Oleh:
Ihya’ Ulumiddin
Santri Pesantren
Ciganjur,
Mahasiswa S2 Universitas
Islam Jakarta
Judul Buku :
Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme
Penulis :
Donny Gahran Adian
Penerbit :
Koekoesan
Cetakan :
I, Oktober 2010
Tebal :
ix + 129 halaman
Peresensi :
Ihya’ Ulumiddin
Kenyataan politik saat ini jauh dari
cita-cita idealnya. Politik demokrasi yang tujuannya adalah perluasan akses politik
kaum miskin, marjinal dan minoritas sekarang menjadi pengabsahan kekuasaan.
Kemudian, hal-hal yang seharusnya berada di ruang privat muncul di ruang
publik. Akhirnya yang terjadi adalah kehidupan perpolitikan menjadi ajang
transaksi dan negosiasi.
Politik demokrasi tidak lagi
berfungsi membangun proyek-proyek kesejahteraan umum, tapi lebih merupakan
perayaan individualisme dan proseduralisme. Pada titik ini, orang-orang miskin,
marjinal dan minoritas hanya menjadi penonton lima tahunan yang terpesona
melihat kaum elit politik bersaing merebut kekuasaan tanpa sadar bahwa mereka
hanya dijadikan alat.
Kenyataan tersebut membuat Donny
Gahral Adian, pengajar filsafat Universitas Indonesia, merasakan kekhawatiran
yang juga pernah dirasakan oleh Presiden Soekarno, yaitu kekhawatiran akan
terperosoknya bangsa Indonesia ke dalam liang liberalisme. Kekhawatiran itulah
yang menjadi titik tolak penulisan buku Demokrasi Substansial: Risalah
Kebangkrutan Liberalisme ini.
Paradoks Demokrasi Liberal
Carl Schimtt mempunyai tesis bahwa
demokrasi liberal hanyalah etika humanitarian yang tidak mungkin bisa
memperjuangkan masyarakat yang adil dan setara. Schmitt skeptis dengan
cita-cita keadilan dan persamaan yang dikampanyekan oleh orang-orang liberal
karena liberalisme pada dasarnya hanya mencari kebebasan individual (Boni
Hargens: 2006).
Schimtt jauh hari telah mengingatkan
betapa demokrasi dan liberalisme tidak sepadan. Liberalisme mengusung
kemanusiaan universal, sementara demokrasi mengusung demos atau kesatuan
politik yang partikular dan yang mengecualikan. Demokrasi sebagai
partikularitas adalah bagian resmi dari politikal. Sedangkan liberalisme justru
menguras politikal dari demokrasi dengan membuatnya menjadi semata-mata arena
untuk mencapai konsensus rasional. Carl Schmitt menegaskan bahwa demokrasi yang
aktual seringkali bersandar pada prinsip bahwa persamaan hanya berlaku pada
kelompok yang sama, sedangkan yang berbeda diperlakukan secara tidak setara (hlm.
53).
Dalam buku ini, Donny menyebutkan
tiga paradoks demokrasi liberal. Pertama, Universalisme.
Liberalisme menuntut kesetaraan universal, semua manusia diperlakukan sama
tanpa menimbang apakah dia termasuk di dalam demos atau tidak.
Liberalisme adalah kosmopolitanisme yang melampaui demos sebagai
partikularitas. Berbeda dengan liberalisme, demokrasi menuntut homogenitas dan
menghapus heterogenitas. Demokrasi menarik garis antara mereka yang disebut demos
dan mereka yang bukan termasuk demos.
Kesetaraan demokratis adalah kesetaraan
substansial. Perlakuan setara terhadap dua orang tidak disebabkan karena
keduanya adalah manusia yang memiliki hak universal, tapi karena mereka
mengambil bagian pada substansi yang sama. Mereka diperlakukan sama karena
mereka adalah warga negara sebuah Republik sebagai kesatuan politik. Intinya,
gagasan kesetaraan manusia qua manusia seperti dipromosikan oleh liberalisme
adalah kesetaraan non-politik. Sebab, kesetaraan tersebut tidak disandarkan
pada sebuah kesatuan politik sebagai substansi. Kesetaraan liberal juga tidak
membedakan antara yang diperlakukan sama dan yang diperlakukan berbeda.
Kesetaraan demokratis membutuhkan ketidaksetaraan yang darinya kesetaraan
tersebut menjadi bermakna. (hlm. 61)
Demokrasi menganulir liberalisme dan
liberalisme menganulir demokrasi. Persekutuan ganjil antara demokrasi dengan
liberalisme retak seiring dengan krisis parlementarisme. Demokrasi bekerja
dengan logika identitas antara yang memerintah dan yang diperintah. Sementara
parlementarisme adalah sesuatu yang mengganjal kesebangunan antara yang
memerintah dan yang diperintah. Parlementarisme menghalangi presentasi rakyat
secara langsung atau yang diperintah sebagai kesatuan politik yang berkehendak (hlm.
62). Belakangan, misalnya, semakin kentara betapa kehendak rakyat sering
mendesak dan menuntut langsung tanpa mediasi parlemen, sebab parlemen dianggap
representasi kepentingan kelompok, bukan kepentingan rakyat. Parlemen dianggap
terlalu sempit dan dangkal bagi kehendak rakyat yang luas dan dalam.
Paradoks kedua adalah representasi.
Representasi modern dijangkiti oleh reproduksi teknologis. Reproduksi
teknologis adalah replikasi masalah objek material tanpa menyentuh esensi atau
substansi objek tersebut. Parlemen hanya mewakili suara (kuantitatif) rakyat. Ia
abai terhadap persoalan substantif yang dialami rakyat seperti kemiskinan,
kebodohan, dan kesakitan. Representasi politik di parlemen tidak dapat
dikatakan mewakili sekian ribu suara setelah pemilihan umum. Representasi
adalah kerja berkelanjutan dalam mematerialisasi substansi yang tidak serta
merta hadir dalam jumlah suara konstituen.
Gagasan representasi pada awal abad
pertengahan jauh sekali berbeda. Refleksi Schmitt tentang Representasi Gereja
Katholik Roma abad pertengahan patut dicermati. Politik representasi Gereja Katholik
Roma beralas pada logika representasi tersendiri. Representasi Gereja Katholik
Roma tidak menghancurkan partikularitas konkret atas nama homogenisasi dan
universalisasi. Gereja Katholik Roma tidak sekadar mereproduksi realitas
kuantitatif dari representan sehingga menegasi orisinalitas dan
partikularitasnya.
Paradoks ketiga adalah Rasionalisme.
Donny mencatat rasionalitas demokrasi liberal sejatinya dipasok oleh dua
filsuf: John Rawls dan Jurgen Habermas. Rawls (1971) berbicara mengenai
distingsi antara rasionalitas kebaikan dan rasionalitas keadilan. Rasionalitas
kebaikan berhubungan dengan kapasitas seorang menjalani hidup yang ia anggap
bernilai. Rasionalitas keadilan tidak berhubungan dengan realisasi konsep
kebaikan, melainkan hak yang meliputi kewajban moral individual dan tuntutan
keadilan bagi institusi dan masyarakat. Habermas menyodorkan gagasan
rasionalitas komunikatif sebagai landasan demokrasi liberal. Habermas
merekonstruksi makna rasionalitas dengan memperkenalkan tiga ruang nilai yaitu:
ruang nilai sains, ruang nilai etis, dan ruang nilai estetis. Habermas dan
Rawls sama-sama meyakini bahwa demokrasi liberal memerlukan landasan
intelektual berupa rasionalitas tindakan atau praktis.
Rasionalitas adalah sebentuk anti-politikal.
Politikal adalah sebuah pengelompokan partikular yang didasarkan pada kuasa,
bukan pada rasionalitas. Rasionalitas konsensus gagal memahami betapa
pentingnya peran kuasa dalam politikal. Rasionalitas konsensus justru membuang
kuasa dari proses deliberasi rasional. Padahal, proses deliberasi rasional
sesungguhnya diikuti oleh kelompok-kelompok politik yang dibangun oleh kuasa. Lawan
debat bukan lawan politik.
Masyarakat demokratis tidak dapat
disandarkan pada konsensus rasional tentang prinsip universal. Konsensus tidak
pernah mencapai status rasional. Hal ini disebabkan karena ia membutuhkan dua
syarat linguistik yang cukup berat: persamaan definisi dan praktik. Misalnya,
kata “kebebasan” sebagai pilar demokrasi dipahami mendua. Sebagian memahami
sebagai absennya kendala eksternal, sebagian lain memahami sebagai sarana untuk
mengaktualisasikan yang mulia dalam diri manusia.
Masyarakat demokratis tidak diatur
oleh prosedur tunggal dan universal, tapi oleh kumpulan prosedur atau praktik
sosial yang kompleks. Kita harus mengakui kemajemukan bentuk kehidupan ketika
permainan demokratis dapat dilangsungkan. Alih-alih menguniversalkan
manusia menjadi subjek diskursus atau agen rasional, kemajemukan subjektivitas
akibat proliferasi bentuk kehidupan perlu mendapatkan tempat.
Menuju Demokrasi
Substansial
Demokrasi dapat dipahami sebagai dua
momen. Pertama, momen politik ketika kekuasaan rakyat membentuk politik
dengan mendefinisikan isi dan tipe politik yang diinginkannya. Di sini rakyat
berlaku sebagai kekuasaan yang menciptakan substansi atau rumpun nilai sebuah
kesatuan politik. Selaku pencipta substansi, rakyat menyalurkan kehendak
politiknya dalam bentuk prinsip-prinsip pokok konstitusi yang memberi arah,
visi, dan haluan pada kesatuan politik bernama negara.
Kedua, momen legal-juridis yakni ketika kekuasaan yang menciptakan menjadi yang
diciptakan. Rakyat menjadi lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Ketika
kekuasaan rakyat sudah bermetamorfosa menjadi kekuasaan legal-formal, dirinya
pun kasat mata (hlm. 83). Kita menyaksikan dinamika politik di dalam atau antarlembaga
negara, namun kita tidak lagi melihat rakyat di dalamnya. Rakyat hanya muncul
lima tahun sekali di bilik suara untuk memilih representasi politik dan kembali
lagi ke kehidupan non-politis sesudahnya.
Konstitusi sebagai substansi politik
Republik harus dilindungi secara ketat. Perlindungan terhadap konstitusi adalah
perlindungan terhadap rakyat yang menyusunnya. Kedaulatan rakyat adalah
kedaulatan dalam bentuk yang masih murni. Prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan
rakyat yang berdaulat harus dilindungi dari pengkhianatan. Prinsip-prinsip
tersebut menurut Soekarno (1959) adalah sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi,
dan Ketuhanan yang berkebudayaan.
Prinsip-prinsip pokok yang sudah
ditetapkan rakyat berdaulat adalah substansi yang sudah dilindungi dari
kedaulatan formal-juridis. Prinsip-prinsip itu harus merupakan hasil
penelusuran genealogis mengenai substansi politik yang merupakan kehendak
rakyat atau demos. Dengan demikian, demokrasi pun tidak sekadar
prosedural, melainkan substansial.
Dengan bahasa yang apik dan lugas
buku ini menyuguhkan pembahasan yang cukup komprehensif tentang petaka-petaka
demokrasi liberal serta menyuguhkan betapa pentingnya mempertahankan konstitusi
sebagai substansi politik dan nilai-nilai yang dikehendaki oleh rakyat atau demos.
Di samping ulasan filsafat politik, contoh atau fakta yang terjadi di Indonesia
khususnya di era reformasi seperti kenaikan harga BBM, isu pornografi dan lain
sebagainya membuat kesan pembahasan buku ini menukik dan membumi.
Dari tema dan isi serta alur
penulisan, buku ini diperuntukkan bagi pembaca yang telah memiliki dasar
pengetahuan tentang demokrasi liberal. Oleh karena itu, pembaca yang baru
belajar tentang demokrasi secara umum dan demokrasi liberal secara khusus akan
menemukan kesulitan dalam memahami buku ini. Wallahu A’lam bi al-Shawab. (*)
Artikel Terkait
- Salam Redaksi
- Riset Redaksi
- Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
- Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
- Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
- Demokrasi Deliberatif
- Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
- Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
- Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
- Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
- Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
- Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
- Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
- Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar