Kamis, 16 Januari 2014

Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia Dalam Prespektif Korban

Oleh: 
Slamet Tri Wahyudi, S.H., M.H
Santri Pesantren Ciganjur,
Alumnus Pascasarjana Hukum Pidana UNPAD Bandung


Abstract

In principle, all forms of human rights violations can not be tolerated, it is because human rights are natural rights which are essentially a gift of God Almighty, not least when the victim is a prisoner dies, it remains to be guaranteed and protected rights of sustainability human rights as stated in Article 28 of the 1945 Constitution the letter A that "every person has the right to live and to defend life and living". This research is a normative legal normative juridical approach. The data collected is secondary data were analyzed using qualitative methods juridical analysis. Based on these results it can be concluded that the policy of the Government to defer the execution of the death penalty violated the norms of human rights, so that the legal implications of the Government's policy is to make death row inmates as "victims". In addition, the Government policy is a violation of human rights, as stipulated in Article 28 UUD 1945.

Abstrak

Pada prinsipnya segala bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia tidak bisa ditolerir. Hal ini dikarenakan hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang secara hakikat merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Tidak terkecuali apabila korbannya hanyalah seorang terpidana mati, maka tetap harus dijamin dan dilindungi keberlangsungan hak asasi manusianya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28 huruf a UUD 1945 bahwa: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan yuridis  normatif. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang dianalisis dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan pemerintah dalam melakukan penundaan eksekusi pidana mati telah melanggar norma-norma hak asasi manusia, sehingga implikasi yuridis dari kebijakan pemerintah tersebut menjadikan terpidana mati sebagai “korban”. Selain itu, kebijakan pemerintah tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945.

Pendahuluan

Demokrasi yang berintikan kebebasan dan persamaan sering dikaitkan dengan berbagai unsur dan mekanisme. Demikian pula paham negara berdasarkan atas hukum. Salah satu ciri unsur itu adalah jaminan perlindungan dan penghormatan atas HAM. Jaminan perlindungan dan penghormatan HAM tidak mungkin tumbuh dan secara wajar apabila tidak ada demokrasi dan tidak terlaksananya prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum. Dari pendekatan ini dapat ditarik suatu dasar bahwa demokrasi dan pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum merupakan instrumen bahkan prasyarat bagi jaminan perlindungan dan penegakan HAM. Oleh karena itu, hubungan antara HAM, demokrasi, dan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum harus dilihat dalam hubungan keseimbangan “simbiosis mutualistik”.[1]

Pada dasarnya hak asasi manusia dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan, justru berpikir secara hukum berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud. Dengan demikian, pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati, dan dijunjung tinggi.[2]

Dalam konteks penegakan hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia mengharuskan suatu negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu, pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat[3]. Selanjutnya merujuk pada kesimpulan dari seminar kriminologi ke-3 1976 di Semarang antara lain, hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defense yaitu untuk perlindungan masyarakat.[4]

Pada hakikatnya pemidanaan bukanlah sekedar untuk menyengsarakan seseorang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran, akan tetapi hakikat sebenarnya adalah guna melindungi hak asasi dari orang diperlakukan jahat, dan di sinilah negara hadir untuk menegakkan ketertiban dalam masyarakat. Adapun landasan dasarnya bersumber pada “ius puniendi” bahwa negara berhak untuk menghukum melalui “ius poenale” (hukum pidana); mewakili korban untuk menyelesaikan akibat kejahatan. Oleh karena itu, negara wajib untuk memberikan rasa aman dan menjaga ketertiban hubungan antar warga masyarakatnya (social contract doctrine).

Negara dalam upaya mewujudkan perlindungan kepentingan hukum masyarakat perlu menetapkan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam daripada sanksi yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Terutama dalam bidang penegakan hukum sangatlah diperlukan mengingat hukum pidana yang dipandang mampu memberikan efek jera terhadap pelanggarnya.[5]

Selanjutnya Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa perumusan tujuan  pemidanaan dimaksudkan sebagai ”fungsi pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas, dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.[6] Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur, serta mencegah terjadinya tindak kejahatan.[7]

Di samping teori-teori tersebut yang menjelaskan tentang tujuan pemidanaan, dapat pula kita temukan tujuan pemidanaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54 ayat (1) RUU KUHP (tahun 2006):

  1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dan pengayoman masyarakat;
  2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
  3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
  4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Sedangkan pada ayat (2) disebutkan juga bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Dalam prinsip hukum pidana, bahwa ancaman berupa sanksi pidana itu hendaknya dipandang sebagai “ultimum remidium” atau sebagai suatu upaya yang harus dipergunakan sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki kelakuan manusia dan wajarlah apabila orang menghendaki agar hukum pidana itu dalam penerapannya haruslah disertai pembatasan-pembatasan yang seketat mungkin.[8] Hal ini dikarenakan sanksi hukum pidana mempunyai pengaruh preventif (pencegahan) terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma hukum. Karena itu, harus diingat bahwa sebagai alat “social control” fungsi hukum pidana adalah sebagai langkah akhir, artinya hukum pidana diterapkan bila usaha-usaha lain kurang memadai.[9]

Dalam perkembangannya, pidana mati (capital punishment) masih tetap dipertahankan, namun diatur dalam pasal tersendiri, yakni sebagai pidana yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pidana mati dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.[10] Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 89 RUU KUHAP bahwa pemberlakuan pidana mati merupakan pidana tersendiri, khusus dan bersifat alternatif artinya pemberlakuan tentang ketentuan pidana mati mempunyai batasan-batasan tertentu. Adapun pembatasan-pembatasan dalam pengaturan pidana mati yang dimaksudkan Pasal 89 RUU KUHAP adalah sebagai berikut:

1.      Ketentuan Pasal-Pasal yang mengatur tentang pidana mati hanya mengenai delik-delik tertentu saja atau dengan kata lain deliknya bersifat khusus artinya terbatas pada delik-delik tertentu saja contoh: korupsi, narkoba, teroris, dan lain-lain;
2.      Keberlakuan pengaturan pidana mati haruslah sebagai aturan alternatif, artinya bahwa pidana mati bukanlah sebagai pidana pokok melainkan sebagai pidana alternatif semata (tidak sebagaimana yang diancamkan di dalam KUHP);
3.      Keberlakuan dari sifat delik yang khusus ditambah dengan keberlakuannya alternatif, akan tetapi dalam penerapan pidana mati tersebut harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Ditjen Lapas, sampai pada akhir tahun lalu tepatnya pada Desember 2011, sebanyaknya 113 orang ter­pidana sedang me­nunggu eksekusi pidana mati (jumlah tersebut dari seluruh lembaga pemasya­ra­katan yang terkumpul di In­do­nesia) sebanyak 113 terpidana mati tersebut mengajukan grasi kepada Presiden dan kesemuannya ditolak, artinya mereka dalam proses menunggu untuk dilakukannya eksekusi mati.[11]

Dalam realitasnya, kebijakan penundaan terhadap eksekusi pidana mati dapat berpotensi melanggar hukum, adapun perlakuan terhadap terpidana mati yang berpotensi melanggar hukum adalah sebagai berikut:

1.      Terjadinya ketidakpastian hukum yang mengakibatkan terpidana mati tidak bisa menggunakan hak-haknya untuk diperlakukan secara adil di mata hukum;
2.      Adanya perlakuan diskriminatif yakni dengan membeda-bedakan masa hukuman antara terpidana mati yang satu dengan yang lainnya;
3.      Adanya indikasi penyiksaan terhadap terpidana mati yakni dengan memberlakukan pidana mati ditambah dengan pidana penjara (dalam kurun waktu yang tidak menentu).

Setiap manusia mempunyai kedudukannya yang sama di mata hukum dan pemerintahan (sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 27 UUD 1945), utamanya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Artinya setiap manusia memiliki hak untuk diperlakukan sama dan oleh karena itu tidak diperkenankan adanya perlakuan diskriminasi yang membeda-bedakan antara manusia yang satu dengan yang lain.

Dalam perkembangannya terdapat perluasan arti dan makna tentang korban, bahwa korban yang umumnya dianalogikan sebagai orang baik secara perilaku dan tindakan yang karena perbuatan jahat dari seseorang mengalami kerugian, baik materil maupun non materil, contohnya: korban penipuan, pemerkosaan dan pembunuhan. Dalam perspektif ini korban adalah orang yang baik yang tidak memiliki cacat dalam tingkah lakunya atau dengan kata lain tidak memiliki rekam jejak buruk. Pertanyaan yang kemudian muncul apakah seseorang yang memiliki track record buruk yang dirugikan oleh tindakan jahat dari orang lain atau suatu kebijakan negara dapat dikategorikan sebagai korban?

Menarik untuk dikaji apakah terpidana mati dapat dikualifikasi sebagai korban mengingat terpidana mati mempunyai rekam jejak sebagai pelanggar hukum. Kemudian menguji keabsahan dari kebijakan pemerintah dalam penundaan terhadap eksekusi pidana mati yang diukur dengan UUD 1945, dan apakah kebijakan pemerintah tersebut dapat dikualifikasikan sebagai kebijakan yang melanggar hak asasi manusia.

Metode Penelitian

Penulisan ini merupakan karya tulis ilmiah di bidang ilmu hukum maka metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum.[12] Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang didasarkan pada pengkajian hukum positif. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, sebagai objek penelitian. Undang-undang yang menjadi objek penelitian utamanya adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang terkait dengan hak asasi manusia. Sehingga pendekatan pada penelitian ini dilakukan secara pendekatan yuridis normatif. Metode pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji, menguji, dan menelaah tentang implikasi yuridis terkait dengan kebijakan pemerintah dalam melakukan penundaan terhadap eksekusi pidana mati.

Penelitian ini menggunakan data sekunder di bidang hukum yaitu jenis data yang diperoleh dari riset kepustakaan (library research), putusan pengadilan (kasus) serta dari data-data lain (misalnya: media cetak, hasil seminar, dan lain-lain) yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Adapun spesifikasi penelitian dalam penelitian ini, termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu; tidak hanya menggambarkan permasalahan saja, tetapi menjelaskan pula asas-asas yang terdapat dalam pembahasan persoalan yang ada. Dengan demikian, penelitian ini dimaksudkan untuk mencari landasan teoritis konsep tentang terpidana mati sebagai korban dalam pelanggaran hak asasi manusia akibat dari adanya kebijakan pemerintah dalam penundaan eksekusi pidana mati.

Pembahasan
Tinjauan Umum mengenai Pengertian Korban dan Ruang Lingkupnya

Banyak pakar atau ahli hukum yang memberikan pengertian atau definisi tentang korban, adapun pengertian dan definisi tentang korban dengan rincian sebagai berikut:

1.      Arief Goita: Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.[13]
2.      Muladi: Korban yaitu orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.[14]
3.      Cohen: Korban (victims) adalah “…. whose pain and suffering have been neglected by the state while it spends immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering; [15]
4.      Ralph de Sola: Korban (victims) adalah “... Person who has injured mental or physical suffering, loss of propertyor deathresultingfrom an actual or attempted criminal offense commited by another; [16]
5.      Z.P Separovic: Korban (victims) adalah “… the person who are threatened injured or destroyed by on actor or omission of another (mean structure, organization, or institution) and consequently; a victim would be anyone who has suffered from or been threatened by a punishable act (not only criminal act but also other punishable acts as misdemeanors, economic offences, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering maybe caused by another man or another structure, where people are also involved. [17]

Sedangkan pengertian korban menurut peraturan perundang-undangan dan deklarasi PBB adalah sebagai berikut:

1.      Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga memberikan pengertian bahwa yang dimaksud korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga;
2.      Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dimaksud korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami pederitaan, baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat termasuk adalah ahli warisnya;
3.      Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan definisi korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana;
4.      Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun;
5.      Ketentuan angka 1 Declaration of Basic Principles of Justice For Victims of Crime and Abuse of Power Adopted by General Assembly Resolution 40/34 of 29 November 1985 yang menyatakan bahwa “Victims” means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power.

Dalam prespektif keilmuan viktimologi, bahwa untuk menilai seorang korban tidak hanya dalam wujud fisiknya saja, melainkan dapat dinilai dalam sudut pandang yang lain, seperti penilaian berdasarkan tipologi dari korban. Adapun pembagian tipologi korban sebagai berikut:

1.      Notparticipating victims, yakni mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan;
2.      Latent victims, yakni mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban;
3.      Procative victims, yakni mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan;
4.      Participating victims, yakni mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban;
5.      False victims, yakni mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuat sendiri.[18]

  Tipologi  korban  sebagaimana  dikemukakan  di  atas,  memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang dikemukakan oleh Schafer dalam Separofic yang mengidentifikasi korban menurut keadaan dan statusnya, adapun rinciannya sebagai berikut:

1.      Unrelated  victims,  yakni  korban  yang  tidak  ada  hubungannya  sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku.
2.      Provocative  victims,  yakni  seseorang  yang  secara  aktif  mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, di mana korban juga sebagai pelaku.
3.      Participating victims, yakni seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
4.      Biologically weak  victims,  yakni  mereka  yang  secara  fisik  memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
5.      Socially weak victims, yakni mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
6.      Self  victimizing  victims,  yakni  mereka  yang  menjadi  korban  karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.[19]

Selanjutnya pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yakni sebagai berikut: [20]

1.      Primary victimization, yakni korban yang berupa individu atau perorangan (bukan kelompok);
2.      Secondary victimization, yakni korban kelompok, misalnya badan hukum;
3.      Tertiary victimization, yakni korban masyarakat luas;
4.      No victimization, yakni korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.

Konsep tentang Terpidana Mati sebagai Korban dalam Pelanggaran HAM

Dalam Resolusi MU-PBB 40/34 tertanggal 29 November 1985 tentang “Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of power” bahwa yang dimaksud dengan korban ialah orang-orang baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.[21]

Sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan tentang “Victims Abuse of Power” bahwa pengertian “korban” sangat luas termasuk orang-orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan, (tidak berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-norma HAM yang diakui secara internasional.[22]

Maksud yang terkandung dalam resolusi sebagaimana tersebut di atas, bahwa pemahaman tentang pengertian korban tidak dapat dibatasi harus mengalami kerugian dari perbuatan yang melanggar hukum pidana serta perbuatan yang melanggar hukum tersebut harus tercantum dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Meskipun perbuatan tersebut bukanlah dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum tetapi termuat dalam ketentuan norma-norma hak asasi manusia, maka perbuatan tersebut telah sah dikatakan sebagai perbuatan yang merugikan.

Sejauh penulis meneliti tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai prosedur dan mekanisme pelaksanaan pidana mati, tidak ada satu pun klausul tentang mengatur mengenai waktu pelaksanaan pidana mati dan tidak ada satu pun ketentuan yang mengatur secara detil bahwa terpidana mati yang hak asasi dilanggar masuk dalam kualifikasi sebagai “korban”.

Dengan tidak diaturnya secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang menjelaskan secara eksplisit tentang kebijakan penundaan eksekusi pidana mati, bukan berarti kebijakan tersebut bukanlah kebijakan yang melanggar hukum. Apabila merujuk pada klausul yang terkandung dalam ketentuan  Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (MU-PBB), maka kebijakan penundaan tersebut telah melanggar norma-norma hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah cukup untuk menarik kesimpulan bahwa kebijakan negara tersebut merupakan kebijakan yang merugikan. Sehingga implikasi yuridis dari kebijakan pemerintah tersebut membuat terpidana mati yang hak-hak asasinya dilanggar menjadi korban.  

Selain berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan Resolusi MU-PBB 40/34 tentang “Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of power”, pemahaman bahwa terpidana mati sebagai korban atas kebijakan Pemerintah juga didasarkan pada penafsiran ekstensif terhadap Pasal 28 UUD 1945. Setelah dilakukan penafsiran, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan penundaan eksekusi pidana mati bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.

Berikut ini beberapa indikator yang menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tentang penundaan eksekusi pidana mati telah melanggar hak asasi manusia:[23]

1)     Pertentangan penundaan pidana mati dengan Pasal 28 huruf d ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk mendapatkan kepastian hukum.

Apabila mencermati kasus yang dialami oleh Sumiarsih dan Sugeng mereka berdua divonis mati oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada tahun 1988. Tetapi pelaksanaan pidana mati keduanya baru dilakukan pada tahun 2008, sehingga dalam kurun waktu 20 tahun tersebut mereka mengalami situasi ketidakpastian hukum tentang waktu dan kapan dilaksanakannya pidana mati. Berdasarkan ketentuan Pasal 28 huruf d ayat (2) “Bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Oleh karena itu, situasi ketidakpastian hukum yang dialami oleh Sumiarsih dan Sugeng merupakan termasuk dalam kualifikasi tindakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Apabila ditelaah secara mendalam tentang substansi ketentuan Pasal 28 huruf d ayat (2) tersebut bahwa pada dasarnya semua orang berhak mendapatkan rasa keadilan dan kepastian hukum tidak terkecuali bagi terpidana mati Sumiarsih dan Sugeng, meskipun track record (rekam jejak) masa lalu dari ketiganya adalah pembunuh. Tetapi mereka juga mempunyai hak yang sama yakni untuk mendapatkan rasa keadilan dan kepastian hukum. Maka dari itu, tindakan pemerintah yang menggantung nasib mereka bisa dikategorikan ke dalam pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal ini serupa dengan apa yang telah disarankan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana yang tertuang dalam putusan MK No 2-3/PUU-V/2007.

Selain itu, apabila mengacu pada putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 tentang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang berkaitan dengan pidana mati, bahwa demi kepastian hukum yang adil, MK menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) agar segera dilaksanakan.

2)     Pertentangan penundaan pidana mati dengan Pasal 28 huruf g ayat (2) UUD 1945  tentang hak untuk tidak disiksa.

Implikasi terhadap ketidakpastian hukum dalam kasus yang dialami oleh Sumiarsih dan Sugeng bahwa mereka berdua tidak hanya diganjar oleh pidana mati saja melainkan juga pidana penjara artinya bahwa hukuman yang dijalani oleh kedua terpidana tersebut merupakan salah satu bentuk pidana penyiksaan. Dalam ketentuan UUD 1945 Pasal 28 huruf g ayat 2 “Bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.

Apabila menafsirkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 28 huruf g ayat (2) tersebut menyatakan secara tegas mengenai larangan terhadap segala bentuk penyiksaan, baik penyiksaan fisik maupun psikis kepada semua orang. Untuk melegitimasi bahwa konsep penyiksaan dalam UUD 1945 bersesuaian dengan kondisi yang dialami oleh Sumiarsih dan Sugeng, maka harus dibuktikan terlebih dahulu, apakah kondisi yang dialami oleh terpidana mati tersebut adalah bentuk penyiksaan?

Tindakan penundaan yang dialami oleh Sugeng dan Sumiarsih tersebut bisa dikualifikasikan pada tindakan penyiksaan. Hal ini bisa kita lihat dari efek atau dampak yang ditimbulkan dari penundaan. Dalam realitasnya keduanya divonis mati pada tahun 1988. Dari tahun 1988 sampai tahun 2008 merupakan pidana penjara sebagai akibat dari penundaan eksekusi mati tersebut. Oleh karena itu, secara logika kurun waktu selama 20 tahun merupakan hukuman tambahan sebagai akibat dari tindakan penundaan yang dilakukan oleh pemerintah yang tidak segera mengeksekusi mati terpidana. Seharusnya apabila seorang telah divonis pidana mati oleh pengadilan maka harus segera dieksekusi. Hal ini ditujukan bukan hanya untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi terpidana mati saja, melainkan agar tindakan dari pemerintah tersebut dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas.

3)     Pertentangan penundaan pidana mati dengan Pasal 28 huruf i ayat (2) UUD 1945  tentang hak untuk tidak diperlakukan diskriminasi.

Pemahaman tentang diskriminasi dalam hal ini terkait dengan perbedaan waktu eksekusi pidana mati. Apabila kita telisik lebih jauh lagi untuk membuktikan apakah dalam hal penundaan pidana mati terdapat kondisi diskriminasi? Bahwa faktanya pelaku pelaku pengeboman seperti Amrozi, Imam Samudra dan kawan-kawannya, mereka diadili pada 2003 kemudian melakukan upaya hukum Banding, Kasasi, bahkan sampai Peninjauan Kembali (PK), yang berujung pada penolakan memori PK oleh Hakim PK. Kemudian tepatnya pada 2008 dieksekusilah Amrozi cs. Mari kita bandingkan kasus ini dengan kasus terpidana mati yang lain seperti yang dialami Sugeng dan Sumiarsih. Mereka didakwa melakukan pembunuhan berencana, kemudian majelis hakim memvonis mati pada keduanya. Akan tetapi mereka tidak langsung dieksekusi, tetapi mereka harus menunggu 20 tahun untuk dilakukannya eksekusi.

Perbedaan waktu penundaan pidana mati yang menimpa Amrozi cs, merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 huruf i ayat (2) UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”. Apabila dibandingkan mengenai pelaksanaan pidana mati antara  terdakwa Amrozi cs dengan Sugeng dan Sumiarsih terdapat perbedaan waktu eksekusi. Hal ini mempertegas bahwa perlakuan yang diterima oleh Amrozi cs dalam penundaan pidana mati yang berbeda dengan Sugeng dan Sumiarsih adalah perlakuan yang diskriminatif. Oleh karena itu, perlakuan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Kesimpulan

Apabila mendasarkan pada klausul yang terkandung dalam ketentuan  Resolusi MU-PBB 40/34 tentang “Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of power”, maka kebijakan pemerintah dalam melakukan penundaan penerapan pidana mati telah melanggar norma-norma hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah cukup untuk menarik kesimpulan bahwa kebijakan negara tersebut merupakan kebijakan yang merugikan. Sehingga implikasi yuridis dari kebijakan pemerintah tersebut membuat menjadikan terpidana mati sebagai “korban”. Selain itu, pemahaman tentang terpidana mati sebagai korban atas kebijakan pemerintah didasarkan pula pada penafsiran ekstensif terhadap Pasal 28 UUD 1945. Berdasarkan penafsiran ekstensif kebijakan penundaan eksekusi pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945. Adapun solusi hukum terkait dengan problematika penerapan pidana mati tersebut, yakni dengan menjalankan saran yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang tercantum dalam Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 tentang pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang berkaitan dengan pidana mati, bahwa demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah Konstitusi menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) agar segera dilaksanakan. (*)
Daftar Pustaka

Buku-Buku;
Arif, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Atmasasmita, Romli, Masalah Santunan Korban Kejahatan, Jakarta: BPHN, Tanpa Tahun
Didik M. Arif Mansur, dan Elisatris gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: Raja Grafindo, 2006
Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993
Kholik, M.Abdul, Buku Pedoman kuliah hukum pidana, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 2002
Manan, Bagir, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Bandung: Alumni, 2006
Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Jakarta: STIH “IBLAM”, 2004
Muladi, HAM  dalam  Perspektif  Sistem  Peradilan  Pidana, Bandung: Refika  Aditama, 2005
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana,  Bandung: Alumni, 1992
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997
Ralph de Sola, Crime Dictionary, New York: Facts and File Publication, 1998
Soedarto, Suatu Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1974
Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981
Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., G Wiratama Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Prespektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Jakarta: Universitas Atmajaya, Cetakan Pertama,  2001
Syahdeni, Sutan Remy,  Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2006
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, 2005

Peraturan Perundang-undangan;
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
Declaration of Basic Principles of Justice For Victims of Crime and Abuse of Power Adopted by General Assembly Resolution 40/34 of 29 November 1985
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Tahun 2006)

Jurnal Hukum;
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Yuridika, Surabaya, Vol.16,  Nomor 2, 2001
Wahyudi, Slamet Tri, Problematika Penerapan Pidana Mati dalam Konteks Penegakan Hukum, Mahkamah Agung RI: Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1, Nomor 2, 2012
United Nation, A Compilation of International Instrument, Volume 1, New York, 1993

Internet;
Ditjen Lapas, Hukuman Mati Senafas dengan Semangat Perlindungan HAM, yang diunduh pada tanggal 12 September 2012, Pkl 10.00 WIB





[1]Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2006), h. 58-59
[2]Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, (Jakarta: STIH “IBLAM”), 2004 hal. 47
[3]M. Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 2002), h. 15
[4]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2005), h. 52 
[5]Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), h. 78
[6]Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 136-137 
[7]Soedarto, Suatu Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1974), h. 34
[8]Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h. 17
[9]Sutan Remy Syahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), h. 214
[10]Pasal 80 RUU KUHAP
                                                                                                                                                   [11]Data bersumber dari Ditjen Lapas, diunduh pada tanggal 12 September 2012, Pkl 10.00 WIB.
 
[12]Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Yuridika, (Surabaya, Nomor 2, 2001), vol. 16, h. 103
[13]Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), h. 40
[14]Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), h. 84
[15]Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, (Jakarta: BPHN, tanpa tahun), h. 9
[16]Ralph de Sola, Crime Dictionary, (New York: Facts and File Publication, 1998), h. 188
[17]Didik. M Arif Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), h. 50
[18]Muladi, HAM  dalam  Perspektif  Sistem  Peradilan  Pidana, (Bandung: Refika  Aditama, 2005), h. 42
[19]Schafer dalam Separofic sebagaimana dikutip dari Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., G Wiratama Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Prespektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Jakarta: Universitas Atmajaya, 2001), Cetakan Pertama,  h. 176-177
[20]Op Cit, Didik. M Arif Mansur dan Elisatris gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, hal. 50
[21]Declaration of Basic Principles of Justice For Victims of Crime and Abuse of Power Adopted by General Assembly Resolution 40/34 of 29 November 1985, h. 1
[22]United Nation, A Compilation of International Instrument, Volume 1, New York, 1993, h. 382
[23]Slamet Tri Wahyudi, Problematika Penerapan Pidana Mati dalam Konteks Penegakan Hukum, Mahkamah Agung: Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1, Nomor 2, 2012, hal. 23-24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar