Senin, 06 Januari 2014

Mekanisme Pemilihan Pemimpin menurut Imam al-Mawardiy

Muhammad Rifqi Fawaid

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu”. (An-Nisa : 59).

Al-Imamah (kepemimpinan)  merupakan satu tipe pemerintahan yang harus ada dan diimplementesaikan dalam kehidupan nyata. Meskipun demikian, para fuqaha Muslim menghukuminya dengan fardlu kifayah. Artinya, jika sebagian masyakat telah melaksanakannya, maka anggota masyarakat yang lain telah gugur dari “cap” dosa. Demikian juga sebaliknya, jika dalam kelompok masyarakat tidak ada  yang  memenuhi kewajiban tersebut, maka semua anggota masyarakat akan terkena getahnya. Suatu kelompok yang, dengan syarat dan ketentuan masing-masing, secara khusus wajib mewujudkan al-imamah disebut dengan Ahlu Al-Ikhtiyar dan Ahlu Al-Imamah.[1]

Ahlu Al-Ikhtiyar yang dimaksud di sini adalah mereka yang memilih dan menyeleksi calon pemimpin bagi masyarakat. Mereka ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut : Adil, berpengetahuan, berwawasan luas tentang syarat dan ketentuan seorang pemimpin,  dan bijaksana.[2]

Ahlu Al-Imamah adalah mereka yang memiliki kriteria seorang pemimpin, yaitu adil, berpengatuhan dan berwawasan mendalam tentang problematika kontemporer, sehat secara mental dan fisik, bijaksana, pemberani, dan keturunan Quraisy.[3].[4]

   Ada dua opsi dalam pelaksanaan Al-Imamah. Pertama, ia dapat dilaksanakan dengan pemilihan dari Ahlu al-Halli wa al-’Aqdi.[5] Setelah kelompok orang ini berkumpul dan menguji para calon yang lebih pantas, mereka menawarkan calon terpilih pada masyarakat umum. Jika masyarakat menerima, calon langsung dibai’at. Namun, jika mereka menolaknya maka kelompok ini harus melakukan seleksi ulang.

   Jika ada dua kandidat yang sama-sama kuat, maka yang lebih tua yang dibai’at. Namun, karena umur tidaklah menjadi syarat seorang pemimpin, maka yang lebih muda juga bisa dibai’at. Contoh lain, jika kandidat satu lebih berpengetahuan, sedang kandidat yang lain lebih berani, mana yang harus didahulukan? Dalam hal semisal ini, kita lihat situasi dan kondisi pada waktu itu. Artinya, apa yang sedang dibutuhkan masyarakat saat itu. Jika masyarakat waktu itu adalah masyarakat yang terbelakang dalam sisi keilmuan, maka yang didahulukan adalah kandidat yang lebih berpengetahuan. Jika kondisinya dalam keadaan yang sangat kacau dalam hal keamanan, maka yang didahulukan adalah kandidat yang lebih berani. Dan begitu seterusnya.[6]

   Nah, ketika ahlu al-ikhtiyar sudah menetapkan satu pilihan, artinya, mereka sudah menentukan siapa yang harus mereka bai’at, kemudian kandidat lain tidak terima atas pilihan mereka, maka kedua kandidat tersebut sudah tidak layak mengemban kekuasaan.

Akan tetapi, di sini ada perbedaan pendapat antar para ulama fiqh ketika ada seorang yang saling memeperebutkan kekuasaan, sedangkan sudah tidak ada lagi kandidat lain yang memenuhi kriteria seorang pemimpin kecuali mereka. Bagaimana hukumnya? Apa tindakan ahlu al-ikhtiyar? Pendapat yang satu mengatakan bahwa jika terjadi demikian, maka solusinya adalah dengan cara pengundian. Berbeda dengan pendapat ini, pendapat yang lain mengatakan bahwa ahlu al-ikhtiyar-lah yang kemudian memilih pemimpin tanpa harus melakukan undian.[7]

Selain itu, ada banyak kasus yang di dalamnya selalu ada perbedaan pendapat. Di antaranya, ketika ada dua pemimpin dalam satu tenggang masa, bagaimana hukumnya? Sebagian para ahli fiqh mengatakan bahwa pemimpin yang sah adalah pemimpin yang di mana pemimpin sebelumnya meninggal di daerah yang sama dengan pemimpin kedua. Pendapat lain mengatakan bahwa kedua pemimpin harus saling mengedepankan satu sama lain agar tidak terjadi fitnah yang lebih besar. Pendapat ketiga mengatakan bahwa solusinya adalah dengan cara pengundian.[8]

Mekanisme pelaksanan al-Imamah yang kedua adalah dengan penunjukan dari pemimpin sebelumnya. Hal ini sudah menjadi ijma’ atau konsensus para sahabat. Artinya, kaum para sahabat Nabi SAW sudah sepakat dan tidak satupun dari mereka yang mengingkari legalitas penunjukkan seorang pemimpin. Hal ini yang pernah terjadi pada Umar bin Khattab -Radliyallaahu ‘anhu-. Sesaat menjelang wafatnya Abu Bakar -Radliyallaahu ‘anhu-, beliau menunjuk sayyidina Umar -Radliyallaahu ‘anhu- sebagai penerusnya. Kemudian kaum muslimin waktu itu menerima dan menetapkan bahwa Sayyidina Umar  -Radliyallaahu ‘anhu- adalah khalifah umat Islam atau pemimpin setelah Abu bakar -Radliyallaahu ‘anhu-.[9]

Namun, lagi-lagi ada perbedaan pendapat disini. Tepatnya, apakah kerelaan Ahlu al-Ikhitiyar adalah syarat sah bai’at atau tidak? Ulama Bashrah mengatakan, bahwa ia adalah syarat sah karena al-imamah adalah suatu hak yang berhubungan dengan mereka. Akan tetapi, al-Mawardiy tidak melihat demikian. Ia mengatakan bahwa kerelaan mereka bukanlah syarat sah untuk membai’at pemimpin yang telah ditunjuk. Karena, pada masa Umar -Radliyallaahu ‘anhu- kerelaan para sabahat waktu itu sudah tidak dianggap lagi karena sudah ditunjuk oleh pemimpin sebelumnya, Abu Bakar -Radliyallaahu ‘anhu-.

Kewajiban Pemimpin Terpilih

Adalah merupakan hal penting bagi pemimpin terpilih untuk mengetahui apa saja yang harus ia lakukan pada masa kepemimpinannya. Al-Mawardiy menyebutkan 10 hal yang harus ia ketahui dan lakukan :

Pertama, pemimpin terpilih harus menjaga agama
Kedua, pemimpin terpilih harus adil dalam menghakimi
Ketiga, pemimpin harus menjaga negara
Keempat, melaksanakan had
Kelima, membentengi negara atau kekuasaan
Keenam, Jihad (memerangi) orang yang melawan islam
Ketujuh, mengambil harta fai’[10], dan zakat.
Kedelapan, mengira-ngira pemberian
Kesembilan, musyawarah/meminta pendapat kepada penasehat
Kesepuluh, melakukan blusukan


[1]  Al-Mawardiy, Al-Ahkaam As-Sultaaniyyah,  Penerbit: Daar Ibn Qutaibah cetakan : I(1989), hal 3
[2] Ibid, hal 4
[3]  Sesuai dengan sabda Nabi -Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam- : “الأئمة من قريش
[4]  Al-Mawardiy, hal 5
[5] Ahlu al-hilli wa al-’aqdi adalah kelompok masyarakat yang mengerti hukum-hukum islam. Disini ada perbedaan pendapat dalam hal jumlah pemilih. Ada yang mengatakan pemilihan pemimpin harus oleh jumhur/mayoritas Ahlu al-halli wa al-’aqdi,  ada juga yang mengatakan minimal lima –ini yang pernah terjadi saat Abi Bakr RA di bai’at– , ada yang mengatakan tiga dan satu.
[6]  Al-Mawardiy hal 8
[7]  Ibid hal. 8
[8] Ibid hal. 10
[9] Ibid hal. 11
[10] Harta fai adalah harta yang didapatkan dari pihak di luar islam dengan tanpa pengerahan militer, tanpa kesulitan, tanpa peperangan, atau dengan kata lain harta yang diberikan cuma-cuma oleh mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar