“Demokrasi Kriminal” :
Akhir Sejarah Kita?
I
Kalender saat itu menunjukkan tanggal 16
Agustus 1967. Di hari itu Suharto berpidato di hadapan MPRS tentang Demokrasi
Pancasila. Ia mengecam apa yang menurutnya adalah dosa politik era sebelumnya,
Demokrasi Terpimpin. Ia kecam ketakstabilan politik karena benturan pelbagai
ideologi, lenyapnya hak-hak asasi manusia berikut jaminan dan perlindungan
hukum, dan sistem ekonomi yang menurutnya hanya menguntungkan segelintir orang
yang dekat dengan penguasa.[1]
Sambil melayangkan kecamannya itu,
Suharto menegaskan arah langkah politiknya untuk memperbaiki kerusakan rezim
Sukarno. Ia nyatakan bahwa rezimnya berkomitmen untuk menerapakan pancasila dan
UUD 1945 dengan ‘murni dan konsekuen’. Ia serukan bahwa ia akan mulai membangun
kembali kondisi perekonomian yang carut-marut dan, di saat bersamaan, menjamin
hak-hak asasi warga, dengan catatan dilandasi oleh semangat kekeluargaan dan
gotongroyong. Singkatnya, ia berkomitmen mempraktikkan apa yang dinamakannya
sebagai ‘Demokrasi Pancasila’.
Berbagai kalangan kala itu, tak
terkecuali para intelektual dan mahasiswa, menyambut baik dan mendukung isi
pidato itu. Hampir semua pendapat sepakat kala itu mengenai apa yang perlu
dilakukan. Semuanya telah mafhum bahwa stabilitas politik dan perekonomian harus dibangun, dan bahwa hak
demokratis harus dijamin kembali.
Naasnya, kesepakatan antara pemerintah
dan elemen masyarakat warga itu tidak berumur panjang. Rezim Suharto segera
sesudah itu menyalahi janjinya. Kontrol ketat terhadap masyarakat diterapkan
setelah kerusuhan Malari 1974. Beberapa tokoh terkemuka yang dianggap terlibat
dengan partai tertentu ditahan, dan 12 media massa cetak ditutup paksa, tak
terkecuali surat kabar Abadi dan Indonesia Raya, yang konsisten
mengkritik praktik politik kroni dan korupsi.[2]
Tak ayal, beberapa praktik politik
otoriter ini membuat mereka yang sebelumnya mendukung rezim berbalik mengkritik
dan menjadi oposisi. Ini baru permulaan. Setelah itu, berbagai kritik lantang
disuarakan. Yang terkenal di antaranya adalah semisal Buku Putih Perjuangan
Mahasiswa dan Petisi 50.
Secara umum, kritik-kritik itu bermuara
pada model kekuasaan Suharto yang pribadi dan sewenang-wenang, kegagalan dalam
mempratikkan konstiusionalisme dan rule of the law, pemaksaan dan
penyeragaman ideologi, dan penggunaan militer untuk kepentingan partai politik
pemerintah, yakni Golkar.
Satu penjelasan menarik yang diajukan
sehubungan dengan kenyataan ini adalah pendapat Jeffrey A. Winters. Ia, dalam
bukunya, Oligarki, menamai model berkuasa Suharto sebagai ‘oligarki
sultanistik’, yaitu rezim oligarki yang bersifat pribadi, yang memperlemah
lembaga dan hukum, dan sang pemimpin menggunakan kekuatan pemaksaan dan
material untuk mengendalikan rasa takut dan imbalan.[3]
Relasi kekuasaan Orde Baru, menurut
Winters, bersifat oligarkis. Sebagaimana lazimnya rezim oligarki, relasi
kekuasaan Orba dibangun di atas pemusatan kekayaan ekstrem di tangan segelintir
orang. Mereka tumbuh dan berkembang atas prakarsa Suharto. Di bawah Suharto
pula, mereka terkonsolidasi. Suharto berperan ibarat wasit yang dengan semau-maunya
memberi kartu merah bila para oligark bertikai dengan sesamanya.[4]
Tumbuhnya oligarki itu sendiri di
Indonesia bersamaan dengan kembalinya Indonesia pasca 1965 pada rangkulan
kapitalis internasional. Buruknya kondisi perekonomian era Demokrasi Terpimpin
Sukarno menjadi latar belakang bagi kembalinya cengkeraman kapitalis itu. Orde
Baru pada awal pembentukannya menghendaki perekonomian Indonesia dibangun
kembali dengan basis investasi dan pinjaman asing yang disokong oleh lembaga
finansial internasional dan beberapa negara asing.[5]
Secara retoris, nasionalisme ekonomi dan
keadilan sosial, yang merupakan amanat Pancasila dan UUD 1945, tak dilupakan
oleh Suharto. Dalam berbagai retorikanya, ia meneguhkan komitmen bahwa negara
secara sah mempunyai peran dalam perekonomian dan bahwa bagaimanapun pasar
mestilah diatur demi berbagai tujuan sosial yang dicanangkan oleh negara. Akan
tetapi, dalam praktiknya, semua ini terbukti omong kosong. Negara kala itu
justru menjadi penelikung yang lihai atas retorikanya sendiri. Terbukti, Bank
Dunia, yang ikut memberi pinjaman, kemudian memaklumatkan bahwa sekitar 30%
anggaran dana pembangunan Indonesia, akibat korupsi yang merajalela, raib entah
kemana.[6]
Jelas, peran sentral negara rezim Orde
Baru pada sektor perekonomian tak lain tak bukan kecuali untuk
kepentingan-kepentingan ekonomi kelompok yang kuat. Berbagai perusahaan negara
dan kerajaan bisnis swasta bermunculan didirikan atas dasar monopoli dan akses
dan fasilitas istimewa dari negara. Tak dapat dihindari, muncullah oligarki.
Bahwa pada 1980-an negara komat-kamit
mendedahkan mantra deregulasi dan debirokratisasi, sama sekali tidak membuat
kenyataan di atas berhenti. Alasannya, proses deregulasi itu sendiri
bermuka-dua. Deregulasi tidak menyentuh industri-industri yang dilindungi
negara dan yang di situ kepentingan mereka yang kuat itu tertanam. Para
penggundul hutan Indonesia sedikitpun tak tersentuh. Mereka tetap berpesta pora
mencukur-gundul hutan-hutan dengan perlindungan dari negara.[7]
Semua ini tak mungkin terjadi tanpa kemampuan para oligark untuk turut
mempengaruhi arah dan laju kebijakan negara. [8]
Sementara itu, oposisi, yang coba
mengkritik fenomena yang keserakahan dan ketakadilan ini, dicap sebagai
anti-pancasila, anti-kekeluargaan. Apalagi setelah Orde Baru mulai memaksakan
tafsirnya tentang Pancasila, makin mudah saja ia menuduh para lawan politiknya
sebagai tak-Pancasilais. Di sini tampak, bahwa liberalisasi terbatas dalam
ekonomi Orde Baru tidak disertai dengan demokrasi politik, kebebasan yang
terpagar dalam ekonomi dibangun bersama ruang kebebasan politik yang pengap dan
kedap.[9]
Partai-partai politik selain Golkar juga terkena musibah. Partai-partai Islam
dileburkan jadi satu menjadi Partai Persatuan pembangunan (PPP), sedang
partai-partai non-muslim dan partai sosialis ditumpuk jadi Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Golkar sendiri dianak-emaskan oleh negara, dengan memberinya
kesempatan langsung terhadap pelbagai tambang penghasilan negara, di samping
sumbangan raksasa dari bisnis swasta.[10]
Jadilah kemudian Golkar sebagai kendaraan yang nyaman bagi para oligark, dengan
militer sebagai ‘pengawal’ mereka.[11]
Lalu, apa yang membuat bangunan rezim
yang sedemikian kokoh ini jatuh, meski tak seluruh jadi abu? Pertanyaan ini
jelas telah mengandung pra-anggapan bahwa bangun rezim Orde Baru tak runtuh
dari dasarnya, bahwa ada yang tersisa dari tiang-tiang penyangga kekuasaan Orde
Baru yang tak dapat disapu oleh badai reformasi. Tapi, sebelum menunjukkan hal
itu, uraian berikut ini akan memaparkan secara singkat jawaban pertanyaan di
atas.
Patut digarisbawahi sebelumnya bahwa
legitimasi politik Suharto bukanlah legitimasi demokratis yang mencerminkan
kehendak dan kedaulatan rakyat, melainkan pembangunan ekonomi dengan dasar
pertumbuhan. Bahwa sebagian besar laju pembangunan ini, betapapun berhasilnya,
hanya menguntungkan segelintir orang di dekat Suharto telah sering dilontarkan
sebagai kritik. Namun, ini saja belum cukup mengguncang basis legitimasi
kekuasaan Orde Baru.
Apa yang kemudian menjadi gempa bagi
legitimasi itu adalah badai krisis yang menerjang perekonomian Indonesia di
akhir 1990-an. Begitu dahsyat krisis itu menerjang, hingga membuat Suharto
dengan terpaksa menengadahkan-tangan kepada IMF agar mengulurkan bantuan.
Dengan syarat restrukturisasi ekonomi, IMF mau memberikan bantuan itu. Namun,
karena tahu bahwa syarat itu adalah pukulan mematikan bagi kelompok kuat yang
telah dibangunnya, Suharto enggan memenuhi persyaratan itu. Lagi-lagi, Suharto,
‘sultan’ para oligark, jadi tameng bagi oligarki. Tak hanya itu, ia, dalam
pertanggungjawabannya di hadapan MPR pada 1998, juga masih sempat berkhotbah
menentang apa dulunya berusaha Sukarno lawan; free fight liberalism.[12]
Beberapa perkembangan selanjutnya
diwarnai oleh praktik politik jalanan para mahasiswa yang berdemonstrasi.
Fenomena ini dipicu oleh kegagalan Suharto mengatasi krisis yang melanda,
ditambah bahwa ia kemudian mencabut subsidi bahan pokok dan bahan bakar.
Sedemikian guruh politik jalanan itu, hingga membuat berang para angkatan
bersenjata dan menghadapi demonstrasi dengan kekerasan. Ratusan, bahkan mungkin
ribuan, korban berjatuhan. Suharto sendiri memerintahkan angkatan bersenjata
untuk mengatasi para demonstran ‘sebagaimana biasa’, yakni kekerasan. Namun, kepala
komando angkatan bersenjata, didukung jajaran bawahannya, menolak; sesuatu yang
baru pertama kali terjadi dalam sejarah Orde Baru. Itu berarti bahwa mereka
yang dibesarkan dan dipercaya oleh Suharto mulai menjauhinya. Hal ini diperkuat
oleh kenyataan bahwa beberapa menteri Suharto menolak duduk kembali dalam
kabinet 1998 yang baru dibentuk. Hanya keluarga Suharto yang tetap ngotot untuk
membela dan mempertahankan sang diktator.[13]
Begitulah, di saat pergolakan massa
semakin tak terbendung, di saat namanya di dunia internasional kian suram
akibat gagal mengatasi krisis, para penyokong utama Suharto di masa lalu mulai
meninggalkan dan membiarkannya ambruk, karena ia telah menjadi beban bagi
tatanan sosial yang dibangunnya sendiri. Sekaligus itu berarti bahwa kemunduran
Suharto tak lain adalah jalan satu-satunya untuk menjamin kelanggengan status
quo.[14]
II
Setelah Suharto jatuh, ada keterbelahan
di antara para pengamat politik mengenai apa yang akan terjadi di Indonesia.
Beberapa pengamat menilai bahwa apa yang terjadi setelah rezim otoriter Suharto
jebol adalah Indonesia sedang berada pada fase transisi menuju demokrasi
liberal. Pemilu yang terbuka, kebebasan berkelompok, tak terkecuali partai
politik, dan reformasi kelembagaan dan hukum adalah beberapa kenyataan yang
diacu oleh kelompok ini sebagai tanda fase transisi itu. Bagi mereka, Indonesia
adalah negara yang akan menempuh jalur lurus dari keruntuhan rezim otoriter, ke
fase transisi, dan pada akhirnya fase konsolidasi demokrasi.[15]
Pengalamat lain menilai bahwa apa yang
terjadi di Indonesia pasca-Orde baru bukanlah transisi menuju demokrasi, bahkan
mungkin juga bukan transisi pada ‘sesuatu yang lain’. Alasannya, seperti
dikemukakan Vedi Hadiz, adalah bahwa reformasi tidak berarti kekalahan jaringan
patronase Orde Baru yang luas. Para pemangsa tetap bisa bertahan dalam
lembaga-lembaga demokratis, bahkan dapat menguasainya. Logika politik pasca
Orde Baru, dengan demikian, tidak berbeda dari sebelumnya; perebutan
kesempatan-kesempatan meraup keuntungan ‘melalui pengamanan akses menuju
aparatur negara untuk tujuan-tujuan akumulasi pribadi’.[16]
Terlepas dari perdebatan itu, tak ada
yang, barangkali, menyangkal bahwa kebebasan sosial-politik di era setelah
Reformasi 1998 dapat lebih dinikmati secara luas dibandingkan pada era Orde
Baru. Meski demikian, mungkin juga tidak ada yang menolak bahwa hingga saat ini
tidak semua macam kebebasan telah dapat dinikmati oleh sebagian rakyat,
sebagaimana juga tidak seluruh rakyat telah dapat menikmati haknya atas
kebebasan yang telah secara formal dijamin oleh undang-undang.
Sejak runtuh dan ambruknya negara
kekuasaan Orde Baru, negara hukum Indonesia berusaha dibangun kembali. Sejak
itu pula, rakyat dapat kembali menghirup udara kebebasan, dan ruang politik tak
lagi pengap. Sebagaimana dapat kita saksikan hingga hari ini, kebebasan
berbicara, berpendapat, berdiskusi, hingga yang mengkritik pemerintah dengan
terang-terangan sekalipun, telah menjadi fenomena sehari-hari, sesuatu yang
adalah mimpi untuk dirasakan pada zaman Orde Baru. Kebebasan berkumpul dan
berserikat demikian pula halnya. Beragam jenis partai politik, gerakan
keagamaan, bahkan yang tak seideologi dengan negara sekalipun, dapat tumbuh
bebas di era pasca-reformasi.
Demikian pula halnya dalam tataran
kelembagaan. Banyak hal telah diubah dan ditambah. Lembaga legislatif telah
diefektifkan kembali, tanpa intervensi dari eksekutif. Demikian pula yudikatif.
Hubungan pusat dan daerah juga telah mengalami peralihan, dari sentralisasi ke
desentralisasi. Jadinya, kekuasaan daerah menjadi lebih luas daripada era
sebelum reformasi.
Namun demikian, semua hasil positif-bila
dapat disebut demikian- dari reformasi itu hendaknya tidak membuat kita lupa.
Semua itu barulah sebagian dari apa yang kini menjadi kenyataan dalam ruang
politik kita. Sebagian yang lain itu adalah bagian yang akut dan suram. Orde
Baru, atau lebih tepatnya, Suharto memang telah runtuh. Tapi berbagai ciri
politik Orde Baru tidak hilang seluruh.
Di antara beberapa ciri rezim Suharto
adalah bahwa ia, seperti telah dikemukakan di atas, bersifat oligarkis. Setelah
rezim otoriter itu lenyap, belum tentu sifat oligarkisnya ikut terkikis. Sekali
lagi, Suharto memang telah runtuh. Tapi, sekian banyak orang yang dibesarkan
dalam pangkuan rezimnya hingga kini masih mewarnai panggung politik kita.
Keruntuhan orde baru tidak disertai dengan robohnya anggota jaringannya begitu
yang lebar membentang. Di sini, kesimpulan kelompok pengamat kedua itu tak
meleset.
Dengan mata telanjang kita dapat
membuktikan betapa orang-orang yang kini memegang ataupun mempengaruhi kendali
kekuasaan di negeri ini adalah mereka yang dahulunya diuntungkan dengan
kesewenangan Orde Baru. Di antara wajah para pemimpin partai politik negeri ini
kini, sebagian adalah wajah mereka yang dahulu merasakan manis kekuasaan Orde
Baru. Inilah, setidaknya salah satu dari berbagai hal, yang dapat membuat kita
mengerti kenapa Suharto dan kroni-kroninya tak berhasil diadili. Malah, yang
lebih keterlaluan lagi, ini pula yang membuat kita pernah mendengar tuntutan
agar Suharto secara formal diakui sebagai pahlawan; sesuatu yang tak akan
pernah dilakukan oleh siapapun ketika gelombang demonstrasi 1998 menerjang.
Partai politik di negeri ini juga setali
tiga uang. Dahulunya, setelah reformasi, barangkali kita pernah berharap barang
sedikit pada partai-partai politik itu. Dan harapan itu cukup beralasan kala
itu, yakni karena mereka, selain (Partai) Golkar, juga merasakan keganasan Orde
Baru. Namun, apa yang terjadi kemudian memupuskan harapan kita itu.
Bagaimana tidak, partai politik setelah
reformasi, alih-alih menjadi ‘penyambung lidah rakyat’ yang baik dan
menyumbangkan dermanya untuk rakyat, mereka justru memperjuangkan kepentingan
mereka sendiri dan kepentingan sesama partai politik. Kecuali hanya ketika
mendekati pemilu, ada keterputusan komunikasi dan jarak yang merentang lapang
antara partai-partai itu dengan rakyat. Pun, bahkan ketika pemilu, apa yang
mereka obral adalah janji palsu tentang penegakan hukum, daerah yang maju,
apalagi soal korupsi dan kesejahteraan rakyat. Begitu pemilu usai,
partai-partai itu berubah menjadi penelikung yang lihai atas retorika mereka
sendiri.
Di sini, penting menyoroti apa yang
belakangan ini dinamai ‘politik kartel’. Konsep ini merujuk kepada fenomena di
mana ‘partai-partai mengabaikan komitmen ideologis atau programatis mereka demi
kelangsungan hidup mereka sebagai satu kelompok’.[17]
Bahwa partai politik menjunjung-tinggi suatu gagasan ideologis atau mempunyai
preferensi programatis tertentu sudah banyak diketahui. Semua itu biasa
terlihat dalam arena persaingan ketika pemilu berlangsung. Akan tetapi, pemilu
barulah satu dari beberapa arena yang secara teoretis merupakan arena
persaingan antar partai politik. Arena yang lain itu adalah legislatif dan
pemerintahan.[18]
Tepat pada dua arena terakhir itulah
fenomena kartelisasi politik terjadi. Setelah meninggalkan arena pemilu, dan
memasuki dua arena terakhir itu, partai-partai politik, bukannya bersaing
memperjuangkan idenya demi rakyat, justru kemudian bersekutu menjadi suatu
kelompok tersendiri, seakan tak terjadi apa-apa di arena pemilu. Tak lain
tujuan persekongkolan itu adalah demi menyelamatkan ‘nasib’ partai-partai
politik itu sendiri. Kenapa mereka perlu saling menyelamatkan? Sebab hampir
seluruh-kalau bukan memang demikian-partai politik mengidap penyakit kriminal
yang sama; perburuan rente secara ilegal.
III
Jelas ada yang kemudian terkorbankan
akibat sedemikian akutnya problem demokrasi kita. Tak tanggung-tanggung, yang
terkorbankan adalah sila kelima yang menjadi asas bagi bangsa dan negara ini;
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan sosial dalam hal ini
dimaknai sebagai tanggung jawab sosial negara kepada mereka yang lemah.
Sejak Orde Baru runtuh, rakyat telah
mulai mendapatkan hak politiknya kembali. Hampir tak ada yang tertinggal dari
hak-hak itu setelah reformasi bergulir. Namun, hak-hak politik itu, betapapun
pentingnya, pada akhirnya hanya diartikan sebagai kebebasan bersuara, tanpa
kewajiban didengar oleh negara. Apa yang kemudian tinggal dan menjadi korban
adalah hak-hak ekonomi rakyat.
Di satu sisi, ‘pelupaan’ akan hak-hak
sosial-ekonomi itu mungkin terlihat ‘wajar’. Sebab, runtuhnya rezim totaliter
orde baru telah membuat kran kebebasan politik terbuka sangat lebar dan
aspirasi-aspirasi politik, yang sebelumnya disumbat, mengalir deras. Sedemikian
terbuka dan derasnya, hingga kita akhirnya jatuh pada euforia yang berlebihan
dan ‘lupa’ bahwa ada yang masih tersisa.
Namun, di sisi lain, ‘pelupaan’ itu,
bila tak segera dihentikan, akan menjadi dosa yang tak dapat diampuni. Sebab,
tepat pada titik ini pulalah, kita sebenarnya sedang lupa akan sejarah, lupa
akan cita-cita yang melahirkan republik ini, akan apa yang menjadi cita-cita
kemerdekaan bangsa dari penjajah; prinsip ‘negara kesejahteraan’. Bukan hanya
lupa akan sejarah, yang barangkali akan dianggap secara sederhana sebagai ‘masa
lalu’ yang tidak dialami secara langsung, dan karena itu bukan ‘milik’, mereka
yang kini berada di jejaring kekuasaan negeri ini, namun juga lupa akan sesuatu
yang hingga kini, dan dengan demikian masih menjadi ‘kekinian’ kita, masih
menjadi dasar bagi berdirinya Republik Indonesia; Undang-Undang Dasar 1945.
Mengenai negara kesejahteraan, UUD 1945
menyatakan dalam pasal 34 ayat 1 ; “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
dipelihara oleh negara”, ayat 2 ; “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan”, ayat 3; “Negara bertanggungjawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak”.
Memandang semua ini, adalah ironis bahwa
sampai saat ini sebagian besar rakyat negeri yang kaya-raya ini masih saja
harus bergelut dengan kemelut kebutuhan sehari-hari. Bukannya dijamin kebutuhan
dan kesejahteraannya, sebagaimana UUD mengamanatkan, para fakir miskin justru
semakin tumbuh dalam peliharaan kemiskinan.
Lebih ironis lagi adalah bahwa kian hari
kian tampak tiadanya keberpihakan negara terhadap rakyatnya, sekaligus makin
jelas sikap abainya terhadap dasar-dasar negara. Problem ekonomi yang
kelut-melut ini mustahil terjadi tanpa peran negara melalui sebuah keputusan
politik. Tidak masuk akal bahwa suatu sengkarut sistemik yang begitu dahsyat
efek destruktifnya terjadi di luar keputusan politik negara. Melalui mekanisme
undang-undang, sistem ekonomi kapitalistik di negeri ini mendapatkan legitimasi
formal, meski dengan terang-terangan mengingkari asas ‘dikuasai negara’.
Buktinya, free fight liberalism yang dulu dicap sebagai musuh dan sebab
utama kemelaratan dan kenistaan bangsa, kini secara terang-terangan dipupuk dan
dipelihara.
Padak titik ini, kita dapat melihat
betapa kekalutan dan kepahitan ekonomi rakyat kecil negeri ini mempunyai
dimensi struktural. Melebih-lebihkan faktor etos kerja sebagai faktor
kemiskinan di negeri ini akan salah alamat dan menghina mereka kaum papa.
Sebab, justru mereka yang paling melaratlah yang tak kenal lelah tak kenal
waktu bekerja demi penghidupan mereka dan keluarga. Sebaliknya, mereka yang
membuat undang-undang, yang rata-rata adalah orang berpunya, semakin manja
duduk di pangkuan kursi negara tanpa prestasi kerja yang jelas memihak rakyat.
Demikian pula jika yang ditunjuk adalah faktor keterampilan atau apapun yang
menyangkut faktor-faktor individual atau non-struktural. Selagi struktur
ekonomi yang diberlakukan oleh negara adalah yang menguntungkan segelintir
pemilik modal belaka, selama itu pula kesejahteraan seluruh rakyat terus
menjadi mimpi.
Dan, pada titik ini pula kita
menyaksikan suatu paradoks demokrasi kita; ‘politik makan politik’. Alasannya,
ketidaksetaraan ekonomi, yang diciptakan secara tak langsung oleh demokrasi
liberal itu melalui sistem ekonomi liberal (kapitalistik), jelas sangat kuat
pengaruhnya terhadap kesetaraan politik di tingkat praktik. Dengan mengesahkan
ekonomi kapitalistik, demokrasi liberal, setidaknya di negeri ini, justru
mengenyahkan kembali apa yang berusaha ditegakkannya dari semula ; kesetaraan
politik. Demokrasi politik belaka, dalam sistem ekonomi kapitalistik yang
melahirkan ketimpangan, akan berubah menjadi oligarki; lembaga-lembaga yang
menjadi tulang punggung demokrasi, semacam konstitusi, pemilu, dan partai
politik dikuasai oleh para pemilik modal demi kepentingan-kepentingan pribadi
mereka sendiri.[19]
Naasnya, justru inilah yang terjadi di
negeri ini. Campuran antara demokrasi politik an sich, partai politik
yang terkartelisasi, dan sistem ekonomi yang timpang menjadikan corak
demokrasi kita sebagai-meminjam Jeffrey Winters-‘demokrasi kriminal’.
Penegakan sistem ekonomi liberal di
negeri ini pada dasarnya tidak mempunyai dasar konstitusi dan historis yang
kokoh. Hal ini juga menjadi bukti betapa kian jauh penyimpangan negara dari
asas paling mendasarnya. Pasal 33 UUD 1945 telah menyatakan bahwa “Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Ayat 1), “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (ayat 2), “Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasarkan atas asas demokrasi ekonomi...(ayat 3).
Secara historis, prinsip demokrasi ekonomi ini, bersama prinsip ‘negara
kesejahteraan’, dimasukkan ke dalam asas dasar justru karena para pendiri
Republik sadar betul akan efek kejam kapitalisme dan liberalisme, yang kini
justru dipangku negara.
IV
Apa yang kemudian raib dari arena
politik kita adalah politik sebagai medan ide; politik sebagai arena kreatifitas
dan kontestasi gagasan, yang di dalamnya nasib keadilan diperbincangkan dan diperjuangkan.
Arena politik negeri ini telah berubah secara mendalam menjadi semata-mata jembatan
kekuasaan untuk meraih dan melindungi kepentingan-kepentingan pribadi.
Politik sebagai kontestasi ide memang
pernah mewarnai kehidupan politik kita di awal kemerdekaan. Kala itu, para
elite politik tidak terindentifikasi sebagai elite karena kekayaan, sebagaimana
oligarki, namun karena kecendekiawanan dan pengaruh dalam masyarakat. Itu
sebabnya, arena politik menjadi ajang pertarungan dan perjuangan ide-ide,
hingga yang ideologis sekalipun.
Pada perkembangan berikutnya, politik
sebagai medan ide mulai dipinggirkan, pertama-tama oleh rezim ‘Demokrasi
Terpimpin’ dan diteruskan kemudian oleh rezim ‘Demokrasi Pancasila’-Suharto.
Dalam kedua rezim ini, politik berubah menjadi ajang ‘asal Bapak senang’.
Kreatifitas dan imajinasi politik rakyat disumbat sedemikian rupa, demi
‘ketertiban politik’.
Begitu lama penyumbatan itu menjadi
tragedi negeri ini, hingga akibatnya merasuki secara mendalam budaya politik
kita setelah reformasi. Sistem politik yang sedemikian otoriter dan totaliter
itu menyulap budaya politik kita dari politik dengan ide sebagai ruh perjuangan
menjadi politik tanpa pikiran dan perjuangan. Pada awalnya, proses perubahan
ini terjadi dengan pemaksaan dan kekerasan. Namun, kini ia terjadi dengan
‘sukarela’ dan ‘senang hati’. Tak heran kalau kemudian kita tidak dapat lagi
membaca ide-ide mendalam, apalagi perjuangan, tentang keadilan sosial,
misalnya, dari para elit politik maupun partai hari ini. Yang ada hanya tebar
pesona dan bagi-bagi harta di belakang layar sambil pura-pura tulus dan jujur
di hadapan media massa.
Dan bilamana ternyata semua itu terjadi
dengan komando kepentingan pribadi para elite politik, maka itu berarti lonceng
kematian politik negeri ini. Zoon politikon dalam arti metaforis tidak
bisa kita dapatkan dalam realitas politik kita. Yang ada di sana adalah zoon
politikon dalam arti denotatif sekaligus peyoratif, yakni binatang politik,
yang lapar kekuasaan, lihai memanipulasi dan mempolitisasi sesuatu, dan kemampuan
tebar pesona.[20]
Pada dasarnya, ‘politik’ dapat kita
tangkap suatu makna tentang berderma pada res publica, pada ‘kebaikan
umum’. Artinya, politik memang senantiasa tidak dapat dipisahkan dari kepentingan
umum, kebersamaan, dan kesertaan.[21]
Namun, apa yang terjadi di Republik ini
adalah sebaliknya. Res privata, atau kepentingan pribadi, yang
tak terkendali dan liar merangsek masuk dan menghabisi ruang perjuangan
kepentingan publik. Akibatnya, negeri ini adalah republik tanpa publik.
Sekaligus, bersama itu, politik menjadi ringkai tertindih ambisi dan
kepentingan kelompok atau pribadi.
Inilah saat di mana demokrasi justru
kemudian melanggengkan oligarki, sekaligus menghabisi politik itu sendiri. Dan,
inilah demokrasi kriminal.
Akankah demikian akhir sejarah kita?
V
Pasca
runtuhnya Orde Baru, liberalisasi politik pada level kebebasan untuk mengartikulasikan hak sipil
dan politik telah membuahkan pluralisme politik. Dalam situasi ini, kebebasan
individu yang dijamin demokrasi liberal telah membentuk kutub-kutub kelompok,
yakni partai politik yang beragam untuk menyalurkan kebebasan individu
tersebut.
Disebut
pluralisme karena kekuatan dan aktor dalam demokrasi model ini beragam, plural.
Dalam situasi ini, individu yang menjadi subjek bagi demokrasi liberal telah
menggelembung menjadi kelompok-kelompok. Maka, pelaku kedaulatan rakyat tidak
lagi massa rakyat yang tak jelas identifikasinya. Kedaulatan rakyat digerakkan
oleh kelompok-kelompok yang mewadahi hasrat politik individu yang ada di
dalamnya. Tentu pada titik ini, individu telah terkonstruk dalam corak,
platform, bendera, dan karakter kepemimpinan dari kelompoknya. Individu, yakni
politisi telah terserap ke dalam karakter kelompok. Ia tak lagi otonom,
memiliki sikap sendiri, dan oleh karenanya tidak berpeluang lagi menjadi
manusia bebas yang bisa memperjuangkan nilai-nilai yang ia yakini.
Sebenarnya pijakan normatif dari pluralisme politik amatlah mulia. Ia
berangkat dari keinginan untuk membuyarkan monolitisisme politik. Yakni sistem
dan praktik politik yang berporos hanya pada satu kekuatan, entah individu sang
pemimpin, maupun totaliterisme satu partai politik. Maka pluralisme hendak
menawarkan sistem politik yang mengalokasikan kekuasaan secara menyebar,
sehingga pemilik kekuasaan bersifat majemuk. Dengan
kemajemukan kekuasaan inilah demokrasi bisa terjaga, sebab akan terjadi proses checks
and balances di antara masing faksi politik. Dengan cara demikian, partai
penguasa misalnya, tidak akan merasa digdaya sendirian, karena ia dengan sadar
membutuhkan sokongan kekuatan dari kawan-lawan politiknya yang majemuk. Inilah
yang disebut demokrasi dalam perspektif pluralisme politik. Yakni situasi
saling sadar dukungan dari kawan-lawan politik, karena pemilik kekuasaan bukan
subjek tunggal, melainkan menyebar dalam “masing tangan” kelompok politik, yang
masing-masing membutuhkan dukungan dari kelompok lain. Dengan adanya persaingan
di satu sisi, sekaligus kesadaran akan kebutuhan dukungan di sisi lain, maka
stabilitas demokrasi akan terjamin. Tentu harapan dari proses
persaingan-dukungan ini, melekat pada gerak perimbangan antagonistik antara
partai penguasa dan oposisi. Sayangnya dalam praktik tidaklah demikian. Proses
persaingan-dukungan ini bahkan telah melumerkan sekat penguasa versus
opisisi, menjadi pluralitas kekuatan politik yang saling berkompromi demi
keuntungan masing partai.
Dalam situasi pluralis ini, keketatan nilai dan ideologi tidak dibutuhkan.
Kenapa? Karena ia hanya akan menghambat proses kompromi, perangkulan lawan, dan
rebutan pragmatis “kue kekuasaan”. Memang dalam batang tubuh teoritisnya,
pluralisme politik meniscayakan penggantian konflik berbasis benturan ideologi
dengan komunikasi politik berlandas rasionalitas. Pada titik inilah pluralisme
politik memang anti-konflik dan berhasrat pada stabilitas demi bekerjanya
sistem demokrasi. Hanya saja yang terjadi bukan tindakan komunikatif
Habermasian. Yang terjadi hanyalah kompromi
politik tanpa pertanggungjawaban rasional, apalagi normatif. Maka situasi
pluralis tentulah mensyaratkan deideologisasi politik. Dari sini mustahil kita
bisa menjumpai pertarungan politik antar-partai, berbasis perbedaan konseptual
dan nilai-nilai yang jelas.
Dari situasi pluralis ini, demokrasi kompetisi elitlah yang terdedahkan.
Artinya, segenap prosedur demokrasi digerakkan hanya demi kelancaran kompetisi
elit ini. Pada titik inilah pemilu menjadi prosedur utama demokrasi atau self-referential
dari demokrasi itu sendiri. Dari sini menjadi mafhum kenapa pemilu dijadikan
tolok ukur utama bagi terlaksananya demokrasi. Alasan sederhana: karena pemilu
adalah mekanisme demokratis yang mewadahi suksesi kepemimpinan dan pemilihan
wakil rakyat yang menjadi media-kondusif bagi kompetisi elit. Pada titik inilah
argumentasi pembatasan partisipasi rakyat terjadi. Yakni, dari tujuan utama
demokrasi yang hanya mewadahi kelancaran kompetisi elit. Maka partisipasi rakyatpun
terbatas, hanya menjadi pemilih lima tahun sekali, dan setelah itu menjadi
penonton pasif dari pertarungan elit di panggung politik nasional. Demokrasi
kompetisi elit mensyaratkan terbatasnya partisipasi rakyat, karena aktor
demokrasi adalah para “profesional politik”, yakni para elit politik yang
tergelut dalam kompetisi. Tentu kompetisi pluralis. Yakni kompetisi
kompromostik, yang telah menghapus sekat-sekat nilai dan ideologi.
Pada titik
inilah lahir apa yang Weber sebut sebagai “diktator terpilih”. Artinya,
kediktatoran tidak lagi dimiliki oleh satu penguasa tunggal yang melampaui
semua kekuatan politik. Kediktatoran dimiliki oleh siapa saja yang terpilih,
baik sebagai anggota DPR, anggota kabinet, presiden, dan wakil presiden. Pemilu
adalah mekanisme politik yang melahirkan “diktator terpilih” ini. Kenapa hal
ini bisa terjadi? Karena wakil rakyat dan presiden terpilih, hidup bukan untuk
rakyat, melainkan untuk partai yang mewadahinya.[22]
Dari sinilah
muncul hukum besi oligarki itu. Yakni hukum besi yang terpatri dalam setiap
organisasi modern, khususnya partai dan negara. Artinya, “para terpilih”
menjadi diktator, karena mereka telah terserap, menjadi sekrup sekaligus mesin
besar oligarki, baik oligarki partai maupun negara. Tentu, seperti diketahui,
hukum besi oligarki terdapat pada pemusatan kekuasaan hanya pada segelintir
penguasa, akibat birokrasi partai-negara yang sudah begitu mapan dan kompleks
serta akibat logika kekuasaan yang memberangus logika kebenaran. Partai
misalnya akan mengubah landasan ideologisnya, menjadi jargon politik kasar tapi
lunak untuk meraup sebesar mungkin suara rakyat. Demikian negara yang bahkan
mempolitisasi UUD untuk merepresi gerakan rakyat. Logika kebenaran selalu
terepresi oleh logika kekuasaan yang ada dalam hukum besi oligarki. Pada titik
ini, hukum besi oligarki telah memisahkan anggota parlemen, kabinet, presiden,
dan partai dari pemilik kedaulatan: rakyat. Mereka telah otonom, dan hidup
dalam napas politik yang telah independen, yakni kompetisi elit.
Pada titik
ini, perumusan “jenis kelamin” demokrasi pasca Orde Baru memang bisa
menggunakan teori oligarki atau politik kartel. Teori oligarki relevan karena
masing kelompok dalam pluralisme politik itu telah membuahkan oligarki. Atau,
sebaliknya, hukum besi oligarki yang ada di partai dan negara telah membuahkan
“pembajakan demokrasi” oleh elit-elit politik. Teori politik kartel juga bisa
menjadi alat-baca untuk melihat demokrasi kita kini. Karena interaksi dalam
kompetisi elit menggunakan mekanisme kartel: koordinasi antar-elit untuk
meminimalkan konflik, demi mengontrol harga dan pemaksimalan keuntungan
antar-elit. Artinya politik kartel telah menjadi mekanisme koordinatif dalam
kompetisi elit tersebut.
Dalam kaitan
ini, oligarki dan politik kartel tergerak di dalam pluralisme politik tersebut.
Kenapa? Karena
pluralisme politik yang telah menciptakan conditio sine qua non bagi
oligarki ataupun politik kartel. Meskipun pada satu titik, pluralisme politik
juga didukung oleh sifat oligarkis dari partai dan negara. Hal ini niscaya
sebab demokrasi di masa ini adalah demokrasi pasca runtuhnya otoritarianisme
yang membuat negara menjadi ruang-bebas yang bisa diperebutkan oleh masyarakat.
Pasca otoritarianisme, segenap masyarakat yang pada era Orde Baru tidak bisa
“memiliki negara”, sekarang mampu “berebut negara”. Dari sinilah masyarakat
kemudian terbelah menjadi kelompok-kelompok politik yang tentunya bersifat
plural. Pluralisme politikpun terjadi pada ontologi demokrasi itu sendiri yang
telah meniadakan ideologi. Karena situasinya “rebutan negara”, maka segenap
kelompok masyarakat berusaha melunakkan ideologinya, agar bisa beradaptasi
dengan peluang politik yang tidak terprediksi. Terbelahnya masyarakat dalam
pluralitas kelompok politik, dan membuyarkan ideologi dalam politik itu
sendiri, adalah penanda bagi berjalannya demokrasi pluralis.
VI
Menariknya, di tengah situasi pluralis
yang mendedahkan hegemoni oligarki dan politik kartel ini, terdapat
perkembangan yang mengarah pada munculnya politik personal. Politik model ini telah mengalahkan dominasi
partai-partai serta elit partai yang selama ini mendominasi pentas politik
nasional.
Munculnya politik
personal ini tidak terlepas dari hadirnya seorang Joko Widodo (Jokowi), mantan
Walikota Solo yang pada tahun 2012 terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta,
bergandengan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kemenangan Jokowi-Ahok pada
Pilkada Jakarta ini merupakan kemenangan fase pertama di hadapan elit-elit
kawakan seperti Fauzi Bowo (Demokrat), Hidayat Nur Wahid (PKS), dsb. Kekalahan
PKS di Pilkada ini membuyarkan klaim dominatif partai Islamis tersebut di
Jakarta. Hal ini memperlihatkan pertarungan besar antara kekuatan rakyat miskin
dan kalangan menengah terdidik yang menopang Jokowi, vis a vis status quo kekuasaan dan politik
Islamis.
Kemenangan Jokowi
tidak berhenti di sini. Setelah setahun memimpin Jakarta dengan berbagai
program populis seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS), Kartu Jakarta Pintar (KJP), pembangunan “kampung deret”
bagi “keluarga kumuh”, rotasi pejabat yang tidak profesional, “lelang jabatan”,
blusukan ke kampong, humanisasi
Satpol PP, pembangunan MRT, hingga publikasi gajinya demi transparansi, dsb.
Berbagai “gebrakan Jokowi” inilah yang mengangkat citra politiknya ke kancah
nasional, sehingga ia mengalahkan semua calon presiden (capres) di semua
lembaga survei elektabilitas for
president 2014.
Hasil survei Lembaga Survei Jakarta
(LSJ) pada 9-15 Februari 2013 misalnya, menempatkan Jokowi di urutan teratas
(18,1%) capres 2014. Survei ini senada dengan temuan
Pusat Data Bersatu pada 6 Februari yang menyatakan hal sama (urutan teratas,
21,2%). Jokowi kemudian digambarkan sebagai “anak macan” yang menerkam induknya
sendiri, yakni Megawati Soekarnoputri yang berada di urutan keenam (7,2%) dan
Prabowo Subianto di urutan kedua (10,9%).
Menariknya, melejitnya elektabilitas
Jokowi sebagai capres berbanding lurus dengan anjlognya elektabilitas dua
partai koruptif, Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di survei LSJ, posisi PD melorot ke urutan keempat (6,9%)
dan PKS terjun bebas ke urutan tujuh (2,6%). Survei ini mengamini survei Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 6-20 Desember 2012 yang menempatkan
PD di urutan ketiga (8%) dan PKS posisi delapan (2%). Seperti diketahui, survei
SMRC ini yang menyebabkan “prahara Demokrat” yang menjegal kepemimpinan Anas
Urbaningrum dengan penobatan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum.
Kemenangan Jokowi
pada survei capres 2014 ini menggambarkan pergeseran rasionalitas politik, dari
politik citra kepada “politik kerja”. Pada titik ini, kemenangan Jokowi hampir
sama dengan kemenangan SBY di Pemilu 2004 dan 2009. Di era itu, SBY juga
menjadi “kuda hitam” yang mengalahkan siapapun. Alasannya jelas: ia mewakili harapan
besar akan kepemimpinan baru, minus muka-muka lama. Pada kasus SBY, yang
terjadi adalah pergeseran dari politik berbasis aliran kepada politik personal.
Artinya, mesin politik yang sebelumnya berbasis aliran santri, priyayi, abangan, dibuyarkan oleh SBY melalui citra dirinya
yang gagah, berwibawa dan elegan. Tentu politik aliran ini merujuk pada partai
santri (PKB), priyayi (Golkar) dan abangan (PDI-P). Bahkan kawinnya santri-abangan melalui duet Megawati dan
Ketum PBNU, Hasyim Muzadi pada Pemilu 2004 tidak mampu mengalahkan kedigdayaan
politik citra SBY.
Dalam kaitan ini
kemenangan SBY digerakkan oleh politik citra melalui media massa. Jean
Baudrillard menyebutnya sebagai imagologi. Yakni strategi
pembentukan citra melalui penciptaan “realitas kedua” yang ada di dalam dunia
virtual (virtual reality). Karena
virtual, “realitas kedua” ini hanya ada di dalam iklan-kampanye televisi dan
tidak ada di realitas sesungguhnya (factual
reality). Politik citra inilah yang mempersonalisasikan politik dan
membuyarkan politik komunal berbasis aliran. Maka, warga NU misalnya tidak lagi
memilih kiainya (Sholahudin Wahid) yang berduet dengan Wiranto (Pemilu 2004).
Aji-aji politik NU berbasis pesantren dan kiai tergembosi oleh citra menawan
SBY yang langsung menemui rakyat melalui televisi, day to day.
Hal serupa terjadi
pada Jokowi. Mengapa? Karena ia telah membuyarkan politik aliran, yakni politik
Islamis (PKS) dan politik citra SBY itu sendiri yang diwakili oleh PD (Fauzi
Bowo). Hal ini yang menarik karena Jokowi telah mengalahkan politik
Islam-ideologis ala PKS. Dalam kaitan ini, politik Jokowi merupakan kritik atas
politik citra SBY. Sebab meskipun sama-sama dibesarkan oleh media, citra baik
Jokowi berbeda dengan pencitraan SBY. Citra Jokowi dibentuk oleh ketulusan dan
kinerja populis. Berbagai program unggulan seperti termaktub di atas, begitu
dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Melalui KJS dan KJP, politik tiba saja “turun
langsung” dari “menara gading negara”, dan hadir di depan pintu orang miskin.
Pada titik ini, Jokowi telah menjadi Khalifah Umar ibn Khatab yang memanggul
sendiri sekarung gandum dari Bait al-Maal
(kas negara) untuk diberikan pada seorang ibu miskin yang tak mampu menanak
nasi.
Berbagai program kerakyatan inilah yang
diberitakan setiap hari oleh media massa. Maka, sama dengan SBY di Pemilu 2004
dan 2009, Jokowi telah dibesarkan media. Hanya saja basisnya berbeda. Citra SBY
bersifat virtual dan oleh karenanya manipulatif, karena tak sesuai dengan
kenyataan. Sayangnya, citra virtual ini masih saja digunakan oleh capres-capres
bernafsu seperti Aburizal Bakrie, Prabowo, Wiranto, dan kampanye-kampanye
Pilkada. Mengamini apatisme atas SBY, rakyatpun tidak termakan oleh politik
citra “jilid pertama” ini. Artinya, sebaik apapun Bakrie memoles dirinya di TV,
rakyat tetap ingat dengan “dosa Lapindo”. Sesantun apapun Prabowo dan Wiranto
mencitrakan diri, rakyat tetap ingat dengan “dosa Orde Baru”-nya.
Sementara itu “citra politik” Jokowi
merupakan politik citra “jilid dua”. Yakni politik berbasis teknologi informasi
yang tergerak dalam demokrasi informasional (informational democracy).[23] Dalam
tahap ini, ketulusan dan kesungguhan kerja Jokowi diterima oleh masyarakat
informasional (informational society)
dan akhirnya mematangkan rasionalitas politik. Berbagai berita positif atas
“Gebrakan Jokowi” dan wakilnya, “Ahok”, telah menciptakan citra politik yang
tak hanya virtual tetapi mengakar di realitas sesungguhnya. Oleh karenanya,
jika pembuat politik citra SBY dkk adalah tim sukses yang ditolak oleh rakyat.
Maka pembuat citra politik Jokowi pasca ia menjabat gubernur adalah masyarakat
pers sebagai apresiasi atas kinerjanya. Apresiasi masyarakat pers inilah yang
diamini oleh rakyat.
Sayangnya perkembangan ini tidak
disadari oleh para politisi kawakan dan partai-partai. PD tetap saja
membasiskan diri pada politik citra. Hasilnya, elektabilitasnya tak menaik
apalagi setelah “prahara Demokrat” melahirkan “opera sabun”. Rakyat semakin
jengah atas drama “ganti-tak-diganti”-nya Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum.
Hal serupa pada PKS yang meskipun melakukan “klarifikasi ideologis”, tak akan
mempengaruhi statusnya sebagai partai koruptif. Pada titik ini, proses politik kita telah melampaui tahap
konsolidasi demokrasi. Dalam paham umumnya, demokrasi terkonsolidasi ketika
persaingan politik berhasil ditata oleh konstitusi. Ini yang melahirkan demokrasi
elektoral yang memenangkan SBY. Saat ini, politik tidak digerakkan oleh aturan
formal demokrasi, melainkan oleh subjek politik: manusia. Sebuah subjek yang
memiliki kualitas “raja-filsuf” Platonian. Kewaskitaan Jokowi dalam memimpin
membuat kita percaya bahwa politik adalah jalan mulia bagi kesejahteraan
rakyat.
Justru pada titik
inilah dilema demokrasi kita terjadi. Mengapa? Karena konsolidasi demokrasi
tidak dilakukan oleh mekanisme demokrasi berbasis lembaga-lembaga demokrasi
dalam hal ini partai politik. Teori konsolidasi demokrasi runtuh di hadapan
kenyataan bahwa keberhasilan pengaturan konstitusional atas konflik politik,
tidak secara otomatis membawa praktik politik ke dalam substansi demokrasi. Hal
ini terjadi karena demokrasi masih dipahami sebagai tujuan di dalam dirinya
sendiri. Satu hal yang berbeda dengan pendekatan yang memahami demokrasi
sebagai alat bagi tujuan kesejahteraan rakyat. Di dalam demokrasi sebagai tujuan, praktik demokrasi akhirnya terhenti pada
prosedur karena tujuan demokrasi sebatas menyediakan mekanisme konstitusional
bagi terlaksananya partisipasi politik. Inilah paham “demokrasi minimalis” yang
melahirkan pluralisme dan kartel politik. Hingga Pemilu 2014 nanti, kualitas
demokrasi secara umum akan tetap mengarah pada politik kartel di mana
partai-partai politik mendominasi percaturan demokrasi.
Tertundanya pencapresan Jokowi karena
tugas kegubernurannya dipastikan menunda espektasi rakyat atas kepemimpinan
yang adil. Dengan demikian, keberhasilan demokrasi seakan berada “di
tangan” Jokowi. Dari sini terlihat bahwa sebanyak dan sebesar apapun partai
politik, rakyat masih memercayakan harapan politiknya kepada figur; jika pada
Pemilu 2004 kepada SBY, maka pada Pemilu 2014 kepada Jokowi. Dalam rangka
pembangunan sistem demokrasi modern, hal ini bisa dipandang sebagai “pembusukan
demokrasi”, sebab kekuatan politik berada di figur. Namun jika ditilik dari
prosedur demokrasi itu sendiri yang merupakan mekanisme pergantian kekuasaan
secara regular dan damai, maka pemilihan person pemimpin juga menjadi substansi
demokrasi. Alangkah baiknya jika partai-partai politik yang sibuk membentuk
kartel itu, sadar dengan kenyataan ini. Sebuah kenyataan bahwa partai politik
harus mampu menawarkan pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyat. Naiknya
elektabilitas PDI-P dan Partai Gerindra tentu terkait dengan keberhasilannya
untuk “menghidangkan” pemimpin berkualitas seperti Jokowi-Ahok kepada rakyat,
meskipun dengan demikian meminggirkan pesona Megawati dan Prabowo yang terbukti
melayu.
Pada titik ini tugas demokrasi kita
menjadi jelas: merumuskan pembaruan sistem politik yang menempatkan partai
politik sebagai agen “pencari bakat” pemimpin berkualitas. Tentu ini hal ini mensyaratkan peminggiran ego
partai-partai itu sendiri yang selama ini telah membentuk kartel.
Pertanyaannya, ketika partai-partai kita telah dipimpin para oligarkh, maukah
para pimpinan besar partai-partai tersebut mengundurkan nafsunya demi lahirnya
para pemimpin baru sekualitas Jokowi-Ahok? Ini merupakan tugas maha berat dari
para politisi kawakan yang memang menempatkan partai sebagai kendaraan bagi
mimpinya menjadi presiden RI.
Di luar tugas ini
masih banyak persoalan demokrasi kita yang harus dibenahi. Misalnya,
penggantian sistem pemilu dari “sistem mekanik” berbasis partai menjadi “sistem
organik” berbasis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sejarah politik kita
sebenarnya memiliki hal ini, yakni keberadaan “utusan golongan” di MPR sebagai
perwakilan golongan di masyarakat. Melalui penggantian sistem pemilu organik
ini, peserta pemilu tidak melulu partai politik, tetapi juga “utusan golongan”
yang mewakili golongan buruh, petani, nelayan, guru, pengusaha, pelajar, ormas
keagamaan, dsb. Kehadiran
“utusan golongan” ini akan memangkas keterpisahan partai dan basis rakyat.
Pertanyaannya apakah partai politik mau mengeliminasi dirinya sendiri demi
hadirnya kekuatan politik lain yang lebih merepresentasikan amanat penderitaan
rakyat? Oleh karena itu persoalannya menjadi jelas: partai politik bukan
menjadi solusi masalah, tetapi masalah itu sendiri. Inilah tragedi demokrasi
kita!
Artikel Terkait
- Salam Redaksi
- Riset Redaksi
- Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
- Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
- Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
- Demokrasi Deliberatif
- Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
- Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
- Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
- Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
- Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
- Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
- Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
- Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)
[1] David Bourchier dan Vedi R. Hadiz (eds), (Jakarta;
Grafiti Pers dan Freedom Institute, 2006). Demokrasi Pancasila, dalam Pemikiran Sosial Politik Indonesia
; Periode 1965-1999.Selanjutnya disingkat Pemikiran Sosial.
[5] Vedi R. Hadiz, Kapitalisme, Kekuasaan
Oligarkis dan Negara di Indonesia, dalam Dinamika Kekuasaan; Ekonomi
Politik Indonesia Pasca-Soeharto, (Jakarta; LP3ES. 2005) hal. 180.
Selanjutnya akan disebut Dinamika Kekuasaan.
[12] E. Shobirin Nadj (Ed), Supremasi Sipil,
Pelembagaan Politik, dan Integrasi Nasional ; Studi Transisi Politik Pasca Orde
Baru, (Jakarta; LP3ES, 2003) hal. 31-43.
[13] Vedi R. Hadiz, Menemukan Kembali Masa Lalu
untuk Masa Depan, dalam Dinamika Kekuasaan, hal 217-222.
[16] Vedi R. Hadiz, Kekuasaan dan Politik di
Sumatera Utara: Reformasi yang Tidak Tuntas, dalam Dinamika Kekuasaan,
hal 239-240.
[17] Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik
Kartel ; Studi tentang sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi,
(Jakarta; KPG, 2009), Hal. 352.
[19] Yudi Latif, Requiem Dini, Krisis
Finansial, dan Krisis Demokrasi, dalam majalah Prisma No. 1, Vol.
28, Juni 2009. Hal 18.
[20] Robertus Robet, Republikanisme dan
Keindonesiaan; Sebuah Pengantar, (Serpong; Marjin Kiri, 2007) hal. 92.
[22] David Held, Models of Democrcay,
Jakarta: The Akbar Tandjung Institute, 2006, h., 155
[23] Manuel Castells, The
Informational Age: Economy, Society, and Culture Volume II, Wiley-Blacwell,
2010, h., 369
Tidak ada komentar:
Posting Komentar