Kamis, 16 Januari 2014

Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik

Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu:
Pertarungan Politik dan Simbolik[1]
Oleh:
Cahyo Pamungkas[2]

Abstrak
Tulisan ini merupakan hasil studi literatur untuk menjawab pertanyaan apakah Pemilu 2009 merupakan representasi dari kedaulatan rakyat dalam perspektif kekuasaan simbolik (Bourdieu, 1991). Paper ini berusaha merefleksikan kembali secara teoritik, pandangan mainstream bahwa pemilu dalam demokrasi liberal merupakan arena partisipasi politik rakyat. Penjelasan yang ditawarkan adalah bahwa Pemilu merupakan “double game” yaitu arena perjuangan untuk memperoleh kekuasaan negara sekaligus kekuasaan simbolik dalam dunia makna. Relasi antara “the representatives” dan the “represented” melalui Pemilu menyembunyikan relasi kompetisi antar pelaku politik dan relasi yang mengatur hubungan antara wakil-wakil rakyat dan konstituennya. Pemilu tidak lain mereproduksi sekaligus memberikan legitimasi terhadap relasi dominasi dalam struktur sosial. Menjadikan pemilu sebagai representasi kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya krisis legitimasi di mana pihak-pihak yang tersubordinat dalam struktur sosial mempertanyakan relasi dominasi yang ada.

Kata kunci: election, double game, symbolic power, social reproduction

Pendahuluan

Pemilu sebagai sebuah realitas dapat dilihat sebagai arena pemilihan wakil-wakil rakyat (the representatives) atau penyelenggara pemerintahan dalam sebuah negara. Namun, kalau pemilu diletakkan sebagai sebuah realitas ilmiah, maka pemilu dapat dibaca sebagai sebuah proses sosial yang digerakkan oleh sistem, mekanisme, atau struktur tertentu yang memiliki keterkaitan dengan prinsip-prinsip pembagian dunia sosial. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan bagaimana Pemilu menjadi proses sosial dan arena bagi reproduksi relasi dominasi dalam masyarakat. Dengan kata lain, pertanyaan yang ingin dijawab oleh paper ini adalah bagaimana proses sosial menjadikan Pemilu sebagai sarana legitimasi bagi kelompok-kelompok politik tertentu untuk mempertahankan atau merebut kekuasaaan. Pendekatan yang digunakan adalah bahwa pertarungan aktor-aktor dalam pemilu tidak semata-mata untuk perjuangan politik, namun juga perjuangan dalam wilayah dunia makna.

Sistem Politik Demokrasi Liberal

Demokrasi merupakan kata yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani demokratia. Kata ini merupakan gabungan dari kata demos yang sebetulnya berarti orang miskin atau orang banyak (rakyat) dan kata kratos yang berarti kuasa. Terminologi ini seringkali didefinisikan sebagai suatu rezim politik di mana kehendak rakyat menjadi hukum yang mengatur suatu negara (Lane dan Ersson 2003). Pada perkembangannya muncul beragam definisi tentang demokrasi, tetapi “kekuasaan yang berada di tangan rakyat” menjadi semacam konsep baku.[3]

Robert Dahl (1992) menjelaskan tentang tatanan politik yang demoraktis yakni sebuah sistem politik di mana para anggota-anggotanya memandang diri dan orang lain dalam posisi dan status yang sama secara politik karena sama-sama berdaulat, memiliki kemampuan, dan lembaga yang diperlukan untuk memerintah dirinya sendiri. Menurutnya (Dahl 2001), indikator demokrasi sebuah negara adalah adanya: pejabat yang dipilih, pemilihan yang bebas dan fair, hak pilih mencakup semua orang, hak untuk dipilih, kebebasan mengungkapkan pendapat, informasi alternatif, dan kebebasan untuk membuat asosiasi.

Sedangkan Huntington (1995) menyebut sistem pemerintahan non demokratis seperti monarki absolut, kerajaan birokratis, oligarki, aristokrasi, rezim-rezim konstitusional dengan pemberian hak suara dalam pemilu yang terbatas, despotisme perorangan, rezim-rezim komunis dan fasis, kediktatoran militer dan jenis-jenis pemerintahan yang serupa di mana pada lamanya tidak ada sistem pemilu sebagai cara untuk melakukan pergantian kekuasaan, tidak adanya keadilan dalam pemilihan, pembatasan terhadap partai politik, tidak adanya kebebasan pers. Merujuk pada Scumpeter, Huntington mencoba membuat kategorisasi demokrasi secara prosedural di mana definisi demokrasi berdasarkan aspek pemilihan umum merupakan definisi yang minimalis karena seharusnya demokrasi memiliki konotasi yang lebih luas dan idealistis.

Huntington lebih menekankan kepada metode demokratis yaitu prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik di mana di dalamnya individu membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. Baik Huntington maupun Dahl pada dasarnya mendasarkan definisi demokrasi secara prosedural yakni pemilihan umum yang adil dan menjadikan pemilu sebagai indikator utama untuk menilai demokratis atau tidaknya suatu negara.[4] Jika pemilu sebagai esensi dari demokrasi maka titik tolak dari proses demokratisasi ialah pergantian rejim politik non-demokratis dengan pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Demokrasi prosedural seringkali didefinisikan sebagai proses di mana penilaian individual (individual judgement) diterjemahkan ke dalam keputusan-keputusan otoritatif (authoritative decisions), dipertentangkan dengan demokrasi substantif yang memasukkan prinsip-prinsip substantif keadilan di dalam lingkup demokrasi (Dowding dkk, 2004).

Pengalaman sistem demokrasi di Inggris menunjukkan bahwa pada realitasnya bukan suatu pemilu yang memungkinkan rakyat untuk menyatakan kehendaknya (kekuasaannya), tetapi partai-partai yang berkuasa harus selalu berhubungan dengan kehendak rakyat (Mac Iver 1984). Menurut Dahl (1992), pemilu adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya pemerintahan perwakilan yang merupakan gambaran yang ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilu memiliki fungsi sebagai sarana legitimasi politik, perwakilan politik, mekanisme sirkulasi elit yang berkuasa, dan sarana pendidikan politik bagi rakyat (Harris 1997). Secara teoritik, partai-partai politik peserta pemilu memiliki fungsi sebagai berikut: representasi, konversi dan agresi, integrasi (partisipasi, sosialisasi, dan mobilisasi), pemilihan pemimpin, pertimbangan dan perumusan kebijakan, serta kontrol terhadap pemerintah (Macridis 1996). Fungsi representasi yakni mengekspresikan dan mengartikulasikan kepentingan tertentu, kelas tertentu, atau kelompok sosial tertentu.

Kedaulatan rakyat sebagai esensi demokrasi dapat diwujudkan apabila demokrasi deliberatif muncul sebagai dasar dari interaksi sosial.[5] F Budi Hardiman (2005) menjelaskan demokrasi deliberatif sebagai suatu pandangan bagaimana mengaktifkan individu sebagai warga negara untuk berkomunikasi, sehingga komunikasi yang terjadi pada tingkatan warga dapat mempengaruhi pengambilan keputusan publik pada tingkatan sistem politik. Namun perlu dicatat bahwa sistem politik menggunakan bahasa yang berbeda dari masyarakat sipil, sehingga tingkatan-tingkatan komunikasi ini harus dipahami agar aspirasi mereka bisa dimengerti oleh sistem politik.

Habermas (1989) mengasumsikan bahwa suatu negara hukum tidak dapat dipertahankan tanpa menggunakan sistem politik demokrasi yang bersifat radikal.[6] Dengan perspektif demokrasi deliberatif, negara tidak lagi menentukan hukum dan kebijakan-kebijakan politik lainnya dalam ruang publik yang tertutup, namun media dan organisasi masyarakat sipil ikut berpengaruh dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan politik itu. Dengan demikian, arena publik merupakan ruang bagi negosiasi untuk mempersiapkan dan mengarahkan perundang-undangan secara diskursif.

Adapun proseduralisasi kedaulatan rakyat dalam demokrasi deliberatif adalah membuat kedaulatan rakyat sebagai proses komunikasi.[7] Pertanyaannya kemudian ialah kapan rakyat berdaulat. Menurut teori demokrasi deliberatif, kedaulatan terjadi bukan karena orang berkumpul dengan tubuhnya di suatu tempat sebagaimana diyakini JJ. Rousseau, tetapi juga harus ada komunikasi publik. Dalam konteks ini, demokrasi representatif tetap diperlukan dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu mencoba melihat bahwa peranan komunikasi publik itu harus semakin besar.

Paper ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan dan menilai masing-masing model demokrasi seperti yang telah dijelaskan di muka. Namun, demokrasi akan dilihat sebagai proses sosial pada ranah politik yang mencakup partai-partai politik, politik pemilihan (electoral politics), dan kekuasaan politik yang diinstitusionalisasikan. Institusionalisasi kekuasaan ini berkaitan erat dengan bahasa dan kekuasaan simbolik. Ranah politik adalah arena di mana para pelaku-pelaku sosial (aktor-aktor politik) berusaha untuk membentuk dan mentransformasikan nilai-nilai dan pandangan mereka tentang dunia di mana kata-kata (words) digunakan sebagai tindakan dan karakter kekuasaan (Bourdieu 1991).

Pertarungan Simbolik Pada Pemilu 2009

Secara teoritik, pertarungan simbolik adalah pertarungan antara para pelaku sosial yang menempati posisi dominan dengan mereka yang berada pada posisi marjinal (Bourdieu 1991: 239). Keduanya memproduksi berbagai wacana yang dapat memperkuat posisi objektifnya dalam ranah politik sekaligus memperlemah posisi politik agen politik yang lain. Agen politik yang berada pada posisi dominan akan memproduksi orthodoxa yakni wacana yang mendukung keberadaan wacana dominan yang dianggap absah (doxa) dalam ranah. Sementara, agen politik pada posisi marjinal akan memproduksi heterodoxa yaitu wacana yang menentang keberadaan doxa (Bourdieu 1977: 168-169). Wacana ini pada dasarnya adalah praksis politik yang merupakan dialektika antara habitus dan ranah.

Pertarungan simbolik pada pemilu dapat dilihat pada perjuangan untuk menciptakan sistem pemilu yang dibentuk (rules of the game), strategi agen-agen politik profesional dalam wilayah dunia makna, dan diskursus politik yang disampaikan ke publik. Keduanya merupakan strategi reproduksi relasi-relasi dominasi dalam wilayah simbolik yakni membentuk dan mempertahankan diskursus politik yang dianggap absah (legitimate) oleh rejim politik yang berkuasa. Baik Pemilu pada masa Orde Baru maupun pasca-Orde Baru menggunakan sistem pemilu dan diskursus politik yang dianggap absah dan merupakan rules of the game yang harus ditaati oleh pelaku-pelaku sosial di dalam ranah politik.

Bagian berikut menjelaskan sebagian dari diskursus-diskursus politik yang digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk melegitimasi kekuasaannya pada masa Orde Baru maupun pasca-Orde Baru. Pemilu pada masa Orde Baru dapat dipahami kalau ditempatkan dalam kerangka sistem politik Orde Baru yang dibangun selama 1966-1969, yakni penataan kehidupan politik yang diarahkan untuk mewujudkan stabilisasi kehidupan politik dan ekonomi (Haris, 1997). Pada konteks tersebut, Pemilu dilihat sebagai instrumen stabilisasi dan mempertahankan kekuasaan (pro-status quo). Pemilu pada masa Orde Baru tersebut ditandai oleh beberapa karakter sebagai berikut: dominasi, monopoli, dan pemihakan Pemerintah dalam keseluruhan proses pemilu. Partai politik tetap ada meskipun tanpa peran peran politik, dan partisipasi politik tetap ada walaupun tanpa masyarakat di dalamnya (Haris, 1997).

Aturan-aturan dan sistem Pemilu yang diciptakan oleh rezim Orde Baru melegitimasi terhadap pemilihan dan pembatasan agen-agen politik profesional yang ingin masuk dalam ranah politik.  Salah satu diskursus politik yang dianggap absah dan kebenarannya tidak boleh dipertanyakan pada masa Orde Baru adalah Demokrasi Pancasila. Mantan Menteri Dalam Negeri, Jenderal TNI (purn) Amir Machmud (1996) menjelaskan definisi resmi Demokrasi Pancasila yakni demokrasi di mana kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila Pancasila. Hal ini dimaknai bahwa penggunaan hak-hak demokrasi harus selalu disertai oleh rasa tanggung jawab kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat dan martabat manusia, menjamin dan mempersatukan bangsa, dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Demokrasi seperti ini memiliki konsekuensi politik yakni melarang pengingkaran terhadap Ketuhanan YME, propaganda terhadap ateisme, dan kosmopolitanisme yang menganggu identitas nasional; dan menuntut pemeliharaan budi pekerti yang luhur, memelihara integrasi nasional, terwujudnya keadilan sosial.

Pada akhirnya, pertarungan simbolik ini akan menghasilkan kekuasaan simbolik. Dengan demikian, pertarungan simbolik adalah pertarungan yang didasarkan atas perebutan kekuasaan simbolik dan ditujukan untuk memperoleh legitimasi atas dominasi terhadap pelaku sosial lainnya. Bourdieu dalam Choses dhites (1987), sebagaimana dikutip Rusdiyarti (2003: 38), menjelaskan bahwa keberhasilan dalam pertarungan simbolik  ditentukan oleh kepemilikan kapital simbolik dan strategi investasi simbolik.

Sebagai implikasinya, arena perjuangan para pelaku sosial tidak lain adalah ruang-ruang sosial budaya melalui bahasa dan konstruksi kapital simbolik. Bahasa merupakan kapital kultural yang memiliki kaitan erat dengan pertarungan simbolik karena relasi bahasa selalu merupakan relasi kekuasaan simbolik (Bourdieu dan Wacquant 1992: 142). Wacana yang diekspresikan dalam bahasa merupakan simbol bertujuan untuk dinilai, dipercaya dan dipatuhi di mana hal ini merupakan kekuasaan simbolik. Wacana dominan (doxa) merupakan kekuasaan simbolik dalam ranah sosial, didukung oleh kelompok sosial dominan, dan berhadapan dengan wacana-wacana lain yang menentangnya (Bourdieu 1977: 167-169).

Selanjutnya, apakah jatuhnya rejim politik Orde Baru pada tahun 1998 yang disertai oleh Pemilu 1999 dapat dikatakan perubahan ataukah transformasi sistem politik. Pandangan mainstream menyebutkan bahwa sistem pemerintahan pasca-Orde Baru adalah rezim politik demokratis yang ditandai oleh adanya pemilihan umum yang cukup fair dan menguatnya perimbangan kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Transformasi sistem politik berarti bahwa pergantian sistem politik termasuk sistem pemilu ditempatkan sebagai rules of the game yang memberikan legitimasi terhadap kekuasaan agen-agen politik profesional. Sebagai konsekuensinya, sistem politik yang digunakan sedemokratis apapun tidak dapat dilepaskan dari kepentingan agen-agen politik profesional dari kelas yang berkuasa yang mencakup dua hal mempertahankan kekuasaan dan melegitimasi pandangan tentang dunia sosial yang absah.

Kemudian, pertanyaannya adalah bagaimanakah pemilu dan sistem politik demokrasi menjadi suatu kebenaran yang tidak dapat ditanyakan lagi keabsahannya. Jika ditelusuri lebih jauh, sistem pemilu yang berfungsi mengatur bagaimana agen-agen politik profesional bertarung di dalamnya, adalah instrumen politik yang diciptakan untuk melegitimasi jenis pertarungan politik seperti apa yang dianggap absah. Demikian juga, kemenangan seperti apa yang dianggap absah oleh sistem politik demokrasi. Proses pemapanan legitimasi sistem politik demokrasi berawal dari sistem pemilu yang diciptakan sehingga sistem pemilu bukanlah sesuatu yang netral dari pertarungan politik dan simbolik. Syamsuddin Haris, Profesor Riset Ilmu Polititik LIPI, berpendapat bahwa perubahan yang cukup positif dalam sistem Pemilu 2009 adalah berkaitan dengan cara pemberian suara yaitu menandai dengan alat tulis.[8]

Perubahan-perubahan lainnya terkait tarik-menarik kepentingan partai besar, menengah, dan partai kecil yang relatif tidak memiliki dampak langsung bagi peningkatan kualitas representasi dan kualitas akuntabilitas wakil rakyat. Proses penyusunan UU Pemilu melibatkan tiga aktor besar yakni Pemerintah, DPR, dan Partai-Partai Politik dengan kecenderungan berpolitik dan kepentingan politik yang berbeda-beda. Namun, jika ditelusuri lebih jauh terdapat dua kelompok besar politisi di DPR.[9] Kelompok pertama yakni mereka yang mencoba mewarnai pembahasan dengan merujuk pada disiplin keilmuan untuk meluruskan sejumlah konsep yang dianut dalam RUU Pemilu. Kelompok kedua yaitu mereka yang lebih mengedepankan kepentingan praktis untuk tetap mempertahankan. Hal ini mengakibatkan terjadinya beberapa distorsi dalam sistem Pemilu. Beberapa hal di bawah ini termasuk dalam sejumlah distorsi yang mendasar dalam sistem Pemilu 2009.

1.        Aturan Peralihan tentang Parpol Peserta Pemilu dan Parliamentary Treshold.

Besaran daerah pemilihan dengan alokasi 3-10 kursi merupakan langkah maju karena akan berimplikasi pada berkurangnya jumlah partai yang memperoleh kursi di DPR, sehingga fragmentasi partai di DPR sedikit berkurang dan pemerintahan yang lebih efektif dapat diwujudkan. Namun, langkah maju tersebut dicederai oleh kesepakatan lain, yakni membolehkan semua partai yang memperoleh kursi DPR hasil Pemilu 2004, meskipun gagal mencapai electoral threshold  3 persen, untuk langsung ikut Pemilu 2009.[10] Partai-partai mementahkan kembali kesepakatan yang telah tercantum dalam UU No 12 Tahun 2003 demi transaksi atau pertukaran kepentingan di antara para politisi partai.[11]

Politik transaksional dapat dilihat pada pasal-pasal krusial seperti pasal 21 dan 22 tentang jumlah kursi dan daerah pemilihan.[12] Selanjutnya tentang Electoral Treshold  Pemilu 2004 yang kemudian dianulir yang muncul pada aturan peralihan pasal 315 dan 316. Kaukus delapan partai yang meninjau ulang pasal 310 (UU Pemilu 2009) dipicu oleh persoalan inkonsistensi konseptual dalam memaknai Electoral Treshold dan Parliamentary Treshold[13] serta adanya ketidakadilan pada pasal 315 dan 316 dalam ketentuan peralihan. Kaukus tersebut berpandangan bahwa Parpol yang memiliki kursi di DPR (meski itu hanya satu buah) langsung menjadi kontestan Pemilu 2009 dianggap tidak adil.

2.        Perhitungan sisa suara dan BPP

Berkaitan dengan penghitungan sisa suara, semestinya para politisi partai berpegang pada pengurangan distorsi yang ada pada UU No 12 Tahun 2003. Seperti diketahui, salah satu distorsi itu adalah terabaikannya prinsip proporsionalitas ketika perolehan suara diterjemahkan ke kursi legislatif sehingga terjadi kesenjangan besar antara perolehan suara dan perolehan kursi.[14] Ditariknya sisa suara ke provinsi cukup menyesatkan dan hal ini akan menciderai demokrasi karena jika sisa suara ditarik ke provinsi, pemilih tidak pernah mengetahui, suara yang diberikan, nantinya akan diberikan ke mana.[15]

Adanya dua model BPP DPR dapat diihat sebagai distorsi dalam sistem Pemilu.[16] Pada pasal 205 dan 206 yang mengatur teknis pembagian kursi tahap I, II, dan III. Pada tahap I, kursi dibagi ke partai politik. Bila terdapat sisa kursi, dilakukan penghitungan pada tahap II dengan sekurang-kurangnya memenuhi 50 persen dari bilangan pembagi pemilih (BPP). Selanjutnya, bila setelah penghitungan tahap II masih terdapat sisa, ditentukan BPP baru DPR yang merupakan akumulasi suara sisa partai kontestan pemilu dibagi sisa kursi di provinsi. Dampaknya, terdapat dua lapis penentuan BPP yang tentu akan menyebabkan nilai kursi yang tidak seimbang antara BPP awal dengan BPP baru. Dampak lain, penentuan kursi tahap III yang ditarik ke provinsi justru menafikan makna keterwakilan politik di suatu daerah pemilihan.

3.        Syarat-syarat pencalonan anggota DPD

Pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pada UU Pemilu ini cenderung mundur dibandingkan UU No 12 Tahun 2003.[17] Sebagai representasi daerah, setiap calon anggota DPD seharusnya bertempat tinggal di daerah pemilihannya, tetapi sekarang ini persyaratan domisili telah dihapus. Hakikat peserta pemilihan DPD yang semestinya bersifat perseorangan, namun melalui UU Pemilu para pengurus partai politik dibolehkan turut serta dalam pencalonan DPD.[18] Persyaratan domisili jelas sangat penting bagi para wakil daerah agar DPD tidak dikuasai oleh para elite politik Jakarta yang tiba-tiba memiliki komitmen untuk memberdayakan daerah. Selain itu, persyaratan domisili tetap diperlukan agar DPD kembali ke fungsinya asalnya ebagai representasi daerah-daerah yang lebih banyak bekerja di daerah ketimbang di Jakarta. Di sisi lain, pemberian kesempatan bagi pengurus partai politik untuk turut serta dalam pemilihan DPD bukan hanya bertentangan dengan amanat konstitusi, tetapi juga semakin mengaburkan esensi DPD sebagai wakil daerah secara perseorangan.

4. Penentuan Daerah Pemilihan oleh DPR

Langkah DPR mengubah dan menetapkan komposisi daerah pemilihan (dapil) untuk Pemilu 2009 dianggap langkah mundur.[19] DPR seharusnya tidak menetapkan sendiri perubahan dapil tersebut karena mereka berasal dari parpol itu adalah peserta pemilu. Dapil seharusnya disusun dan ditetapkan lembaga nonpartisan dan independen. Setiap negara demokrasi di luar negeri memiliki lembaga atau komisi independen untuk menyusun dan menetapkan dapil, yakni sejenis Boundary Commission.[20] Akibat proses di DPR yang tertutup dan sangat singkat, ia menemukan adanya kejanggalan dalam pemecahan Dapil Jabar 4 (Kota Bogor dan Kabupaten Bogor) yang sebelumnya memiliki 11 kursi. Berdasar keputusan DPR, Kabupaten Bogor ditetapkan sebagai dapil sendiri, yakni Dapil Jabar V dengan 9 kursi, sedangkan Kota Bogor digabung dengan Kabupaten Cianjur membentuk Dapil Jabar III. Persoalan muncul karena kabupaten atau kota yang tergabung di satu dapil seharusnya menyambung dan tetap menyatu. Hal ini mengindikasikan adanya kepentingan elite politik di Kota dan Kabupaten Bogor untuk tetap mengamankan posisinya pada Pemilu 2009.

5. Kejelasan Daftar Pemilih Tetap

Banyaknya persoalan DPT di berbagai daerah menjadi fakta adanya ketidakberesan dari penyelenggaraan pemilu. Khofifah Indar Parawansa menyebutkan bahwa pada zaman Orba, Undang-undang Dasar tidak mencantumkan asas jurdil (jujur dan adil) dalam Pemilu, hanya luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) saja.[21] Menurutnya, Orde Baru menyadari bahwa dirinya tidak akan bisa jurdil, sehingga hanya pakai asas luber. Sedangkan Orde Reformasi menggunakan luber dan jurdil, tetapi pada kenyataannya tak ada kejujuran dan keadilan. Sebagai contoh, pada kasus DPT, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bisa mengadili kasus tersebut, sehingga tidak ada satu pun institusi yang dapat menghapus suara yang dihasilkan dari DPT bermasalah. Logika yang dipakai seharusnya adalah jika  DPT-nya bermasalah, maka hasil Pemilu juga akan bermasalah.

Berdasarkan paparan di muka, dapat diketahui bahwa sebelum pemilu dilaksanakan, sistem pemilu diciptakan untuk memenuhi kepentingan politik. Parpol-parpol dan melegitimasi kekuasaan dari kelompok-kelompok politik yang berkuasa dalam Parlemen. Sistem Pemilu itu sendiri tidak lain adalah instrumen politik yang membentuk relasi-relasi kekuasaan dan bermuara para reproduksi legitimasi atas kekuasaan parpol daripada instrumen untuk menciptakan representasi politik. Dengan demikian, keabsahan kemenangan dalam Pemilu 2009 diukur dari sistem pemilu yang secara sistemik diciptakan untuk melegitimasi kekuasaan kelompok-kelompok atau parpol. Mengutip Khofifah, Pemilu 2009 dapat dianalogikan dengan pertandingan sepak bola di mana pemenang pertandingan adalah pihak yang bisa mencetak gol sebanyak-banyaknya, meskipun banyak mendapatkan kartu merah dan kartu kuning.

Selain melalui sistem politik, reproduksi sosial dapat dilihat pada strategi politik para calon presiden/wakil presiden pada Pemilu 2009 yang lebih menekankan pada politik pencitraan. Politik seperti ini berakar pada konsep public relation yakni fungsi manajemen yang dilakukan untuk meningkatkan dan mempertahankan citra positif serta kepercayaan publik (Grunig dan Hunt 1984, dalam Luhukay 2007).[22] Membangun citra yang baik dalam ranah politik adalah hal yang wajar, tetapi politik pencitraan tersebut harus dilakukan berdasarkan fakta empiris. Jika politik dilepaskan dari sebuah keberhasilan yang objektif, maka ia hanya menjadi instrumen untuk mempertahankan kekuasaan yang dipegangnya (Kristiadi 2007).[23]

Upaya membangun citra pemimpin yang ideal dapat dilakukan melalui berbagai media seperti berita, iklan, dan pembentukan opini melalui survei. Pengamat komunikasi, Efendi Ghazali mengatakan bahwa pencitraan melalui iklan telah dilakukan sedemikian rupa sehingga pasangan calon diposisikan seperti “barang konsumsi” yang dikemas dan ditawarkan dengan sangat bagus sehingga menarik perhatian, meskipun tidak ada substansinya. [24] Untuk itu, masyarakat pemilih seharusnya membongkar pencitraan tersebut sebelum menentukan pilihan politiknya dengan menelusuri track record para pasangan capres/cawapres tersebut.

Secara tidak langsung, polling atau pengumpulan pendapat untuk pasangan capres-cawapres dapat dilihat sebagai upaya pencitraan, di luar independensi lembaga survei yang melakukannya.[25] Secara logika, kapabilitas sebuah lembaga survei hanya bisa dinilai oleh komunitas akademik, tetapi masyarakat awam hanya bisa melihat dan menggunakan hasil survei tersebut. Pengakuan kemenangan dalam satu putaran pemilu presiden ini pun sebenarnya sebuah bentuk pencitraan. Hal ini hampir sama dengan pasangan lain yang mengaku kalau dia menjadi presiden maka ekonomi Indonesia akan bebas dari pengaruh asing atau tingkat pertumbuhan ekonomi nasional akan sebesar dua digit. Politik pencitraan membutuhkan sebuah pengakuan akan kehormatan, martabat, dan kecerdasan, yang melekat pada orang yang dicitrakan agar masyarakat mengakuinya dan memilihnya menjadi presiden dan wakil presiden.

Politik pencitraan dalam pemilihan presiden pada tahun 2009 yang paling nampak dan mudah dipahami oleh masyarakat dapat dilihat pada tempat deklarasi dan model pakaian yang digunakan. Pendeklarasian pencalonal bukan hanya sekedar sebuah peristiwa politik tetapi juga penyampaian pesan pasangan calon kepada masyarakat luas. Deklarasi adalah ritual politik. Politik yang memanfaatkan simbol-simbol untuk mencitrakan kedigdayaan kepemimpinan mereka karena mereka menyadari bahwa persaingan politik tidak hanya sekedar perebutan massa tetapi perebutan ruang publik tempat segala simbol berperan secara signiifkan (Sunardi 2009). Adapun makna simbol-simbol deklarasi dapat dijelaskan seperti berikut.

Pendeklarasian pencalonan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto di Bantar Gebang bukanlah pesta politik biasa, tetapi menjadi peristiwa yang dramatis dan puitis di mana pesan pasangan tersebut sudah tersampaikan tanpa dikatakan bahwa mereka menjadikan rakyat kecil sebagai basis konstituennya. Sedangkan pendeklarasian pasangan SBY-Boediono di Hotel Sheraton Bandung yang didesain seperti pencalonan Presiden Barack Obama menyampaikan pesan ideologi dan warna Amerika di dalamnya. Sementara, pendeklarasian Jusuf Kalla-Wiranto tidak banyak mengungkapkan warna ideologinya dan pemilihan Tugu Proklamasi tidak terlalu memilik daya kejut seperti arena deklarasi pasangan calon lainnya. Jika para capres dan cawapres tidak segera membuktikan simbol-simbol dan pernyataan mereka menjadi tindakan politis, maka masyarakat akan menanggapi dengan dua cara seperti berikut (Sunardi 2009). Pertama, menganggap hiburan politik itu telah selesai dan melupakannya. Kedua, jika politikus tak mampu mewujudkan segala pencitraan itu menjadi kenyataan, masyarakat akan mengabaikan apapun yang mereka kerjakan.

Cara lain untuk politik pencitraan adalah melalui pakaian yang digunakan oleh calon presiden/wakil presiden yang masing-masing memiliki ciri kas dan nilai tersendiri di dalamnya, walaupun maknanya belum tentu dapat ditangkap oleh orang awam.[26] Pakaian tidak hanya sekedar sebagai alat untuk menutupi tubuh tetapi juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan karakter, status, posisi, kelas, bahkan ideologi seseorang yang mengenakannya. Adapun perbedaan model pakaian dan pesan yang disampaikan oleh tiga pasangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Nursahid 2009). Cara berbusana capres Susilo Bambang Yudhoyono misalnya terlihat keinginan untuk mencitrakan diri sebagai seorang priyayi, birokrat, pemimpin yang berwibawa dan elegan, karena itu ia cenderung menggunakan busana-busana yang lebih formal. Sedangkan Jusuf Kalla (JK) memilih berpakaian lebih sederhana dengan menggunakan kemeja batik dan peci seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya.  Istri-istri pasangan ini menggunakan jilbab menyampaikan pesan bahwa pasangan ini bersifat religius. Sementara, pakaian Prabowo yang sering menggunakan safari mirip dengan pakaian yang digunakan Pemimpin Korea Utara mendiang Kim Jong il, mencitrakan sebagai seorang sosialis yang dekat dengan rakyat.

Politik pencitraan melalui diskursus di media juga tidak kalah penting dalam pemilihan presiden 2009 ini. Namun, politik pencitraan jenis ini juga diarahkan untuk membuat citra negatif pasangan calon presiden/wakil presiden yang lain atau dikenal dengan kampanye negatif. Sebagai akibatnya, kelemahan semua pasangan dikonstruksi oleh media dan menjadi sumber perdebatan di antara tim-tim sukses mereka. Tabel di bawah ini menunjukkan isu-isu kampanye negatif yang ditujukan terhadap masing-masing pasangan calon presiden/wakil presiden.

Isu-Isu Kampanye Negatif terhadap Semua Calon Presiden/Wakil Presiden
pada Pemilu 2009

Mega-Prabowo
SBY-Biediono
JK-Wiranto
Menjual aset negara (Megawati)
Penganut konsep neo-liberalisme (Boediono)
Bisnis keluarga pejabat (JK)
Berlimpah harta, tetapi mengusung ekonomi kerakyatan (Prabowo)
Isu Jawa dan luar Jawa (SBY-Boediono)
Pelanggaran HAM pada masa lalu (Wiranto)
Kewarganegaraan ganda (Prabowo)
Tebang pilih kasus korupsi (SBY)
Pengusaha akan KKN jika berkuasa (JK)
Pelanggaran HAM pada masa lalu (Prabowo)
Peragu dan sulit mengambil keputusan (SBY)
Bahaya kapitalis rambut hitam (JK)

Utang luar negeri terus menerus (SBY)
Harus tepat tidak boleh ngawur tapi rugi.

Istri-istri tidak berjilbab (SBY-Boedono)


Mejiplak jingle mie instan untuk kampanye 9SBY)


Arogansi Pilpres satu putaran (SBY-Boediono)

Sumber: Kompas 22 Juni 2009, hal 1. “Semua Diterpa Kampanye Negatif.”

Di antara isu-isu kampanye negatif di atas, yang menjadi perdebatan adalah tuduhan terhadap Cawapres SBY, Boediono, sebagai penganut ideologi neo-liberal, walaupun dalam deklarasi pencalonan SBY-Boediono sudah dikatakan secara eksplisit bahwa Boediono berkomitmen terhadap peran negara yang lebih besar dalam ranah ekonomi. Dalam diskusi dengan mahasiswa di Balai Kartini pada 20 Mei 2009, Wapres Jusuf Kalla mengingatkan bahaya yang terjadi bila calon terpilih nanti adalah yang cenderung neoliberal seperti berikut: "Kalau A cenderung neoliberalisme misalnya, dan dia terpilih, maka pasar yang mengendalikan. Wall Street yang mengendalikan."[27] Tuduhan ini ditanggapi oleh SBY dalam dialog dengan KADIN pada 20 Mei 2009 dengan mengatakan: “Kita tidak menganut paham neoliberal. Orang-orang banyak bicara tentang neoliberal tetapi mereka tidak paham apa itu neoliberalisme.”[28] Menurut Yudhoyono, pemerintahannya tidak pernah menganut paham neoliberalisme yang menyerahkan semua kebijakan ekonomi pada aturan pasar bebas.

Meskipun dibantah, kalangan ekonom tetap melihat Boediono adalah penganut paham neoliberal karena Boediono pernah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi mencerminkan apa yang dicetuskan dalam Washington Consensus. Ekonom Hendri Saparini dari Econit mengatakan, ada beberapa hal yang  menguatkan tudingan tersebut: disiplin anggaran dan pemangkasan anggaran untuk subsidi, berkurangnya peran pemerintah dalam pengendalian anggaran pendidikan, kebijakan liberalisasi seperti UU Migas, UU Penanaman modal, dan UU Badan Hukum Pendidikan serta penekanan inflasi dan ukuran stabilitas makro ekonomi.[29] Hal yang senada disampaikan oleh mantan Menteri Koordinator Perekonomian era Gus Dur, Rizal Ramli, yang mengatakan bahwa indikator neoliberalisme pemerintahan SBY berdasarkan tiga fakta, yaitu: bantuan langsung tunai (BLT), sektor perdagangan, dan UU Bank Indonesia.[30]

Hampir semua pasangan calon presiden/wakil presiden menghindar dari tuduhan “agen Neoliberalisme” dan selalu menawarkan jalan ekonomi kerakyatan sebagai pilihan yang akan diterapkan jika dia mereka berhasil menjadi presiden walaupun tanpa konsep yang jelas mengenai ekonomi kerakyatan. Menanggapi hal ini, pengamat ekonomi UGM, Revrinsond Baswir, mengatakan bahwa ketiga calon presiden dalam Pemilu Presiden 2009, tidak ada satu pun yang merupakan pembela sejati ekonomi kerakyatan.[31] Selama menjabat atau pernah menjabat, baik Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, maupun M Jusuf Kalla mempraktikkan ekonomi neoliberal. Misalnya, pada era Megawati terjadi privatisasi badan usaha milik negara (BUMN). Padahal, dalam ekonomi kerakyatan, BUMN harus dijaga dalam penguasaan negara. SBY dan Kalla juga pernah menaikkan harga bahan bakar minyak beberapa kali dan mengurangi subsidi, hal ini menjadi salah satu ciri ekonomi neo-liberal. Demikian juga, Boediono, calon wakil presiden pendamping Yudhoyono, mendukung privatisasi BUMN saat menjabat sebagai menteri keuangan.

Bertolak dari strategi pencitraan negatif itu, dapat dimengerti bahwa yang aspek fundamental dalam politik pencitraan pada dasarnya tidak terletak pada perdebatan tentang substansi persoalan, namun lebih pada penciptaan opini melalui media untuk menciptakan legitimasi bahwa pasangan calon presiden/wakil presiden tersebut layak atau dianggap absah untuk dipilih dalam pemilihan presiden/wakil presiden. Hal ini berkesesuaian dengan pandangan Bourdieu (1991) bahwa Kekuatan sebuah ide yang dimajukan oleh agen politik profesional tidak diukur dengan nilai kebenaran seperti dalam domain ilmu pengetahuan tetapi oleh kekuasaan melakukan mobilisasi atau kekuasaan kelompok-kelompok yang mengakui mereka (Bourdieu 1991).[32] Oleh karena itu, ranah politik merupakan situs perebutan kekuasaan untuk memperoleh kontrol terhadap agen politik non profesional atau lebih tepat sebagai kekuasaan untuk memperoleh monopoli hak-hak berbicara dan bertindak atas nama sebagian atau seluruh agen politik non-profesional.

Dalam politik, berbicara ialah melakukan tindakan yaitu: membuat orang-orang percaya bahwa apa yang kita kerjakan adalah apa yang kita katakan, atau untuk membuat orang-orang mengetahui dan mengakui prinsip-prinsip pembagian dunia sosial. Ketika tim sukses melakukan pencitraan negatif terhadap pasangan calon lain melalui suatu diskursus seperti neo-liberalisme, maka mereka sedang melakukan tindakan politik meyakinkan orang-orang untuk mengakui  prinsip-prinsip pembagian dunia sosial bahwa pasangannya adalah penganut ekonomi kerakyatan dan absah untuk dipilih sebagai presiden/wakil presiden.

Bonnewitz (1989), sebagaimana dikutip Rusdiyarti (2003: 37), mengatakan bahwa berbeda dengan Weber yang meletakkan legitimasi pada seorang pemimpin, Bourdieu melihat legitimasi sebagai proses sosial. Setiap relasi dominasi antar pelaku sosial selalu membutuhkan legitimasi. Kekuasaan untuk memberikan legitimasi bagi setiap bentuk dominasi tidak lain adalah kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang mendesakkan penerimaan hukum-hukum dan memaksakannya sebagai sesuatu yang absah dengan menyembunyikan hubungan-hubungan kekuasaan. Hal tersebut dikatakan Bourdieu dan Passeron (1970), sebagaimana dikutip Wacquant (1987: 66) sebagai berikut:

“Any power of symbolic violence, i.e., any power that succeeds in imposing meanings and in imposing them as legitimate in disguising the relations of power which are at the root of its force, adds its own force, that is a specifically symbolic force, to those relations of power.”

Dengan demikian, pertarungan simbolik ialah pertarungan dalam wilayah makna yang menjadi arena bagi pelaku sosial untuk melegitimasi dominasinya atas pelaku sosial yang lain dengan mengkonstruksi pandangan dunia sosial yang dianggap absah. Kekuasaan untuk memproduksi pandangan yang paling legitimate adalah kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang dapat dikenali dari tujuannya untuk mendapatkan pengakuan atau kekuasaan yang tidak dapat dikenali bentuk aslinya yaitu kesewenang-wenangan dan kekerasan (Bourdieu 1991: 23). Pertanyaannya kemudian apakah sifat dasar dari realitas politik. Pada
kenyataannya, media massa lebih menonjolkan kemampuannya sebagai arena untuk menggulirkan kekuatan simulasi, yaitu lenyapnya batas-batas antara realitas yang bersifat faktual dengan kenyataan yang berwatak fiksional (Lukmantoro, 2004).[33]

Apa yang dilihat sebagai realitas politik termasuk pertarungan politik kekuasaan sesungguhnya adalah realitas yang dikonstruksi oleh media massa sehingga batas antara fakta politik dan fiksi politik menjadi semakin kabur. Citra politik mampu menampilkan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan realitas karena sengaja dihadirkan tanpa memiliki referensi sama sekali terhadap realitas (Lukmantoro, 2004).

Ranah dan pertarungan politik sebagai arena untuk mendapatkan mandat representasi rakyat diubah menjadi panggung sandiwara oleh media. Kerakyatan yang konon menjadi masing-masing pasangan calon presiden/wakil presiden tidak lain adalah massa yang secara intensif mengalami histeria dalam mengonsumsi berbagai sirkus politik yang disodorkan media massa (Lukmantoro, 2004). Dengan demikian, rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam teori-teori negara direduksi menjadi entitas sosiologis yang terpesona oleh pertunjukan yang dibungkus secara rapi melalui politik pencitraan.[34] Pada konteks ini, Bourdieu (1991) berpandangan bahwa pertarungan dalam ranah politik termasuk sistem demokrasi liberal tidak lain adalah sarana pelegitimasian dari relasi-relasi dominasi yang ada dalam struktur sosial.

Kritik terhadap sistem politik demokrasi liberal juga disampaikan oleh Gould (1993). Menurutnya, pandangan bahwa pandangan individualisme liberal yang diwakili pemikiran John Locke, Jefferson, Bentham, dan JS Mill menganggap bahwa demokrasi ialah suatu bentuk pemerintah di mana rakyat yang diperintah memerintah dirinya sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara bebas. Ontologi yang diletakkan teori demokrasi adalah individualisme abstrak yakni individu sebagai dasar entitas yang menyusun masyarakat, individu bersifat sederajat dan memiliki ego yang independen. Gould mengkritik tiga hal asumsi mendasar ontologis sebagai berikut.

Pertama, ontologi ini tidak memperhatikan perbedaan sosial yang nyata antar individu tanpa referensi apapun yang dapat menjelaskan tindakan-tindakan untuk memahami lembaga sosial mereka. Fakta bahwa beberapa orang memiliki kekuasaan ekonomi yang lebih besar dan sebagian lain dapat mendominasi proses politik tidak dapat dijelaskan tanpa merujuk pada perbedaan kongkrit dalam kesejahteraan dan status sosial yang menentukan situasi mereka. Asumsi kedua tidak memperhitungkan fakta bahwa Individu memiliki tujuan-tujuan yang sama dan tidak terpisah satu sama lain. Model demokrasi ini tidak memperhitungkan ketimpangan dan hambatan ekonomi dan sosial bagi persoalan politik, bentuk demokrasi perwakilan sering membiarkan dirinya diperintah oleh minoritas yang berkuasa.

Pada sisi lain, Robert Michels (1996) menjelaskan bahwa dalam kepartaian modern, aristokrasi menampilkan dirinya dalam selubung demokrasi, sementara substansi demokrasi disusupi elemen-elemen aristokrasi sehingga ada aristorasi dalam bentuk demokrasi dan ada demokrasi dengan kandungan aristokrasi. Menurutnya, partai politik merupakan suatu entitas dan mekanisme yang tidak bisa diidentifikasi dengan totalitas anggotanya atau dengan kelas yang mewakili partai karena kepentingan massa yang membentuknya tidak selalu selaras dengan kepentingan birokrasi partai. Dengan demikian, Pemerintah atau negara, tidak lain adalah organisasi milik sekelompok kecil orang yang memaksakan suatu tatanan legal kepada seluruh masyarakat sebagai hasil dominasi dan eksploitasi terhadap massa (Michels, 1996).

Penutup

Deskripsi di atas menunjukkan bahwa Pemilu 2009, jika ditelusuri lebih jauh secara teoritik sudah berfungsi menjadi metode demokratis atau prosedur dalam sistem politik demokratis. Namun, pada sisi lain, pemilu tersebut belum mampu menjadikan dirinya sebagai sarana untuk memperebutkan mandat dan representasi rakyat. Pada realitasnya, pertarungan politik oleh agen-agen politik profesional dalam ranah politik Pemilu 2009 tidak hanya memperebutkan kekuasaan politik, tetapi juga kekuasaan simbolik, yakni perebutan makna-makna dengan menggunakan simbol-simbol di ruang publik. Dengan kata lain, pemilu tidak lain mereproduksi sekaligus memberikan legitimasi terhadap relasi dominasi dalam struktur sosial.

Menjadikan pemilu sebagai representasi kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya krisis legitimasi di mana pihak-pihak yang tersubordinat dalam struktur sosial mempertanyakan relasi dominasi yang ada. Legitimasi menurut Bourdieu (1977) ialah kesetiaan pelaku sosial yang dinyatakan melalui penerimaan doxa sebagai bentuk pengakuan terhadap keabsahan dunia sosial. Legitimasi ini dibentuk melalui penerimaan secara tidak sadar (misrecognition) akan kesewenang-wenangan karena pelaku sosial tidak mempertanyakan keabsahan dunia sosial tersebut. Krisis ialah kondisi yang diperlukan untuk mempertanyakan doxa. Kelompok masyarakat yang tersubordinat memiliki kepentingan untuk menghilangkan doxa dan menghapus keabsahan dari kesewenang-wenangan, sedangkan kelompok dominan memiliki kepentingan mempertahankan doxa. Krisis akan terjadi ketika kelompok subordinat memiliki alat-alat simbolik dan material untuk menolak apa yang didefinisikan sebagai kenyataan oleh struktur sosial (Bourdieu 1977). (*)
Daftar Pustaka:
Beardsworth, Richard. 1998. Derrida and the Political. London dan New York: Routledge.
Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of A Theory of Practice, translated by Richard Nice. Cambridge: Cambridge University Press.
Bourdieu, Pierre dan Loic J. D. Wacquant. 1992. An Invitation to Reflexive Sociology. Chicago: University of Chichago Press.
Bourdieu, Pierre. 1991. Language and Symbolic Power. Cetakan kelima, diedit oleh John B. Thompson dan diterjemahkan oleh Gino Raymond dan Matthew Adamson. Cambridge: Harvard University Press.
Cohen, Denis C. 1993. “Keadaan Politik Kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Jakarta,” dalam Parsudi Suparlan dkk Kemiskinna di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Dahl, Robert A. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, alih bahasa A. Rahman Zainudin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Dahl, Robeert A. 2001. Perihal Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Dowding Keith, Robert E.Godin, dan Carole Pateman. 2004. Justice and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press.
Gaffar, Janedri M. 2006. “Demokrasi dan Nomokrasi”, Harian Seputar Indonesia, 19, Desember 2006.
Gould. Carol C.1993. Demokrasi Ditinjau Kembali. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Habermas, Juergen. 1992. Between Facts and Norms: Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy, Cambridge: MIT Press.
Haris, Syamsudin, 1997. “Perbandingan Pemilu Orde Baru 1971-1992: Beberapa Catatan Kritis dan Proyeksi”, dalam J Kristiadi dkk. Menyelenggarakan Pemilu ang Bersifat Luber dan Jurdil. Jakarta: CSIS.
Haris, Syamsudin dkk, 1997. Pemilhan Umum di Indonesia: Telaah atas Struktur, Proses, dan Fungsi.
Hardiman, Fransisco, Budi. 2005. “Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip dan Praktek.” Makalah dipresentasikan pada Forum Rapat Kerja ke-3 dan Koordinasi Pelaksanaan Deliberative Forum Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam Proses Otonomi Daerah di Wisma LPP, Yogyakarta, 24 Agustus 2005.
Hidayat, Syahrul. 2000. Memastikan Arah Baru Demokrasi, Seri Penerbitan Studi Politik. Jakarta: Laboratorium FISIP UI dan Pustaka Mizan.
Hungtinton, Samuel P. 1995. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Grafiti.
Iver, Mac. 1984. Negara Modern, alih bahasa Drs Moertono. Jakarta: Penerbit Aksara Baru.
Lane, Jan Erik dan Svente Ersson. 2003. Democracy: A Comparative Aproach. London dan New York; Routledge.
Luhukay, Marsefio S. 2007. „Presiden SBY dan Politik Pencitraan: Analisis Teks Pidato Presiden SBY dengan Pendekatan Retorika Aristoteles Di situs http://www.presidensby.info/index.php/pidato/)”, Jurnal Ilmiah SCRIPTURA ISSN 1978-385X Vol. 1 No.2 Juli 2007
Machmud, Amir. 1996. Pembangunan Politik Dalam Negeri Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Michels, Robert. 1996. “Hukum Besi Oligarki.” dalam Ichlasul Amal dkk, Teori-Teori Muthakir Partai Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Macridis, C. 1996. “Sejarah, Fungsi, dan Tipologi Partai-partai.” Dalam Ichlasul Amal dkk, Teori-Teori Muthakir Partai Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Rusdiarti, Suma Riella. 2003. “Bahasa, Pertarungan Simbolik, dan Kekuasaan,” dalam Majalah Basis, Edisi Khusus Pierre Bourdie, No 11-12, Tahun ke-52, November-Desember 2003.
Media:
Kompas 22 Juni 2009, hal 1. “Semua Diterpa Kampanye Negatif”

www.jawapost.com Ancaman JR terhadap UU Pemilu, 21 Maret 2008. 

www.csis.or.id/scholars_opinion_view, J Kristiadi, Kompas, January 3, 2007
Harap-cemas presiden bertindak tegas

www.matanews.com, Pencitraan Capres Bisa Mengecoh, 1 Juni 2009.

www.wikimu.com, Pencitraan, Suatu Keniscayaan Kampanye Politik Capres-Cawapres, 18 Juni 2009.
www.wikimu.com, Busana dan Pencitraan Capres, 22 Mei 2009. 
www.tempointeraktif.com, Pemilu Presiden 2009, Kalla: Jangan Sampai yang Neoliberal Terpilih Jika yang neoliberal terpilih, bisa-bisa Indonesia dikendalikan Wall Street. Rabu, 20 Mei 2009.
http://iwandahnial.wordpress.com, 8 Mei 2009,  Rizal Ramli: Kalau Ada yang Enggak Ngaku Neoliberal, Kasihan.
www.kompas.com  Revrisond Baswir: Ketiga Pasangan Penganut Ekonomi Neoliberal.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0501/24/opi01.html. Gebrakan 100 Hari ala Politik Simulasi Oleh Triyono Lukmantoro





[1] Pernah disampaikan pada Seminar Internasional “Pemilu 2009” oleh Yayasan Percik Salatiga pada 28-30 Juli 2009.
[2] Peneliti pada Pusat Penelitian Sumberdaya Regional LIPI sekarang sedang menempuh program doctoral (S3) pada Cultural Anthropology and Development Studies, Radboud University Nijmegen Belanda dengan scholarship dari NOW (Dutch Organization for Scientific Research).
[3] Secara normatif, demokrasi sebagai sebuah tata nilai kenegaraan dimaksudkan untuk menjamin kedaulatan rakyat. Janedri M. Gaffar (2006), menjelaskan bahwa masalah mendasar yang menentukan bangunan sebuah negara adalah konsep kedaulatan yang dianut. Kedaulatan merupakan konsepsi yang berkaitan dengan kekuasaan tertinggi dalam organisasi negara dan yang dapat saja dibagi dan dibatasi.
[4] Dari sudut pandang marxis-leninis, demokrasi terbagi menjadi dua tipologi: demokrasi sosialistik dan demokrasi borjuis. Karena dalam demokrasi sosialistik alat-alat produksi merupakan milik bersama, maka interes pribadi kemudian sama dengan interes negara. Demokrasi borjuis didasarkan pada kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi di mana demokrasi model ini menyelubungi karakter kelas masyarakat kapitalis. Totaliterisme dalam hal ini merupakan kebalikan dari sistim demokratis. Sistim totaliter klasik (Nazi-Hitler dan Sovyet-Stalin) terutama ditandai, yakni, oleh satu kenyataan bahwa hanya ada satu partai saja, yang, legitimasinya tidak melalui pemilu. Partai menganggap sebagai tugas utama untuk membentuk atau mempengaruhi keyakinan rakyat melalui ideologi di mana ideologi partai mengklaim adanya satu kebenaran di dunia.                                                                                                                  
[5] Kata “deliberasi” berasal dari Bahasa Latin deliberatio yang artinya konsultasi atau musyawarah (Habermas 1992).
[6] Habermas (1989), menawarkan model demokrasi yang memungkinkan rakyat terlibat dalam proses pembuatan hukum dan kebijakan-kebijakan politik. Demokrasi ini menjamin masyarakat sipil terlibat penuh dalam pembuatan hukum melalui diskursus-diskursus. Namun demikian, demokrasi ini bukan seperti dalam republik moral Rousseau di mana rakyat langsung menjadi legislator karena yang menentukan dalam demokrasi deliberatif adalah prosedur pembentukan hukum di mana hukum yang akan dibentuk dipengaruhi oleh diskursus-diskursus yang dinamis dalam masyarakat.
[7] Kekuasaan komunikatif masyarakat sipil dimiliki oleh media, pers, LSM, organisasi massa dan lembaga-lembaga lain yang berpartisipasi dalam ranah politik melalui penciptaan diskursus, sehingga negara dan perangkat kekuasaannya terpaksa responsif terhadap diskursus-diskursus masyarakat sipil tersebut yang diekspresikan dalam ruang publik.
[8] http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.03
[10] Syamsudin Harris, http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.03
[11] Direktur Eksekutif Indo barometer, Mohammad Qodari menilai terkait aturan peralihan yang membolehkan semua partai yang duduk di DPR ikut pemilu 2009, hal ini merupakan langkah mundur di mana ada ketidakkonsistenan dalam UU pemilu ini dalam upaya penyederhanaan partai peserta pemilu.
[13] Nurhasim menjelaskan bahwa PT yang diperkenalkan pada UU No 12/2003 pada prinsipnya adalah kurang tepat karena PT merupakan upaya membatasi partai yang berhak mendudukkan wakilnya di parlemen. Bila partai tidak memenuhi PT, mereka hanya tidak boleh mendudukkan wakilnya di parlemen, tapi tetap bisa mengikuti pemilu berikutnya. Logika PT adalah untuk membatasi partai yang bisa mendudukkan wakilnya di parlemen, hanya partai yang memiliki dukungan konstituen yang bisa terlibat dalam pemerintahan. PT yang seharusnya hanya menjadi instrumen untuk membatasi partai yang bisa mendudukkan wakilnya di parlemen sekaligus berfungsi ganda sebagai pelarangan partai tersebut untuk ikut sebagai kontestan pemilu berikutnya (www.jawapost.com).
[14] Syamsudin Harris, http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.03
[15] http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.03
[17] Syamsudin Haris, http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.03
[18] Pasal 22E Ayat 4 UUD 1945 hasil perubahan ketiga berbunyi sebagai, ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.”

[19] Direktur Cetro, Hadar Navis Gumay, http://www.indopos.co.id
[20] Dalam konteks Indonesia, sudah ada penyelenggara pemilu yang independen, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU). Keputusan DPR untuk menetapkan dapil itu tidak umum dan merusak pelembagaan demokrasi. Pembuatan dapil seharusnya dilakukan secara terbuka dan partisipatif. KPU periode 2002-2007 telah mempraktikkanya ketika menyiapkan dapil untuk Pemilu 2004. Mereka menerima masukan dari masyarakat luas dan melakukan uji publik sebelum ditetapkan (http://www.indopos.co.id).
[22] Presiden SBY dan Politik Pencitraan: Analisis Teks Pidato Presiden SBY dengan Pendekatan Retorika Aristoteles Di situs http://www.presidensby.info/index.php/pidato/), Jurnal Ilmiah SCRIPTURA ISSN 1978-385X Vol. 1 No.2 Juli 2007
[23] www.csis.or.id/scholars_opinion_view, J Kristiadi, Kompas, January 3, 2007
Harap-cemas presiden bertindak tegas

[24] Pencitraan Capres Bisa Mengecoh, 1 Juni 2009, www.matanews.com

[25] Pencitraan, Suatu Keniscayaan Kampanye Politik Capres-Cawapres, Anwariyansah, 18 Juni 2009, www.wikimu.com

 

[26] Busana dan Pencitraan Capres, 22 Mei 2009, www.Matanews.com 

 

[27] www.tempointeraktif.com, Pemilu Presiden 2009, Kalla: Jangan Sampai yang Neoliberal Terpilih
Jika yang neoliberal terpilih, bisa-bisa Indonesia dikendalikan Wall Street. Rabu, 20 Mei 2009.
[30] http://iwandahnial.wordpress.com, 8 Mei 2009,  Rizal Ramli: Kalau Ada yang Enggak Ngaku Neoliberal, Kasihan.
[31] www.kompas.com Revrisond Baswir : Ketiga Pasangan Penganut Ekonomi Neoliberal.
[32] Pidato politik mewajibkan penuturnya karena membangun komitmen untuk bertindak yang benar-benar politis jika diucapkan oleh agen atau kelompok agen yang bertanggung jawab secara politik dan memiliki kapabilitas (Bourdieu, 1991). Kebenaran sebuah janji politik tidak hanya bergantung kepada nilai-nilai kebenaran itu sendiri tetapi oleh otoritas orang yang mengucapkannya, yang tidak lain adalah kapasitas untuk membuat orang-orang percaya dalam kebenaran yang disampaikannya sekaligus percaya akan kekuasannya. Wicara dari juru bicara politik merupakan bagian dari kekuatan ilokusioner terhadap anggota-anggota kelompoknya melalui tindakan simbolisasi dan representasi.

[33]Artikel di harian sore Sinar Harapan berjudul: “Gebrakan 100 Hari ala Politik Simulasi.” Oleh: Triyono Lukmantoro, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0501/24/opi01.html.
[34]Politik pencitraan telah sedikit banyak merubah cara pandang masyarakat pemilih dalam menentukan pilihannya. Denis J. Cohen (1993), mencatat bahwa pada masa Orde Baru, di kampung-kampung atau pemukiman yang mayoritas penghuninya adalah orang-orang berpenghasilan rendah, orang lebih cenderung menerima instruksi daripada berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Orang-orang ini menerima dan mengikuti mereka yang memiliki wewenang dan status yang lebih tinggi tanpa kritik karena: (1) perasaan tidak berdaya, (2) pandangan bahwa hidup tergantung kepada nasib, (3) perasaan bahwa keputusan pemerintah hanya ditujukan kepada mereka yang kaya dan terpelajar. Namun perlu dicatat bahwa penelitian Syahrul Hidayat (2000) menunjukkan bahwa kaum miskin perkotaan dalam Pemilu 1999 memiliki pandangan politik tersendiri yang resisten terhadap mobilisasi politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar