Kamis, 16 Januari 2014

Menyejahterakan Rakyat dengan Demokrasi

Oleh: 
Sayyid Ja’far Shodiq
Santri Pesantren Ciganjur, Mahasiswa LIPIA Jakarta

Judul               : Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta
Penulis            : Zulfikri Suleman
Penerbit          : PT Kompas Gramedia
Cetakan          : I, April 2010
Tebal               : vii+268 halaman
Peresensi        : Sayyid Suhud

Carol Gould dalam bukunya “Demokrasi Ditinjau Kembali” (judul terjemahan) mengungkapkan bahwa demokrasi abad ke-19 (Demokrasi Liberal) tidak lagi mampu menjawab beragam persoalan politik dan ekonomi abad ke-20 seperti sekarang ini. Apakah karena ketimpangan dan kepincangan yang ada pada tubuh model demokrasi yang telah diterapkan oleh Barat yang pada akhirnya sistem itu merambah dan diikuti oleh negara berkembang? Disetujui maupun tidak, fakta dari negara Barat seperti Amerika yang menunjukkan angka kemiskinan yang tidaklah menurun nampaknya cukup menjadi jawaban terhadap pertanyaan di atas. Di samping memang butuh banyak data-data lanjutan sebagai upaya menunjukkan sisi kelemahan dari demokrasi liberal jika diterapkan secara permanen.

Demokrasi sebagai sebuah sistem suatu negara merupakan sesuatu yang tidak asing di telinga masyarakat luas. Lebih-lebih demokrasi itu sendiri memang telah diterapkan di negara kita sejak zaman Orde Lama sampai pasca-Reformasi sekarang ini. Tetapi, apakah ia akan diterima begitu saja sehingga kita tidak pernah melihat adanya sisi kelemahan yang ada pada tubuh demokrasi secara umum? Pengalaman perasaan tertekan selama empat dekade mungkin menjadi sebagian sebab tidak adanya keinginan untuk mengkritisi secara serius pada demokrasi dan terutama demokrasi yang kita anut dewasa ini.

Mengenal biografi Bung Hatta

Nama Muhammad Hatta sebagai sosok pejuang kemerdakaan tidaklah asing di telinga masyarakat secara umum baik dari kalangan akademisi maupun petani. Di samping memang beliau pernah menjadi Wakil Presiden era Soekarno meski pada akhirnya beliau memundurkan diri dari jabatannya, tetapi fakor-faktor yang mempengaruhi pemikiran politik dan demokrasi beliau yang tentu di antaranya dipengaruhi oleh latar budaya di mana beliau dilahirkan mungkin tidak banyak yang mengetahuinya.

Hatta dilahirkan di Sumatera Barat, tepatnya di Minangkabau, yang merupakan satu kesatuan sosiologis-kultural dari sebuah provinsi yang dinamakan dengan Sumatera Barat. Nilai-nilai penting demokrasi ---kesetaraan, musyawarah dan kritik--- memang sudah berkembang subur di ranah Minang tersebut. Masyarakatnya tidaklah begitu mengistemawakan seorang pemimpin, mereka akan menghargai pemimpin yang memihak pada rakyat dan tidak segan-segan mengkritiknya bila terjadi ketimpangan dalam mengurus rakyat. Lebih jauh lagi sebenarnya mereka tidak mengenal satu penguasa mutlak atau raja. Berdasarkan prinsip mamak alim mamak disambah, mamak lalim mamak disanggah (boleh melawan pemimpin yang zalim), cukup memberikan gambaran pada kita tentang sikap masyarakat Minangkabau yang tidak perlu takut melakukan kritik terhadap seorang penguasa.

Bung Hatta dilahirkan dari keturunan ulama Madura dari pihak ayah dengan keturunan saudagar dari pihak ibu. Kombinasi percampuran dari latar belakang keluarga yang berbeda ini cukup memberikan pemahaman kepada kita bagaimana gagasan demokrasi dan politik Hatta yang tidak lepas dari sosoknya yang agamis sekaligus ahli dalam perekonomian, ditambah dengan pendidikan yang ia tempuh sewaktu di Belanda. Hatta menempuh studinya di Handels Hoge School (sekolah tinggi dagang) di negeri Kincir Angin itu. Hal utama yang memotivasi dirinya untuk menempuh studi tersebut adalah upaya mendalami pengetahuan di bidang ekonomi.

Meski demikian, Hatta bukanlah sosok yang menggantungkan dirinya pada pengetahuan yang diperoleh dari kampus. Ia juga aktif membaca tulisan-tulisan politik dan sejarah bangsa-bangsa. Di samping itu, Hatta juga aktif membaca koran-koran dan majalah yang terbit di Belanda, terutama koran-koran yang berpandangan sosialis.

Demokrasi Barat

Dalam buku Demokrasi untuk Indonesia, Zulfikri tidak hanya menyuguhkan pemikiran Bung Hatta tentang sistem demokrasi yang ia yakini, tetapi juga menyuguhkan pengetahuan mengenai Bung Hatta dan lingkungannya; Hatta dan pendidikannya seperti apa yang telah saya deskripsikan secara sederhana di atas. Penulis juga memberikan penjelasan mengenai Demokrasi Barat dalam bab selanjutnya.

Sebelum masuk pada ulasan Demokrasi Barat, Zulfikri sebenarnya juga menjelaskan arti demokrasi itu sendiri. Pada bab awal Zulfikri menjelaskan bahwa terma demokrasi sebagai sebuah gagasan yang bermula dari negara-negara Barat khususnya Inggris, Perancis, dan Amerika sebenarnya berasal dari bahasa Yunani Kuno yang berarti kekuasaan pemerintahan oleh rakyat, menunjuk pada praktik demokrasi yang diterapkan oleh Yunani 26 abad silam.

Praktik demokrasi (yang dimaksud adalah demokrasi langsung) yang diterapkan di Yunani Kuno hanya berlangsung sekitar 200 tahun dan mengalami hibernasi selama lebih kurang 2000 tahun dan kemudian kembali diangkat dan justru berkembang subur di negara-negara Eropa Barat sejak pertengahan abad ke-19.

Meski sejarah demokrasi sudah amat tua dan mengalami perkembangan seiring panggilan zaman, akan tetapi kita tetap bisa memperoleh pengertian umum tentang demokrasi Barat. Itu karena corak atau model-model demokrasi sekarang ini tetap memliki “roh” yang sama, yaitu paham kebebasan individu atau yang sering kita kenal dengan terma individualisme.

Demokrasi Barat bersumber dari paham kebebasan individu yang merupakan karakteristik dari masyarakat Barat yang liberal. Lebih spesifik lagi, liberalisme merupakan perwujudan dari kebangkitan kelas menengah masyarakat Eropa terutama Inggris dan Perancis yang menjadi negara terkuat di Eropa Barat sejak awal abad ke-19. Sebut saja Perancis, pada tahun 1830 terjadi revolusi di Perancis oleh kaum menengah dan penduduk Paris yang memaksa Raja Charles X turun tahta yang kemudian digantikan oleh Philipe. Keadaan serupa juga terjadi di Inggris yang membuat Raja William IV menyerah akibat gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh kaum menengah di Birmingham, Liverpool, dan kota-kota lainnya seperti Manchaster.

Penulis buku ini mengungkapkan setidaknya ada empat kebijakan (atau lebih tepatnya tuntutan-tuntutan) yang diinginkan oleh kaum menengah dan harus diwujudkan oleh penguasa, yaitu 1) Mereka menginginkan pembentukan pemerintahan yang efisien dan yang mengakui keutamaan nilai-nilai komersial dan industri; 2) Mereka menuntut pemerintahan berdasarkan perwakilan-monarki konstitusional di mana kepentingan-kepentingan mereka terwakili secara langsung; 3) Mereka juga menuntut kebijakan luar negeri yang mengutamakan perdamaian dan perdagangan bebas; 4) Mereka juga menginginkan penyebaran nilai-nilai individualisme dan doktrin-doktrin ekonomi klasik.

Meski terdapat usaha-usaha untuk menghentikan gerakan liberal ini semisal melalui aliansi Concert of Europe, akan tetapi gerakan ini malah semakin berkembang pesat dan makin kuat. Gerakan ini menyebar ke negara-negara Eropa lainnya seperti Jerman, Spanyol, Austria, dan Polandia.

Menyinggung soal prinsip-prinsip liberalisme, Zulfikri mengutip pendapat Roy C. Marcidis dalam bukunya Contemporary Political Ideologies. Marcidis menyatakan ada tiga prinsip liberalisme yang hadir secara bersamaan dan oleh karena itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yaitu moral, ekonomi dan politik.

Sedangkan prinsip moral liberalisme menciptakan tiga bentuk kebebasan yang sudah menjadi ketentuan pokok dalam statuta institusi-institusi internasional seperti deklarasi universal tentang Hak Asasi Manusia dari PBB (1948). Ketiga bentuk itu berupa: personal liberties (hak-hak pribadi), civil liberties (hak-hak sipil), dan social liberties (hak-hak sosial).

Sementara prinsip liberalisme dalam kehidupan ekonomi maksudnya adalah ekonomi liberal (economic liberalism) yang berhubungan dengan pelaku ekonomi atau siapa yang berhak mengatur kehidupan ekonomi. Sebelum paham ekonomi liberal dimunculkan, sebenarnya ada paham yang berkembang sebelumnya yaitu paham merkhantilisme yang merupakan kebalikan atau lawan dari faham ekonomi liberal. Ia berpendapat pengaturan kehidupan ekonomi oleh negara merupakan sumber kekayaan negara yang perlu dipertahankan. Tetapi, tidak dengan paham liberal yang berpendapat kehidupan ekonomi sebenarnya sudah diatur oleh hukum alam tertentu. Tentu bagi paham liberal campur tangan negara dalam perekonomian justru hanya menjadi bencana.

Maksud dari diserahkan ke hukum alam adalah usaha individu-individu untuk bersaing secara  bebas dan kompetitif. Memang pada waktu itu (abad ke-18) pemikiran Eropa sedang terpengaruh oleh keyakinan tentang keutamaan hukum alam (natural laws). Tak ayal, keyakinan ini membawa dampak pada pemikirannya  tentang dunia perekonomian.

Adam Smith sebagai bapak ekonomi liberal memang menghendaki adanya faham individualisme. Karena baginya paham itu dapat memicu adanya usaha untuk memproduksi secara efisien, dan akibat dari produksi efisien itu adalah penurunan tingkat harga barang yang ditawarkan.

Sedangkan dalam kehidupan politik (political liberalism) yang merupakan prinsip ketiga yang ada dalam cakupan paham liberalisme, menyoal bagaimana menerjemahkan kebebasan individu ke dalam kehidupan bernegara, lebih spesifik penulis menjelaskan maksud dari political liberalism adalah kebebasan dalam berpikir dan menyatakan pendapat, kebebasan hak milik, kebebasan berkelompok, kebebasan beragama, kebebasan pers dan seterusnya. Bagi kaum liberal bahwa manusia dapat mencapai kemajuan hanya dalam suasana kebebasan.

John locke, sebagai seorang filsuf politik liberal, menyodorkan konsep kekuasaan pemerintah yang terbatas melalui konstitusi. Di antara ciri dari konstitusionalisme adalah kewenangan (otoritas) pemerintahan harus dibatasi oleh maksud dan tujuan dibentuknya pemerintahan tersebut yaitu menjaga ketertiban dan melindungi hak-hak dasar individu. Jalannya pemerintahan harus selaras dengan hukum alam. Setiap hukum yang diberlakukan harus diumumkan secara resmi agar diketahui oleh masyarakat luas dan lain-lain yang tidak disebutkan di sini, tetapi dapat dipahami bahwa bagi John Locke negara ada dengan kekuasaan yang terbatas.

Bung Hatta dan Kritiknya terhadap Demokrasi Barat

Jika kita mengenal Bung Karno sebagai yang anti terhadap demokrasi Barat, berbeda dengan Bung Hatta yang tidak mengungkapkan demikian melainkan melakukan kritik terhadap demokrasi Barat. Seperti dikutip oleh penulis buku, Bung Hatta mengemukakan sikap itu dalam brosur Ke Arah Indonesia Merdeka sebagai berikut: “Jadinya, demokrasi Barat yang dilahirkan oleh Revolusi Perancis tiada membawa kemerdekaan rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kapitalisme. Sebab itu, demokrasi politik saja tidak cukup untuk mencapai demokrasi yang sebenarnya, yaitu Kedaulatan Rakyat. Haruslah ada pula demokrasi ekonomi…”

Bung Hatta menilai demokrasi Barat bersifat pincang dan tidak senonoh. Sebab, di dalam demokrasi Barat yang berlaku hanyalah kedaulatan rakyat dalam bidang politik, sementara kedaulatan rakyat di bidang ekonomi tidaklah menjadi fokus utama dan bahkan sampai pada tahap pengabaian.

Zulfikri mengungkapkan cara pandang Hatta ini mirip dengan cara pandang Marx. Hatta tidak memandang demokrasi politik ini dari kelemahan substantifnya. Hatta beranggapan demokrasi politik sebagai sebuah sistem kenegaraan merupakan sesuatu yang mulia, karena mengandung roh atau semangat kemerdakaan, persamaan dan persaudaraan. Tetapi, Hatta melihat kelemahannya dari sudut alasan dibentuknya demokrasi politik tersebut. Perancis sebagai sebuah negara dengan sistem demokrasi liberalnya yang melegitimasi terhadap bekerjanya sistem ekonomi kapitalis pernah melarang adanya pembentukan serikat buruh yang dianggapnya membatasi kebebasan. Dan ini ada dalam konstitusi pertama Perancis dan dicontohkan oleh Mohammad Hatta untuk memberikan gambaran tentang kehidupan ekomoni di tengah sistem demokrasi Barat.

Demokrasi untuk Indonesia

Setelah memberikan ulasan tentang demokrasi Barat beserta kritik Hatta terhadapnya, pada bab-bab selanjutnya penulis buku mendeskripsikan pemikiran Hatta sebagai sebuah solusi demokasi di Indonesia, sebagai upaya menjawab kepincangan yang ada pada demokrasi Barat.

Seperti yang telah dipaparkan di atas, kita dapat memahami bagaimana kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi dilahirkan oleh paham individualisme yang menjadi latar budaya masyarakat Eropa. Dengan demikian, Hatta memandang adanya pola pikir demokrasi Indonesia yang berbeda dengan Barat. Tentu dengan melihat latar budaya Indonesia yang bertolak belakang dengan kultur Barat. Oleh karena itu, pemikiran Hatta patut dipertimbangkan meski Sjahrir menganggap pemikiran Bung Hatta terlalu ideal dan bertentangan dengan realitas politik yang berlaku.

Sebagai upaya menggantikan ruang kapitalisme yang dianggap lemah dan tidak menunjukkan keberpihakannya terhadap rakyat secara keseluruhan, Hatta menyodorkan demokrasinya sendiri yang  menurutnya sesuai dengan latar budaya Indonesia yang menganut paham kolektivisme atau kebersamaan. Kolektivisme dalam masyarakat Indonesia melahirkan tiga ciri: rapat/musyawarah, mufakat dan tolong-menolong.

Jika pada lembaga legislatif terdapat wujud demokrasi melalui musyawarah dan mufakat yang merupakan pengembangan dari asas kebersamaan dalam bidang politik, maka bagi Hatta koperasi merupakan wujud kebersamaan rakyat dalam kehidupan ekonomi. Keyakinan Hatta ini diwujudkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (1) yang berbunyi: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.”

Demokrasi ekonomi yang diterjemahkan dari pasal 33 ayat (1) di atas lebih dikonkritkan lagi dalam Penjelasan UUD 1945 sebagai berikut: “Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-perorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”.

Gagasan koperasi memang tidak menunjukkan orisinalitas pemikiran Bung Hatta. Oleh karana koperasi memang telah lahir di Eropa pascarevolusi industri bermaksud untuk memperbaiki keadaan buruh yang menderita. Tetapi, upaya membangun demokrasi untuk Indonesia dengan melihat latar sosio-kultur masyarakat Indonesia yang sama sekali berbeda dengan Barat menunjukkan orisinalitas pemikiran politiknya. Buku ini cukup memberikan kritik tajam terhadap demokrasi Barat yang merambah di negara-negara lain termasuk Indonesia  dengan menyodorkan konsep demokrasinya Bung Hatta sekaligus juga sebagai sebuah upaya menjaga serta melestarikan pemikiran dari Bapak Bangsa kita untuk kebaikan kehidupan politik dan ekonomi Indonesia masa depan. (*)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar