseorangan, namun
melalui UU Pemilu para pengurus partai politik dibolehkan turut serta dalam
pencalonan DPD.[18]
Persyaratan domisili jelas sangat penting bagi para wakil daerah agar DPD tidak
dikuasai oleh para elite politik Jakarta yang tiba-tiba memiliki komitmen untuk
memberdayakan daerah. Selain itu, persyaratan domisili tetap diperlukan agar
DPD kembali ke fungsinya asalnya ebagai representasi daerah-daerah yang lebih
banyak bekerja di daerah ketimbang di Jakarta. Di sisi lain, pemberian
kesempatan bagi pengurus partai politik untuk turut serta dalam pemilihan DPD
bukan hanya bertentangan dengan amanat konstitusi, tetapi juga semakin
mengaburkan esensi DPD sebagai wakil daerah secara perseorangan.
4. Penentuan Daerah Pemilihan oleh DPR
Langkah DPR mengubah dan menetapkan komposisi
daerah pemilihan (dapil) untuk Pemilu 2009 dianggap langkah mundur.[19]
DPR seharusnya tidak menetapkan sendiri perubahan dapil tersebut karena mereka berasal
dari parpol itu adalah peserta pemilu. Dapil seharusnya disusun dan ditetapkan
lembaga nonpartisan dan independen. Setiap negara demokrasi di luar negeri
memiliki lembaga atau komisi independen untuk menyusun dan menetapkan dapil,
yakni sejenis Boundary Commission.[20] Akibat
proses di DPR yang tertutup dan sangat singkat, ia menemukan adanya kejanggalan
dalam pemecahan Dapil Jabar 4 (Kota Bogor dan Kabupaten Bogor) yang sebelumnya
memiliki 11 kursi. Berdasar keputusan DPR, Kabupaten Bogor ditetapkan sebagai
dapil sendiri, yakni Dapil Jabar V dengan 9 kursi, sedangkan Kota Bogor
digabung dengan Kabupaten Cianjur membentuk Dapil Jabar III. Persoalan muncul
karena kabupaten atau kota yang tergabung di satu dapil seharusnya menyambung
dan tetap menyatu. Hal ini mengindikasikan adanya kepentingan elite politik di
Kota dan Kabupaten Bogor untuk tetap mengamankan posisinya pada Pemilu 2009.
5.
Kejelasan Daftar Pemilih Tetap
Banyaknya persoalan DPT
di berbagai daerah menjadi fakta adanya ketidakberesan dari penyelenggaraan
pemilu. Khofifah Indar Parawansa
menyebutkan bahwa pada zaman Orba, Undang-undang Dasar tidak mencantumkan asas
jurdil (jujur dan adil) dalam Pemilu, hanya luber (langsung, umum, bebas dan
rahasia) saja.[21]
Menurutnya, Orde Baru menyadari bahwa dirinya tidak akan bisa jurdil, sehingga
hanya pakai asas luber. Sedangkan Orde Reformasi menggunakan luber dan jurdil, tetapi
pada kenyataannya tak ada kejujuran dan keadilan. Sebagai contoh, pada kasus
DPT, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bisa mengadili kasus tersebut, sehingga tidak
ada satu pun institusi yang dapat menghapus suara yang dihasilkan dari DPT
bermasalah. Logika yang dipakai seharusnya adalah jika DPT-nya bermasalah, maka hasil Pemilu juga
akan bermasalah.
Berdasarkan paparan di
muka, dapat diketahui bahwa sebelum pemilu dilaksanakan, sistem pemilu diciptakan
untuk memenuhi kepentingan politik. Parpol-parpol dan melegitimasi kekuasaan
dari kelompok-kelompok politik yang berkuasa dalam Parlemen. Sistem Pemilu itu
sendiri tidak lain adalah instrumen politik yang membentuk relasi-relasi
kekuasaan dan bermuara para reproduksi legitimasi atas kekuasaan parpol daripada
instrumen untuk menciptakan representasi politik. Dengan demikian, keabsahan
kemenangan dalam Pemilu 2009 diukur dari sistem pemilu yang secara sistemik
diciptakan untuk melegitimasi kekuasaan kelompok-kelompok atau parpol. Mengutip
Khofifah, Pemilu 2009 dapat dianalogikan dengan pertandingan sepak bola di mana
pemenang pertandingan adalah pihak yang bisa mencetak gol sebanyak-banyaknya,
meskipun banyak mendapatkan kartu merah dan kartu kuning.
Selain melalui sistem
politik, reproduksi sosial dapat dilihat pada strategi politik para calon
presiden/wakil presiden pada Pemilu 2009 yang lebih menekankan pada politik
pencitraan. Politik seperti ini berakar pada konsep public relation
yakni fungsi manajemen yang dilakukan untuk meningkatkan dan mempertahankan
citra positif serta kepercayaan publik (Grunig dan Hunt 1984, dalam Luhukay
2007).[22]
Membangun citra yang baik dalam ranah politik adalah hal yang wajar, tetapi
politik pencitraan tersebut harus dilakukan berdasarkan fakta empiris. Jika
politik dilepaskan dari sebuah keberhasilan yang objektif, maka ia hanya menjadi
instrumen untuk mempertahankan kekuasaan yang dipegangnya (Kristiadi 2007).[23]
Upaya membangun citra
pemimpin yang ideal dapat dilakukan melalui berbagai media seperti berita,
iklan, dan pembentukan opini melalui survei. Pengamat komunikasi, Efendi
Ghazali mengatakan bahwa pencitraan melalui iklan telah dilakukan sedemikian
rupa sehingga pasangan calon diposisikan seperti “barang konsumsi” yang dikemas
dan ditawarkan dengan sangat bagus sehingga menarik perhatian, meskipun tidak
ada substansinya. [24]
Untuk itu, masyarakat pemilih seharusnya membongkar pencitraan tersebut sebelum
menentukan pilihan politiknya dengan menelusuri track record para
pasangan capres/cawapres tersebut.
Secara tidak langsung, polling
atau pengumpulan pendapat untuk pasangan capres-cawapres dapat dilihat sebagai
upaya pencitraan, di luar independensi lembaga survei yang melakukannya.[25]
Secara logika, kapabilitas sebuah lembaga survei hanya bisa dinilai oleh
komunitas akademik, tetapi masyarakat awam hanya bisa melihat dan menggunakan
hasil survei tersebut. Pengakuan kemenangan dalam satu putaran pemilu presiden
ini pun sebenarnya sebuah bentuk pencitraan. Hal ini hampir sama dengan
pasangan lain yang mengaku kalau dia menjadi presiden maka ekonomi Indonesia
akan bebas dari pengaruh asing atau tingkat pertumbuhan ekonomi nasional akan
sebesar dua digit. Politik pencitraan membutuhkan sebuah pengakuan akan
kehormatan, martabat, dan kecerdasan, yang melekat pada orang yang dicitrakan
agar masyarakat mengakuinya dan memilihnya menjadi presiden dan wakil presiden.
Politik pencitraan dalam
pemilihan presiden pada tahun 2009 yang paling nampak dan mudah dipahami oleh
masyarakat dapat dilihat pada tempat deklarasi dan model pakaian yang
digunakan. Pendeklarasian pencalonal bukan hanya sekedar sebuah peristiwa
politik tetapi juga penyampaian pesan pasangan calon kepada masyarakat luas.
Deklarasi adalah ritual politik. Politik yang memanfaatkan simbol-simbol untuk
mencitrakan kedigdayaan kepemimpinan mereka karena mereka menyadari bahwa
persaingan politik tidak hanya sekedar perebutan massa tetapi perebutan ruang
publik tempat segala simbol berperan secara signiifkan (Sunardi 2009). Adapun
makna simbol-simbol deklarasi dapat dijelaskan seperti berikut.
Pendeklarasian
pencalonan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto di Bantar Gebang bukanlah
pesta politik biasa, tetapi menjadi peristiwa yang dramatis dan puitis di mana
pesan pasangan tersebut sudah tersampaikan tanpa dikatakan bahwa mereka
menjadikan rakyat kecil sebagai basis konstituennya. Sedangkan pendeklarasian
pasangan SBY-Boediono di Hotel Sheraton Bandung yang didesain seperti
pencalonan Presiden Barack Obama menyampaikan pesan ideologi dan warna Amerika
di dalamnya. Sementara, pendeklarasian Jusuf Kalla-Wiranto tidak banyak
mengungkapkan warna ideologinya dan pemilihan Tugu Proklamasi tidak terlalu
memilik daya kejut seperti arena deklarasi pasangan calon lainnya. Jika para
capres dan cawapres tidak segera membuktikan simbol-simbol dan pernyataan
mereka menjadi tindakan politis, maka masyarakat akan menanggapi dengan dua
cara seperti berikut (Sunardi 2009). Pertama, menganggap hiburan politik itu
telah selesai dan melupakannya. Kedua, jika politikus tak mampu mewujudkan
segala pencitraan itu menjadi kenyataan, masyarakat akan mengabaikan apapun
yang mereka kerjakan.
Cara lain untuk politik
pencitraan adalah melalui pakaian yang digunakan oleh calon presiden/wakil
presiden yang masing-masing memiliki ciri kas dan nilai tersendiri di dalamnya,
walaupun maknanya belum tentu dapat ditangkap oleh orang awam.[26]
Pakaian tidak hanya sekedar sebagai alat untuk menutupi tubuh tetapi juga dapat
digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan karakter, status, posisi, kelas,
bahkan ideologi seseorang yang mengenakannya. Adapun perbedaan model pakaian
dan pesan yang disampaikan oleh tiga pasangan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut (Nursahid 2009). Cara berbusana capres Susilo Bambang Yudhoyono
misalnya terlihat keinginan untuk mencitrakan diri sebagai seorang priyayi,
birokrat, pemimpin yang berwibawa dan elegan, karena itu ia cenderung
menggunakan busana-busana yang lebih formal. Sedangkan Jusuf Kalla (JK) memilih
berpakaian lebih sederhana dengan menggunakan kemeja batik dan peci seperti
kebanyakan orang Indonesia lainnya. Istri-istri pasangan ini menggunakan
jilbab menyampaikan pesan bahwa pasangan ini bersifat religius. Sementara,
pakaian Prabowo yang sering menggunakan safari mirip dengan pakaian yang
digunakan Pemimpin Korea Utara mendiang Kim Jong il, mencitrakan sebagai
seorang sosialis yang dekat dengan rakyat.
Politik pencitraan
melalui diskursus di media juga tidak kalah penting dalam pemilihan presiden
2009 ini. Namun, politik pencitraan jenis ini juga diarahkan untuk membuat
citra negatif pasangan calon presiden/wakil presiden yang lain atau dikenal
dengan kampanye negatif. Sebagai akibatnya, kelemahan semua pasangan
dikonstruksi oleh media dan menjadi sumber perdebatan di antara tim-tim sukses
mereka. Tabel di bawah ini menunjukkan isu-isu kampanye negatif yang ditujukan
terhadap masing-masing pasangan calon presiden/wakil presiden.
Isu-Isu
Kampanye Negatif terhadap Semua Calon Presiden/Wakil Presiden
pada
Pemilu 2009
Mega-Prabowo
|
SBY-Biediono
|
JK-Wiranto
|
Menjual
aset negara (Megawati)
|
Penganut
konsep neo-liberalisme (Boediono)
|
Bisnis
keluarga pejabat (JK)
|
Berlimpah
harta, tetapi mengusung ekonomi kerakyatan (Prabowo)
|
Isu
Jawa dan luar Jawa (SBY-Boediono)
|
Pelanggaran
HAM pada masa lalu (Wiranto)
|
Kewarganegaraan
ganda (Prabowo)
|
Tebang
pilih kasus korupsi (SBY)
|
Pengusaha
akan KKN jika berkuasa (JK)
|
Pelanggaran
HAM pada masa lalu (Prabowo)
|
Peragu
dan sulit mengambil keputusan (SBY)
|
Bahaya
kapitalis rambut hitam (JK)
|
Utang
luar negeri terus menerus (SBY)
|
Harus
tepat tidak boleh ngawur tapi rugi.
|
|
Istri-istri
tidak berjilbab (SBY-Boedono)
|
||
Mejiplak
jingle mie instan untuk kampanye 9SBY)
|
||
Arogansi
Pilpres satu putaran (SBY-Boediono)
|
Sumber:
Kompas 22 Juni 2009, hal 1. “Semua Diterpa Kampanye Negatif.”
Di antara isu-isu
kampanye negatif di atas, yang menjadi perdebatan adalah tuduhan terhadap
Cawapres SBY, Boediono, sebagai penganut ideologi neo-liberal, walaupun dalam
deklarasi pencalonan SBY-Boediono sudah dikatakan secara eksplisit bahwa
Boediono berkomitmen terhadap peran negara yang lebih besar dalam ranah
ekonomi. Dalam diskusi dengan mahasiswa di Balai Kartini pada 20 Mei 2009,
Wapres Jusuf Kalla mengingatkan bahaya yang terjadi bila calon terpilih nanti
adalah yang cenderung neoliberal seperti berikut: "Kalau A cenderung
neoliberalisme misalnya, dan dia terpilih, maka pasar yang mengendalikan. Wall
Street yang mengendalikan."[27] Tuduhan
ini ditanggapi oleh SBY dalam dialog dengan KADIN pada 20 Mei 2009 dengan
mengatakan: “Kita tidak menganut paham neoliberal. Orang-orang banyak bicara
tentang neoliberal tetapi mereka tidak paham apa itu neoliberalisme.”[28]
Menurut Yudhoyono, pemerintahannya tidak pernah menganut paham neoliberalisme
yang menyerahkan semua kebijakan ekonomi pada aturan pasar bebas.
Meskipun dibantah,
kalangan ekonom tetap melihat Boediono adalah penganut paham neoliberal karena Boediono
pernah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi mencerminkan apa yang dicetuskan
dalam Washington Consensus. Ekonom Hendri Saparini dari Econit mengatakan, ada
beberapa hal yang menguatkan tudingan
tersebut: disiplin anggaran dan pemangkasan anggaran untuk subsidi,
berkurangnya peran pemerintah dalam pengendalian anggaran pendidikan, kebijakan
liberalisasi seperti UU Migas, UU Penanaman modal, dan UU Badan Hukum Pendidikan
serta penekanan inflasi dan ukuran stabilitas makro ekonomi.[29]
Hal yang senada disampaikan oleh mantan Menteri Koordinator Perekonomian era
Gus Dur, Rizal Ramli, yang mengatakan bahwa indikator neoliberalisme pemerintahan
SBY berdasarkan tiga fakta, yaitu: bantuan langsung tunai (BLT), sektor
perdagangan, dan UU Bank Indonesia.[30]
Hampir semua pasangan
calon presiden/wakil presiden menghindar dari tuduhan “agen Neoliberalisme” dan
selalu menawarkan jalan ekonomi kerakyatan sebagai pilihan yang akan diterapkan
jika dia mereka berhasil menjadi presiden walaupun tanpa konsep yang jelas
mengenai ekonomi kerakyatan. Menanggapi hal ini, pengamat ekonomi UGM,
Revrinsond Baswir, mengatakan bahwa ketiga calon presiden dalam Pemilu Presiden
2009, tidak ada satu pun yang merupakan pembela sejati ekonomi kerakyatan.[31]
Selama menjabat atau pernah menjabat, baik Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang
Yudhoyono, maupun M Jusuf Kalla
mempraktikkan ekonomi neoliberal. Misalnya, pada era Megawati terjadi
privatisasi badan usaha milik negara (BUMN). Padahal, dalam ekonomi kerakyatan,
BUMN harus dijaga dalam penguasaan negara. SBY dan Kalla juga pernah menaikkan
harga bahan bakar minyak beberapa kali dan mengurangi subsidi, hal ini menjadi
salah satu ciri ekonomi neo-liberal. Demikian juga, Boediono, calon wakil
presiden pendamping Yudhoyono, mendukung privatisasi BUMN saat menjabat sebagai
menteri keuangan.
Bertolak dari strategi
pencitraan negatif itu, dapat dimengerti bahwa yang aspek fundamental dalam
politik pencitraan pada dasarnya tidak terletak pada perdebatan tentang
substansi persoalan, namun lebih pada penciptaan opini melalui media untuk
menciptakan legitimasi bahwa pasangan calon presiden/wakil presiden tersebut
layak atau dianggap absah untuk dipilih dalam pemilihan presiden/wakil
presiden. Hal ini berkesesuaian dengan pandangan Bourdieu (1991) bahwa Kekuatan
sebuah ide yang dimajukan oleh agen politik profesional tidak diukur dengan
nilai kebenaran seperti dalam domain ilmu pengetahuan tetapi oleh kekuasaan
melakukan mobilisasi atau kekuasaan kelompok-kelompok yang mengakui mereka
(Bourdieu 1991).[32]
Oleh karena itu, ranah politik merupakan situs perebutan kekuasaan untuk
memperoleh kontrol terhadap agen politik non profesional atau lebih tepat
sebagai kekuasaan untuk memperoleh monopoli hak-hak berbicara dan bertindak
atas nama sebagian atau seluruh agen politik non-profesional.
Dalam politik, berbicara
ialah melakukan tindakan yaitu: membuat orang-orang percaya bahwa apa yang kita
kerjakan adalah apa yang kita katakan, atau untuk membuat orang-orang
mengetahui dan mengakui prinsip-prinsip pembagian dunia sosial. Ketika tim
sukses melakukan pencitraan negatif terhadap pasangan calon lain melalui suatu
diskursus seperti neo-liberalisme, maka mereka sedang melakukan tindakan
politik meyakinkan orang-orang untuk mengakui
prinsip-prinsip pembagian dunia sosial bahwa pasangannya adalah penganut
ekonomi kerakyatan dan absah untuk dipilih sebagai presiden/wakil presiden.
Bonnewitz (1989),
sebagaimana dikutip Rusdiyarti (2003: 37), mengatakan bahwa berbeda dengan
Weber yang meletakkan legitimasi pada seorang pemimpin, Bourdieu melihat
legitimasi sebagai proses sosial. Setiap relasi dominasi antar pelaku sosial
selalu membutuhkan legitimasi. Kekuasaan untuk memberikan legitimasi bagi
setiap bentuk dominasi tidak lain adalah kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan
yang mendesakkan penerimaan hukum-hukum dan memaksakannya sebagai sesuatu yang
absah dengan menyembunyikan hubungan-hubungan kekuasaan. Hal tersebut dikatakan
Bourdieu dan Passeron (1970), sebagaimana dikutip Wacquant (1987: 66) sebagai
berikut:
“Any power of symbolic violence, i.e., any
power that succeeds in imposing meanings and in imposing them as legitimate in
disguising the relations of power which are at the root of its force, adds its
own force, that is a specifically symbolic force, to those relations of power.”
Dengan demikian,
pertarungan simbolik ialah pertarungan dalam wilayah makna yang menjadi arena
bagi pelaku sosial untuk melegitimasi dominasinya atas pelaku sosial yang lain
dengan mengkonstruksi pandangan dunia sosial yang dianggap absah. Kekuasaan
untuk memproduksi pandangan yang paling legitimate adalah kekuasaan
simbolik, yaitu kekuasaan yang dapat dikenali dari tujuannya untuk mendapatkan
pengakuan atau kekuasaan yang tidak dapat dikenali bentuk aslinya yaitu
kesewenang-wenangan dan kekerasan (Bourdieu 1991: 23). Pertanyaannya kemudian
apakah sifat dasar dari realitas politik. Pada
kenyataannya, media massa lebih menonjolkan kemampuannya sebagai arena untuk menggulirkan kekuatan simulasi, yaitu lenyapnya batas-batas antara realitas yang bersifat faktual dengan kenyataan yang berwatak fiksional (Lukmantoro, 2004).[33]
kenyataannya, media massa lebih menonjolkan kemampuannya sebagai arena untuk menggulirkan kekuatan simulasi, yaitu lenyapnya batas-batas antara realitas yang bersifat faktual dengan kenyataan yang berwatak fiksional (Lukmantoro, 2004).[33]
Apa yang dilihat sebagai
realitas politik termasuk pertarungan politik kekuasaan sesungguhnya adalah
realitas yang dikonstruksi oleh media massa sehingga batas antara fakta politik
dan fiksi politik menjadi semakin kabur. Citra politik mampu menampilkan sesuatu
yang tidak ada kaitannya dengan realitas karena sengaja dihadirkan tanpa
memiliki referensi sama sekali terhadap realitas (Lukmantoro, 2004).
Ranah dan pertarungan politik
sebagai arena untuk mendapatkan mandat representasi rakyat diubah menjadi
panggung sandiwara oleh media. Kerakyatan yang konon menjadi masing-masing
pasangan calon presiden/wakil presiden tidak lain adalah massa yang secara
intensif mengalami histeria dalam mengonsumsi berbagai sirkus politik yang
disodorkan media massa (Lukmantoro, 2004). Dengan demikian, rakyat sebagai
pemegang kedaulatan dalam teori-teori negara direduksi menjadi entitas
sosiologis yang terpesona oleh pertunjukan yang dibungkus secara rapi melalui
politik pencitraan.[34]
Pada konteks ini, Bourdieu (1991) berpandangan bahwa pertarungan dalam ranah
politik termasuk sistem demokrasi liberal tidak lain adalah sarana
pelegitimasian dari relasi-relasi dominasi yang ada dalam struktur sosial.
Kritik terhadap sistem
politik demokrasi liberal juga disampaikan oleh Gould (1993). Menurutnya,
pandangan bahwa pandangan individualisme liberal yang diwakili pemikiran John
Locke, Jefferson, Bentham, dan JS Mill menganggap bahwa demokrasi ialah suatu
bentuk pemerintah di mana rakyat yang diperintah memerintah dirinya sendiri
melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara bebas. Ontologi yang diletakkan
teori demokrasi adalah individualisme abstrak yakni individu sebagai dasar
entitas yang menyusun masyarakat, individu bersifat sederajat dan memiliki ego
yang independen. Gould mengkritik tiga hal asumsi mendasar ontologis sebagai
berikut.
Pertama, ontologi ini
tidak memperhatikan perbedaan sosial yang nyata antar individu tanpa referensi
apapun yang dapat menjelaskan tindakan-tindakan untuk memahami lembaga sosial
mereka. Fakta bahwa beberapa orang memiliki kekuasaan ekonomi yang lebih besar
dan sebagian lain dapat mendominasi proses politik tidak dapat dijelaskan tanpa
merujuk pada perbedaan kongkrit dalam kesejahteraan dan status sosial yang
menentukan situasi mereka. Asumsi kedua tidak memperhitungkan fakta bahwa Individu
memiliki tujuan-tujuan yang sama dan tidak terpisah satu sama lain. Model
demokrasi ini tidak memperhitungkan ketimpangan dan hambatan ekonomi dan sosial
bagi persoalan politik, bentuk demokrasi perwakilan sering membiarkan dirinya
diperintah oleh minoritas yang berkuasa.
Pada sisi lain, Robert
Michels (1996) menjelaskan bahwa dalam kepartaian modern, aristokrasi
menampilkan dirinya dalam selubung demokrasi, sementara substansi demokrasi
disusupi elemen-elemen aristokrasi sehingga ada aristorasi dalam bentuk
demokrasi dan ada demokrasi dengan kandungan aristokrasi. Menurutnya, partai
politik merupakan suatu entitas dan mekanisme yang tidak bisa diidentifikasi
dengan totalitas anggotanya atau dengan kelas yang mewakili partai karena
kepentingan massa yang membentuknya tidak selalu selaras dengan kepentingan
birokrasi partai. Dengan demikian, Pemerintah atau negara, tidak lain adalah
organisasi milik sekelompok kecil orang yang memaksakan suatu tatanan legal
kepada seluruh masyarakat sebagai hasil dominasi dan eksploitasi terhadap massa
(Michels, 1996).
Penutup
Deskripsi di atas
menunjukkan bahwa Pemilu 2009, jika ditelusuri lebih jauh secara teoritik sudah
berfungsi menjadi metode demokratis atau prosedur dalam sistem politik
demokratis. Namun, pada sisi lain, pemilu tersebut belum mampu menjadikan
dirinya sebagai sarana untuk memperebutkan mandat dan representasi rakyat. Pada
realitasnya, pertarungan politik oleh agen-agen politik profesional dalam ranah
politik Pemilu 2009 tidak hanya memperebutkan kekuasaan politik, tetapi juga
kekuasaan simbolik, yakni perebutan makna-makna dengan menggunakan
simbol-simbol di ruang publik. Dengan kata lain, pemilu tidak lain mereproduksi
sekaligus memberikan legitimasi terhadap relasi dominasi dalam struktur sosial.
Menjadikan pemilu
sebagai representasi kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya krisis legitimasi di
mana pihak-pihak yang tersubordinat dalam struktur sosial mempertanyakan relasi
dominasi yang ada. Legitimasi menurut Bourdieu (1977) ialah kesetiaan pelaku
sosial yang dinyatakan melalui penerimaan doxa sebagai bentuk pengakuan
terhadap keabsahan dunia sosial. Legitimasi ini dibentuk melalui penerimaan
secara tidak sadar (misrecognition) akan kesewenang-wenangan karena
pelaku sosial tidak mempertanyakan keabsahan dunia sosial tersebut. Krisis
ialah kondisi yang diperlukan untuk mempertanyakan doxa. Kelompok masyarakat
yang tersubordinat memiliki kepentingan untuk menghilangkan doxa dan
menghapus keabsahan dari kesewenang-wenangan, sedangkan kelompok dominan
memiliki kepentingan mempertahankan doxa. Krisis akan terjadi ketika kelompok
subordinat memiliki alat-alat simbolik dan material untuk menolak apa yang
didefinisikan sebagai kenyataan oleh struktur sosial (Bourdieu 1977). (*)
Artikel Terkait
- Salam Redaksi
- Riset Redaksi
- Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
- Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
- Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
- Demokrasi Deliberatif
- Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
- Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
- Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
- Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
- Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
- Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
- Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
- Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)
Daftar
Pustaka:
Beardsworth, Richard. 1998. Derrida and
the Political. London dan New York: Routledge.
Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of A
Theory of Practice, translated by Richard Nice. Cambridge: Cambridge
University Press.
Bourdieu, Pierre dan Loic J. D. Wacquant.
1992. An Invitation to Reflexive Sociology. Chicago: University of
Chichago Press.
Bourdieu, Pierre. 1991. Language and
Symbolic Power. Cetakan kelima, diedit oleh John B. Thompson dan
diterjemahkan oleh Gino Raymond dan Matthew Adamson. Cambridge: Harvard
University Press.
Cohen, Denis C. 1993. “Keadaan Politik Kelompok Masyarakat Berpenghasilan
Rendah di Jakarta,” dalam Parsudi Suparlan dkk Kemiskinna di Perkotaan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Dahl, Robert A. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, alih bahasa
A. Rahman Zainudin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Dahl, Robeert A. 2001. Perihal Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Dowding Keith, Robert E.Godin, dan Carole Pateman. 2004. Justice and
Democracy. Cambridge: Cambridge University Press.
Gaffar, Janedri M. 2006. “Demokrasi dan
Nomokrasi”, Harian Seputar Indonesia, 19, Desember 2006.
Gould. Carol C.1993. Demokrasi Ditinjau Kembali. Yogyakarta: PT
Tiara Wacana.
Habermas, Juergen. 1992. Between Facts and
Norms: Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy,
Cambridge: MIT Press.
Haris, Syamsudin, 1997. “Perbandingan Pemilu Orde Baru 1971-1992: Beberapa
Catatan Kritis dan Proyeksi”, dalam J Kristiadi dkk. Menyelenggarakan Pemilu ang
Bersifat Luber dan Jurdil. Jakarta: CSIS.
Haris, Syamsudin dkk, 1997. Pemilhan Umum di Indonesia: Telaah atas
Struktur, Proses, dan Fungsi.
Hardiman, Fransisco, Budi. 2005. “Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip dan
Praktek.” Makalah dipresentasikan pada Forum Rapat Kerja ke-3 dan Koordinasi Pelaksanaan
Deliberative Forum Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam Proses Otonomi
Daerah di Wisma LPP, Yogyakarta, 24 Agustus 2005.
Hidayat, Syahrul. 2000. Memastikan Arah Baru Demokrasi, Seri
Penerbitan Studi Politik. Jakarta: Laboratorium FISIP UI dan Pustaka Mizan.
Hungtinton, Samuel P. 1995. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta:
Grafiti.
Iver, Mac. 1984. Negara Modern, alih bahasa Drs Moertono. Jakarta:
Penerbit Aksara Baru.
Lane, Jan Erik dan Svente Ersson. 2003. Democracy: A Comparative Aproach.
London dan New York; Routledge.
Luhukay, Marsefio S.
2007. „Presiden SBY dan Politik Pencitraan: Analisis Teks Pidato Presiden SBY
dengan Pendekatan Retorika Aristoteles Di situs http://www.presidensby.info/index.php/pidato/)”, Jurnal Ilmiah SCRIPTURA
ISSN 1978-385X Vol. 1 No.2 Juli 2007
Machmud, Amir. 1996. Pembangunan Politik
Dalam Negeri Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Michels, Robert. 1996. “Hukum Besi Oligarki.” dalam Ichlasul Amal dkk, Teori-Teori
Muthakir Partai Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Macridis, C. 1996. “Sejarah, Fungsi, dan Tipologi Partai-partai.” Dalam
Ichlasul Amal dkk, Teori-Teori Muthakir Partai Politik. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Rusdiarti, Suma Riella. 2003. “Bahasa, Pertarungan Simbolik, dan
Kekuasaan,” dalam Majalah Basis, Edisi Khusus Pierre Bourdie, No 11-12, Tahun
ke-52, November-Desember 2003.
Media:
Kompas 22 Juni 2009, hal 1. “Semua Diterpa Kampanye Negatif”
www.jawapost.com Ancaman JR terhadap UU Pemilu,
21 Maret 2008.
www.csis.or.id/scholars_opinion_view,
J Kristiadi, Kompas, January 3, 2007
Harap-cemas presiden bertindak tegas
Harap-cemas presiden bertindak tegas
www.matanews.com,
Pencitraan Capres Bisa Mengecoh, 1 Juni 2009.
www.wikimu.com,
Pencitraan, Suatu Keniscayaan Kampanye Politik Capres-Cawapres, 18 Juni 2009.
www.wikimu.com, Busana
dan Pencitraan Capres, 22 Mei 2009.
www.tempointeraktif.com,
Pemilu Presiden 2009, Kalla: Jangan Sampai yang Neoliberal Terpilih Jika yang
neoliberal terpilih, bisa-bisa Indonesia dikendalikan Wall Street. Rabu, 20 Mei
2009.
http://iwandahnial.wordpress.com, 8 Mei 2009, Rizal Ramli: Kalau Ada yang Enggak Ngaku
Neoliberal, Kasihan.
www.kompas.com Revrisond Baswir: Ketiga Pasangan Penganut Ekonomi
Neoliberal.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0501/24/opi01.html.
Gebrakan 100 Hari ala Politik Simulasi Oleh Triyono Lukmantoro
[1] Pernah disampaikan
pada Seminar Internasional “Pemilu 2009” oleh Yayasan Percik Salatiga pada
28-30 Juli 2009.
[2] Peneliti
pada Pusat Penelitian Sumberdaya Regional LIPI sekarang sedang menempuh program
doctoral (S3) pada Cultural Anthropology and Development Studies,
Radboud University Nijmegen Belanda dengan scholarship dari NOW (Dutch
Organization for Scientific Research).
[3] Secara normatif, demokrasi sebagai sebuah tata nilai kenegaraan
dimaksudkan untuk menjamin kedaulatan rakyat. Janedri M. Gaffar (2006),
menjelaskan bahwa masalah mendasar yang menentukan bangunan sebuah negara
adalah konsep kedaulatan yang dianut. Kedaulatan merupakan konsepsi yang
berkaitan dengan kekuasaan tertinggi dalam organisasi negara dan yang dapat
saja dibagi dan dibatasi.
[4] Dari sudut pandang marxis-leninis, demokrasi terbagi menjadi dua
tipologi: demokrasi sosialistik dan demokrasi borjuis. Karena dalam demokrasi
sosialistik alat-alat produksi merupakan milik bersama, maka interes pribadi
kemudian sama dengan interes negara. Demokrasi borjuis didasarkan pada
kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi di mana demokrasi model ini
menyelubungi karakter kelas masyarakat kapitalis. Totaliterisme dalam hal ini
merupakan kebalikan dari sistim demokratis. Sistim totaliter klasik
(Nazi-Hitler dan Sovyet-Stalin) terutama ditandai, yakni, oleh satu kenyataan
bahwa hanya ada satu partai saja, yang, legitimasinya tidak melalui pemilu.
Partai menganggap sebagai tugas utama untuk membentuk atau mempengaruhi
keyakinan rakyat melalui ideologi di mana ideologi partai mengklaim adanya satu
kebenaran di dunia.
[5] Kata
“deliberasi” berasal dari Bahasa Latin deliberatio
yang artinya konsultasi atau musyawarah (Habermas 1992).
[6] Habermas
(1989), menawarkan model demokrasi yang memungkinkan rakyat terlibat dalam
proses pembuatan hukum dan kebijakan-kebijakan politik. Demokrasi ini menjamin
masyarakat sipil terlibat penuh dalam pembuatan hukum melalui
diskursus-diskursus. Namun demikian, demokrasi ini bukan seperti dalam republik
moral Rousseau di mana rakyat langsung menjadi legislator karena yang
menentukan dalam demokrasi deliberatif adalah prosedur pembentukan hukum di mana
hukum yang akan dibentuk dipengaruhi oleh diskursus-diskursus yang dinamis
dalam masyarakat.
[7]
Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil dimiliki oleh media, pers, LSM, organisasi
massa dan lembaga-lembaga lain yang berpartisipasi dalam ranah politik melalui
penciptaan diskursus, sehingga negara dan perangkat kekuasaannya terpaksa
responsif terhadap diskursus-diskursus masyarakat sipil tersebut yang diekspresikan
dalam ruang publik.
[8]
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.03
[9] Ancaman
JR terhadap UU Pemilu, 21 Maret 2008. www.jawapost.com
[10] Syamsudin Harris,
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.03
[11] Direktur Eksekutif Indo barometer, Mohammad Qodari menilai terkait
aturan peralihan yang membolehkan semua partai yang duduk di DPR ikut pemilu
2009, hal ini merupakan langkah mundur di mana ada ketidakkonsistenan dalam UU
pemilu ini dalam upaya penyederhanaan partai peserta pemilu.
[12] Ancaman JR terhadap UU Pemilu,
21 Maret 2008. www.jawapost.com
[13] Nurhasim
menjelaskan bahwa PT yang diperkenalkan pada UU No 12/2003 pada prinsipnya
adalah kurang tepat karena PT merupakan upaya membatasi partai yang berhak
mendudukkan wakilnya di parlemen. Bila partai tidak memenuhi PT, mereka hanya
tidak boleh mendudukkan wakilnya di parlemen, tapi tetap bisa mengikuti pemilu
berikutnya. Logika PT adalah untuk membatasi partai yang bisa mendudukkan
wakilnya di parlemen, hanya partai yang memiliki dukungan konstituen yang bisa
terlibat dalam pemerintahan. PT yang seharusnya hanya menjadi instrumen untuk
membatasi partai yang bisa mendudukkan wakilnya di parlemen sekaligus berfungsi
ganda sebagai pelarangan partai tersebut untuk ikut sebagai kontestan pemilu
berikutnya (www.jawapost.com).
[14] Syamsudin Harris,
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.03
[15] http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.03
[16]
Nurhasim, Ancaman JR terhadap UU Pemilu,
21 Maret 2008. www.jawapost.com
[17]
Syamsudin Haris, http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.03
[18] Pasal 22E Ayat 4 UUD 1945 hasil perubahan ketiga berbunyi sebagai,
”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah
perseorangan.”
[19] Direktur Cetro, Hadar Navis Gumay, http://www.indopos.co.id
[20] Dalam konteks Indonesia, sudah ada penyelenggara pemilu yang independen,
yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Keputusan DPR untuk menetapkan dapil itu
tidak umum dan merusak pelembagaan demokrasi. Pembuatan dapil seharusnya
dilakukan secara terbuka dan partisipatif. KPU periode 2002-2007 telah
mempraktikkanya ketika menyiapkan dapil untuk Pemilu 2004. Mereka menerima
masukan dari masyarakat luas dan melakukan uji publik sebelum ditetapkan (http://www.indopos.co.id).
[22] Presiden SBY dan Politik Pencitraan: Analisis Teks Pidato Presiden SBY
dengan Pendekatan Retorika Aristoteles Di situs http://www.presidensby.info/index.php/pidato/),
Jurnal Ilmiah SCRIPTURA ISSN 1978-385X Vol. 1 No.2 Juli 2007
[23] www.csis.or.id/scholars_opinion_view,
J Kristiadi, Kompas, January 3, 2007
Harap-cemas presiden bertindak tegas
Harap-cemas presiden bertindak tegas
[24] Pencitraan Capres Bisa Mengecoh, 1 Juni 2009, www.matanews.com
[25] Pencitraan, Suatu Keniscayaan Kampanye
Politik Capres-Cawapres, Anwariyansah, 18 Juni 2009, www.wikimu.com
[26] Busana dan Pencitraan Capres, 22 Mei 2009, www.Matanews.com
[27] www.tempointeraktif.com,
Pemilu Presiden 2009, Kalla: Jangan Sampai yang Neoliberal Terpilih
Jika yang
neoliberal terpilih, bisa-bisa Indonesia dikendalikan Wall Street. Rabu, 20 Mei
2009.
[30] http://iwandahnial.wordpress.com,
8 Mei 2009, Rizal Ramli: Kalau Ada yang Enggak
Ngaku Neoliberal, Kasihan.
[31] www.kompas.com Revrisond Baswir
: Ketiga
Pasangan Penganut Ekonomi Neoliberal.
[32] Pidato politik mewajibkan penuturnya karena membangun komitmen untuk
bertindak yang benar-benar politis jika diucapkan oleh agen atau kelompok agen
yang bertanggung jawab secara politik dan memiliki kapabilitas (Bourdieu,
1991). Kebenaran sebuah janji politik tidak hanya bergantung kepada nilai-nilai
kebenaran itu sendiri tetapi oleh otoritas orang yang mengucapkannya, yang
tidak lain adalah kapasitas untuk membuat orang-orang percaya dalam kebenaran
yang disampaikannya sekaligus percaya akan kekuasannya. Wicara dari juru bicara
politik merupakan bagian dari kekuatan ilokusioner terhadap anggota-anggota
kelompoknya melalui tindakan simbolisasi dan representasi.
[33]Artikel
di harian sore Sinar Harapan berjudul: “Gebrakan 100 Hari ala Politik Simulasi.”
Oleh: Triyono Lukmantoro, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0501/24/opi01.html.
[34]Politik pencitraan telah sedikit banyak merubah cara pandang masyarakat
pemilih dalam menentukan pilihannya. Denis J. Cohen (1993), mencatat bahwa pada
masa Orde Baru, di kampung-kampung atau pemukiman yang mayoritas penghuninya
adalah orang-orang berpenghasilan rendah, orang lebih cenderung menerima
instruksi daripada berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Orang-orang ini
menerima dan mengikuti mereka yang memiliki wewenang dan status yang lebih
tinggi tanpa kritik karena: (1) perasaan tidak berdaya, (2) pandangan bahwa
hidup tergantung kepada nasib, (3) perasaan bahwa keputusan pemerintah hanya
ditujukan kepada mereka yang kaya dan terpelajar. Namun perlu dicatat bahwa
penelitian Syahrul Hidayat (2000) menunjukkan bahwa kaum miskin perkotaan dalam
Pemilu 1999 memiliki pandangan politik tersendiri yang resisten terhadap
mobilisasi politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar