Oleh:
Sayyid Ja’far
Shodiq
Santri Pesantren
Ciganjur, Mahasiswa LIPIA Jakarta
Judul :
Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta
Penulis : Zulfikri Suleman
Penerbit : PT Kompas Gramedia
Cetakan : I, April 2010
Tebal : vii+268 halaman
Peresensi : Sayyid Suhud
Penulis : Zulfikri Suleman
Penerbit : PT Kompas Gramedia
Cetakan : I, April 2010
Tebal : vii+268 halaman
Peresensi : Sayyid Suhud
Carol Gould dalam bukunya “Demokrasi
Ditinjau Kembali” (judul terjemahan) mengungkapkan bahwa demokrasi abad ke-19 (Demokrasi
Liberal) tidak lagi mampu menjawab beragam persoalan politik dan ekonomi abad ke-20
seperti sekarang ini. Apakah karena ketimpangan dan kepincangan yang ada pada
tubuh model demokrasi yang telah diterapkan oleh Barat yang pada akhirnya
sistem itu merambah dan diikuti oleh negara berkembang? Disetujui maupun tidak,
fakta dari negara Barat seperti Amerika yang menunjukkan angka kemiskinan yang
tidaklah menurun nampaknya cukup menjadi jawaban terhadap pertanyaan di atas. Di
samping memang butuh banyak data-data lanjutan sebagai upaya menunjukkan sisi
kelemahan dari demokrasi liberal jika diterapkan secara permanen.
Demokrasi sebagai sebuah sistem
suatu negara merupakan sesuatu yang tidak asing di telinga masyarakat luas. Lebih-lebih
demokrasi itu sendiri memang telah diterapkan di negara kita sejak zaman Orde
Lama sampai pasca-Reformasi sekarang ini. Tetapi, apakah ia akan diterima
begitu saja sehingga kita tidak pernah melihat adanya sisi kelemahan yang ada
pada tubuh demokrasi secara umum? Pengalaman perasaan tertekan selama empat
dekade mungkin menjadi sebagian sebab tidak adanya keinginan untuk mengkritisi
secara serius pada demokrasi dan terutama demokrasi yang kita anut dewasa ini.
Mengenal biografi Bung Hatta
Nama Muhammad Hatta sebagai sosok
pejuang kemerdakaan tidaklah asing di telinga masyarakat secara umum baik dari
kalangan akademisi maupun petani. Di samping memang beliau pernah menjadi Wakil
Presiden era Soekarno meski pada akhirnya beliau memundurkan diri dari
jabatannya, tetapi fakor-faktor yang mempengaruhi pemikiran politik dan
demokrasi beliau yang tentu di antaranya dipengaruhi oleh latar budaya di mana
beliau dilahirkan mungkin tidak banyak yang mengetahuinya.
Hatta dilahirkan di Sumatera Barat,
tepatnya di Minangkabau, yang merupakan satu kesatuan sosiologis-kultural dari
sebuah provinsi yang dinamakan dengan Sumatera Barat. Nilai-nilai penting demokrasi
---kesetaraan, musyawarah dan kritik--- memang sudah berkembang subur di ranah Minang
tersebut. Masyarakatnya tidaklah begitu mengistemawakan seorang pemimpin,
mereka akan menghargai pemimpin yang memihak pada rakyat dan tidak segan-segan
mengkritiknya bila terjadi ketimpangan dalam mengurus rakyat. Lebih jauh lagi
sebenarnya mereka tidak mengenal satu penguasa mutlak atau raja. Berdasarkan
prinsip mamak alim mamak disambah, mamak lalim mamak disanggah (boleh
melawan pemimpin yang zalim), cukup memberikan gambaran pada kita tentang sikap
masyarakat Minangkabau yang tidak perlu takut melakukan kritik terhadap seorang
penguasa.
Bung Hatta dilahirkan dari keturunan
ulama Madura dari pihak ayah dengan keturunan saudagar dari pihak ibu.
Kombinasi percampuran dari latar belakang keluarga yang berbeda ini cukup
memberikan pemahaman kepada kita bagaimana gagasan demokrasi dan politik Hatta yang
tidak lepas dari sosoknya yang agamis sekaligus ahli dalam perekonomian,
ditambah dengan pendidikan yang ia tempuh sewaktu di Belanda. Hatta menempuh
studinya di Handels Hoge School (sekolah tinggi dagang) di negeri Kincir
Angin itu. Hal utama yang memotivasi dirinya untuk menempuh studi tersebut
adalah upaya mendalami pengetahuan di bidang ekonomi.
Meski demikian, Hatta bukanlah sosok
yang menggantungkan dirinya pada pengetahuan yang diperoleh dari kampus. Ia juga
aktif membaca tulisan-tulisan politik dan sejarah bangsa-bangsa. Di samping itu,
Hatta juga aktif membaca koran-koran dan majalah yang terbit di Belanda,
terutama koran-koran yang berpandangan sosialis.
Demokrasi Barat
Dalam buku Demokrasi untuk Indonesia,
Zulfikri tidak hanya menyuguhkan pemikiran Bung Hatta tentang sistem demokrasi
yang ia yakini, tetapi juga menyuguhkan pengetahuan mengenai Bung Hatta dan
lingkungannya; Hatta dan pendidikannya seperti apa yang telah saya deskripsikan
secara sederhana di atas. Penulis juga memberikan penjelasan mengenai Demokrasi
Barat dalam bab selanjutnya.
Sebelum masuk pada ulasan Demokrasi Barat,
Zulfikri sebenarnya juga menjelaskan arti demokrasi itu sendiri. Pada bab awal Zulfikri
menjelaskan bahwa terma demokrasi sebagai sebuah gagasan yang bermula dari
negara-negara Barat khususnya Inggris, Perancis, dan Amerika sebenarnya berasal
dari bahasa Yunani Kuno yang berarti kekuasaan pemerintahan oleh rakyat,
menunjuk pada praktik demokrasi yang diterapkan oleh Yunani 26 abad silam.
Praktik demokrasi (yang dimaksud
adalah demokrasi langsung) yang diterapkan di Yunani Kuno hanya berlangsung
sekitar 200 tahun dan mengalami hibernasi selama lebih kurang 2000 tahun dan
kemudian kembali diangkat dan justru berkembang subur di negara-negara Eropa Barat
sejak pertengahan abad ke-19.
Meski sejarah demokrasi sudah amat
tua dan mengalami perkembangan seiring panggilan zaman, akan tetapi kita tetap
bisa memperoleh pengertian umum tentang demokrasi Barat. Itu karena corak atau model-model
demokrasi sekarang ini tetap memliki “roh” yang sama, yaitu paham kebebasan
individu atau yang sering kita kenal dengan terma individualisme.
Demokrasi Barat bersumber dari paham
kebebasan individu yang merupakan karakteristik dari masyarakat Barat yang
liberal. Lebih spesifik lagi, liberalisme merupakan perwujudan dari kebangkitan
kelas menengah masyarakat Eropa terutama Inggris dan Perancis yang menjadi negara
terkuat di Eropa Barat sejak awal abad ke-19. Sebut saja Perancis, pada tahun
1830 terjadi revolusi di Perancis oleh kaum menengah dan penduduk Paris yang
memaksa Raja Charles X turun tahta yang kemudian digantikan oleh Philipe.
Keadaan serupa juga terjadi di Inggris yang membuat Raja William IV menyerah
akibat gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh kaum menengah di Birmingham, Liverpool,
dan kota-kota lainnya seperti Manchaster.
Penulis buku ini mengungkapkan
setidaknya ada empat kebijakan (atau lebih tepatnya tuntutan-tuntutan) yang diinginkan
oleh kaum menengah dan harus diwujudkan oleh penguasa, yaitu 1) Mereka menginginkan
pembentukan pemerintahan yang efisien dan yang mengakui keutamaan nilai-nilai
komersial dan industri; 2) Mereka menuntut pemerintahan berdasarkan
perwakilan-monarki konstitusional di mana kepentingan-kepentingan mereka
terwakili secara langsung; 3) Mereka juga menuntut kebijakan luar negeri yang
mengutamakan perdamaian dan perdagangan bebas; 4) Mereka juga menginginkan
penyebaran nilai-nilai individualisme dan doktrin-doktrin ekonomi klasik.
Meski terdapat usaha-usaha untuk
menghentikan gerakan liberal ini semisal melalui aliansi Concert of Europe,
akan tetapi gerakan ini malah semakin berkembang pesat dan makin kuat. Gerakan
ini menyebar ke negara-negara Eropa lainnya seperti Jerman, Spanyol, Austria, dan
Polandia.
Menyinggung soal prinsip-prinsip
liberalisme, Zulfikri mengutip pendapat Roy C. Marcidis dalam bukunya Contemporary
Political Ideologies. Marcidis menyatakan ada tiga prinsip liberalisme yang
hadir secara bersamaan dan oleh karena itu tidak bisa dipisahkan satu sama
lain, yaitu moral, ekonomi dan politik.
Sedangkan prinsip moral liberalisme
menciptakan tiga bentuk kebebasan yang sudah menjadi ketentuan pokok dalam
statuta institusi-institusi internasional seperti deklarasi universal tentang
Hak Asasi Manusia dari PBB (1948). Ketiga bentuk itu berupa: personal
liberties (hak-hak pribadi), civil liberties (hak-hak sipil), dan social
liberties (hak-hak sosial).
Sementara prinsip liberalisme dalam
kehidupan ekonomi maksudnya adalah ekonomi liberal (economic liberalism)
yang berhubungan dengan pelaku ekonomi atau siapa yang berhak mengatur
kehidupan ekonomi. Sebelum paham ekonomi liberal dimunculkan, sebenarnya ada paham
yang berkembang sebelumnya yaitu paham merkhantilisme yang merupakan kebalikan
atau lawan dari faham ekonomi liberal. Ia berpendapat pengaturan kehidupan
ekonomi oleh negara merupakan sumber kekayaan negara yang perlu dipertahankan. Tetapi,
tidak dengan paham liberal yang berpendapat kehidupan ekonomi sebenarnya sudah diatur
oleh hukum alam tertentu. Tentu bagi paham liberal campur tangan negara dalam
perekonomian justru hanya menjadi bencana.
Maksud dari diserahkan ke hukum alam
adalah usaha individu-individu untuk bersaing secara bebas dan kompetitif. Memang pada waktu itu
(abad ke-18) pemikiran Eropa sedang terpengaruh oleh keyakinan tentang
keutamaan hukum alam (natural laws). Tak ayal, keyakinan ini membawa
dampak pada pemikirannya tentang dunia
perekonomian.
Adam Smith sebagai bapak ekonomi
liberal memang menghendaki adanya faham individualisme. Karena baginya paham
itu dapat memicu adanya usaha untuk memproduksi secara efisien, dan akibat dari
produksi efisien itu adalah penurunan tingkat harga barang yang ditawarkan.
Sedangkan dalam kehidupan politik (political
liberalism) yang merupakan prinsip ketiga yang ada dalam cakupan paham
liberalisme, menyoal bagaimana menerjemahkan kebebasan individu ke dalam
kehidupan bernegara, lebih spesifik penulis menjelaskan maksud dari political
liberalism adalah kebebasan dalam berpikir dan menyatakan pendapat,
kebebasan hak milik, kebebasan berkelompok, kebebasan beragama, kebebasan pers
dan seterusnya. Bagi kaum liberal bahwa manusia dapat mencapai kemajuan hanya
dalam suasana kebebasan.
John locke, sebagai seorang filsuf
politik liberal, menyodorkan konsep kekuasaan pemerintah yang terbatas melalui
konstitusi. Di antara ciri dari konstitusionalisme adalah kewenangan (otoritas)
pemerintahan harus dibatasi oleh maksud dan tujuan dibentuknya pemerintahan
tersebut yaitu menjaga ketertiban dan melindungi hak-hak dasar individu. Jalannya
pemerintahan harus selaras dengan hukum alam. Setiap hukum yang diberlakukan
harus diumumkan secara resmi agar diketahui oleh masyarakat luas dan lain-lain
yang tidak disebutkan di sini, tetapi dapat dipahami bahwa bagi John Locke
negara ada dengan kekuasaan yang terbatas.
Bung Hatta dan Kritiknya
terhadap Demokrasi Barat
Jika kita mengenal Bung Karno
sebagai yang anti terhadap demokrasi Barat, berbeda dengan Bung Hatta yang
tidak mengungkapkan demikian melainkan melakukan kritik terhadap demokrasi Barat.
Seperti dikutip oleh penulis buku, Bung Hatta mengemukakan sikap itu dalam
brosur Ke Arah Indonesia Merdeka sebagai berikut: “Jadinya, demokrasi Barat
yang dilahirkan oleh Revolusi Perancis tiada membawa kemerdekaan rakyat yang sebenarnya,
melainkan menimbulkan kapitalisme. Sebab itu, demokrasi politik saja tidak
cukup untuk mencapai demokrasi yang sebenarnya, yaitu Kedaulatan Rakyat. Haruslah
ada pula demokrasi ekonomi…”
Bung Hatta menilai demokrasi Barat bersifat
pincang dan tidak senonoh. Sebab, di dalam demokrasi Barat yang berlaku
hanyalah kedaulatan rakyat dalam bidang politik, sementara kedaulatan rakyat di
bidang ekonomi tidaklah menjadi fokus utama dan bahkan sampai pada tahap
pengabaian.
Zulfikri mengungkapkan cara pandang
Hatta ini mirip dengan cara pandang Marx. Hatta tidak memandang demokrasi
politik ini dari kelemahan substantifnya. Hatta beranggapan demokrasi politik
sebagai sebuah sistem kenegaraan merupakan sesuatu yang mulia, karena
mengandung roh atau semangat kemerdakaan, persamaan dan persaudaraan. Tetapi, Hatta
melihat kelemahannya dari sudut alasan dibentuknya demokrasi politik tersebut.
Perancis sebagai sebuah negara dengan sistem demokrasi liberalnya yang melegitimasi
terhadap bekerjanya sistem ekonomi kapitalis pernah melarang adanya pembentukan
serikat buruh yang dianggapnya membatasi kebebasan. Dan ini ada dalam
konstitusi pertama Perancis dan dicontohkan oleh Mohammad Hatta untuk
memberikan gambaran tentang kehidupan ekomoni di tengah sistem demokrasi Barat.
Demokrasi untuk
Indonesia
Setelah memberikan ulasan tentang
demokrasi Barat beserta kritik Hatta terhadapnya, pada bab-bab selanjutnya
penulis buku mendeskripsikan pemikiran Hatta sebagai sebuah solusi demokasi di
Indonesia, sebagai upaya menjawab kepincangan yang ada pada demokrasi Barat.
Seperti yang telah dipaparkan di atas,
kita dapat memahami bagaimana kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi
dilahirkan oleh paham individualisme yang menjadi latar budaya masyarakat Eropa.
Dengan demikian, Hatta memandang adanya pola pikir demokrasi Indonesia yang
berbeda dengan Barat. Tentu dengan melihat latar budaya Indonesia yang bertolak
belakang dengan kultur Barat. Oleh karena itu, pemikiran Hatta patut
dipertimbangkan meski Sjahrir menganggap pemikiran Bung Hatta terlalu ideal dan
bertentangan dengan realitas politik yang berlaku.
Sebagai upaya menggantikan ruang
kapitalisme yang dianggap lemah dan tidak menunjukkan keberpihakannya terhadap
rakyat secara keseluruhan, Hatta menyodorkan demokrasinya sendiri yang menurutnya sesuai dengan latar budaya Indonesia
yang menganut paham kolektivisme atau kebersamaan. Kolektivisme dalam
masyarakat Indonesia melahirkan tiga ciri: rapat/musyawarah, mufakat dan
tolong-menolong.
Jika pada lembaga legislatif
terdapat wujud demokrasi melalui musyawarah dan mufakat yang merupakan
pengembangan dari asas kebersamaan dalam bidang politik, maka bagi Hatta
koperasi merupakan wujud kebersamaan rakyat dalam kehidupan ekonomi. Keyakinan
Hatta ini diwujudkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (1) yang berbunyi:
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.”
Demokrasi ekonomi yang diterjemahkan
dari pasal 33 ayat (1) di atas lebih dikonkritkan lagi dalam Penjelasan UUD
1945 sebagai berikut: “Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi,
produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota
masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-perorang.
Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”.
Gagasan koperasi memang tidak
menunjukkan orisinalitas pemikiran Bung Hatta. Oleh karana koperasi memang
telah lahir di Eropa pascarevolusi industri bermaksud untuk memperbaiki keadaan
buruh yang menderita. Tetapi, upaya membangun demokrasi untuk Indonesia dengan
melihat latar sosio-kultur masyarakat Indonesia yang sama sekali berbeda dengan
Barat menunjukkan orisinalitas pemikiran politiknya. Buku ini cukup memberikan
kritik tajam terhadap demokrasi Barat yang merambah di negara-negara lain
termasuk Indonesia dengan menyodorkan konsep
demokrasinya Bung Hatta sekaligus juga sebagai sebuah upaya menjaga serta
melestarikan pemikiran dari Bapak Bangsa kita untuk kebaikan kehidupan politik
dan ekonomi Indonesia masa depan. (*)
Artikel Terkait
- Salam Redaksi
- Riset Redaksi
- Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
- Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
- Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
- Demokrasi Deliberatif
- Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
- Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
- Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
- Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
- Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
- Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
- Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
- Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar