Wawancara
Dengan
Dr A Setyo Wibowo,
Dosen Pascasarjana STF Driyarkara
Jakarta
Negeri ini punya sejarah demokrasi yang cukup panjang,
meski belum bisa dikatakan telah matang. Lima belas tahun yang lalu, Mei 1998,
orang boleh tenggelam dalam euforia keterbukaan kran reformasi politik. Namun,
perkembangan selanjutnya justru memperlihatkan bahwa agenda reformasi telah
lumpuh. Demokrasi kita justru semakin mengarah pada apa yang jauh-jauh hari
telah menjadi sasaran kritik keras dari Platon, sang filsuf Yunani, yaitu bahwa
demokrasi adalah rezim epitumia, rezim uang. Berikut ini adalah
wawancara Redaksi Jurnal Pesantren Ciganjur dengan Dr. A. Setyo Wibowo, pakar Filsafat
Yunani jebolan Universitas Sorbonne Prancis.
Apa pengertian Platon tentang negara, atau
masyarakat politik?
Pengertian Platon tentang negara, saya kira begini. Judul
buku Platon, Politeia, itu artinya konstitusi, undang-undang dasar, juga
fondasi sebuah masyarakat. Nah, apa pandangannya tentang masyarakat, tentang
negara dalam Politeia itu? Di satu sisi, dia mengkritik zamannya. Dia
mengkritik situasi Athena yang saat itu demokratis tapi disabotase oleh,
katakanlah, sophisme, oleh kaum sophis. Akhirnya, dalam demokrasi itu,
orang-orang yang tidak kompeten mengambil alih posisi-posisi yang sebetulnya
bukan tugas mereka. Dari sini terlihat bagaimana pandangan Platon tentang hidup
bernegara atau politeia yang ideal. Yang diharapkan, tentu saja, adalah
sebuah kondisi di mana negara itu, politeia-nya yang paling dasar adalah
keadilan (justice).
Artinya simpel, yaitu ketika setiap orang menjalankan fungsinya masing-masing.
Ini definisi keadilan yang luar biasa sederhana. Bagi Platon, situasi yang
adil, yang benar, yang tegak itu adalah bila tiap orang sesuai dengan bakatnya
masing-masing menjalankan apa yang terbaik sesuai bakatnya itu, yaitu
menjalankan fungsinya. Kira-kira, itulah idealisme Platon tentang hidup
bermasyarakat.
Jadi, sedari awal, manusia tidak dianggap
setara?
Ya. Persis. Bagi kita, orang modern, demokrasi Yunani
maupun omongannya Platon memang agak shocking. Untuk demokrasi Yunani
sendiri, kita harus sadar bahwa demokrasi Yunani itu tidak diisi oleh semua
orang yang tinggal di Athena. Demokrasi atau politik hanya menjadi hak bagi citizen.
Siapa itu citizen di Athena? Yaitu laki-laki dari bapak-ibu warga
Athena, berumur delapan belas tahun ke atas, dan memiliki reputasi baik. Jadi kalau
orang itu terkenal pemabuk, suka main wanita, atau dikenal sebagai pengecut
dalam pertempuran, maka tidak menjadi citizen. Kalau tidak menjadi citizen,
itu artinya tidak bisa dipilih menjadi anggota dalam dewan pengadilan,
dewan rakyat atau Majlis Eklesia, atau fungsi lembaga-lembaga demokratis di
Athena saat itu. Maka, karena demokrasi itu dipraktikkan oleh citizen,
bisa kita bayangkan orang yang punya hak berpartisipasi politik aktif itu di
Athena itu sedikit. Karena, sebagian masyarakat Athena itu perempuan dan
anak-anak. Mereka tidak punya hak sama sekali. Juga warga negara asing. Athena
saat itu adalah kota yang kosmopolit. Banyak sophis datang dari mana-mana dan
mereka tidak punya hak apapun. Dan, bagian terbesar dari Athena adalah budak.
Budak itu siapa? Yaitu orang Yunani dari kota lain yang dikalahkan oleh Athena
maupun orang Barbar, yaitu orang non-Yunani yang kalah perang atau yang mereka
beli di pasar-pasar budak.
Jadi, de facto demokrasi di zaman Platon sudah
seperti itu; didasarkan pada ketidaksetaraan. Delapan puluh persen warga tidak
punya hak apa-apa. Dua puluh persen, yang citizen itu, berhak masuk
dalam lembaga-lembaga demokratis kala itu. Nah, dari Platon yang merupakan warga
Athena saat itu tidak bisa diharapkan sebuah kesadaran orang-orang modern
seperti kita yang mengatakan bahwa manusia itu diciptakan sama, dilahirkan
sama, biar berkulit hitam, putih, kuning, biar kakinya satu, tiga, ataupun dua.
Semua punyak hak yang sama. Orang modern berpikir begitu. Tapi Platon tidak. Ia
anak zamannya. Maka, bagi dia, fakta bahwa ada
manusia itu berbeda-beda itu diterima. Hanya, masalahnya ialah dia tidak
mengikuti zamannya. Kalau ada perbedaan dalam masyarakat itu, maka boleh. Tapi,
dilandaskan pada bakat alamiah masing-masing. Ini penting. Maka, dia
mengatakan, politik itu baik jika diurus orang yang memang punya bakat natural
philosopher, “filsuf alamiah”. Yaitu, anak-anak yang sejak lahir
teramati punya bakat filsuf; cerdas, memori baik, cepat mengerti, pemberani, tahan
duduk dan tahan belajar. Sehingga, nantinya keutamaan-keutamaan mereka yang
diperlukan untuk jadi seorang negarawan.
Nah, kalau orang yang bakatnya adalah menjadi tentara,
dia harus jadi tentara. Kalau bakatnya jadi pedagang, kan ada itu
anak-anak yang suka bermain, tidak suka belajar, suka ngumpulin barang,
kalau ada yang bakatnya jadi petani atau pedagang, ya sudah, dikerjakan saja
sebaik-baiknya. Karena polis kan butuh. Satu hal yang revolusioner, tentu saja,
meskipun Platon melanjutkan ketidaksetaraan dalam idealisme tentang polis. Yang
menarik adalah Platon waktu itu sudah mengatakan bahwa wanita juga bisa menjadi
filsuf pemimpin. Ini radikal ya. Sekarang saya kan sedang memberi kuliah
tentang Politeia dan masuk pada buku lima. Nah, pada buku lima
ini, Platon harus menghadapi keberatan-keberatan introduksi wanita dalam kelas philosopher-kings,
filsuf-filsuf raja. Plural ya. Jadi, tidak ada satu filsuf-raja bagi
Platon, tapi plural, yang saya sebut kelas punggawa.
Apakah itu bagian dari kritik Platon terhadap
demokrasi spesifik dalam konteks Athena, atau itu secara esensial?
Saya kira secara esensial ya. Satu, tentu Athena
waktu itu memang mempraktikkan demokrasi, dibanding yang lain seperti Sparta,
misalnya, yang juga demokratis tapi lebih oligarkis. Dia (Platon, red)
menunjukkan kelemahan esensial demokrasi, yaitu di situ tiada justice. Jadi,
setiap orang merasa bisa mengokupasi fungsi atau tugas yang bukan bakatnya,
tapi hanya karena keinginan saja, karena mungkin ia kelebihan uang. Misalnya
kelas pedagang, karena kelebihan uang, lalu punya ide macam-macam; “wah,
kayaknya saya bisa nih jadi pemimpin”, maka dengan uangnya dia
mengusahakan diri supaya terpilih menjadi pemimpin. Atau seorang pedagang
tiba-tiba bilang; “wah, kayaknya enak ya jadi jendral. Saya ingin juga
mimpin ekspedisi militer”. Lalu, dengan uangnya ia pengaruhi sana-sana agar
dipilih memimpin ekspedisi militer. Padahal bakatnya berdagang. Inilah yang
dibilang Platon, secara esensial demokrasi itu adalah rezim uang. Ini yang
menarik kalau kita kontekskan dengan kondisi kita sekarang. Berbeda jauh,
tentu. Tapi kalau kita bilang secara esensial, apa yang Platon kritik dari
demokrasi itu adalah bahwa demokrasi itu rezim uang, atau rezim epitumia.
Epitumia itu nafsu-nafsu makan-minum dan seks, yang kata kuncinya bagi Platon
adalah uang. Jadi, demokrasi adalah rezim epitumia, artinya rezim uang. Kalau
uang itu, katakanlah, jadi pemimpin dalam hidup, bukan hanya dalam hidup
bersama, tapi bayangannya, analoginya juga dalam hidup individu. Jadi bayangkan
seseorang itu hanya disetir epitumia-nya, oleh uangnya.
Tapi, Romo, pemimpin itu kan pembuat hukum,
dan akan ada penyalahgunaan hukum bila pemimpin itu tidak cakap.
Ya. Tentu saja.
Jadi akan berbeda masalahnya jika, misalnya,
administrasinya sudah teratur.
Jangan lupa di sana, di Dewan Kerajaan, ada banyak
keputusan. Atau di pengadilan Helalia, atau pengadilan Sokrates itu ya, itu
voting lho. Struktur, aturan memang ada, lengkap. Tapi kehadiran para
sophis, yang melatih orang-orang berargumentasi, berpikiran cerdas, tapi keblinger,
pokoknya asal kelihatan rasional, ini membuat banyak hal kacau. Karena lalu,
seperti keluhannya Demostenes yang hidup di lingkungan demokrasi anarkis yang
kacau itu, suara terbanyak itu yang memimpin. Akhirnya, orang-orang yang
kompeten, misalnya jadi pemimpin ekspedisi perang, gak bisa apa-apa.
Karena semua aturan di voting di situ, dan bahkan
kadang-kadang aturan yang melanggar konstitusi. Dengan argumen simpel, “lho,
kita kan wakil rakyat, yang bikin konstitusi wakil rakyat, bisa kita ubah dong
sewaktu-waktu”. Jadi, banyak aturan waktu itu yang, de facto menurut
keluhan Demostenes, ngawur. Di zaman kita, perda-perda syariat yang
sebenarnya ini apa? Kok bisa? Tapi, argumen dari daerah kan begitu, “ini kan
otonomi daerah”, “ini kan kehendak rakyat”. Ya bullshit lah. Yang
namanya aturan kan harus ngikuti yang pokok. Jadi, situasi
anarkis seperti itu ya, ketika uang mendominasi kepemimpinan, akhirnya
tidak dilandaskan pada wisdom, kebijaksanaan, atau pengetahuan, kalau
Platon bilang. Jadi, kepemimpinan disabotase sama uang. Nah, kalau sudah
disabotase uang, ya sudah.
Apakah demikian juga dengan demokrasi
liberal?
Saya tidak bisa bicara demokrasi liberal dalam konteks
luar ya. Karena, kalau itu Indonesia, mungkin iya. Saya berani bilang,
demokrasi kita kan primitif tho. Parpol kayak gitu. Dan kita,
rakyat, sebenarnya tidak ada yang terlibat dengan partai politik kan. Kalau
kita mau riil ya. Rakyat itu kan hanya disuguhkan dengan apa-apa kalau
pas mau Pemilu. Seolah-olah lalu, “oh, itu orang [partai-red] Demokrat itu
orang peduli”. Tapi, dalam kesehariannya kan enggak. Ini suatu yang lain
dari di luar negeri di mana komite-komite parpol itu kerja, aktif dalam
program, ngontrol pemerintah. Demokrasi liberal seperti yang kita lihat
di Perancis itu menarik. Makanya, saya gak berani komentar secara umum
untuk demokrasi liberal, karena lebih canggih, lebih subtil. Tapi, kalau untuk
Indonesia, saya kira kritikan Platon ini pas banget, karena sekarang
rezim kita memang rezim uang. Di luar, kamu tidak bisa terang-terangan rezim
uang begitu. Tidak bisa. Karena idealisme masih tinggi. Orang berpolitik tidak
cari uang. Tapi mereka cari reputasi, cari nama besar.
Kalau kamu jadi manusia, kamu nanti dicatat dalam sejarah
bahwa kamu pernah membuat monumen ini, membuat program ini untuk masyarakat,
kamu menciptakan undang-undang ini untuk membantu masyarakat. Ya, rezim thumos
lah. Saya kira juga ada rezim uang, tapi tidak terlalu. Memang kalau dalam
kritik filsuf-filsuf perancis kiri, seperti Alain Badiou, atau juga muridnya,
Slavoj Zizek, mereka bilang demokrasi liberal itu sekarang menjadi parlementaro-capitalism,
di mana kekuatan bisnis mondial itulah praktis yang mendikte semua
undang-undang yang divoting oleh parlemen. Jadi, parlemen atau wakil rakyat itu
sebenarnya tangannya terikat, gak bisa apa-apa. Tapi itu kan kritik ekstrem
dari orang marginal lah. Tidak ada satu partai politik pun yang
mengadopsi pemikiran mereka. Gak ada.
Lalu, supremasi hukumnya di mana, ketika
demokrasi sudah anarkis seperti itu? (Yudi)
Sama seperti pertanyaan kita di Indonesia saat ini.
Supermasi hukum itu di mana? Ketika seorang Walikota Bogor bisa tidak peduli
pada putusan MA (Mahkamah Agung-red), misalnya. Sama kan pertanyaan kita:
di negara ini, hukum itu apa sih, kok tidak ada orang yang melaksanakan?
Hukum itu kan sebuah tatanan yang ada pelaksananya, namanya polisi atau
tentara atau siapa pun. Yang memiliki privilege kekerasan. Mereka yang
berhak menggunakan kekerasan, karena memang di bayar negara untuk itu. Tapi,
kalau hukum tidak diterapkan, mereka tidak bergerak juga, begitu kan?
Lalu apa? Ya sudah, kita berada dalam situasi kayak gamang begitu. Lalu
yang kita buat ini apa sebenarnya?
Dalam konteks demokrasi Yunani, apa ada
hubungannya dengan kebebasan?
Platon memang berbicara tentang kebebasan. Jadi, masuknya
sofisme itu kan salah satu pengaruh buruk sofisme adalah mereka itu
menjungkirbalikkan tatanan dengan pola pikir rasional. Tapi memang bikin
orang lalu tidak percaya apa-apa. Misalnya, hukum itu kan tidak ada kodratnya,
itu kesepakatan atau konvensi saja. Di Athena, hukumnya begini, tetapi pada hal
yang sama di tempat lain hukumnya lain. Pada hal yang sama. Jadi, tidak ada
yang kodratiah dalam hukum. Ada cerita lain misalnya anekdot-anekdot, ini
cerita dari Aristopanes. Aristopanes itu kan lawannya Sokrates. Ia mengkritik
Sokrates. Sokrates dianggap sophis ini salah satu tuduhan orang sophis. Saya
tidak yakin itu ya. Tapi, baiklah. Dalam cerita itu dikatakan, Sokrates
juga seorang sophis. Ada seorang Yunani ingin anaknya sukses, seperti
orang-orang Athena saat itu. Sukses artinya menjadi hakim. Maka dia kirim
anaknya ke sekolah para sophis. Karena yang punya sekolah itu kaum sophis. Dia
jual tanah dan sapinya. Dia seorang petani. Tujuannya agar anaknya pinter,
sehingga nasibnya bisa lebih baik dari dia.
Si anak akhirnya bersekolah di tempat para sophis.
Setelah keluar, dia pulang dan langsung memukul bapaknya. Bapaknya kaget.
“Apa-apaan kamu, kok malah mukul, kan gak boleh? Kamu harus
menghormati orang tua” kata si bapak. Anaknya bilang, “Saya di sekolah diajari,
yang namanya hukum itu buatan manusia. Tidak ada yang mutlak di balik hukum.
Jadi, kalau dari dulu Bapak diajari hukum untuk hormat pada orang tua, sekarang
akan saya ubah. Boleh anak-anak memukul orang tua”. Bapaknya cuma garuk-garuk
kepala. “Kok jadi seperti ini anak saya. Disekolahkan, malah bikin hukum
baru yang membolehkan anak-anak memukul orang tuanya”. Si bapak berpikir,”Tapi, kalau dipikir-pikir,
usia saya yang sudah tua begini dengan anak saya yang sudah pinter, barangkali
memang dia yang benar”. Jadi, ini mau menunjukkan kekacauan situasi di Athena
ketika orang tidak mengerti lagi ini sebenarnya bagaimana sih, tatanan
kita seharusnya bagaimana karena ada argumentasi-argumentasi rasional. Itu tadi
yang diomongkan kan rasional, bahwa hukum hanya buatan manusia. Jadi,
siapa pun berhak membuat hukum. Ini yang disebut relativisme. Nah, relativisme
ini memang terkenal dengan tokoh-tokoh seperti Protagoras, dan
lain-lain. Sophis-sophis yang mengajar di Athena. Protagoras terkenal dengan
ucapannya bahwa manusia adalah ukuran untuk segala sesuatu.
Jadi, nah, kebebasan-kebebasan tadi itu akhirnya membuat
semua orang, siapa pun, tidak pedul kapasitas dan bakatnya, merasa bisa apa
saja. Maka, Platon mengatakan, tidak bisa begitu. Dalam politik, kalau kita mau
bikin sesuatu yang ideal, politik yang ideal, kita harus serahkan lagi pada
fungsi dan bakat masing-masing. Jadi, setiap bakat kelihatan betul fungsinya.
Nah, dari seleksi terhadap bakat inilah, nanti orang-orang yang memiliki
kemampuan, bukan hanya mampu mengendalikan epithumia dan thumos,
tapi lebih-lebih juga mempunyai pemikiran yang bijak, orang seperti inilah yang
nanti harus jadi pemimpin. Dan orang seperti ini yang membuat hukum dan yang
lainnya itu taat kepada hukum yang dibuat orang-orang itu. Kalau seperti ini
lalu diandaikan, ini andaian Platon, akan ada polis yang adil. Karena, semua
lalu, seperti saya bilang tadi, semua menjalankan fungsinya masing-masing. Epithumia
taat pada rasio. Thumos, tentara, juga taat pada rasio. Nah, rasio bekerja
dengan membuat law.
Jadi, kritik Platon pada demokrasi adalah pada rezim epithumia,
rezim uang. Nah, kebebasan yang seperti itu adalah dampak dari rezim uang tadi.
Jadi, saya kira, tidak ada kritik esensial Platon pada kebebasan atau
kesetaraan (equality) dalam dirinya sendiri. Karena, pada zaman itu pun,
yang namanya kebebasan atau pun equality tidak ada. Sudut pandang kita
berbeda. Kita, orang modern, berpikir kalau demokrasi itu dasarnya adalah
kesetaraan dan kebebasan. Di Yunani, tak ada satu orang pun berpikir begitu.
Demokrasi hanyalah untuk citizen. Dan citizen adalah orang yang bebas.
Sementara itu, wanita, orang asing, anak-anak, budak, yang merupakan delapan
puluh persen dari populasi, mereka sama sekali tidak equal, sama sekali
tidak bebas. Jadi, kita harus hati-hati. Harus dipilah.
Platon juga menggambarkan beberapa jenis
pemerintahan. Dari timokrasi, demokrasi, kemudian berakhir dengan tirani.
Bagaimana mungkin dari demokrasi yang begitu mengagungkan kebebasan kemudian
menjadi tirani?
Menjadi anarki dulu. Jadi, demokrasi menjadi anarkis.
Ketika anarkis kan menjadi anormal. Tiap orang mengerti bahwa kebebasan
yang dinikmati tidak seindah yang dibayangkan. Kalau sudah seperti itu akan ada
kekacuan dan dalam keadaan kacau tentu aka ada orang atau kelompok yang,
“sudahlah, kayaknya lebih enak dipimpin Soeharto”. Dipimpin orang seperti Soeharto
yang agak keras sedikit, tapi kita semua aman. Godaan manusia kan
seperti itu?! Dalam situasi chaos, kita akan mengatakan, “Sudahlah,
daripada tidak ada, siapa pun saja yang penting bikin kita tenang”. Entah
preman, entah penjahat.
Tapi, bukankah demokrasi justru menghendaki
kekuasaan dibatasi?
Atas dasar apa kamu ngomong begitu?
Ya, misalnya masa berkuasa dibatasi setahun.
Jadi tidak ada yang berkuasa penuh.
Ini yang mana? Di Athena atau masa modern? Kalau ngomong
demokrasi modern, iya. Teori demokrasi modern memang begitu. Kan
ada dua landasan demokrasi modern: pemilu atau pergantian pemimpin secara
reguler dan penegakan hukum. Itu saja. Nah, dalam penegakan hukum itu ada human
rights, equality, dan segala macam. Teorinya begitu. Tapi, misalnya, yang
terjadi dengan demokrasi terpimpin Soekarno. Meskipun pemilu itu membatasi,
bahwa pemilihan pemimpin harus dibatasi, kita punya pengalaman berapa kali dia
dipilih. Kita punya pengalaman dengan Soeharto dalam Demokrasi Pancasila.
Berapa kali Soeharto dipilih menjadi presiden. Jadi, sistem demokrasi modern
dalam dirinya sendiri tidak menjamin apa-apa. Yang terjadi di Rusia sekarang,
misalnya. Medvedev sama Putin sekarang. Itu kan cuma pergantian saja di antara
dua orang itu. Ada konstitusi yang mengatakan presiden dua kali memimpin. Putin
dua kali memimpin tho. Saya jadi perdana menteri dulu, kamu jadi
presiden. Tapi next time,
tahun depan Putin akan naik lagi jadi Presiden. Jadi, tidak ada jaminan
apa-apa dalam kata-kata demokrasi bahwa lalu seperti yang dikehendaki.
Tapi seharusnya kan...
Ya, seharusnya. Saya setuju seharusnya. Tapi kalau
kita bicara fakta? Apalagi kita orang Indonesia. Kita punya dua pengalaman lho,
Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila. Dari pengalaman itu, apa yang
menjamin bahwa pergantian pemimpin akan terjadi secara reguler ? Tidak ada. Kalau
saya melihat, itu sebenarnya tergantung mental kita. Kalau kita bermental Orde
Lama, kita akan memilih Soekarno terus. Kalau kita bermental zaman Demokrasi
Pancasila atau Orde Baru, kita akan memilih Soeharto terus. Dan tidak ada yang
bisa disalahkan. Nah, dengan reformasi ini, kalau kita bisa menjaga spirit,
kalau kita betul-betul seorang demokrat tulen, artinya kita percaya pada ide
kebebasan, kita percaya betul pada ide kesetaraan, maka ini kita kawal. Yang
namanya pemilu rutin. Dan pembatasan kekuasaan. Jadi, kalau nanti ada
upaya-upaya menyabot, atau misalnya konstitusi diubah, atau ada upaya
nepotisme, atau bagaimana, maka harus dilawan. Tergantung kita kok.
Kalau mental kita sungguh percaya pada demokrasi, kita bertarung di situ. Tapi
tidak ada jaminan teoritik apapun bahwa demokrasi akan berjalan seperti yang
dikehendaki tadi itu.
Kembali pada Platon. Ada yang menyebut bahwa
negara ideal Platon itu sebagai negara despotis terbesar.
Ya, tuduhan paling keras itu dari Popper. Dia mengatakan
bahwa Politeia adalah asal-usul ide filosofis pertama yang menjadi
pendasaran bagi pemerintahan totaliter. Itu tuduhan paling keras. Bisa
dikatakan, menghabisi Platon lah. Platon seolah-olah dijadikan pendahulu
Hitler, semua rezim totaliter, dalam bentuk nazisme maupun komunisme. Tuduhan
Popper tentu berat sebelah dan dia lebih banyak berbicara mengenai situasi dia,
Perang Dunia di mana dia harus lari dikejar pemerintahan Nazi dan akhirnya
meninggal di pengasingan. Jadi, pada Perang Dunia II, momok Hitler itu bagi dia
selalu hidup. Sehingga, analisis filosofisnya melihat Platon ke situ. Tapi
kalau kita baca lebih teliti, bukan pendapat saya, tapi kata pengarang lain,
mungkin Platon mengidealkan negara semacam Sparta. Jadi, agak disiplin, jelas,
teratur.
Namun, bila kita lihat teks bukunya Platon sendiri, yang
menarik tentu Platon berbicara mengenai model pendidikan, model berpolitik,
tapi kita ingat bahwa Platon selalu mengingatkan bahwa ini semua hanyalah logos,
semuanya kata-kata. Di akhir buku sembilan, dia dengan jelas, ketika ditanya
oleh Glaukon, “Platon, semua yang kamu omongkan ini baik, ideal. Tapi
kenyataannya di mana? Mungkin tidak diaplikasikan dalam kenyataan”. Platon
menjawab, “Apakah politik semacam ini suatu hari akan lahir, apakah polis yang
saya wacanakan ini suatu hari akan muncul, bukan itu persoalannya”. Jadi,
Platon tidak peduli. Ada orang yang merasa tidak menerapkan, itu bukan urusan.
Tetapi, kalau ada orang mulai percaya dengan kata-kata ini, kita bisa berharap
polis ideal semacam itu akan mulai muncul. Begitu ya. Makanya, beberapa
pengarang yang cukup teliti akan mengatakan bahwa politik yang diidealkan dalam
Politeia adalah city in speech, “kota dalam kata-kata”. Filsafat kan
begitu.
Sering dikatakan bahwa pandangan politik
Platon pada buku keduanya lebih realistis dari yang di Politeia. Bagaimana
perbedaan kedua buku ini?
Ya. Yang kedua, Laws, memang berisi pasal-pasal,
aturan-aturan. Tentang perbedaan itu, saya belum berani banyak omong.
Karena saya belum baca teliti Laws. Baru baca Politeia. Tetapi Laws
saya baru baca pengantarnya saja tetapi detailnya, undang-undang isisnya apa.
Karena itukan proyek kontitusinya, aristoteles juga punya tho kontitusi
Athena. Platon membuat kontitusi itu dibuku Nomoy. Tetapi saya tidak
berani banyak komentar karean belum baca secara utuh buku itu.
Platon juga mengritik demokrasi, yaitu bahwa
ia tidak pernah mengajak orang untuk menjadi seorang negarawan.
Ya. Bagi Platon, demokrasi itu anarki.
Setiap demokrasi begitu?
Kalau melihat kritik esensial Platon terhadap demokrasi
sebagai rezim uang, iya. Bagi Platon jelas, demokrasi itu rezim uang. Makanya,
kritik itu bisa kena di Indonesia. Telak.
Artikel Terkait
Artikel Terkait
- Salam Redaksi
- Riset Redaksi
- Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
- Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
- Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
- Demokrasi Deliberatif
- Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
- Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
- Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
- Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
- Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
- Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
- Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
- Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar