“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu”.
(An-Nisa : 59).
Al-Imamah (kepemimpinan) merupakan satu tipe pemerintahan yang harus ada
dan diimplementesaikan dalam kehidupan nyata. Meskipun demikian, para fuqaha Muslim
menghukuminya dengan fardlu kifayah. Artinya, jika sebagian masyakat
telah melaksanakannya, maka anggota masyarakat yang lain telah gugur dari “cap”
dosa. Demikian juga sebaliknya, jika dalam kelompok masyarakat tidak ada yang memenuhi kewajiban tersebut, maka semua anggota
masyarakat akan terkena getahnya. Suatu kelompok yang, dengan syarat dan
ketentuan masing-masing, secara khusus wajib mewujudkan al-imamah disebut
dengan Ahlu Al-Ikhtiyar dan Ahlu Al-Imamah.[1]
Ahlu Al-Ikhtiyar yang dimaksud di sini
adalah mereka yang memilih dan menyeleksi calon pemimpin bagi masyarakat. Mereka
ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut : Adil, berpengetahuan, berwawasan
luas tentang syarat dan ketentuan seorang pemimpin, dan bijaksana.[2]
Ahlu Al-Imamah adalah mereka yang memiliki
kriteria seorang pemimpin, yaitu adil, berpengatuhan dan berwawasan mendalam tentang
problematika kontemporer, sehat secara mental dan fisik, bijaksana, pemberani, dan
keturunan Quraisy.[3].[4]
Ada dua opsi dalam pelaksanaan Al-Imamah. Pertama, ia dapat
dilaksanakan dengan pemilihan dari Ahlu al-Halli wa al-’Aqdi.[5] Setelah kelompok orang ini berkumpul dan menguji para calon yang lebih
pantas, mereka menawarkan calon terpilih pada masyarakat umum. Jika masyarakat
menerima, calon langsung dibai’at. Namun, jika mereka
menolaknya maka kelompok ini harus melakukan seleksi ulang.
Jika ada dua
kandidat yang sama-sama kuat, maka yang lebih tua yang dibai’at. Namun, karena
umur tidaklah menjadi syarat
seorang pemimpin, maka yang lebih muda juga bisa dibai’at. Contoh
lain, jika kandidat satu lebih berpengetahuan, sedang
kandidat yang lain lebih berani, mana yang harus didahulukan? Dalam hal semisal ini, kita lihat situasi dan kondisi pada waktu
itu. Artinya, apa yang sedang dibutuhkan masyarakat
saat itu. Jika masyarakat waktu itu adalah masyarakat yang terbelakang dalam
sisi keilmuan, maka yang didahulukan adalah kandidat yang lebih berpengetahuan.
Jika kondisinya dalam keadaan yang sangat kacau dalam hal
keamanan, maka yang didahulukan adalah kandidat yang lebih berani. Dan begitu
seterusnya.[6]
Nah,
ketika ahlu al-ikhtiyar sudah menetapkan satu pilihan, artinya, mereka
sudah menentukan siapa yang harus mereka bai’at, kemudian kandidat lain tidak terima atas pilihan mereka, maka kedua
kandidat tersebut sudah tidak layak mengemban kekuasaan.
Akan tetapi, di sini ada perbedaan pendapat antar para
ulama fiqh ketika ada seorang yang saling memeperebutkan kekuasaan, sedangkan
sudah tidak ada lagi kandidat lain yang memenuhi kriteria seorang pemimpin
kecuali mereka. Bagaimana hukumnya? Apa tindakan ahlu al-ikhtiyar?
Pendapat yang satu mengatakan bahwa jika terjadi demikian, maka solusinya adalah dengan cara pengundian.
Berbeda dengan pendapat ini, pendapat yang lain mengatakan bahwa ahlu
al-ikhtiyar-lah yang kemudian memilih pemimpin
tanpa harus melakukan undian.[7]
Selain itu, ada banyak kasus yang di dalamnya selalu ada perbedaan pendapat. Di
antaranya, ketika ada dua pemimpin dalam satu tenggang masa, bagaimana
hukumnya? Sebagian para ahli fiqh mengatakan bahwa pemimpin yang sah adalah
pemimpin yang di mana pemimpin
sebelumnya meninggal di daerah yang sama dengan pemimpin kedua. Pendapat lain
mengatakan bahwa kedua pemimpin harus saling mengedepankan satu sama lain agar
tidak terjadi fitnah yang lebih besar. Pendapat ketiga mengatakan bahwa
solusinya adalah dengan cara pengundian.[8]
Mekanisme pelaksanan al-Imamah yang kedua adalah dengan penunjukan
dari pemimpin sebelumnya. Hal ini sudah menjadi ijma’ atau konsensus
para sahabat. Artinya, kaum para sahabat Nabi SAW sudah sepakat dan tidak
satupun dari mereka yang mengingkari legalitas penunjukkan seorang pemimpin. Hal ini
yang pernah terjadi pada Umar bin Khattab -Radliyallaahu ‘anhu-. Sesaat
menjelang wafatnya
Abu Bakar -Radliyallaahu ‘anhu-, beliau menunjuk sayyidina
Umar -Radliyallaahu ‘anhu- sebagai penerusnya. Kemudian kaum muslimin
waktu itu menerima dan menetapkan bahwa Sayyidina Umar -Radliyallaahu ‘anhu- adalah khalifah umat Islam atau pemimpin setelah Abu bakar -Radliyallaahu ‘anhu-.[9]
Namun, lagi-lagi ada perbedaan
pendapat disini. Tepatnya, apakah kerelaan Ahlu al-Ikhitiyar adalah syarat sah bai’at atau tidak? Ulama
Bashrah mengatakan, bahwa ia adalah syarat sah karena al-imamah adalah
suatu hak yang berhubungan dengan mereka. Akan tetapi, al-Mawardiy tidak
melihat demikian. Ia mengatakan bahwa kerelaan mereka bukanlah syarat sah untuk membai’at pemimpin
yang telah ditunjuk. Karena, pada masa Umar -Radliyallaahu ‘anhu- kerelaan para sabahat waktu itu sudah tidak dianggap lagi karena
sudah ditunjuk oleh pemimpin sebelumnya, Abu Bakar -Radliyallaahu ‘anhu-.
Kewajiban Pemimpin Terpilih
Adalah merupakan hal penting bagi
pemimpin terpilih untuk mengetahui apa saja yang harus ia lakukan pada masa
kepemimpinannya. Al-Mawardiy menyebutkan 10 hal yang harus ia ketahui dan
lakukan :
Pertama, pemimpin terpilih harus menjaga agama
Kedua, pemimpin terpilih harus adil dalam menghakimi
Ketiga, pemimpin harus menjaga negara
Keempat, melaksanakan had
Kelima, membentengi negara
atau kekuasaan
Keenam, Jihad (memerangi)
orang yang melawan islam
Kedelapan, mengira-ngira
pemberian
Kesembilan, musyawarah/meminta
pendapat kepada penasehat
Kesepuluh, melakukan blusukan
[1] Al-Mawardiy, Al-Ahkaam As-Sultaaniyyah, Penerbit: Daar Ibn Qutaibah cetakan : I(1989),
hal 3
[2] Ibid, hal 4
[4] Al-Mawardiy, hal 5
[5] Ahlu al-hilli wa al-’aqdi
adalah kelompok masyarakat yang mengerti hukum-hukum islam. Disini ada
perbedaan pendapat dalam hal jumlah pemilih. Ada yang mengatakan pemilihan
pemimpin harus oleh jumhur/mayoritas Ahlu al-halli wa al-’aqdi, ada juga yang mengatakan minimal lima –ini
yang pernah terjadi saat Abi Bakr RA di bai’at– , ada yang mengatakan tiga dan
satu.
[6] Al-Mawardiy hal 8
[10] Harta fai adalah harta
yang didapatkan dari pihak di luar islam dengan tanpa pengerahan militer, tanpa
kesulitan, tanpa peperangan, atau dengan kata lain harta yang diberikan
cuma-cuma oleh mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar