Kamis, 16 Januari 2014

Riset Redaksi

Demokrasi Kriminal” :
Akhir Sejarah Kita?

I

Kalender saat itu menunjukkan tanggal 16 Agustus 1967. Di hari itu Suharto berpidato di hadapan MPRS tentang Demokrasi Pancasila. Ia mengecam apa yang menurutnya adalah dosa politik era sebelumnya, Demokrasi Terpimpin. Ia kecam ketakstabilan politik karena benturan pelbagai ideologi, lenyapnya hak-hak asasi manusia berikut jaminan dan perlindungan hukum, dan sistem ekonomi yang menurutnya hanya menguntungkan segelintir orang yang dekat dengan penguasa.[1]

Sambil melayangkan kecamannya itu, Suharto menegaskan arah langkah politiknya untuk memperbaiki kerusakan rezim Sukarno. Ia nyatakan bahwa rezimnya berkomitmen untuk menerapakan pancasila dan UUD 1945 dengan ‘murni dan konsekuen’. Ia serukan bahwa ia akan mulai membangun kembali kondisi perekonomian yang carut-marut dan, di saat bersamaan, menjamin hak-hak asasi warga, dengan catatan dilandasi oleh semangat kekeluargaan dan gotongroyong. Singkatnya, ia berkomitmen mempraktikkan apa yang dinamakannya sebagai ‘Demokrasi Pancasila’.

Berbagai kalangan kala itu, tak terkecuali para intelektual dan mahasiswa, menyambut baik dan mendukung isi pidato itu. Hampir semua pendapat sepakat kala itu mengenai apa yang perlu dilakukan. Semuanya telah mafhum bahwa stabilitas politik dan  perekonomian harus dibangun, dan bahwa hak demokratis harus dijamin kembali.

Naasnya, kesepakatan antara pemerintah dan elemen masyarakat warga itu tidak berumur panjang. Rezim Suharto segera sesudah itu menyalahi janjinya. Kontrol ketat terhadap masyarakat diterapkan setelah kerusuhan Malari 1974. Beberapa tokoh terkemuka yang dianggap terlibat dengan partai tertentu ditahan, dan 12 media massa cetak ditutup paksa, tak terkecuali surat kabar Abadi dan Indonesia Raya, yang konsisten mengkritik praktik politik kroni dan korupsi.[2]

Tak ayal, beberapa praktik politik otoriter ini membuat mereka yang sebelumnya mendukung rezim berbalik mengkritik dan menjadi oposisi. Ini baru permulaan. Setelah itu, berbagai kritik lantang disuarakan. Yang terkenal di antaranya adalah semisal Buku Putih Perjuangan Mahasiswa dan Petisi 50.

Secara umum, kritik-kritik itu bermuara pada model kekuasaan Suharto yang pribadi dan sewenang-wenang, kegagalan dalam mempratikkan konstiusionalisme dan rule of the law, pemaksaan dan penyeragaman ideologi, dan penggunaan militer untuk kepentingan partai politik pemerintah, yakni Golkar.

Satu penjelasan menarik yang diajukan sehubungan dengan kenyataan ini adalah pendapat Jeffrey A. Winters. Ia, dalam bukunya, Oligarki, menamai model berkuasa Suharto sebagai ‘oligarki sultanistik’, yaitu rezim oligarki yang bersifat pribadi, yang memperlemah lembaga dan hukum, dan sang pemimpin menggunakan kekuatan pemaksaan dan material untuk mengendalikan rasa takut dan imbalan.[3]

Relasi kekuasaan Orde Baru, menurut Winters, bersifat oligarkis. Sebagaimana lazimnya rezim oligarki, relasi kekuasaan Orba dibangun di atas pemusatan kekayaan ekstrem di tangan segelintir orang. Mereka tumbuh dan berkembang atas prakarsa Suharto. Di bawah Suharto pula, mereka terkonsolidasi. Suharto berperan ibarat wasit yang dengan semau-maunya memberi kartu merah bila para oligark bertikai dengan sesamanya.[4]

Tumbuhnya oligarki itu sendiri di Indonesia bersamaan dengan kembalinya Indonesia pasca 1965 pada rangkulan kapitalis internasional. Buruknya kondisi perekonomian era Demokrasi Terpimpin Sukarno menjadi latar belakang bagi kembalinya cengkeraman kapitalis itu. Orde Baru pada awal pembentukannya menghendaki perekonomian Indonesia dibangun kembali dengan basis investasi dan pinjaman asing yang disokong oleh lembaga finansial internasional dan beberapa negara asing.[5]

Secara retoris, nasionalisme ekonomi dan keadilan sosial, yang merupakan amanat Pancasila dan UUD 1945, tak dilupakan oleh Suharto. Dalam berbagai retorikanya, ia meneguhkan komitmen bahwa negara secara sah mempunyai peran dalam perekonomian dan bahwa bagaimanapun pasar mestilah diatur demi berbagai tujuan sosial yang dicanangkan oleh negara. Akan tetapi, dalam praktiknya, semua ini terbukti omong kosong. Negara kala itu justru menjadi penelikung yang lihai atas retorikanya sendiri. Terbukti, Bank Dunia, yang ikut memberi pinjaman, kemudian memaklumatkan bahwa sekitar 30% anggaran dana pembangunan Indonesia, akibat korupsi yang merajalela, raib entah kemana.[6]

Jelas, peran sentral negara rezim Orde Baru pada sektor perekonomian tak lain tak bukan kecuali untuk kepentingan-kepentingan ekonomi kelompok yang kuat. Berbagai perusahaan negara dan kerajaan bisnis swasta bermunculan didirikan atas dasar monopoli dan akses dan fasilitas istimewa dari negara. Tak dapat dihindari, muncullah oligarki.

Bahwa pada 1980-an negara komat-kamit mendedahkan mantra deregulasi dan debirokratisasi, sama sekali tidak membuat kenyataan di atas berhenti. Alasannya, proses deregulasi itu sendiri bermuka-dua. Deregulasi tidak menyentuh industri-industri yang dilindungi negara dan yang di situ kepentingan mereka yang kuat itu tertanam. Para penggundul hutan Indonesia sedikitpun tak tersentuh. Mereka tetap berpesta pora mencukur-gundul hutan-hutan dengan perlindungan dari negara.[7] Semua ini tak mungkin terjadi tanpa kemampuan para oligark untuk turut mempengaruhi arah dan laju kebijakan negara. [8]

Sementara itu, oposisi, yang coba mengkritik fenomena yang keserakahan dan ketakadilan ini, dicap sebagai anti-pancasila, anti-kekeluargaan. Apalagi setelah Orde Baru mulai memaksakan tafsirnya tentang Pancasila, makin mudah saja ia menuduh para lawan politiknya sebagai tak-Pancasilais. Di sini tampak, bahwa liberalisasi terbatas dalam ekonomi Orde Baru tidak disertai dengan demokrasi politik, kebebasan yang terpagar dalam ekonomi dibangun bersama ruang kebebasan politik yang pengap dan kedap.[9] Partai-partai politik selain Golkar juga terkena musibah. Partai-partai Islam dileburkan jadi satu menjadi Partai Persatuan pembangunan (PPP), sedang partai-partai non-muslim dan partai sosialis ditumpuk jadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Golkar sendiri dianak-emaskan oleh negara, dengan memberinya kesempatan langsung terhadap pelbagai tambang penghasilan negara, di samping sumbangan raksasa dari bisnis swasta.[10] Jadilah kemudian Golkar sebagai kendaraan yang nyaman bagi para oligark, dengan militer sebagai ‘pengawal’ mereka.[11]

Lalu, apa yang membuat bangunan rezim yang sedemikian kokoh ini jatuh, meski tak seluruh jadi abu? Pertanyaan ini jelas telah mengandung pra-anggapan bahwa bangun rezim Orde Baru tak runtuh dari dasarnya, bahwa ada yang tersisa dari tiang-tiang penyangga kekuasaan Orde Baru yang tak dapat disapu oleh badai reformasi. Tapi, sebelum menunjukkan hal itu, uraian berikut ini akan memaparkan secara singkat jawaban pertanyaan di atas.

Patut digarisbawahi sebelumnya bahwa legitimasi politik Suharto bukanlah legitimasi demokratis yang mencerminkan kehendak dan kedaulatan rakyat, melainkan pembangunan ekonomi dengan dasar pertumbuhan. Bahwa sebagian besar laju pembangunan ini, betapapun berhasilnya, hanya menguntungkan segelintir orang di dekat Suharto telah sering dilontarkan sebagai kritik. Namun, ini saja belum cukup mengguncang basis legitimasi kekuasaan Orde Baru.

Apa yang kemudian menjadi gempa bagi legitimasi itu adalah badai krisis yang menerjang perekonomian Indonesia di akhir 1990-an. Begitu dahsyat krisis itu menerjang, hingga membuat Suharto dengan terpaksa menengadahkan-tangan kepada IMF agar mengulurkan bantuan. Dengan syarat restrukturisasi ekonomi, IMF mau memberikan bantuan itu. Namun, karena tahu bahwa syarat itu adalah pukulan mematikan bagi kelompok kuat yang telah dibangunnya, Suharto enggan memenuhi persyaratan itu. Lagi-lagi, Suharto, ‘sultan’ para oligark, jadi tameng bagi oligarki. Tak hanya itu, ia, dalam pertanggungjawabannya di hadapan MPR pada 1998, juga masih sempat berkhotbah menentang apa dulunya berusaha Sukarno lawan; free fight liberalism.[12]

Beberapa perkembangan selanjutnya diwarnai oleh praktik politik jalanan para mahasiswa yang berdemonstrasi. Fenomena ini dipicu oleh kegagalan Suharto mengatasi krisis yang melanda, ditambah bahwa ia kemudian mencabut subsidi bahan pokok dan bahan bakar. Sedemikian guruh politik jalanan itu, hingga membuat berang para angkatan bersenjata dan menghadapi demonstrasi dengan kekerasan. Ratusan, bahkan mungkin ribuan, korban berjatuhan. Suharto sendiri memerintahkan angkatan bersenjata untuk mengatasi para demonstran ‘sebagaimana biasa’, yakni kekerasan. Namun, kepala komando angkatan bersenjata, didukung jajaran bawahannya, menolak; sesuatu yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah Orde Baru. Itu berarti bahwa mereka yang dibesarkan dan dipercaya oleh Suharto mulai menjauhinya. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa beberapa menteri Suharto menolak duduk kembali dalam kabinet 1998 yang baru dibentuk. Hanya keluarga Suharto yang tetap ngotot untuk membela dan mempertahankan sang diktator.[13]

Begitulah, di saat pergolakan massa semakin tak terbendung, di saat namanya di dunia internasional kian suram akibat gagal mengatasi krisis, para penyokong utama Suharto di masa lalu mulai meninggalkan dan membiarkannya ambruk, karena ia telah menjadi beban bagi tatanan sosial yang dibangunnya sendiri. Sekaligus itu berarti bahwa kemunduran Suharto tak lain adalah jalan satu-satunya untuk menjamin kelanggengan status quo.[14]

II

Setelah Suharto jatuh, ada keterbelahan di antara para pengamat politik mengenai apa yang akan terjadi di Indonesia. Beberapa pengamat menilai bahwa apa yang terjadi setelah rezim otoriter Suharto jebol adalah Indonesia sedang berada pada fase transisi menuju demokrasi liberal. Pemilu yang terbuka, kebebasan berkelompok, tak terkecuali partai politik, dan reformasi kelembagaan dan hukum adalah beberapa kenyataan yang diacu oleh kelompok ini sebagai tanda fase transisi itu. Bagi mereka, Indonesia adalah negara yang akan menempuh jalur lurus dari keruntuhan rezim otoriter, ke fase transisi, dan pada akhirnya fase konsolidasi demokrasi.[15]

Pengalamat lain menilai bahwa apa yang terjadi di Indonesia pasca-Orde baru bukanlah transisi menuju demokrasi, bahkan mungkin juga bukan transisi pada ‘sesuatu yang lain’. Alasannya, seperti dikemukakan Vedi Hadiz, adalah bahwa reformasi tidak berarti kekalahan jaringan patronase Orde Baru yang luas. Para pemangsa tetap bisa bertahan dalam lembaga-lembaga demokratis, bahkan dapat menguasainya. Logika politik pasca Orde Baru, dengan demikian, tidak berbeda dari sebelumnya; perebutan kesempatan-kesempatan meraup keuntungan ‘melalui pengamanan akses menuju aparatur negara untuk tujuan-tujuan akumulasi pribadi’.[16]

Terlepas dari perdebatan itu, tak ada yang, barangkali, menyangkal bahwa kebebasan sosial-politik di era setelah Reformasi 1998 dapat lebih dinikmati secara luas dibandingkan pada era Orde Baru. Meski demikian, mungkin juga tidak ada yang menolak bahwa hingga saat ini tidak semua macam kebebasan telah dapat dinikmati oleh sebagian rakyat, sebagaimana juga tidak seluruh rakyat telah dapat menikmati haknya atas kebebasan yang telah secara formal dijamin oleh undang-undang.

Sejak runtuh dan ambruknya negara kekuasaan Orde Baru, negara hukum Indonesia berusaha dibangun kembali. Sejak itu pula, rakyat dapat kembali menghirup udara kebebasan, dan ruang politik tak lagi pengap. Sebagaimana dapat kita saksikan hingga hari ini, kebebasan berbicara, berpendapat, berdiskusi, hingga yang mengkritik pemerintah dengan terang-terangan sekalipun, telah menjadi fenomena sehari-hari, sesuatu yang adalah mimpi untuk dirasakan pada zaman Orde Baru. Kebebasan berkumpul dan berserikat demikian pula halnya. Beragam jenis partai politik, gerakan keagamaan, bahkan yang tak seideologi dengan negara sekalipun, dapat tumbuh bebas di era pasca-reformasi.

Demikian pula halnya dalam tataran kelembagaan. Banyak hal telah diubah dan ditambah. Lembaga legislatif telah diefektifkan kembali, tanpa intervensi dari eksekutif. Demikian pula yudikatif. Hubungan pusat dan daerah juga telah mengalami peralihan, dari sentralisasi ke desentralisasi. Jadinya, kekuasaan daerah menjadi lebih luas daripada era sebelum reformasi.

Namun demikian, semua hasil positif-bila dapat disebut demikian- dari reformasi itu hendaknya tidak membuat kita lupa. Semua itu barulah sebagian dari apa yang kini menjadi kenyataan dalam ruang politik kita. Sebagian yang lain itu adalah bagian yang akut dan suram. Orde Baru, atau lebih tepatnya, Suharto memang telah runtuh. Tapi berbagai ciri politik Orde Baru tidak hilang seluruh.

Di antara beberapa ciri rezim Suharto adalah bahwa ia, seperti telah dikemukakan di atas, bersifat oligarkis. Setelah rezim otoriter itu lenyap, belum tentu sifat oligarkisnya ikut terkikis. Sekali lagi, Suharto memang telah runtuh. Tapi, sekian banyak orang yang dibesarkan dalam pangkuan rezimnya hingga kini masih mewarnai panggung politik kita. Keruntuhan orde baru tidak disertai dengan robohnya anggota jaringannya begitu yang lebar membentang. Di sini, kesimpulan kelompok pengamat kedua itu tak meleset.

Dengan mata telanjang kita dapat membuktikan betapa orang-orang yang kini memegang ataupun mempengaruhi kendali kekuasaan di negeri ini adalah mereka yang dahulunya diuntungkan dengan kesewenangan Orde Baru. Di antara wajah para pemimpin partai politik negeri ini kini, sebagian adalah wajah mereka yang dahulu merasakan manis kekuasaan Orde Baru. Inilah, setidaknya salah satu dari berbagai hal, yang dapat membuat kita mengerti kenapa Suharto dan kroni-kroninya tak berhasil diadili. Malah, yang lebih keterlaluan lagi, ini pula yang membuat kita pernah mendengar tuntutan agar Suharto secara formal diakui sebagai pahlawan; sesuatu yang tak akan pernah dilakukan oleh siapapun ketika gelombang demonstrasi 1998 menerjang.

Partai politik di negeri ini juga setali tiga uang. Dahulunya, setelah reformasi, barangkali kita pernah berharap barang sedikit pada partai-partai politik itu. Dan harapan itu cukup beralasan kala itu, yakni karena mereka, selain (Partai) Golkar, juga merasakan keganasan Orde Baru. Namun, apa yang terjadi kemudian memupuskan harapan kita itu.

Bagaimana tidak, partai politik setelah reformasi, alih-alih menjadi ‘penyambung lidah rakyat’ yang baik dan menyumbangkan dermanya untuk rakyat, mereka justru memperjuangkan kepentingan mereka sendiri dan kepentingan sesama partai politik. Kecuali hanya ketika mendekati pemilu, ada keterputusan komunikasi dan jarak yang merentang lapang antara partai-partai itu dengan rakyat. Pun, bahkan ketika pemilu, apa yang mereka obral adalah janji palsu tentang penegakan hukum, daerah yang maju, apalagi soal korupsi dan kesejahteraan rakyat. Begitu pemilu usai, partai-partai itu berubah menjadi penelikung yang lihai atas retorika mereka sendiri.

Di sini, penting menyoroti apa yang belakangan ini dinamai ‘politik kartel’. Konsep ini merujuk kepada fenomena di mana ‘partai-partai mengabaikan komitmen ideologis atau programatis mereka demi kelangsungan hidup mereka sebagai satu kelompok’.[17] Bahwa partai politik menjunjung-tinggi suatu gagasan ideologis atau mempunyai preferensi programatis tertentu sudah banyak diketahui. Semua itu biasa terlihat dalam arena persaingan ketika pemilu berlangsung. Akan tetapi, pemilu barulah satu dari beberapa arena yang secara teoretis merupakan arena persaingan antar partai politik. Arena yang lain itu adalah legislatif dan pemerintahan.[18]

Tepat pada dua arena terakhir itulah fenomena kartelisasi politik terjadi. Setelah meninggalkan arena pemilu, dan memasuki dua arena terakhir itu, partai-partai politik, bukannya bersaing memperjuangkan idenya demi rakyat, justru kemudian bersekutu menjadi suatu kelompok tersendiri, seakan tak terjadi apa-apa di arena pemilu. Tak lain tujuan persekongkolan itu adalah demi menyelamatkan ‘nasib’ partai-partai politik itu sendiri. Kenapa mereka perlu saling menyelamatkan? Sebab hampir seluruh-kalau bukan memang demikian-partai politik mengidap penyakit kriminal yang sama; perburuan rente secara ilegal.

III

Jelas ada yang kemudian terkorbankan akibat sedemikian akutnya problem demokrasi kita. Tak tanggung-tanggung, yang terkorbankan adalah sila kelima yang menjadi asas bagi bangsa dan negara ini; “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan sosial dalam hal ini dimaknai sebagai tanggung jawab sosial negara kepada mereka yang lemah.

Sejak Orde Baru runtuh, rakyat telah mulai mendapatkan hak politiknya kembali. Hampir tak ada yang tertinggal dari hak-hak itu setelah reformasi bergulir. Namun, hak-hak politik itu, betapapun pentingnya, pada akhirnya hanya diartikan sebagai kebebasan bersuara, tanpa kewajiban didengar oleh negara. Apa yang kemudian tinggal dan menjadi korban adalah hak-hak ekonomi rakyat.

Di satu sisi, ‘pelupaan’ akan hak-hak sosial-ekonomi itu mungkin terlihat ‘wajar’. Sebab, runtuhnya rezim totaliter orde baru telah membuat kran kebebasan politik terbuka sangat lebar dan aspirasi-aspirasi politik, yang sebelumnya disumbat, mengalir deras. Sedemikian terbuka dan derasnya, hingga kita akhirnya jatuh pada euforia yang berlebihan dan ‘lupa’ bahwa ada yang masih tersisa.

Namun, di sisi lain, ‘pelupaan’ itu, bila tak segera dihentikan, akan menjadi dosa yang tak dapat diampuni. Sebab, tepat pada titik ini pulalah, kita sebenarnya sedang lupa akan sejarah, lupa akan cita-cita yang melahirkan republik ini, akan apa yang menjadi cita-cita kemerdekaan bangsa dari penjajah; prinsip ‘negara kesejahteraan’. Bukan hanya lupa akan sejarah, yang barangkali akan dianggap secara sederhana sebagai ‘masa lalu’ yang tidak dialami secara langsung, dan karena itu bukan ‘milik’, mereka yang kini berada di jejaring kekuasaan negeri ini, namun juga lupa akan sesuatu yang hingga kini, dan dengan demikian masih menjadi ‘kekinian’ kita, masih menjadi dasar bagi berdirinya Republik Indonesia; Undang-Undang Dasar 1945.

Mengenai negara kesejahteraan, UUD 1945 menyatakan dalam pasal 34 ayat 1 ; “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”, ayat 2 ; “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”, ayat 3; “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Memandang semua ini, adalah ironis bahwa sampai saat ini sebagian besar rakyat negeri yang kaya-raya ini masih saja harus bergelut dengan kemelut kebutuhan sehari-hari. Bukannya dijamin kebutuhan dan kesejahteraannya, sebagaimana UUD mengamanatkan, para fakir miskin justru semakin tumbuh dalam peliharaan kemiskinan.

Lebih ironis lagi adalah bahwa kian hari kian tampak tiadanya keberpihakan negara terhadap rakyatnya, sekaligus makin jelas sikap abainya terhadap dasar-dasar negara. Problem ekonomi yang kelut-melut ini mustahil terjadi tanpa peran negara melalui sebuah keputusan politik. Tidak masuk akal bahwa suatu sengkarut sistemik yang begitu dahsyat efek destruktifnya terjadi di luar keputusan politik negara. Melalui mekanisme undang-undang, sistem ekonomi kapitalistik di negeri ini mendapatkan legitimasi formal, meski dengan terang-terangan mengingkari asas ‘dikuasai negara’. Buktinya, free fight liberalism yang dulu dicap sebagai musuh dan sebab utama kemelaratan dan kenistaan bangsa, kini secara terang-terangan dipupuk dan dipelihara.

Padak titik ini, kita dapat melihat betapa kekalutan dan kepahitan ekonomi rakyat kecil negeri ini mempunyai dimensi struktural. Melebih-lebihkan faktor etos kerja sebagai faktor kemiskinan di negeri ini akan salah alamat dan menghina mereka kaum papa. Sebab, justru mereka yang paling melaratlah yang tak kenal lelah tak kenal waktu bekerja demi penghidupan mereka dan keluarga. Sebaliknya, mereka yang membuat undang-undang, yang rata-rata adalah orang berpunya, semakin manja duduk di pangkuan kursi negara tanpa prestasi kerja yang jelas memihak rakyat. Demikian pula jika yang ditunjuk adalah faktor keterampilan atau apapun yang menyangkut faktor-faktor individual atau non-struktural. Selagi struktur ekonomi yang diberlakukan oleh negara adalah yang menguntungkan segelintir pemilik modal belaka, selama itu pula kesejahteraan seluruh rakyat terus menjadi mimpi.

Dan, pada titik ini pula kita menyaksikan suatu paradoks demokrasi kita; ‘politik makan politik’. Alasannya, ketidaksetaraan ekonomi, yang diciptakan secara tak langsung oleh demokrasi liberal itu melalui sistem ekonomi liberal (kapitalistik), jelas sangat kuat pengaruhnya terhadap kesetaraan politik di tingkat praktik. Dengan mengesahkan ekonomi kapitalistik, demokrasi liberal, setidaknya di negeri ini, justru mengenyahkan kembali apa yang berusaha ditegakkannya dari semula ; kesetaraan politik. Demokrasi politik belaka, dalam sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan ketimpangan, akan berubah menjadi oligarki; lembaga-lembaga yang menjadi tulang punggung demokrasi, semacam konstitusi, pemilu, dan partai politik dikuasai oleh para pemilik modal demi kepentingan-kepentingan pribadi mereka sendiri.[19]

Naasnya, justru inilah yang terjadi di negeri ini. Campuran antara demokrasi politik an sich, partai politik yang terkartelisasi, dan sistem ekonomi yang timpang menjadikan corak demokrasi kita sebagai-meminjam Jeffrey Winters-‘demokrasi kriminal’.

Penegakan sistem ekonomi liberal di negeri ini pada dasarnya tidak mempunyai dasar konstitusi dan historis yang kokoh. Hal ini juga menjadi bukti betapa kian jauh penyimpangan negara dari asas paling mendasarnya. Pasal 33 UUD 1945 telah menyatakan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Ayat 1), “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (ayat 2), “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas asas demokrasi ekonomi...(ayat 3). Secara historis, prinsip demokrasi ekonomi ini, bersama prinsip ‘negara kesejahteraan’, dimasukkan ke dalam asas dasar justru karena para pendiri Republik sadar betul akan efek kejam kapitalisme dan liberalisme, yang kini justru dipangku negara.

IV

Apa yang kemudian raib dari arena politik kita adalah politik sebagai medan ide; politik sebagai arena kreatifitas dan kontestasi gagasan, yang di dalamnya nasib keadilan diperbincangkan dan diperjuangkan. Arena politik negeri ini telah berubah secara mendalam menjadi semata-mata jembatan kekuasaan untuk meraih dan melindungi kepentingan-kepentingan pribadi.

Politik sebagai kontestasi ide memang pernah mewarnai kehidupan politik kita di awal kemerdekaan. Kala itu, para elite politik tidak terindentifikasi sebagai elite karena kekayaan, sebagaimana oligarki, namun karena kecendekiawanan dan pengaruh dalam masyarakat. Itu sebabnya, arena politik menjadi ajang pertarungan dan perjuangan ide-ide, hingga yang ideologis sekalipun.

Pada perkembangan berikutnya, politik sebagai medan ide mulai dipinggirkan, pertama-tama oleh rezim ‘Demokrasi Terpimpin’ dan diteruskan kemudian oleh rezim ‘Demokrasi Pancasila’-Suharto. Dalam kedua rezim ini, politik berubah menjadi ajang ‘asal Bapak senang’. Kreatifitas dan imajinasi politik rakyat disumbat sedemikian rupa, demi ‘ketertiban politik’.

Begitu lama penyumbatan itu menjadi tragedi negeri ini, hingga akibatnya merasuki secara mendalam budaya politik kita setelah reformasi. Sistem politik yang sedemikian otoriter dan totaliter itu menyulap budaya politik kita dari politik dengan ide sebagai ruh perjuangan menjadi politik tanpa pikiran dan perjuangan. Pada awalnya, proses perubahan ini terjadi dengan pemaksaan dan kekerasan. Namun, kini ia terjadi dengan ‘sukarela’ dan ‘senang hati’. Tak heran kalau kemudian kita tidak dapat lagi membaca ide-ide mendalam, apalagi perjuangan, tentang keadilan sosial, misalnya, dari para elit politik maupun partai hari ini. Yang ada hanya tebar pesona dan bagi-bagi harta di belakang layar sambil pura-pura tulus dan jujur di hadapan media massa.

Dan bilamana ternyata semua itu terjadi dengan komando kepentingan pribadi para elite politik, maka itu berarti lonceng kematian politik negeri ini. Zoon politikon dalam arti metaforis tidak bisa kita dapatkan dalam realitas politik kita. Yang ada di sana adalah zoon politikon dalam arti denotatif sekaligus peyoratif, yakni binatang politik, yang lapar kekuasaan, lihai memanipulasi dan mempolitisasi sesuatu, dan kemampuan tebar pesona.[20]  

Pada dasarnya, ‘politik’ dapat kita tangkap suatu makna tentang berderma pada res publica, pada ‘kebaikan umum’. Artinya, politik memang senantiasa tidak dapat dipisahkan dari kepentingan umum, kebersamaan, dan kesertaan.[21]

Namun, apa yang terjadi di Republik ini adalah sebaliknya. Res privata, atau kepentingan pribadi, yang tak terkendali dan liar merangsek masuk dan menghabisi ruang perjuangan kepentingan publik. Akibatnya, negeri ini adalah republik tanpa publik. Sekaligus, bersama itu, politik menjadi ringkai tertindih ambisi dan kepentingan kelompok atau pribadi.

Inilah saat di mana demokrasi justru kemudian melanggengkan oligarki, sekaligus menghabisi politik itu sendiri. Dan, inilah demokrasi kriminal.

Akankah demikian akhir sejarah kita?

V

Pasca runtuhnya Orde Baru, liberalisasi politik pada level kebebasan untuk mengartikulasikan hak sipil dan politik telah membuahkan pluralisme politik. Dalam situasi ini, kebebasan individu yang dijamin demokrasi liberal telah membentuk kutub-kutub kelompok, yakni partai politik yang beragam untuk menyalurkan kebebasan individu tersebut.

Disebut pluralisme karena kekuatan dan aktor dalam demokrasi model ini beragam, plural. Dalam situasi ini, individu yang menjadi subjek bagi demokrasi liberal telah menggelembung menjadi kelompok-kelompok. Maka, pelaku kedaulatan rakyat tidak lagi massa rakyat yang tak jelas identifikasinya. Kedaulatan rakyat digerakkan oleh kelompok-kelompok yang mewadahi hasrat politik individu yang ada di dalamnya. Tentu pada titik ini, individu telah terkonstruk dalam corak, platform, bendera, dan karakter kepemimpinan dari kelompoknya. Individu, yakni politisi telah terserap ke dalam karakter kelompok. Ia tak lagi otonom, memiliki sikap sendiri, dan oleh karenanya tidak berpeluang lagi menjadi manusia bebas yang bisa memperjuangkan nilai-nilai yang ia yakini.

Sebenarnya pijakan normatif dari pluralisme politik amatlah mulia. Ia berangkat dari keinginan untuk membuyarkan monolitisisme politik. Yakni sistem dan praktik politik yang berporos hanya pada satu kekuatan, entah individu sang pemimpin, maupun totaliterisme satu partai politik. Maka pluralisme hendak menawarkan sistem politik yang mengalokasikan kekuasaan secara menyebar, sehingga pemilik kekuasaan bersifat majemuk. Dengan kemajemukan kekuasaan inilah demokrasi bisa terjaga, sebab akan terjadi proses checks and balances di antara masing faksi politik. Dengan cara demikian, partai penguasa misalnya, tidak akan merasa digdaya sendirian, karena ia dengan sadar membutuhkan sokongan kekuatan dari kawan-lawan politiknya yang majemuk. Inilah yang disebut demokrasi dalam perspektif pluralisme politik. Yakni situasi saling sadar dukungan dari kawan-lawan politik, karena pemilik kekuasaan bukan subjek tunggal, melainkan menyebar dalam “masing tangan” kelompok politik, yang masing-masing membutuhkan dukungan dari kelompok lain. Dengan adanya persaingan di satu sisi, sekaligus kesadaran akan kebutuhan dukungan di sisi lain, maka stabilitas demokrasi akan terjamin. Tentu harapan dari proses persaingan-dukungan ini, melekat pada gerak perimbangan antagonistik antara partai penguasa dan oposisi. Sayangnya dalam praktik tidaklah demikian. Proses persaingan-dukungan ini bahkan telah melumerkan sekat penguasa versus opisisi, menjadi pluralitas kekuatan politik yang saling berkompromi demi keuntungan masing partai.

Dalam situasi pluralis ini, keketatan nilai dan ideologi tidak dibutuhkan. Kenapa? Karena ia hanya akan menghambat proses kompromi, perangkulan lawan, dan rebutan pragmatis “kue kekuasaan”. Memang dalam batang tubuh teoritisnya, pluralisme politik meniscayakan penggantian konflik berbasis benturan ideologi dengan komunikasi politik berlandas rasionalitas. Pada titik inilah pluralisme politik memang anti-konflik dan berhasrat pada stabilitas demi bekerjanya sistem demokrasi. Hanya saja yang terjadi bukan tindakan komunikatif  Habermasian. Yang terjadi hanyalah kompromi politik tanpa pertanggungjawaban rasional, apalagi normatif. Maka situasi pluralis tentulah mensyaratkan deideologisasi politik. Dari sini mustahil kita bisa menjumpai pertarungan politik antar-partai, berbasis perbedaan konseptual dan nilai-nilai yang jelas.

Dari situasi pluralis ini, demokrasi kompetisi elitlah yang terdedahkan. Artinya, segenap prosedur demokrasi digerakkan hanya demi kelancaran kompetisi elit ini. Pada titik inilah pemilu menjadi prosedur utama demokrasi atau self-referential dari demokrasi itu sendiri. Dari sini menjadi mafhum kenapa pemilu dijadikan tolok ukur utama bagi terlaksananya demokrasi. Alasan sederhana: karena pemilu adalah mekanisme demokratis yang mewadahi suksesi kepemimpinan dan pemilihan wakil rakyat yang menjadi media-kondusif bagi kompetisi elit. Pada titik inilah argumentasi pembatasan partisipasi rakyat terjadi. Yakni, dari tujuan utama demokrasi yang hanya mewadahi kelancaran kompetisi elit. Maka partisipasi rakyatpun terbatas, hanya menjadi pemilih lima tahun sekali, dan setelah itu menjadi penonton pasif dari pertarungan elit di panggung politik nasional. Demokrasi kompetisi elit mensyaratkan terbatasnya partisipasi rakyat, karena aktor demokrasi adalah para “profesional politik”, yakni para elit politik yang tergelut dalam kompetisi. Tentu kompetisi pluralis. Yakni kompetisi kompromostik, yang telah menghapus sekat-sekat nilai dan ideologi.

Pada titik inilah lahir apa yang Weber sebut sebagai “diktator terpilih”. Artinya, kediktatoran tidak lagi dimiliki oleh satu penguasa tunggal yang melampaui semua kekuatan politik. Kediktatoran dimiliki oleh siapa saja yang terpilih, baik sebagai anggota DPR, anggota kabinet, presiden, dan wakil presiden. Pemilu adalah mekanisme politik yang melahirkan “diktator terpilih” ini. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena wakil rakyat dan presiden terpilih, hidup bukan untuk rakyat, melainkan untuk partai yang mewadahinya.[22]

Dari sinilah muncul hukum besi oligarki itu. Yakni hukum besi yang terpatri dalam setiap organisasi modern, khususnya partai dan negara. Artinya, “para terpilih” menjadi diktator, karena mereka telah terserap, menjadi sekrup sekaligus mesin besar oligarki, baik oligarki partai maupun negara. Tentu, seperti diketahui, hukum besi oligarki terdapat pada pemusatan kekuasaan hanya pada segelintir penguasa, akibat birokrasi partai-negara yang sudah begitu mapan dan kompleks serta akibat logika kekuasaan yang memberangus logika kebenaran. Partai misalnya akan mengubah landasan ideologisnya, menjadi jargon politik kasar tapi lunak untuk meraup sebesar mungkin suara rakyat. Demikian negara yang bahkan mempolitisasi UUD untuk merepresi gerakan rakyat. Logika kebenaran selalu terepresi oleh logika kekuasaan yang ada dalam hukum besi oligarki. Pada titik ini, hukum besi oligarki telah memisahkan anggota parlemen, kabinet, presiden, dan partai dari pemilik kedaulatan: rakyat. Mereka telah otonom, dan hidup dalam napas politik yang telah independen, yakni kompetisi elit.

Pada titik ini, perumusan “jenis kelamin” demokrasi pasca Orde Baru memang bisa menggunakan teori oligarki atau politik kartel. Teori oligarki relevan karena masing kelompok dalam pluralisme politik itu telah membuahkan oligarki. Atau, sebaliknya, hukum besi oligarki yang ada di partai dan negara telah membuahkan “pembajakan demokrasi” oleh elit-elit politik. Teori politik kartel juga bisa menjadi alat-baca untuk melihat demokrasi kita kini. Karena interaksi dalam kompetisi elit menggunakan mekanisme kartel: koordinasi antar-elit untuk meminimalkan konflik, demi mengontrol harga dan pemaksimalan keuntungan antar-elit. Artinya politik kartel telah menjadi mekanisme koordinatif dalam kompetisi elit tersebut.

Dalam kaitan ini, oligarki dan politik kartel tergerak di dalam pluralisme politik tersebut. Kenapa? Karena pluralisme politik yang telah menciptakan conditio sine qua non bagi oligarki ataupun politik kartel. Meskipun pada satu titik, pluralisme politik juga didukung oleh sifat oligarkis dari partai dan negara. Hal ini niscaya sebab demokrasi di masa ini adalah demokrasi pasca runtuhnya otoritarianisme yang membuat negara menjadi ruang-bebas yang bisa diperebutkan oleh masyarakat. Pasca otoritarianisme, segenap masyarakat yang pada era Orde Baru tidak bisa “memiliki negara”, sekarang mampu “berebut negara”. Dari sinilah masyarakat kemudian terbelah menjadi kelompok-kelompok politik yang tentunya bersifat plural. Pluralisme politikpun terjadi pada ontologi demokrasi itu sendiri yang telah meniadakan ideologi. Karena situasinya “rebutan negara”, maka segenap kelompok masyarakat berusaha melunakkan ideologinya, agar bisa beradaptasi dengan peluang politik yang tidak terprediksi. Terbelahnya masyarakat dalam pluralitas kelompok politik, dan membuyarkan ideologi dalam politik itu sendiri, adalah penanda bagi berjalannya demokrasi pluralis.

VI

Menariknya, di tengah situasi pluralis yang mendedahkan hegemoni oligarki dan politik kartel ini, terdapat perkembangan yang mengarah pada munculnya politik personal. Politik model ini telah mengalahkan dominasi partai-partai serta elit partai yang selama ini mendominasi pentas politik nasional.

Munculnya politik personal ini tidak terlepas dari hadirnya seorang Joko Widodo (Jokowi), mantan Walikota Solo yang pada tahun 2012 terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, bergandengan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kemenangan Jokowi-Ahok pada Pilkada Jakarta ini merupakan kemenangan fase pertama di hadapan elit-elit kawakan seperti Fauzi Bowo (Demokrat), Hidayat Nur Wahid (PKS), dsb. Kekalahan PKS di Pilkada ini membuyarkan klaim dominatif partai Islamis tersebut di Jakarta. Hal ini memperlihatkan pertarungan besar antara kekuatan rakyat miskin dan kalangan menengah terdidik yang menopang Jokowi, vis a vis status quo kekuasaan dan politik Islamis.

Kemenangan Jokowi tidak berhenti di sini. Setelah setahun memimpin Jakarta dengan berbagai program populis seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS), Kartu Jakarta Pintar (KJP), pembangunan “kampung deret” bagi “keluarga kumuh”, rotasi pejabat yang tidak profesional, “lelang jabatan”, blusukan ke kampong, humanisasi Satpol PP, pembangunan MRT, hingga publikasi gajinya demi transparansi, dsb. Berbagai “gebrakan Jokowi” inilah yang mengangkat citra politiknya ke kancah nasional, sehingga ia mengalahkan semua calon presiden (capres) di semua lembaga survei elektabilitas for president 2014.

Hasil survei Lembaga Survei Jakarta (LSJ) pada 9-15 Februari 2013 misalnya, menempatkan Jokowi di urutan teratas (18,1%) capres 2014. Survei ini senada dengan temuan Pusat Data Bersatu pada 6 Februari yang menyatakan hal sama (urutan teratas, 21,2%). Jokowi kemudian digambarkan sebagai “anak macan” yang menerkam induknya sendiri, yakni Megawati Soekarnoputri yang berada di urutan keenam (7,2%) dan Prabowo Subianto di urutan kedua (10,9%).

Menariknya, melejitnya elektabilitas Jokowi sebagai capres berbanding lurus dengan anjlognya elektabilitas dua partai koruptif, Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di survei LSJ, posisi PD melorot ke urutan keempat (6,9%) dan PKS terjun bebas ke urutan tujuh (2,6%). Survei ini mengamini survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 6-20 Desember 2012 yang menempatkan PD di urutan ketiga (8%) dan PKS posisi delapan (2%). Seperti diketahui, survei SMRC ini yang menyebabkan “prahara Demokrat” yang menjegal kepemimpinan Anas Urbaningrum dengan penobatan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum.

Kemenangan Jokowi pada survei capres 2014 ini menggambarkan pergeseran rasionalitas politik, dari politik citra kepada “politik kerja”. Pada titik ini, kemenangan Jokowi hampir sama dengan kemenangan SBY di Pemilu 2004 dan 2009. Di era itu, SBY juga menjadi “kuda hitam” yang mengalahkan siapapun. Alasannya jelas: ia mewakili harapan besar akan kepemimpinan baru, minus muka-muka lama. Pada kasus SBY, yang terjadi adalah pergeseran dari politik berbasis aliran kepada politik personal. Artinya, mesin politik yang sebelumnya berbasis aliran santri, priyayi, abangan, dibuyarkan oleh SBY melalui citra dirinya yang gagah, berwibawa dan elegan. Tentu politik aliran ini merujuk pada partai santri (PKB), priyayi (Golkar) dan abangan (PDI-P). Bahkan kawinnya santri-abangan melalui duet Megawati dan Ketum PBNU, Hasyim Muzadi pada Pemilu 2004 tidak mampu mengalahkan kedigdayaan politik citra SBY.

Dalam kaitan ini kemenangan SBY digerakkan oleh politik citra melalui media massa. Jean Baudrillard menyebutnya sebagai imagologi. Yakni strategi pembentukan citra melalui penciptaan “realitas kedua” yang ada di dalam dunia virtual (virtual reality). Karena virtual, “realitas kedua” ini hanya ada di dalam iklan-kampanye televisi dan tidak ada di realitas sesungguhnya (factual reality). Politik citra inilah yang mempersonalisasikan politik dan membuyarkan politik komunal berbasis aliran. Maka, warga NU misalnya tidak lagi memilih kiainya (Sholahudin Wahid) yang berduet dengan Wiranto (Pemilu 2004). Aji-aji politik NU berbasis pesantren dan kiai tergembosi oleh citra menawan SBY yang langsung menemui rakyat melalui televisi, day to day

Hal serupa terjadi pada Jokowi. Mengapa? Karena ia telah membuyarkan politik aliran, yakni politik Islamis (PKS) dan politik citra SBY itu sendiri yang diwakili oleh PD (Fauzi Bowo). Hal ini yang menarik karena Jokowi telah mengalahkan politik Islam-ideologis ala PKS. Dalam kaitan ini, politik Jokowi merupakan kritik atas politik citra SBY. Sebab meskipun sama-sama dibesarkan oleh media, citra baik Jokowi berbeda dengan pencitraan SBY. Citra Jokowi dibentuk oleh ketulusan dan kinerja populis. Berbagai program unggulan seperti termaktub di atas, begitu dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Melalui KJS dan KJP, politik tiba saja “turun langsung” dari “menara gading negara”, dan hadir di depan pintu orang miskin. Pada titik ini, Jokowi telah menjadi Khalifah Umar ibn Khatab yang memanggul sendiri sekarung gandum dari Bait al-Maal (kas negara) untuk diberikan pada seorang ibu miskin yang tak mampu menanak nasi.

Berbagai program kerakyatan inilah yang diberitakan setiap hari oleh media massa. Maka, sama dengan SBY di Pemilu 2004 dan 2009, Jokowi telah dibesarkan media. Hanya saja basisnya berbeda. Citra SBY bersifat virtual dan oleh karenanya manipulatif, karena tak sesuai dengan kenyataan. Sayangnya, citra virtual ini masih saja digunakan oleh capres-capres bernafsu seperti Aburizal Bakrie, Prabowo, Wiranto, dan kampanye-kampanye Pilkada. Mengamini apatisme atas SBY, rakyatpun tidak termakan oleh politik citra “jilid pertama” ini. Artinya, sebaik apapun Bakrie memoles dirinya di TV, rakyat tetap ingat dengan “dosa Lapindo”. Sesantun apapun Prabowo dan Wiranto mencitrakan diri, rakyat tetap ingat dengan “dosa Orde Baru”-nya.

Sementara itu “citra politik” Jokowi merupakan politik citra “jilid dua”. Yakni politik berbasis teknologi informasi yang tergerak dalam demokrasi informasional (informational democracy).[23] Dalam tahap ini, ketulusan dan kesungguhan kerja Jokowi diterima oleh masyarakat informasional (informational society) dan akhirnya mematangkan rasionalitas politik. Berbagai berita positif atas “Gebrakan Jokowi” dan wakilnya, “Ahok”, telah menciptakan citra politik yang tak hanya virtual tetapi mengakar di realitas sesungguhnya. Oleh karenanya, jika pembuat politik citra SBY dkk adalah tim sukses yang ditolak oleh rakyat. Maka pembuat citra politik Jokowi pasca ia menjabat gubernur adalah masyarakat pers sebagai apresiasi atas kinerjanya. Apresiasi masyarakat pers inilah yang diamini oleh rakyat.   

Sayangnya perkembangan ini tidak disadari oleh para politisi kawakan dan partai-partai. PD tetap saja membasiskan diri pada politik citra. Hasilnya, elektabilitasnya tak menaik apalagi setelah “prahara Demokrat” melahirkan “opera sabun”. Rakyat semakin jengah atas drama “ganti-tak-diganti”-nya Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum. Hal serupa pada PKS yang meskipun melakukan “klarifikasi ideologis”, tak akan mempengaruhi statusnya sebagai partai koruptif. Pada titik ini, proses politik kita telah melampaui tahap konsolidasi demokrasi. Dalam paham umumnya, demokrasi terkonsolidasi ketika persaingan politik berhasil ditata oleh konstitusi. Ini yang melahirkan demokrasi elektoral yang memenangkan SBY. Saat ini, politik tidak digerakkan oleh aturan formal demokrasi, melainkan oleh subjek politik: manusia. Sebuah subjek yang memiliki kualitas “raja-filsuf” Platonian. Kewaskitaan Jokowi dalam memimpin membuat kita percaya bahwa politik adalah jalan mulia bagi kesejahteraan rakyat.

Justru pada titik inilah dilema demokrasi kita terjadi. Mengapa? Karena konsolidasi demokrasi tidak dilakukan oleh mekanisme demokrasi berbasis lembaga-lembaga demokrasi dalam hal ini partai politik. Teori konsolidasi demokrasi runtuh di hadapan kenyataan bahwa keberhasilan pengaturan konstitusional atas konflik politik, tidak secara otomatis membawa praktik politik ke dalam substansi demokrasi. Hal ini terjadi karena demokrasi masih dipahami sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri. Satu hal yang berbeda dengan pendekatan yang memahami demokrasi sebagai alat bagi tujuan kesejahteraan rakyat. Di dalam demokrasi sebagai tujuan, praktik demokrasi akhirnya terhenti pada prosedur karena tujuan demokrasi sebatas menyediakan mekanisme konstitusional bagi terlaksananya partisipasi politik. Inilah paham “demokrasi minimalis” yang melahirkan pluralisme dan kartel politik. Hingga Pemilu 2014 nanti, kualitas demokrasi secara umum akan tetap mengarah pada politik kartel di mana partai-partai politik mendominasi percaturan demokrasi.

Tertundanya pencapresan Jokowi karena tugas kegubernurannya dipastikan menunda espektasi rakyat atas kepemimpinan yang adil. Dengan demikian, keberhasilan demokrasi seakan berada “di tangan” Jokowi. Dari sini terlihat bahwa sebanyak dan sebesar apapun partai politik, rakyat masih memercayakan harapan politiknya kepada figur; jika pada Pemilu 2004 kepada SBY, maka pada Pemilu 2014 kepada Jokowi. Dalam rangka pembangunan sistem demokrasi modern, hal ini bisa dipandang sebagai “pembusukan demokrasi”, sebab kekuatan politik berada di figur. Namun jika ditilik dari prosedur demokrasi itu sendiri yang merupakan mekanisme pergantian kekuasaan secara regular dan damai, maka pemilihan person pemimpin juga menjadi substansi demokrasi. Alangkah baiknya jika partai-partai politik yang sibuk membentuk kartel itu, sadar dengan kenyataan ini. Sebuah kenyataan bahwa partai politik harus mampu menawarkan pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyat. Naiknya elektabilitas PDI-P dan Partai Gerindra tentu terkait dengan keberhasilannya untuk “menghidangkan” pemimpin berkualitas seperti Jokowi-Ahok kepada rakyat, meskipun dengan demikian meminggirkan pesona Megawati dan Prabowo yang terbukti melayu.

Pada titik ini tugas demokrasi kita menjadi jelas: merumuskan pembaruan sistem politik yang menempatkan partai politik sebagai agen “pencari bakat” pemimpin berkualitas. Tentu ini hal ini mensyaratkan peminggiran ego partai-partai itu sendiri yang selama ini telah membentuk kartel. Pertanyaannya, ketika partai-partai kita telah dipimpin para oligarkh, maukah para pimpinan besar partai-partai tersebut mengundurkan nafsunya demi lahirnya para pemimpin baru sekualitas Jokowi-Ahok? Ini merupakan tugas maha berat dari para politisi kawakan yang memang menempatkan partai sebagai kendaraan bagi mimpinya menjadi presiden RI.

Di luar tugas ini masih banyak persoalan demokrasi kita yang harus dibenahi. Misalnya, penggantian sistem pemilu dari “sistem mekanik” berbasis partai menjadi “sistem organik” berbasis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sejarah politik kita sebenarnya memiliki hal ini, yakni keberadaan “utusan golongan” di MPR sebagai perwakilan golongan di masyarakat. Melalui penggantian sistem pemilu organik ini, peserta pemilu tidak melulu partai politik, tetapi juga “utusan golongan” yang mewakili golongan buruh, petani, nelayan, guru, pengusaha, pelajar, ormas keagamaan, dsb. Kehadiran “utusan golongan” ini akan memangkas keterpisahan partai dan basis rakyat. Pertanyaannya apakah partai politik mau mengeliminasi dirinya sendiri demi hadirnya kekuatan politik lain yang lebih merepresentasikan amanat penderitaan rakyat? Oleh karena itu persoalannya menjadi jelas: partai politik bukan menjadi solusi masalah, tetapi masalah itu sendiri. Inilah tragedi demokrasi kita!          
 



[1] David Bourchier dan Vedi R. Hadiz (eds), (Jakarta; Grafiti Pers dan Freedom Institute, 2006). Demokrasi Pancasila, dalam Pemikiran Sosial Politik Indonesia ; Periode 1965-1999.Selanjutnya disingkat Pemikiran Sosial.
[2] Pendahuluan, dalam Pemikiran Sosial.., hal 19.
[3] Jeffrey Winters, Oligarki, (Jakarta; Gramedia, 2011) hal. 201.
[4] Ibid, hal. 233.
[5] Vedi R. Hadiz, Kapitalisme, Kekuasaan Oligarkis dan Negara di Indonesia, dalam Dinamika Kekuasaan; Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, (Jakarta; LP3ES. 2005) hal. 180. Selanjutnya akan disebut Dinamika Kekuasaan.
[6] Ibid, hal 180-181.
[7] Ibid, hal 184.
[8] Ibid, hal 187
[9] Ibid, hal 190.
[10] Ibid, 191.
[11] Ibid, 192.
[12] E. Shobirin Nadj (Ed), Supremasi Sipil, Pelembagaan Politik, dan Integrasi Nasional ; Studi Transisi Politik Pasca Orde Baru, (Jakarta; LP3ES, 2003) hal. 31-43.
[13] Vedi R. Hadiz, Menemukan Kembali Masa Lalu untuk Masa Depan, dalam Dinamika Kekuasaan, hal 217-222.
[14] Ibid, hal. 222.
[15] Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi pasca Orde Baru, hal. 8-10.
[16] Vedi R. Hadiz, Kekuasaan dan Politik di Sumatera Utara: Reformasi yang Tidak Tuntas, dalam Dinamika Kekuasaan, hal 239-240.
[17] Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel ; Studi tentang sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, (Jakarta; KPG, 2009), Hal. 352.
[18] Ibid, 15.
[19] Yudi Latif, Requiem Dini, Krisis Finansial, dan Krisis Demokrasi, dalam majalah Prisma No. 1, Vol. 28, Juni 2009. Hal 18.
[20] Robertus Robet, Republikanisme dan Keindonesiaan; Sebuah Pengantar, (Serpong; Marjin Kiri, 2007) hal. 92.
[21] Ibid, hal 98.
[22] David Held, Models of Democrcay, Jakarta: The Akbar Tandjung Institute, 2006, h., 155
[23] Manuel Castells, The Informational Age: Economy, Society, and Culture Volume II, Wiley-Blacwell, 2010, h., 369

Tidak ada komentar:

Posting Komentar