Kamis, 16 Januari 2014

Demokrasi versus Liberalisme

Oleh: 
Ihya’ Ulumiddin
Santri Pesantren Ciganjur,
Mahasiswa S2 Universitas Islam Jakarta


Judul Buku     : Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme
Penulis            : Donny Gahran Adian
Penerbit          : Koekoesan
Cetakan          : I, Oktober 2010
Tebal               : ix + 129 halaman
Peresensi        : Ihya’ Ulumiddin


Kenyataan politik saat ini jauh dari cita-cita idealnya. Politik demokrasi yang tujuannya adalah perluasan akses politik kaum miskin, marjinal dan minoritas sekarang menjadi pengabsahan kekuasaan. Kemudian, hal-hal yang seharusnya berada di ruang privat muncul di ruang publik. Akhirnya yang terjadi adalah kehidupan perpolitikan menjadi ajang transaksi dan negosiasi.

Politik demokrasi tidak lagi berfungsi membangun proyek-proyek kesejahteraan umum, tapi lebih merupakan perayaan individualisme dan proseduralisme. Pada titik ini, orang-orang miskin, marjinal dan minoritas hanya menjadi penonton lima tahunan yang terpesona melihat kaum elit politik bersaing merebut kekuasaan tanpa sadar bahwa mereka hanya dijadikan alat.

Kenyataan tersebut membuat Donny Gahral Adian, pengajar filsafat Universitas Indonesia, merasakan kekhawatiran yang juga pernah dirasakan oleh Presiden Soekarno, yaitu kekhawatiran akan terperosoknya bangsa Indonesia ke dalam liang liberalisme. Kekhawatiran itulah yang menjadi titik tolak penulisan buku Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme ini.

Paradoks Demokrasi Liberal

Carl Schimtt mempunyai tesis bahwa demokrasi liberal hanyalah etika humanitarian yang tidak mungkin bisa memperjuangkan masyarakat yang adil dan setara. Schmitt skeptis dengan cita-cita keadilan dan persamaan yang dikampanyekan oleh orang-orang liberal karena liberalisme pada dasarnya hanya mencari kebebasan individual (Boni Hargens: 2006).

Schimtt jauh hari telah mengingatkan betapa demokrasi dan liberalisme tidak sepadan. Liberalisme mengusung kemanusiaan universal, sementara demokrasi mengusung demos atau kesatuan politik yang partikular dan yang mengecualikan. Demokrasi sebagai partikularitas adalah bagian resmi dari politikal. Sedangkan liberalisme justru menguras politikal dari demokrasi dengan membuatnya menjadi semata-mata arena untuk mencapai konsensus rasional. Carl Schmitt menegaskan bahwa demokrasi yang aktual seringkali bersandar pada prinsip bahwa persamaan hanya berlaku pada kelompok yang sama, sedangkan yang berbeda diperlakukan secara tidak setara (hlm. 53).

Dalam buku ini, Donny menyebutkan tiga paradoks demokrasi liberal. Pertama, Universalisme. Liberalisme menuntut kesetaraan universal, semua manusia diperlakukan sama tanpa menimbang apakah dia termasuk di dalam demos atau tidak. Liberalisme adalah kosmopolitanisme yang melampaui demos sebagai partikularitas. Berbeda dengan liberalisme, demokrasi menuntut homogenitas dan menghapus heterogenitas. Demokrasi menarik garis antara mereka yang disebut demos dan mereka yang bukan termasuk demos.

Kesetaraan demokratis adalah kesetaraan substansial. Perlakuan setara terhadap dua orang tidak disebabkan karena keduanya adalah manusia yang memiliki hak universal, tapi karena mereka mengambil bagian pada substansi yang sama. Mereka diperlakukan sama karena mereka adalah warga negara sebuah Republik sebagai kesatuan politik. Intinya, gagasan kesetaraan manusia qua manusia seperti dipromosikan oleh liberalisme adalah kesetaraan non-politik. Sebab, kesetaraan tersebut tidak disandarkan pada sebuah kesatuan politik sebagai substansi. Kesetaraan liberal juga tidak membedakan antara yang diperlakukan sama dan yang diperlakukan berbeda. Kesetaraan demokratis membutuhkan ketidaksetaraan yang darinya kesetaraan tersebut menjadi bermakna. (hlm. 61)

Demokrasi menganulir liberalisme dan liberalisme menganulir demokrasi. Persekutuan ganjil antara demokrasi dengan liberalisme retak seiring dengan krisis parlementarisme. Demokrasi bekerja dengan logika identitas antara yang memerintah dan yang diperintah. Sementara parlementarisme adalah sesuatu yang mengganjal kesebangunan antara yang memerintah dan yang diperintah. Parlementarisme menghalangi presentasi rakyat secara langsung atau yang diperintah sebagai kesatuan politik yang berkehendak (hlm. 62). Belakangan, misalnya, semakin kentara betapa kehendak rakyat sering mendesak dan menuntut langsung tanpa mediasi parlemen, sebab parlemen dianggap representasi kepentingan kelompok, bukan kepentingan rakyat. Parlemen dianggap terlalu sempit dan dangkal bagi kehendak rakyat yang luas dan dalam.

Paradoks kedua adalah representasi. Representasi modern dijangkiti oleh reproduksi teknologis. Reproduksi teknologis adalah replikasi masalah objek material tanpa menyentuh esensi atau substansi objek tersebut. Parlemen hanya mewakili suara (kuantitatif) rakyat. Ia abai terhadap persoalan substantif yang dialami rakyat seperti kemiskinan, kebodohan, dan kesakitan. Representasi politik di parlemen tidak dapat dikatakan mewakili sekian ribu suara setelah pemilihan umum. Representasi adalah kerja berkelanjutan dalam mematerialisasi substansi yang tidak serta merta hadir dalam jumlah suara konstituen.

Gagasan representasi pada awal abad pertengahan jauh sekali berbeda. Refleksi Schmitt tentang Representasi Gereja Katholik Roma abad pertengahan patut dicermati. Politik representasi Gereja Katholik Roma beralas pada logika representasi tersendiri. Representasi Gereja Katholik Roma tidak menghancurkan partikularitas konkret atas nama homogenisasi dan universalisasi. Gereja Katholik Roma tidak sekadar mereproduksi realitas kuantitatif dari representan sehingga menegasi orisinalitas dan partikularitasnya.

Paradoks ketiga adalah Rasionalisme. Donny mencatat rasionalitas demokrasi liberal sejatinya dipasok oleh dua filsuf: John Rawls dan Jurgen Habermas. Rawls (1971) berbicara mengenai distingsi antara rasionalitas kebaikan dan rasionalitas keadilan. Rasionalitas kebaikan berhubungan dengan kapasitas seorang menjalani hidup yang ia anggap bernilai. Rasionalitas keadilan tidak berhubungan dengan realisasi konsep kebaikan, melainkan hak yang meliputi kewajban moral individual dan tuntutan keadilan bagi institusi dan masyarakat. Habermas menyodorkan gagasan rasionalitas komunikatif sebagai landasan demokrasi liberal. Habermas merekonstruksi makna rasionalitas dengan memperkenalkan tiga ruang nilai yaitu: ruang nilai sains, ruang nilai etis, dan ruang nilai estetis. Habermas dan Rawls sama-sama meyakini bahwa demokrasi liberal memerlukan landasan intelektual berupa rasionalitas tindakan atau praktis.

Rasionalitas adalah sebentuk anti-politikal. Politikal adalah sebuah pengelompokan partikular yang didasarkan pada kuasa, bukan pada rasionalitas. Rasionalitas konsensus gagal memahami betapa pentingnya peran kuasa dalam politikal. Rasionalitas konsensus justru membuang kuasa dari proses deliberasi rasional. Padahal, proses deliberasi rasional sesungguhnya diikuti oleh kelompok-kelompok politik yang dibangun oleh kuasa. Lawan debat bukan lawan politik.

Masyarakat demokratis tidak dapat disandarkan pada konsensus rasional tentang prinsip universal. Konsensus tidak pernah mencapai status rasional. Hal ini disebabkan karena ia membutuhkan dua syarat linguistik yang cukup berat: persamaan definisi dan praktik. Misalnya, kata “kebebasan” sebagai pilar demokrasi dipahami mendua. Sebagian memahami sebagai absennya kendala eksternal, sebagian lain memahami sebagai sarana untuk mengaktualisasikan yang mulia dalam diri manusia.

Masyarakat demokratis tidak diatur oleh prosedur tunggal dan universal, tapi oleh kumpulan prosedur atau praktik sosial yang kompleks. Kita harus mengakui kemajemukan bentuk kehidupan ketika permainan demokratis dapat dilangsungkan. Alih-alih menguniversalkan manusia menjadi subjek diskursus atau agen rasional, kemajemukan subjektivitas akibat proliferasi bentuk kehidupan perlu mendapatkan tempat.

Menuju Demokrasi Substansial

Demokrasi dapat dipahami sebagai dua momen. Pertama, momen politik ketika kekuasaan rakyat membentuk politik dengan mendefinisikan isi dan tipe politik yang diinginkannya. Di sini rakyat berlaku sebagai kekuasaan yang menciptakan substansi atau rumpun nilai sebuah kesatuan politik. Selaku pencipta substansi, rakyat menyalurkan kehendak politiknya dalam bentuk prinsip-prinsip pokok konstitusi yang memberi arah, visi, dan haluan pada kesatuan politik bernama negara.

Kedua, momen legal-juridis yakni ketika kekuasaan yang menciptakan menjadi yang diciptakan. Rakyat menjadi lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Ketika kekuasaan rakyat sudah bermetamorfosa menjadi kekuasaan legal-formal, dirinya pun kasat mata (hlm. 83). Kita menyaksikan dinamika politik di dalam atau antarlembaga negara, namun kita tidak lagi melihat rakyat di dalamnya. Rakyat hanya muncul lima tahun sekali di bilik suara untuk memilih representasi politik dan kembali lagi ke kehidupan non-politis sesudahnya.

Konstitusi sebagai substansi politik Republik harus dilindungi secara ketat. Perlindungan terhadap konstitusi adalah perlindungan terhadap rakyat yang menyusunnya. Kedaulatan rakyat adalah kedaulatan dalam bentuk yang masih murni. Prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan rakyat yang berdaulat harus dilindungi dari pengkhianatan. Prinsip-prinsip tersebut menurut Soekarno (1959) adalah sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan yang berkebudayaan.

Prinsip-prinsip pokok yang sudah ditetapkan rakyat berdaulat adalah substansi yang sudah dilindungi dari kedaulatan formal-juridis. Prinsip-prinsip itu harus merupakan hasil penelusuran genealogis mengenai substansi politik yang merupakan kehendak rakyat atau demos. Dengan demikian, demokrasi pun tidak sekadar prosedural, melainkan substansial.

Dengan bahasa yang apik dan lugas buku ini menyuguhkan pembahasan yang cukup komprehensif tentang petaka-petaka demokrasi liberal serta menyuguhkan betapa pentingnya mempertahankan konstitusi sebagai substansi politik dan nilai-nilai yang dikehendaki oleh rakyat atau demos. Di samping ulasan filsafat politik, contoh atau fakta yang terjadi di Indonesia khususnya di era reformasi seperti kenaikan harga BBM, isu pornografi dan lain sebagainya membuat kesan pembahasan buku ini menukik dan membumi.

Dari tema dan isi serta alur penulisan, buku ini diperuntukkan bagi pembaca yang telah memiliki dasar pengetahuan tentang demokrasi liberal. Oleh karena itu, pembaca yang baru belajar tentang demokrasi secara umum dan demokrasi liberal secara khusus akan menemukan kesulitan dalam memahami buku ini. Wallahu A’lam bi al-Shawab. (*)

Artikel Terkait
  1. Salam Redaksi
  2. Riset Redaksi
  3. Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
  4. Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
  5. Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
  6. Demokrasi Deliberatif
  7. Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
  8. Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
  9. Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
  10. Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
  11. Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
  12. Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
  13. Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
  14. Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar