Kamis, 16 Januari 2014

Demokrasi Deliberatif; Sebuah Pengantar

Oleh: 
Syaiful Arif
Alumnus Pesantren Ciganjur,
Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D),
Peneliti The WAHID Institute Jakarta

Sebagai gagasan politik, demokrasi deliberatif ialah konsep demokrasi yang mendasarkan diri pada mekanisme musyawarah yang mendalam. Kata deliberasi (deliberation) bermakna musyawarah atau pertimbangan yang mendalam. Oleh karena itu, demokrasi deliberatif adalah konsep demokrasi yang menggunakan deliberasi, musyawarah, atau pertimbangan mendalam sebagai mekanisme demokratisnya. Pada titik ini, musyawarah tidak hanya menjadi mekanisme teknis dalam berdemokrasi, melainkan mekanisme etis. Artinya musyawarah tidak hanya ditempatkan sebagai teknik demi mencapai tujuan, melainkan sebagai standar etis agar mekanisme tersebut selaras dengan nilai-nilai utama demokrasi.

Jurgen Habermas membangun gagasan ini untuk membentuk masyarakat politik yang komunikatif. Yakni masyarakat yang menggunakan akal budi, dan pertemuan akal budi di dalam politik. Komunikasi dalam pemikiran Habermas tidak hanya merujuk pada saling bicara di antara dua wicara. Melainkan penggunaan rasionalitas komunikatif, yakni rasionalitas yang hendak menciptakan kesalingpahaman di antara komunikan, sehingga komunikasi mampu menghasilkan konsensus rasional yang saling memahami. Masyarakat politik yang komunikatif berarti masyarakat yang terbentuk berdasarkan rasionalitas komunikatif ini, sehingga tatanan politiknya bisa dipertanggungjawabkan secara bersama, sebab ia merupakan konsensus rasional hasil kesepakatan akal budi.

Dalam kaitan ini, untuk memahami demokrasi deliberatif, perlu kiranya memahami konteks persoalan kenapa Habermas menggagas model demokrasi ini. Konteks ini merupakan konteks politik dan kemasyarakatan yang menempatkan demokrasi deliberatif sebagai solusi bagi persoalan yang ada, yang menurut Habermas merupakan persoalan mendasar masyarakat modern.

Konteks tersebut ada beberapa hal. Pertama, legitimasi kebijakan. Selama ini sah tidaknya (legitimasi) suatu kebijakan publik didasarkan pada keberadaan kebijakan itu sendiri. Artinya, kebijakan publik yang ditelorkan oleh parlemen secara otomatis sah, karena ia merupakan produk parlemen. Bagi Habermas, dasar legitimasi seperti ini sangat rapuh karena terjebak dalam formalisme politik, minus kesadaran akan kelemahan di dalam lembaga formal negara tersebut. Hal ini wajar sebab tidak dengan sendirinya, suatu produk UU besutan parlemen, betul-betul menyuarakan aspirasi rakyat. Yang terjadi sering sebaliknya. UU hanya menjadi kepanjangan tangan dari berbagai kepentingan politis para anggota DPR yang merupakan orang-orang partai. Wal hasil, kebijakan publik sering menjadi cerminan dari kepentingan per-politisi serta partai-partai yang memang saling centang-perenang.

Dengan demikian, kegelisahan Habermas yang akhirnya melahirkan demokrasi deliberatif adalah kegelisahan atas vulnerability demokrasi, yang mendasarkan legitimasi politik pada ranah sosiologis, bukan etis. Hanya saja kritik Habermas tidak tertuju pada prinsip majoritarianisme, melainkan pada “paradigma produk” di dalam legitimasi kebijakan. Dalam paradigma ini, produk UU secara otomatis sah, ketika ia memang merupakan produk parlemen. Karena yang menelorkan kebijakan adalah otoritas yang secara yuridis-politis memiliki kewenangan legal, maka apapun kebijakan yang dilahirkan oleh otoritas ini, menjadi sah dengan sendirinya. Pada titik ini, terdapat formalisme kebijakan yang lahir dari “pendekatan otoritas” di dalam memahami kebijakan publik. Artinya, masyarakat kita terjebak dalam formalisme politik, yang mendaulat otoritas politik sebagai pihak yang paling berwenang di dalam perumusan kebijakan. Disebut formalis karena ia mengamini kebenaran dan kebaikan politik, hanya di dalam lembaga-lembaga formal (negara). Disebut “otoritatif” karena ia meniscayakan lembaga formal politik itu sebagai otoritas yang menentukan sah tidaknya suatu kebijakan publik. Paradigma formalis-otoritatif yang akhirnya melahirkan pemahaman sarwa-produk ini, akhirnya mengarahkan legitimasi politik kepada otoritas, bukan kepada klaim kebenaran dan etika dari kebijakan itu sendiri.

Jadi pada titik ini bisa terpahami: jika kritik atas vulnerabilitas demokrasi yang dicetuskan oleh Hendra Nurtjahjo merujuk pada “yang mayoritas” di dalam parlemen, yang akhirnya melahirkan kebijakan tidak etis; maka kritik Habermas tertuju pada otoritarianisasi “yang mayoritas” tersebut sebagai lembaga yang dengan sendirinya sah untuk melahirkan kebijakan yang sering tidak etis. Jika Hendra mengritik legitimasi sosiologis yang dilahirkan oleh prinsip “yang mayoritas, yang benar”, maka Habermas mengritik pemahaman masyarakat yang mengamini keabsahan kebijakan, karena ia lahir dari lembaga parlemen, yang ternyata berisi prinsip majoritarianisme tersebut.

Dalam kaitan ini, solusi di antara keduanya pun sama, yakni etika. Jika pada Hendra, etika mengacu pada etika politik di dalam kebijakan publik, sehingga legitimasi kebijakan tidak bersifat sosiologis, melainkan etis. Maka dalam Habermas, etika mengacu pada etika diskursus. Yakni prinsip-prinsip etis dalam berdiskursus sehingga perumusan kebijakan selaras dengan syarat-syarat komunikasi yang rasional dan deliberatif. Jika etika Hendra merujuk pada produk kebijakan yang etis. Maka etika Habermas merujuk pada mekanisme perumusan kebijakan yang etis, sehingga mampu melahirkan kebijakan publik yang etis.

Pada titik inilah, etika diskursus memuat beberapa prinsip mendasar, yang merupakan prinsip-prinsip etis di dalam tindakan komunikatif. Dari sini terpahami bahwa etika diskursus merupakan penerapan tindakan komunikatif (tindakan yang digerakkan oleh rasionalitas komunikatif) ke dalam diskursus politik. Artinya, Habermas telah mendaratkan teori tindakan komunikatif yang berada pada ranah teori sosial, ke dalam etika diskursus yang berada pada ranah teori politik. Oleh karena itu, etika diskursus merupakan praksis dari tindakan komunikatif pada ranah politik demokratis. Dengan demikian, secara mendasar bisa dipahami bahwa etika diskursus adalah etika di dalam berdiskusi atau musyawarah yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip dasar tindakan komunikatif. Tujuannya sederhana, yakni menciptakan konsensus rasional yang selaras dengan kebaikan bersama. Untuk itu, prinsip-prinsip dalam etika diskursus tersebut ada beberapa hal.

Pertama, penggunaan akal budi. Seperti diketahui, Habermas membedakan dua macam tindakan: tindakan strategis (strategic action) dan tindakan komunikatif (communicative action). Tindakan strategis adalah tindakan yang digerakkan oleh rasionalitas tujuan (purposive rationality), yakni rasionalitas yang mengarahkan proses berpikir kepada pencapaian tujuan tertentu. Pola rasionalitas ini bertujuan untuk mempengaruhi, bukan kehendak memahami, selayak rasionalitas komunikatif. Pada satu titik, rasionalitas inipun selaras dengan rasionalitas instrumental yang mendaulat proses berpikir sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Rasionalitas tujuan melahirkan tindakan strategis yang berupa tindakan-tindakan terencana untuk mencapai tujuan. Oleh Habermas, tindakan strategis ini terdapat, misalnya dalam manajemen modern yang memuat administrasi dan birokratisasi. Dengan administrasi dan birokrasi, masyarakat modern menciptakan strategi pengaturan kehidupan sosial-politik demi tujuan tertentu. Tujuan tersebut bisa berupa rasionalisasi masyarakat, efisiensi kelembagaan, diferensiasi peran fungsi institusional, hingga pada capaian eko-politik seperti pertumbuhan ekonomi dan stabilitas kekuasaan.

Sementara itu, rasionalitas komunikatif adalah rasionalitas yang berkehendak untuk menciptakan saling pemahaman di antara sesama manusia. Rasionalitas komunikatif tidak menempatkan proses berpikir sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan eko-politik. Ia menempatkan proses berpikir sebagai proses pemikiran yang mengakarkan diri pada akal budi, dan oleh karenanya membutuhkan kesalingpahaman. Dalam kaitan ini, rasionalitas komunikatif lahir dari corak filsafat Habermas yang bersifat inter-subjektif. Artinya, Habermas telah melampaui filsafat subjek. Yakni corak filsafat yang menempatkan kebenaran di dalam subjek manusia secara sendirian. Dalam subjektivisme ini, kebenaran bisa ditemukan oleh akal budi di dalam setiap subjek. Subjek yang sendirian di ruang buku, bisa merumuskan dan menemukan kebenaran di dalam subjektivitasnya. Habermas mengritik hal ini dan menawarkan filsafat inter-subjektivitas. Melalui corak filsafat ini, kebenaran tidak bisa ditemukan secara subjektif, melainkan harus bersifat inter-subjektif. Oleh karena itu, komunikasi atau pertukaran pengetahuan di antara subjek-subjek menjadi conditio sine qua non bagi penemuan kebenaran yang valid.

Dengan demikian, rasionalitas komunikatif adalah rasionalitas yang menemukan kebenaran di dalam tindakan komunikatif, yakni tindakan mendialogkan akal budi dengan akal budi, sehingga melahirkan konsensus rasional akan suatu kebenaran. Pada titik inilah, etika diskursus yang merupakan “praksis politik” dari tindakan komunikatif, tentu menggunakan akal budi sebagai pijakan serta muara tujuan. Artinya, tindakan komunikatif berangkat dari premis-premis kebenaran yang lahir dari akal budi, dan dialogkan dengan akal budi-akal budi lain, serta bertujuan merumuskan kebenaran akal budi. Jadi dari akal budi, bersama-sama akal budi, untuk akal budi. Dari sini kita menjadi paham kenapa tindakan komunikatif dibedakan dengan tindakan strategis. Jawabnya sederhana: tindakan komunikatif bukanlah strategi pengaturan dan kekuasaan untuk mencapai tujuan yang sifatnya “seluar akal budi”. Tindakan komunikatif bermuara pada penemuan konsensus akal budi, yang diakarkan pada kebenaran akal budi.

Kedua, tidak ada paksaan selain “paksaan tak memaksa dari argumentasi yang lebih baik” (zwangloser Zwang des besseren Arguments). Artinya, di dalam diskursus, deliberasi, atau musyawarah, tidak boleh ada tekanan yang membuat diskursus akhirnya tidak bersifat bebas dan netral. Satu-satunya paksaan adalah “paksaan tak memaksa dari argumentasi yang lebih baik”. Dengan demikian, kebenaran tidak lagi berada pada otoritas atau suara terbanyak seperti dalam prinsip majoritarianisme. Melainkan berada di dalam struktur kebenaran, baik koherensi logis di dalam logika argumentasi maupun korespondensinya dengan realitas objektif.

Dalam kaitan inilah terdapat tiga klaim keabsahan yang harus dipenuhi oleh setiap peserta diskursus sehingga ia memiliki klaim atas argumentasi yang valid. Ketiga klaim itu adalah: klaim kebenaran (wahr), klaim kejujuran (wahrhaftig), dan klaim ketepatan (richting). Klaim kebenaran terkait dengan objektivitas dengan alam. Klaim kejujuran terkait dengan subjektivitas individu, dan klaim ketepatan terkait dengan norma-norma masyarakat. Jika sebuah argumentasi memuat ketiga klaim tersebut secara serentak, artinya, argumentasi seseorang benar secara objektif dengan realitas, jujur di dalam hatinya, serta tidak bertentangan dengan norma masyarakat, maka argumentasi tersebut valid adanya. Dengan demikian, etika diskursus memuat prinsip-prinsip moral di dalam deliberasi, sehingga tidak ada lagi “komunikasi yang membusuk” yang diakibatkan oleh kesalahan, kebohongan, dan ketidaktepatan normatif dengan norma masyarakat. Apalagi jika deliberasi tersebut disusupi oleh kepentingan kekuasaan yang membuat diskursus tidak bebas dan netral kepentingan.

Prinsip ketiga etika diskursus adalah kesetaraan semua peserta diskursus. Artinya, posisi setiap peserta di dalam deliberasi bersifat setara. Statusnya tidak ditentukan oleh posisi politik, publik, keagamaan, mayoritas-minoritas, melainkan oleh kemampuan untuk membuat argumentasi yang lebih baik. Dalam situasi ini, tiap peserta ditempatkan sebagai warga negara atau masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian, etika diskursus yang menjadi mekanisme etis dalam demokrasi deliberatif menempatkan proses deliberasi, kembali ke akar kontrak sosial. Yakni sebuah “keadaan alamiah” (state of nature) pra-formalisasi lembaga parlemen, di mana setiap orang ditempatkan sebagai warga masyarakat yang berkumpul bersama untuk mengadakan kontrak sosial. Sifat sosial dari kontrak ini mengindikasikan sifatnya yang pra-politik. Dalam arti, ia belum tersekat oleh pembagian dan stratifikasi kekuasaan yang membuat peserta kontrak tidak lagi setara. Kontrak semacam ini yang ada di dalam gedung parlemen, rapat kabinet, rapat partai, dan rapat birokrasi yang menempatkan manusia dalam piramida otoritas. Dalam keadaan ini, manusia tidak lagi setara, dan ucapan yang terlontar dalam situasi tersebut akhirnya bersifat performatif: ucapan itu bermakna karena adanya otoritas yang mewadahinya. Ucapan ini yang ada dalam kebenaran presiden, karena ia presiden; di dalam kebenaran ketua partai karena ia terlontar dari ketua partai. Ucapan performatif tentu tidak sesuai dengan etika diskursus, sebab kebenaran dari ucapan itu tergantung dengan otoritas sosial-politik yang melatarinya. Sementara itu, ucapan etis dalam etika diskursus mengacu pada kebenaran dari argumentasi itu sendiri, karena manusia ditempatkan sebagai manusia. Bukan status perannya dalam struktur masyarakat.

Keempat, imparsialitas. Motivasi tiap peserta deliberasi mestilah bersifat imparsial. Artinya, melintasi kepentingan pribadi. Karena deliberasi atau musyawarah merupakan tindakan bersama untuk merumuskan dan mewujudkan kebaikan bersama (res publica), maka tujuan dari deliberasi tersebut tentulah tujuan bersama, bukan kepentingan pribadi. Prinsip imparsialitas inilah yang akhirnya menjadi standar penilaian sah tidaknya suatu argumentasi. Dengan demikian, prinsip imparsial bisa menjadi “pisau kritis” untuk mengoreksi kelemahan dalam struktur argumentasi dari peserta deliberasi. Imparsialitas menjadi prinsip terpenting sebab etika diskursus memang berada pada ranah publik. ia menjadi mekanisme deliberatif bagi aktivasi ruang publik, di dalam corak demokrasi yang republikan. Yakni suatu corak demokrasi yang mendasarkan diri pada tradisi republikanisme. Dalam tradisi ini, demokrasi ditempatkan sebagai mekanisme etis demi tujuan yang emansipatoris, yakni perwujudan res publica. Maka, domain dari demokrasi tidak berada di ranah prosedur-prosedur politik, melainkan di ranah kepublikan. Dalam ranah kepublikan inilah, kebaikan publik menjadi “harga mati” yang tak bisa ditawar lagi.[1]

Konteks kedua yang melahirkan gagasan demokrasi deliberatif adalah ketegangan antara demokrasi perwakilan (representative democracy) dan demokrasi langsung (direct democracy). Artinya, melalui demokrasi deliberatif, Habermas hendak mewujudkan cita-cita demokrasi langsung di dalam mekanisme demokrasi perwakilan. Dengan pemahaman ini kita menjadi mafhum, kenapa gagasan Habermas disebut oleh F Budi Hardiman sebagai radikalisasi prosedur demokrasi.[2] Hal ini terkait dengan cita-cita Habermas di atas, yakni mewujudkan demokrasi langsung di dalam demokrasi perwakilan.[3] Bagaimana demokrasi deliberatif melakukan hal ini?

Seperti diketahui, pola demokrasi yang terealisir dalam kehidupan kita kini adalah demokrasi perwakilan. Ia merupakan pola realistis, setelah kemustahilan penerapan sistem demokrasi langsung, selayak di Athena. Di dalam sistem politik Athena, demokrasi langsung, di mana seluruh warga negara bisa berpartisipasi di dalam Majelis Eclesia, bisa terjadi sebab bentuk negaranya yang minimalis, yakni negara-kota (city state). Dengan bentuk negara-kota, maka warga negara yang berjumlah tak-kompleks, bisa diakomodir dalam sistem demokrasi langsung. Di dalam konteks negara-bangsa (nation-state) yang memuat penduduk dan kewarganegaraan yang begitu kompleks, demokrasi perwakilanlah yang realistis, mengingat ketidakmungkinan teknis untuk menyatukan semua warga negara di dalam gedung parlemen. Hanya, selalu saja ada kekecewaan atas praktik demokrasi perwakilan, dan selalu saja ada utopia untuk kembali pada demokrasi langsung. Mengapa? Karena perwakilan politik ternyata tidak merepresentasikan kehendak “yang diwakili”. Rakyat akhirnya terpisah dari kedaulatannya justru karena watak para wakil rakyat yang tidak mewakili rakyat, melainkan mewakili partai dan kepentingannya sendiri. Maka kerinduan untuk menghadirkan kembali demokrasi langsung menjadi kebutuhan mendasar, sebab dengan corak ini, rakyat bisa berpartisipasi langsung di dalam perumusan kebijakan publik.

Pada titik ini, demokrasi deliberatif hendak mewujudkan demokrasi langsung di dalam demokrasi perwakilan dalam dua ranah, yakni internal dan eksternal. Pada ranah internal, demokrasi deliberatif telah menciptakan partisipasi langsung di dalam konsepnya tentang peserta deliberasi yang bersifat setara, dengan menempatkan kedaulatan tidak pada status, otoritas, atau kekuatan politik, melainkan pada validitas argumentasi. Hal ini yang terdapat dalam etika diskursus di atas, sebab di dalam etika ini, otoritas kebenaran tidak berada di pundak anggota parlemen, melainkan di dalam struktur argumentasi yang benar. Artinya, dengan menambatkan kedaulatan rakyat di dalam “struktur argumentasi yang benar”, Habermas telah mendeformalisasi kedaulatan rakyat, dari legalisme lembaga parlemen, kepada struktur kebenaran di dalam argumentasi diskursif. Oleh karena itu, demokrasi deliberatif dengan etika diskursusnya, hendak mendelegitimasi lembaga parlemen sebagai perwakilan sah rakyat, ketika lembaga parlemen itu tidak mampu mempraktikkan etika diskursus. Hal ini niscaya sebab legitimasi di dalam demokrasi deliberatif, tidak terletak pada anggota DPR hasil pemilu. Melainkan pada benar tidaknya, atau etis tidaknya argumentasi para anggota DPR itu dalam mengartikulasikan kepentingan rakyat. Jika diskursus yang diciptakan anggota parlemen ternyata tidak selaras dengan etika diskursus, sehingga melahirkan kebijakan yang tidak pro-rakyat, maka secara otomatis gugur sudah legitimasinya.

Dalam kaitan inilah gagasan demokrasi deliberatif merupakan radikalisasi prosedur demokrasi. Artinya, gagasan ini hendak meradikalkan prosedur demokrasi yang sudah ada, yang membuat demokrasi deliberatif mampu mewujudkan demokrasi langsung di dalam demokrasi perwakilan. Artinya, upaya perwujudan ini tetap dalam domain prosedur demokrasi perwakilan, melalui radikalisasi prosedur demokrasi. Radikalisasi prosedur ini memuat upaya untuk mengarahkan diskursus dalam perumusan kebijakan publik, sehingga selaras dengan standar etis dari tindakan komunikatif. Ia disebut radikal, karena diskursus di dalam parlemen dihunjamkan hingga ke landasan etis. Dengan memiliki muatan etis, maka segenap diskursus para politisi memiliki beban moral yang besar, yang membuatnya “tidak asal ucap”, atau “tidak asal politis”. Radikalisasi prosedur demokrasi yang bermakna pengetisan kembali diskursus politik, secara otomatis mengritik sifat manipulatif dari diskursus politik, dengan mendasarkan semua diskursus tersebut kepada landasan etis. Segenap prosedur demokrasi tidak disebut radikal, karena ia cenderung bersifat konvensional, rutinitas formalis, dan oleh karenanya sering memberangus etika politik. Oleh karena itu, mengetiskan kembali diskursus politik, berarti meradikalkan segenap prosedur konvensional demokrasi.

Sementara itu secara eksternal perwujudan demokrasi langsung di dalam demokrasi perwakilan dilakukan melalui penyambungan kembali keterpisahan antara negara dan masyarakat. Hal ini sekaligus menjadi konteks ketiga dari demokrasi deliberatif, yakni kolonisasi sistem atas Lebenswelt (dunia-kehidupan). Dalam kaitan ini, perlulah kiranya memahami konsep kolonisasi tersebut sebagai pengantar bagi penyambungan kembali keterpisahan antara negara dan masyarakat.

Gagasan kolonisasi sistem atas Lebenswelt lahir dari pemahaman Habermas atas dua macam sistem tindakan, yakni tindakan strategis dan tindakan komunikatif. Seperti termaktub di atas, tindakan strategis adalah tindakan yang mengarah pada pengaturan demi pencapaian tujuan tertentu. Sementara itu tindakan komunikatif adalah tindakan yang lahir dari kehendak untuk menciptakan kesalingpahaman. Tindakan strategis ini akhirnya melahirkan sistem sosial, sebagai mekanisme pengaturan sosial demi tercapainya tujuan-tujuan yang dalam konteks modernisasi berupa rasionalisasi masyarakat. Artinya, tindakan-tindakan strategis bertujuan untuk mengatur masyarakat secara rasional, agar pola kemasyarakatan bersifat rasional. Pola rasionalisasi ini terdapat dalam birokratisasi pemerintahan dan sistem produksi kapitalisme. Jadi menurut Habermas, sistem kemasyarakatan kita telah didominasi oleh dua sistem besar ini, yakni sistem politik yang mewujud dalam birokratisasi, dan sistem ekonomi yang mewujud dalam industrialisasi. Dua sistem besar ini telah merasionalkan masyarakat modern karena pengaturan sosial-politik telah ditata berdasarkan diferensiasi fungsional dalam pembagian peran-fungsi yang jelas. Serta produksi ekonomi yang menaikkan kesejahteraan sebagian warga bumi secara rasional. Dengan birokrasi politik dan industrialisasi ekonomi, masyarakat modern bisa sejahtera dalam bimbingan rasionalitas.  

Sementara itu tindakan komunikatif adalah tindakan yang terjadi dalam keseharian manusia di dalam dunia-kehidupan (Lebenswelt). Dalam dunia-kehidupan ini, manusia saling berkomunikasi untuk mencapai kesepahaman. Orang satu berbicara dengan orang lain, tentu dengan maksud ingin dipahami dan sekaligus memahami. Tindakan komunikatif ini yang merekatkan integrasi masyarakat karena ia mengakar pada kehidupan keseharian manusia, dalam kerangka kebutuhan untuk saling memahami.[4]

Dalam kaitan ini, sistem yang dibentuk oleh tindakan strategis, pada awalnya mengakar pada tindakan komunikatif di dalam Lebenswelt. Hal ini wajar sebab cita-cita pengaturan sosial, ekonomi dan politik tentu dilahirkan melalui percakapan komunikatif dalam Lebenswelt. Segenap sistem tersebut juga lahir dari harapan-harapan dasar manusia yang dipercakapkan di dalam Lebenswelt. Oleh karena itu, sistem sebagai pengaturan kehidupan, tentu berakar pada dunia-kehidupan, tempat manusia mengomunikasikan harapan-harapannya. Sistem birokrasi misalnya, lahir dari harapan akan pengaturan institusi-institusi sosial agar proses kehidupan masyarakat modern yang kompleks bisa tertata secara rasional. Demikianpun negara. Sebagai sistem raksasa, ia tentu lahir dari harapan yang dikomunikasikan masyarakat dalam Lebenswelt. Harapan akan hidup yang lebih sejahtera. Harapan akan adanya pemimpin yang peduli dengan nasib wong cilik. Kesemua sistem tersebut ada, karena melayani harapan mendasar manusia dalam dunia-kehidupannya.

Hanya saja dalam perkembangannya telah terjadi arus balik yang destruktif. Yakni kolonisasi sistem atas Lebenswelt. Hal ini terjadi melalui beberapa proses. Pertama, kemandirian sistem dari Lebenswelt. Pada awalnya segenap sistem lahir dari cita-cita mendasar manusia yang diartikulasikan di dalam dunia-kehidupan. Ternyata hal ini tidak berlangsung secara mulus. Alasan sederhana: sistem ternyata memiliki logika dan kepentingannya sendiri, yang terlepas dari cita-cita pembentukannya yang berakar pada Lebenswelt. Hal ini terjadi sebab sistem memang sebuah “kategori sosial” tersendiri, yang memiliki struktur, pola, dan tujuannya sendiri. Ya, kita sedang bicara tentang sistem modern yang memuat watak internal di dalam dirinya sendiri, yakni self-organizing (pengaturan diri).

Artinya, apapun bentuk sistem itu, apakah sistem birokrasi, sistem ekonomi, maupun sistem demokrasi; ia selalu memiliki konsepsi tentang sistem di dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, sebelum “kategori sistem” itu dilekatkan dengan predikat-sekundernya, seperti (sistem) ekonomi, (sistem) sosial, dan (sistem) politik, sistem sebagai “kategori sosial” dari sistem sosial modern telah memiliki definisi, logika, pola, dan tujuannya sendiri. Logika, pola dan tujuan sistem itu sendiri adalah self-organizing. Yakni kebutuhan untuk mengatur dirinya sendiri. Hal ini niscaya sebab sistem adalah jalinan struktural yang saling memperkuat demi terjaganya tujuan sistem, yakni stabilitas sistem itu sendiri. Jadi tujuan di dalam diri sistem adalah pengaturan-diri, agar jalinan struktural yang membentuk sistem bisa tetap stabil. Dalam kaitan inilah pengaturan-diri sistem berhadapan dengan “lingkungan luar” yang dianggap mengancam. Oleh karena itu, tujuan dari sistem adalah memperkuat pertahanan diri, agar “lingkungan luar” sistem tidak mengacaukan bangunan struktural yang membentuk sistem. Pengaturan-diri akhirnya menjadi pola kinerja sistem yang berlaku secara rutin, monoton, dan tertutup.

Dengan pola self-organizing ini, maka sistem akhirnya otonom, terpisah dari Lebenswelt yang menjadi rahim pelahirnya. Maka, sistem birokrasi lebih sibuk di dalam pengaturan administrasi dan stabilitas peran-fungsi masing strukturnya, daripada mengarahkan sistem birokrasi tersebut untuk pelayanan publik, jika ia merupakan birokrasi publik. Sistem pendidikan lebih sibuk menjalankan dan menstabilkan struktur kurikulum dan rutinitas administratif, daripada mengarahkan sistem pendidikan untuk mendewasakan akal-budi siswa. Sistem demokrasi lebih sibuk dengan pengaturan-diri prosedur formalnya, daripada mengarahkan sistem tersebut demi kesejahteraan rakyat. Segenap pengarahan sistem untuk mengabdi pada kehidupan lebih baik dari manusia di dalam dunia-kehidupan ini jarang terlaksana, sebab ia mensyaratkan pelampauan sistem dari pola-pola internalnya, yang membuat sistem terpisah dari dunia-kehidupan itu.

Proses kedua setelah otonomisasi sistem adalah kolonisasi. Yakni sebuah situasi destruktif, ketika sistem ternyata berbalik arus menekan dunia-kehidupan. Proses ini disebut Habermas sebagai kolonisasi, sebab ia melakukan penjajahan atas ruang yang sebenarnya bukan domain dari sistem tersebut. Artinya, dunia-kehidupan adalah ruang-ruang kultural, tempat manusia bertindak secara komunikatif. Dengan terjadinya kolonisasi sistem atas dunia-kehidupan, maka pola tindakan di dalam dunia-kehidupan pun berubah menjadi tindakan strategis. Yakni tindakan yang mengarah pada tercapainya kepentingan, sehingga ia cenderung menempatkan manusia sebagai alat pemuas tujuan, bukan nilai di dalam dirinya sendiri yang butuh dipahami, selayak terjadi pada tindakan komunikatif. Dengan demikian, karena tindakan strategis telah merangsek ke dalam dunia-kehidupan, maka dunia keseharian kitapun dijejali oleh rasionalitas instrumental, bukan rasionalitas nilai. Dalam rasionalitas instrumental, semua hal ditempatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Hal beda dengan rasionalitas nilai yang menempatkan sesuatu berdasarkan nilai-nilai normatif yang melingkupi.[5]

Selain kolonisasi cara-pikir instrumentalis dan pola tindakan strategis ini, kolonisasi juga bersifat sosial. Artinya, segenap sistem sosial, ekonomi, budaya dan politik telah memperluas hegemoninya di ranah-ranah kultural dunia-kehidupan. Akhirnya, ruang-ruang kehidupan mendasar manusia kini dipenuhi oleh “sistematisasi formal”. Dunia pendidikan pasti identik dengan sistem pendidikan formal. Dunia politik, identik dengan negara, partai, dan parlemen. Dunia budaya dijajah oleh pola-pola birokratis dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Dunia ekonomi dijajah oleh sistem ekonomi raksasa bernama industrialisme. Segenap ruang-ruang mendasar kehidupan kita telah tersistemkan, dan manusia modern hanya memiliki sedikit ruang otonom dalam dunia-kehidupannya, yang independen dari sistem. Hal ini menjadi kenyataan tragis, sebab “yang berbeda” dengan sistem, akhirnya disebut sebagai “di luar sistem” atau bahkan “anti-sistem”. Orang yang belajar otodidak di ruang-ruang pendidikan non-formal, tentu menjadi orang pinggiran, sebab ia tidak memiliki ijazah sah, keluaran sistem pendidikan. Calon presiden independen tentu tersingkir dari bursa pemilu, sebab ia di luar sistem pemilu. Bahkan di era Soeharto, segenap gerakan politik yang berada di luar sistem resmi, pastilah disebut anti-sistem dan oleh karenanya, membahayakan negara.

Dalam situasi inilah, keterpisahan atau kolonisasi negara atas masyarakat terjadi. Jadi kolonisasi negara atas masyarakat merupakan kolonisasi pada ranah politik, yang menjadi bagian dari kolonisasi sistem atas Lebenswelt secara umum. Dalam kaitan ini, kolonisasi tersebut juga terjadi melalui dua proses: keterpisahan antara negara dan masyarakat, serta kolonisasi negara atas masyarakat. Tiba saja negara, baik berupa eksekutif, legislatif, yudikatif dan militer, memisah diri dari masyarakat yang membentuknya, untuk otonom dan bekerja sesuai dengan logika, pola, dan tujuan dari sistem negara tersebut. Sistem itu secara umum merujuk pada administrasi, birokratisasi, militerisasi, dan politisasi, yang membuat negara “hidup untuk dirinya sendiri”. Dengan demikian, sistem negara bekerja dalam pengaturan-diri (self-organizing) demi stabilitas sistem politik itu sendiri.

Hal ini misalnya terjadi dalam beberapa corak sistemik. Pada ranah departemental, sistem itu mewujud dalam administrasi dan birokratisasi. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari penerapan pemerintahan birokratis, yang menjadi “tubuh gemuk” dari negara. Segenap kementerian, dari kementerian agama, sosial, hukum dan HAM, olah raga, perhubungan, serta kesekretariatan jenderal di dalam tubuh parlemen, kabinet, kepresidenan, peradilan dan militer, telah menyediakan pola organisasi bebas-nilai yang birokratis. Tentu birokratisasi tubuh negara merupakan upaya rasionalisasi pemerintahan, agar pengaturan dan alokasi sumber daya bisa tertata secara manajerial di dalam kompleksitasnya. Hanya saja seperti termaktub di tulisan sebelumnya, birokratisasi ini akhirnya menimbulkan “sisi gelap” berupa hukum besi oligarki. Yakni hukum besi yang ada di setiap birokrasi. Dengan hukum besi oligarki ini, sistem birokrasi akhirnya bekerja untuk dirinya sendiri, selayak sebagian besar pegawai negeri di dalamnya, yang bekerja dengan motivasi ekonomis, bukan pelayanan publik. Bekerja dalam birokrasi pemerintahan tiada bedanya dengan bekerja di perusahan ekonomis, padahal dalam pemerintahan, pelayanan publik merupakan tujuan utama dari pekerjaan tersebut. Birokrasi pemerintahan adalah pelayan bagi kesejehteraan publik. Dengan birokratisasi, tujuan pelayanan publik itu dilokalisir menjadi pengaturan sistem birokrasi pemerintahan itu sendiri, yang memuara pada kesejahteraan para pegawai negeri.

Di sisi lain, negara juga menjadi ruang politis bagi politikisasi para politisi. Inilah yang melahirkan “politik kartel” seperti termaktub di bab sebelumnya. Para politisi menjadi elit yang menentukan kinerja dan arah dari negara yang memuara tidak kepada kesejahteraan rakyat, melainkan peraupan keuntungan para politisi dan partai. Pada titik ini negara akhirnya menjadi “negara partai”, di mana proses demokrasi dipahami sebagai prosedur-prosedur politik, yang membuat para politisi bisa “menjadi negara” dan menikmati kekuasaan di dalamnya. Demokrasi prosedural semacam ini yang melahirkan “diktator terpilih”, sehingga rakyat hanya diposisikan sebagai pemilih setiap pemilu, dan menjadi penonton kediktatoran para wakil rakyat dan presiden terpilih. Segenap arus negara, khususnya di dalam legislatif dan eksekutif senantiasa berkutat pada “lingkaran setan” politikisasi para elit politik, sejak para anggota DPR, kepresidenan, dan menteri. Karena segenap posisi tersebut ditempati orang-orang partai, maka logika yang berjalan adalah logika politis (politicking), bukan logika profesional apalagi logika pengabdian publik. Dengan demikian, negara telah memisah dari harapan rakyat, dan menjadi alat bagi kepentingan para politisi demi stabilitas kekuasaan partai-partai.

Hal serupa terjadi pada militer, baik tentara maupun polisi yang sering berhadapan dengan rakyat. Bukan untuk membela dan melayani rakyat, melainkan menjadi alat represif negara untuk memberangus rakyat, ketika rakyat dianggap membahayakan negara. Dengan demikian, negara yang dikuasai para politisi kemudian menggerakkan militer untuk merepresi rakyat atas nama “bela negara”. Hal ini yang absurd dan tragis, sebab negara yang dibela oleh militer dengan mengorbankan darah-nyawa rakyat itu, adalah negara yang dikuasai oleh partai-partai. Seperti kita tahu, partai-partai kita sangat minim wawasan dan kualitas kenegaraannya.

Pada titik inilah, negara kemudian mengoloni masyarakat. Hal ini terjadi melalui birokratisasi, politikisasi dan militerisasi. Birokratisasi pemerintahan telah mengoloni pelayanan publik, sehingga segenap pelayanan publik baik pada ranah sosial, ekonomi, pendidikan, agama, dan budaya cenderung bercorak birokratis. Dengan demikian, birokratisasi yang pada awalnya merupakan manajemen internal pemerintahan, telah merangsek ke dunia-kehidupan, karena objek pemerintahan tersebut adalah rakyat itu sendiri. Dengan birokratisasi pelayanan publik ini, maka pelayanan publik itu sendiri dibatasi oleh logika dan mekanisme birokratis, sehingga tidak mampu menembus ke dalam persoalan-persoalan yang lebih mendasar yang menjadi keseharian rakyat. Pola pelayanan publik birokratis akhirnya menciptakan pelayanan publik yang formalis, terbatas, dan tidak boleh keluar dari mekanisme birokrasi itu sendiri. Lihatlah betapa banyak pengemis, anak jalanan dan fakir miskin, meskipun sudah ada Kementerian Sosial. Lihatlah betapa kasus pelanggaran HAM masih terbengkalai meskipun sudah ada kementerian hukum dan HAM. Lihatlah betapa banyak aspirasi rakyat tak tersalurkan meskipun sudah ada lembaga parlemen.

Hal sama pada politikisasi yang telah mengoloni masyarakat dengan mengubah makna politik, dari perwujudan kebaikan bersama (res publica), menjadi proses pergelutan kekuasaan (struggle to power). Dengan cara ini, politikisasi telah menceraikan politik dari perwujudan kebaikan bersama, sehingga ia murni menjadi pergelutan kekuasaan dari elit untuk elit. Politikisasi juga mengoloni masyarakat melalui praktik politik uang setiap pemilu, serta menempatkan kelompok-kelompok strategis masyarakat sebagai alat bagi politisasi. Lihatlah betapa setiap pemilu dan pilkada, segenap kelompok strategis seperti majelis ta’lim, kiai, pesantren, organisasi masyarakat, organisasi pemuda, organisasi agama, dsb menjadi alat-alat taktis bagi kepentingan politis para calon wakil rakyat, calon presiden, hingga calon bupati dan gubernur. Kolonisasi juga terjadi pada militerisme, karena militer akhirnya memang menjadi agen represif negara yang dihadapkan vis a vis dengan masyarakat untuk menjaga kepentingan negara.

Pada situasi inilah, demokrasi perwakilan akhirnya mengoloni kedaulatan rakyat dan akhirnya memisahkan negara dari masyarakat. Dalam kaitan ini, kehendak Habermas untuk mewujudkan demokrasi langsung melalui demokrasi perwakilan lahir dari kelemahan demokrasi perwakilan di dalam mengartikulasikan aspirasi rakyat. Hal ini memang karakter utama dari demokrasi deliberatif, sebab corak demokrasi ini hendak memperluas ruang partisipasi, dari sekat institusi parlemen ke ranah ruang publik secara luas.[6] Di dalam demokrasi deliberatif, perwakilan politik menjadi absah legitimasinya ketika betul-betul merepresentasikan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, representasi haruslah mencerminkan presentasi (kehadiran), karena kehadiran (kedaulatan) rakyat tidak bisa diwakilkan. Kehadiran ini tentunya tidak bersifat fisik-kuantitatif melainkan bersifat aspiratif-kualitatif. Cita-cita dan harapan kerakyatanlah yang berusaha diperjuangkan oleh wakil rakyat, sebab representasi wakil rakyat tidak otomatis mencerminan presentasi rakyat.

Pada titik ini, demokrasi deliberatif akhirnya tidak murni berada di dalam ruang parlemen, melainkan menciptakan ketersambungan antara parlemen dengan ruang publik. Inilah penyambungan keterpisahan antara sistem dan Lebenswelt itu. Dalam kaitan ini, ruang publik memiliki peran vital, karena perluasan partisipasi ini dilakukan melalui deformalisasi ruang partisipasi dengan penekanan pada “publikisasi partisipasi”. Artinya demokrasi deliberatif telah menggeser ruang partisipasi dan artikulasi politik dari perwakilanisme demokrasi dalam parlemen kepada partisipasi deliberatif dalam ruang publik. Dalam situasi ini, peserta deliberasi tidak terbatas kepada masyarakat sipil tetapi juga negara dan wakil rakyat itu sendiri. Hanya saja, segenap wakil rakyat-negara, harus duduk secara setara bersama semua warga negara di dalam ruang publik, tempat masyarakat sipil mengajukan peninjauan kembali atas kebijakan yang telah ditelorkan oleh wakil rakyat. Ya, inti demokrasi deliberatif terletak di sini. Yakni gerak tindakan komunikatif dari ruang publik kepada negara, di mana kebijakan negara ditinjau kembali oleh masyarakat sipil, sehingga negara akhirnya betul-betul menggodog kebijakan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Dengan demikian, demokrasi deliberatif akhirnya merupakan perluasan demokrasi dari ruang parlamen kepada ruang publik, di mana negara dan masyarakat duduk bersama untuk merumuskan kembali kebijakan publik. Seringnya, perumusan ini bersifat-kembali, sebab ia merupakan peninjauan ulang kebijakan negara oleh masyarakat sipil. Peninjauan kembali kebijakan merupakan konsekuensi logis dari pola legitimasi yang tidak cukup hanya berdasar pada perwakilanisme politik di dalam parlemen, namun harus mengakar pada persetujuan masyarakat yang diwakili oleh para wakil rakyat tersebut. Tidak hanya terhenti di sini, sebab pendasaran legitimasi juga dilakukan di dalam forum deliberasi, melalui perdebatan argumentatif dalam terang etika diskursus. Jadi legitimasi demokrasi deliberatif tidak hanya terletak pada perluasan aspirasi politik dari wakil rakyat (negara) kepada masyarakat sipil, melainkan di dalam proses deliberasi di ruang publik itu sendiri, sesuai dengan prinsip-prinsip tindakan komunikatif dalam etika diskursus.

Pada titik inilah Habermas mendaulat ruang publik sebagai ruang utama praksis politik. Seperti diketahui, ruang publik adalah ruang-antara negara dan rumah tangga. Di dalam ruang publik, masyarakat telah keluar dari keprivatan rumah tangga (ekonomi) dan menjaga jarak dari negara. Deekonomisme dan deformalisasi politik menjadi ciri khas ruang publik, karena di dalamnya para aktivis publik memang telah keluar dari res privata, baik yang berada dalam ruang-ruang privat kerumahtanggaan, maupun dalam praktik industri ekonomi. Tujuannya jelas: untuk melakukan penyeimbangan atas negara, sehingga masyarakat sipil bisa membendung imperatif-hegemonik dari proses kolonisasi negara atas masyarakat.[7] Oleh karena itu, penempatan ruang publik atau reaktivasi ruang publik adalah strategi untuk mendekolonisasi negara atas masyarakat. Dengan reaktivasi ruang publik dalam terang demokrasi deliberatif, maka Habermas telah membendung arus kolonisasi negara atas masyarakat, dan menempatkan masyarakat politik dan masyarakat sipil secara setara di dalam kepublikan.

Dalam proses ini, hukum ditahbiskan Habermas sebagai “engsel” yang menyambungkan keterpisahan sistem dan Lebenswelt. Mengapa? Karena sebagai aturan normatif, hukum berada di dua ruang tersebut sekaligus. Hukum adalah aturan normatif yang telah dilegalkan di dalam lembaga yuridis kenegaraan. Namun sebagai normativitas, ia lahir dari cita-cita kemanusiaan yang tertanam, digali dan dirumuskan di dalam Lebenswelt. Artinya, sebelum “menjadi negara” (konstitusi, UU, dan lembaga peradilan), hukum adalah konsensus rasional yang dirumuskan di dalam ruang publik. Sebagai cita-cita luhur, hukum ini digali dari kearifan-kearifan hidup di dalam dunia-kehidupan, untuk secara rasional dirumuskan di dalam legalitas hukum. Selayak pemilahan Kant atas moralitas dan legalitas di dalam hukum. Moralitas adalah nilai-nilai hukum yang berada di dalam sanubari manusia dan menjadi etika sosial di masyarakat. Sementara legalitas adalah formalisasi moralitas sehingga etika sosial itu memiliki cangkangan institusional, agar ia memiliki kekuatan mengikat dan menghukum.[8]

Karena legalitas hukum berasal dari moralitas manusia, maka hukum bisa menjadi “engsel” untuk menyambung kembali sistem dan Lebenswelt. Hal ini terjadi karena letaknya yang serba-strategis. Sebab dari sisi sistem misalnya, sebuah sistem dan para pelakunya pastilah mencari pendasaran normatif segenap tindakannya dari hukum, agar tindakan tersebut legitimatif. Dalam situasi ini, hukum menjadi rem-pengendali langkah-langkah destruktif dari pelaku sistem. Hal sama terjadi pada masyarakat, yang bisa mendasarkan kritiknya atas sistem berdasarkan hukum. Sebab sah tidaknya sistem tergantung pada ada tidaknya landasan hukum di dalam tindakan sistem tersebut. Konstitusi tentang perlindungan hak warga negara misalnya, adalah klausul hukum yang harus ditaati negara, dan oleh karena itu bisa dijadikan alat bagi masyarakat untuk mengritik kebijakan negara yang bertentangan dengan konstitusi tersebut.[9]

Dengan cara inilah Habermas melakukan re-integrasi masyarakat akibat kolonisasi sistem atas Lebenswelt tersebut. Dengan cara ini pula Habermas melakukan rasionalisasi masyarakat. Re-integrasi terjadi karena segenap pergerakan politik, dalam hal ini deliberasi antara negara dan masyarakat, tidak terjadi dalam pemberontakan berdarah atau saling-kritik yang melahirkan instabilitas masyarakat. Segenap proses timbal-balik antara masyarakat dan negara justru mampu mengintegrasikan kembali masyarakat, sebab hukum adalah dasar yang membentuk negara dari masyarakat itu sendiri. Baik negara maupun masyarakat pastilah rela untuk menaati hukum, sebab hukum adalah tata aturan yang disepakati bersama agar semua manusia bisa hidup dalam hak dan keawjibannya. Proses ini juga telah melakukan rasionalisasi masyarakat, sebab dengan menjadikan hukum sebagai media demokrasi deliberatif, maka segenap proses demokratisasi mampu mengajak semua elemen masyarakat (baik negara dan masyarakat sipil), untuk menyelesaikan semua persoalan secara rasional. Hal ini berangkat dari pengandaian Habermas, bahwa hukum adalah nilai-nilai rasional hasil konsensus sosial, yang menjadi pijakan hidup bermasyarakat, pasca-bangkrutnya nilai-nilai tradisional yang lahir dari primordialisme kelompok. Artinya, hukum adalah cara-hidup baru masyarakat pasca-tradisional, yang tidak lagi bisa mendasarkan hidup kemasyarakatannya berdasarkan nilai-nilai tradisi yang bersifat lokalistik. Oleh karena itu, gagasan demokrasi deliberatif, senyata menjadi bagian utama dari proyek rasionalisasi masyarakat ala Habermas.[10]

Mekanisme deliberatif

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat kelebihan demokrasi deliberatif, dibandingkan dengan konsep demokrasi konvensional. Kelebihan ini terletak pada perluasan dan pendalaman demokrasi itu sendiri, yang saat ini sedang banyak diwacanakan oleh para pegiat demokrasi. Perluasan diartikan sebagai pelampauan perwakilanisme politik, dari ruang-ruang formal kenegaraan menuju ruang-ruang publik kerakyatan. Sementara pendalaman terdapat pada radikalisasi prosedur demokrasi, dengan menggerakkan prosedur perumusan kebijakan ke dalam ideal etika diskursus. Dengan cara ini, demokrasi deliberatif akhirnya menandai pergeseran dari corak demokrasi mayoritarian (majoritarian democracy) kepada demokrasi konsensus (consensus democracy). Pada yang pertama, demokrasi disangga oleh tarung kekuatan partai. Pada yang kedua, disangga oleh konsensus rasional dalam ruang publik.

Dalam kaitan ini, demokrasi deliberatif memiliki keunggulan jika dibanding dengan model-model demokrasi lain. Dengan demokrasi liberal misalnya, model demokrasi ini memiliki keunggulan di dalam asumsi metafisiknya yang melampaui individualisme. Seperti diketahui, demokrasi liberal berangkat dari pandangan akan subjek sebagai “manusia abstrak” yang terbebas dari beban komunitariannya. Michel Sandel menyebut subjek ini sebagai unencumbered self, diri yang tercerabut dari akar kulturalnya. Yang disebut sebagai “subjek abstrak” ini adalah gambaran tentang kemanusiaan secara umum. Yakni suatu ciri umum dari manusia secara universal yang diangkat dari segenap keunikan lokalitas dan komunitasnya. Ciri umum atau universalitas manusia ini yang kemudian mengarah pada individualisme, karena penerjemahan atas sifat abstraknya diserahkan kepada individu. Subjek individu yang abstrak dan dicerabut dari akar pembentukan komunalnya ini yang akhirnya melahirkan hak pilih universal (one man one vote), karena tak ada otoritas yang paling otoritatif selain otoritas individu sebagai bentuk ideal dari kemanusiaan abstrak.

Sayangnya watak demokrasi liberal yang berpondasi individualisme ini akhirnya terjebak dalam pendaulatan individualisme sebagai tiang utama kedaulatan rakyat. Akhirnya kedaulatan rakyat pun dihitung dari banyaknya per-individu yang memberikan suara, sementara segenap prosedur demokrasi hanya mewadahi agregasi kepentingan individu melalui kelompok-kelompok politiknya (partai). Pembelaan atas hak individu ini juga melahirkan corak kebebasan negatif. Yakni corak kebebasan yang memenuhi hak individu untuk bebas mengartikulasikan hak-hak politiknya. Maka, prosedur demokrasi liberal akhirnya hanya menjadi wahana pragmatis bagi kepentingan individu-individu politis, untuk memuaskan kepentingan individualisnya.

Demokrasi deliberatif melampaui individualisme liberal karena pandangan atas subjek yang tidak individualis, pun tidak komunitarian. Pandangan subjek demokrasi deliberatif tertuju pada subjek etis-hukum sebagai bagian dari abstraksi atas sifat universal manusia. Artinya, demokrasi deliberatif pun berangkat dari pengandaian “manusia abstrak” ala liberalisme. Mengapa? Karena pengandaian ini yang menjaga manusia pada aras kemanusiaannya. Dengan menjaga “yang abstrak” ini, sifat universal manusia seperti rasionalitas, hak untuk memiliki hak, kesetaraan, kebutuhan akan kebebasan, penghargaan terhadap individu, dan humanisme itu sendiri bisa diperjuangkan melampaui hal-hal yang “seluar manusia.”

Hanya saja “manusia abstrak” dari demokrasi deliberatif ini tidak dicerabut dari akar kulturalnya. Ia tetap merawat keunikan perspektif yang dibentuk oleh Lebenswelt kultural. Hal ini wajar sebab apa yang disebut Habermas sebagai tindakan komunikatif adalah tindakan yang memiliki pra-paradigma yang secara tak sadar dibentuk oleh Lebenswelt. Lebenswelt ini adalah kultur, tradisi, dan nilai-nilai kelompok yang membuahkan “konteks ucapan” atau common denominator yang secara tak sadar telah disepakati. Lebenswelt komunikatif inilah yang selaras dengan subjek komunitarian, yang mendaulat komunitas sebagai pembentuk subjek, sehingga individualisme liberal dianggap mencerabut kedirian subjek dari akar komunitasnya. Hanya saja, ketika mengakomodir dua kutub subjek liberal dan komunitarian, subjek demokrasi deliberatif tetap melampaui keduanya, dengan menempatkan pembentukan subjek pada konsensus, bukan kesendirian individualis maupun komunitas. Artinya, kebenaran tidak ditemukan subjek dalam individualisme maupun oleh bentukan kultural komunitarian. Melainkan melalui proses deliberasi. Kebenaran tidak ditentukan sejak awal, baik oleh individu maupun oleh komunitas, melainkan ditemukan di dalam proses deliberasi yang akhirnya melahirkan konsensus bersama secara rasional. Kebenaran “tidak ditentukan” tetapi “ditemukan” dalam proses konsensus.[11]

Dengan menambatkan penemuan kebenaran (dalam arti konsep atau rumusan tentang kebaikan bersama) dalam konsensus, maka demokrasi deliberatif tidak mendaulat individu sebagai soko guru demokrasi. Dengan menjadikan konsensus sebagai soko guru demokrasi, maka kebaikan bersama bukan merupakan preferensi individu-individu di dalam kelompok-kelompok politik yang plural. Melainkan dirumuskan secara bersama dengan mekanisme deliberasi yang menerapkan etika diskursus. Perumusan bersama tentang kebaikan bersama (res publica) inilah yang akan menjaga perwujudan kebaikan bersama itu dari dominasi pandangan dan kepentingan sebagian orang atau kelompok. Oleh karena itu, syarat perumusan bersama ini akan begitu ketat (sesuai dengan syarat-syarat etika diskursus) sehingga proses deliberasi tidak lagi ditentukan oleh interest individu maupun oleh hegemoni kelompok mayoritas. Dengan cara ini, demokrasi deliberatif akhirnya mende-mayorokrasi-kan demokrasi. Artinya, menyelamatkan proses demokrasi dari beban mayoritarianisme.

Demikian pula dengan demokrasi pluralis, yang mendasarkan sistem demokrasinya kepada pluralitas kelompok-kelompok politik. Demokrasi model ini tentu terkritik oleh demokrasi deliberatif sebab mekanisme demokrasinya yang mendedahkan centang-perenang pertarungan antarkelompok politik. Basis utama demokrasi akhirnya bukan pembentukan konsensus atau kesepakatan bersama demi res publica, melainkan kompetisi elit berbaur dengan politik kartel yang menutupi praktik koruptif dari masing kawan dan lawan politik. Demokrasi deliberatif yang mendasarkan diri pada deliberasi-etis akan membuyarkan pertarungan elit itu, karena mekanisme demokrasi tidak didasarkan pada kompetisi elit melainkan oleh mekanisme deliberasi yang menempatkan semua komponen secara setara. Otoritas di dalam demokrasi deliberatif tidak berada pada kelompok politik yang kuat, yang dicerminkan oleh “mayoritas kekuatan politik”, melainkan oleh argumentasi yang paling baik akan kebaikan bersama. Kebenaran demokratis akhirnya tidak ditentukan oleh kelompok politik yang kuat dana dan kekuasaannya, melainkan oleh struktur argumentasi yang lebih valid tentang res publica. Oleh karena itu, demokrasi deliberatif akan membuyarkan dominasi kelompok-kelompok politik, dan mengembalikan proses demokrasi kepada “kontrak sosial” yang mendudukkan semua orang sebagai warga negara setara, punya atau tidak kekuasaan, ia.

Hal serupa terjadi pada demokrasi sosialis yang dekat dengan tradisi komunis. Dalam tradisi ini, negara dijadikan pusat bagi pemerataan ekonomi yang akhirnya melahirkan etatisme ekonomi, yakni konsentrasi pengaturan ekonomi oleh negara. Meskipun keberpihakan atas pemerataan sosial diamini oleh demokrasi deliberatif, tetapi pendaulatan otoritas politik kepada negara-memusat tentu ditolak oleh tradisi deliberatif tersebut. Hal ini terjadi karena pemusatan negara tentu akan membuyarkan deliberasi politik yang setara. Pemusatan kekuasaan negara tentu akan melahirkan “komunikasi yang membusuk”, sehingga tindakan komunikatif dalam terang demokrasi deliberatif akhirnya dibusukkan oleh intervensi kekuasaan negara ke dalam proses deliberasi tersebut. Bahkan karena negara yang memusat itulah, maka deliberasi mustahil terjadi sebab pembuatan keputusan tidak dilahirkan melalui mekanisme musyawarah di dalam ruang publik yang setara, melainkan oleh sang penguasa komunis yang memusat dan anti-demokrasi.

Persoalannya adalah apa bentuk institusional dari model demokrasi deliberatif ini yang menjadi penyempurna bagi kelemahan sistemik, model-model demokrasi lainnya? Jika mengacu pada Habermas, bentuk institusional itu secara eksplisit terdapat pada umpan-balik antara negara dan masyarakat di dalam ruang publik. Artinya di sini ada dua ruang: negara dan ruang publik. Maka bisa saja demokrasi deliberatif itu merupakan pertemuan antara masyarakat sipil (aktivis NGO, penulis, intelektual, seniman, akademisi, pastor, kiai, pimpinan ormas, ketua adat, dan sebagainya) dengan pejabat publik (anggota DPR, menteri, presiden, ketua MA, hakim, tentara) di dalam ruang publik (ruang diskusi publik) yang otonom dari negara dan pasar. Oleh karena itu, pendaulatan ruang publik sebagai ruang utama pengganti ruang-negara kemudian menempatkan pejabat negara secara setara dengan warga negara biasa. Dalam situasi ini, tidak ada lagi perbedaan. Yang ada hanyalah warga negara yang duduk setara, memiliki hak mengungkapkan pendapat, dan hak atas kebaikan bersama yang dimusyawarahkan tersebut.

Dalam kaitan inilah, David Held memaparkan beberapa misal dari mekanisme-mekanisme deliberatif. Pertama, jajak pendapat deliberatif. Jajak pendapat ini melampaui jajak pendapat konvensional yang tidak mengedepankan refleksi masyarakat atas persoalan publik. Refleksi ini diartikan sebagai pemahaman atas persoalan secara sadar, dibarengi dengan fakta-fakta terkait, sehingga menimbulkan pemahaman mendalam. Lalu bagaimana teknisnya? Pada titik ini Held memaparkan:

“Ide pokoknya adalah membawa sampel populasi sebagai representasi bersama-sama dalam satu tempat selama beberapa hari, untuk mendeliberasi permasalahan pokok yang ada dalam kehidupan publik. Sebelumnya, sampel tersebut diberi kesempatan menyatakan pandangan pra-deliberatifnya. Kemudian deliberasi dilakukan dengan melibatkan biasanya dua elemen: penjajakan dan pertanyaan kepada sekelompok ahli isu yang sedang dibahas; dan debat publik di antara para partisipan untuk mendapatkan keputusan publik yang lebih dapat dipertahankan. Setelah proses ini, semua ditanyai pendapatnya lagi, dan hasil jajak pendapat sebelum dan setelahnya dibandingkan. Biasanya proses deliberasi mengubah pandangan yang ada karena pandangan-pandangan tersebut telah terpengaruh oleh informasi fakta yang dijadikan bahan pertimbangan, dan mereka yang terlibat di dalamnya juga mempertimbangkan opini dan argumentasi orang lain”.[12]

Dari sini terlihat bahwa jajak pendapat deliberatif bertujuan untuk mengajak warga negara untuk berpartisipasi langsung dalam merumuskan kebijakan publik. Perumusan bersama oleh rakyat secara langsung ini dibarengi dengan pemberian informasi yang lengkap atas persoalan yang sedang dirumuskan. Inilah perlunya para ahli di dalam deliberasi tersebut. Oleh karena itu, muara dari jajak pendapat ini adalah keputusan rakyat atas suatu kebijakan publik, disertai oleh pemahaman rakyat atas kebijakan yang diputuskan tersebut. Jajak-pendapat ini bisa dilakukan dalam suatu “Hari Deliberatif”: sampel populasi, misalnya 500 warga negara dikumpulkan dalam satu tempat selama sehari penuh, untuk melakukan jajak pendapat deliberatif tersebut. Semua media massa, dari cetak hingga elektronik, menyiarkan proses jajak pendapat yang sekaligus merupakan proses deliberasi publik secara massal. Menariknya, jajak pendapat dan “Hari Deliberatif” ini telah dipraktikkan di negara-negara liberal, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Di Amerika, kedua “lembaga deliberatif” ini telah diterapkan untuk melibatkan masyarakat dalam mengontrol dan ikut merumuskan persoalan-persoalan publik seperti tunjangan kesehatan, bantuan luar negeri, kenaikan pajak, hingga pemilihan pejabat publik.

Kedua, juri warga negara. Mekanisme ini dibentuk oleh “badan publik” yang berfungsi sebagai tim penasehat pemerintah nasional dari kalangan rakyat. Tugas juri warga negara ini adalah merumuskan pandangan publik tentang suatu kebijakan, atau merumuskan persoalan mendasar masyarakat untuk diajukan kepada pemerintah sebagai rancangan kebijakan. Jadi pada titik ini, terdapat dua tugas dari juri ini; sebagai “wakil rakyat” yang mengajukan aspirasi masyarakat kepada pemerintah, serta sebagai lembaga kontrol kebijakan pemerintah. Tentu juri warga negara ini berbeda dengan wakil rakyat resmi di parlemen. Juri warga negara dibentuk oleh “badan publik” yang berada di luar struktur parlemen. Di Amerika Serikat, juri warga negara telah mampu membuat pandangan tandingan dari kebijakan resmi, salah satunya pembongkaran tunjangan kesehatan eksekutif, yudikatif, dan legislatif, yang tidak masuk akal.

Ketiga, umpan balik warga dan pemerintah. Mekanisme ketiga ini lebih merupa pada mekanisme penyaluran umpan balik antara warga dan pemerintah. Artinya, pemerintah memberikan saluran aspirasi agar terjadi umpan balik dalam merumuskan kebijakan. Pada awalnya model umpan balik ini terdapat pada e-government. Yakni pemanfaatan pemerintah atas fasilitas internet untuk menyosialisasikan kebijakan. Hanya saja pendekatan ini bersifat top-down: dari pemerintah kepada rakyat, tanpa adanya umpan balik yang setara dari rakyat itu sendiri. Hal ini terjadi karena kebijakan disosialisasikan setelah kebijakan tersebut, ditetapkan. Sementara itu, umpan balik deliberatif terdapat pada e-democracy, yakni pemanfaatan jaringan virtual dunia maya oleh gerakan-gerakan demokrasi, baik untuk mengritisi kebijakan pemerintah, maupun untuk mendebatkan persoalan publik secara deliberatif. Model e-democracy ini terdapat pada E-Democracy Minnesota dan DNet di California. Keduanya merupakan forum debat dan evaluasi kandidat pejabat publik. Hal sama terdapat pada OpenDemocracy.net di Inggris yang menfokuskan diri berbagai isu global dan bertujuan untuk menstimulasi diskusi publik tentang persoalan tersebut.[13] E-Democracy juga terdapat pada berbagai aksi mobilisasi massa via Facebook dan Twitter dalam kasus di Indonesia, seperti “Cicak versus Buaya” (KPK versus Polisi), “Koin Keadilan untuk Prita”, atau penggulingan rezim despotik di Timur-Tengah seperti di Mesir, Tunisia, Libya, dan Yaman pada dekade 2000 ini.

Dengan adanya beberapa misal mekanisme di atas, maka menjadi PR besar ke kedepan untuk membangun suatu lembaga kenegaraan deliberatif. Lembaga ini merupakan jembatan yang menghubungan negara dengan masyarakat, atau meminjam konsep Habermas, mewujudkan demokrasi langsung di dalam demokrasi perwakilan. Saat ini memang sudah ada mekanisme legal seperti itu, misalnya dalam rapat dengar pendapat (public hearing) antara DPR dan komponen masyarakat sipil dalam kasus tertentu. Namun forum ini hanya memintakan pendapat dari masyarakat sebagai masukan. Selebihnya, pembuat keputusan tetap anggota parlemen. Sama dengan posisi juri warga negara di AS seperti termaktub di atas. Hal sama pada mekanisme judicial review dalam perundang-undangan yang saat ini telah diakomodir oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui mekanisme ini, masyarakat bisa mengajukan peninjauan kembali atas UU yang disinyalir bertentangan dengan UUD 1945. Peninjauan ini tentu lahir dari kesadaran atas pertentangan UU tersebut terhadap hak warga negara yang dijamin oleh UUD. MK bisa menggugurkan UU, jika memang terbukti bertentangan dengan UUD.

Hanya saja dalam mekanisme demokrasi perwakilan yang terfokus dalam sistem parlemen, belum terdapat suatu demokrasi langsung di dalam demokrasi perwakilan. Mekanisme pengaturan kedaulatan rakyat masih melalui sistem perwakilan, di mana rakyat diwakili oleh orang-orang partai. Maka dibutuhkan suatu “lembaga deliberatif” yang berangkat dari asumsi dasar, bahwa rakyat secara langsung harus dilibatkan di dalam perumusan kebijakan. Dibutuhkan suatu “lembaga deliberatif” yang mendudukkan rakyat secara langsung di dalam kedaulatannya. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan mengubah sistem pemilu kita, dari mekanik kepada organik. Seperti diketahui, sistem mekanik adalah sistem pemilu yang menempatkan partai politik sebagai satu-satunya peserta pemilu. Sementara sistem organik, tidak hanya menempatkan partai, melainkan pula organisasi-organisasi kemasyarakatan, NGO, dan segenap pergerakan rakyat yang memiliki basis pengabdian yang mengakar.

Satuan masyarakat sipil ini kemudian didudukkan secara setara, menjadi anggota parlemen di samping partai-partai politik. Mekanisme ini sekaligus merupakan proses departaisasi demokrasi kita. Mengapa? Karena sebagian besar partai kita tidak memiliki kerja basis yang jelas dan mengakar. Hal ini berbeda dengan LSM pendampingan petani, buruh, organisasi profesi guru, paguyuban seniman, komunitas intelektual, persatuan pelajar, solidaritas tukang becak, pemulung, ormas keagamaan, organisasi mahasiswa, dosen, pengusaha, dan sebagainya. Berbagai divisi pengabdian masyarakat dari partai politik yang mandul, bisa diganti dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan ini. Oleh karena itu, “sistem parlemen organik” akan melakukan pergeseran paradigmatik dari parlemen berbasis partai, menjadi parlemen berbasis kemasyarakatan. Hal ini urgen sebab kualitas partai kita masih berbasis “politikisasi massa”, bukan “pengabdian profesional” selayak paradigma organisasi kemasyarakatan.

Tentu kita tidak menafikan kecenderungan pragmatis dari sebagian organ kemasyarakatan. Sebab di dalam setiap pergerakan pastilah ada kepentingan. Hanya saja, “sistem parlemen organik” ini berangkat dari asumsi dasar sederhana, yakni lebih mendekatkan anggota parlemen dengan “kerja basis” dalam masyarakat bawah. Kejelasan “kerja basis” ini tidak dimiliki oleh partai-partai kita, karena sifat kelembagaannya yang lebih mengedepankan “kerja politis” daripada “kerja pengadian” secara profesional. Karena organ-organ kemasyarakatan secara fungsional bersifat spesifik di dalam ruang lingkup kerjanya, maka spesifitas pendampingan inilah yang menjadi perwakilan satuan-satuan masyarakat. Maka, kedaulatan rakyat tidak terepresentasikan an sich melalui partai. Sebab perwakilan partai masih bersifat umum, dan hanya melakukan pemilahan berdasar kelompok agama, ideologi, atau sekadar kharisma tokoh. Sistem perwakilan umum ini yang perlu diubah melalui sistem perwakilan yang bersifat spesifik berdasarkan profesi-profesi kemasyarakatan. Dengan demikian, dalam “sistem parlemen organik” ini, para buruh diwakili oleh organisasi buruh, petani diwakili pendamping petani, seniman diwakili paguyuban seniman, tukang becak diwakili solidaritas tukang becak, PKL diwakili solidaritas PKL, dsb. Dengan sistem inilah, demokrasi langsung bisa diwujudkan di dalam demokrasi perwakilan. (*)   


Artikel Terkait

  1. Salam Redaksi
  2. Riset Redaksi
  3. Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
  4. Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
  5. Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
  6. Demokrasi Deliberatif
  7. Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
  8. Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
  9. Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
  10. Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
  11. Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
  12. Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
  13. Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
  14. Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)


[1] Lihat F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Piblik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), h.,  46-53
[2] F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, h., 55-65
[3] David Held, Models of Democracy, h., 272-275
[4] Pemilahan Habermas atas tindakan strategis dan komunikatif bisa juga dibaca sebagai kelanjutan dari pemilahannya atas tiga kepentingan pengetahuan; empirik-analitis, historis-hermeneutis, dan ilmu-ilmu kritis. Seperti diketahui, ilmu empirik-analitis adalah ilmu-ilmu positif yang menggunakan metode eksplanasi/penjelasan/eklaren untuk menemukan hukum-hukum (kausalitas) dari fenomena alam. Oleh karenanya, ilmu ini menjadi ilmu objektif karena objek studinya yang mengarah pada studi tentang alam-fisikal. Melalui metode penjelasan, sang ilmuwan bisa mengambil jarak (objektif) untuk menetapkan hukum-hukum kausalitas yang bersifat tetap dari kejadian empirik. Ilmu empirik-analitis ini yang bekerja pada rasio strategis dan melahirkan tindakan strategis. Produknya berawal dari sains dan teknologi dan memuncak pada pembangunan sistem administrasi politik dan industrialiasi ekonomi. Kedua, ilmu historis-hermeneutis. Yakni ilmu-ilmu humaniora yang menempatkan manusia sebagai makhluk historis. Karena objek studinya adalah kesejarahan dan manusia, maka metodenya tak bisa meminjam dari ilmu alam (eksplanasi), melainkan melalui pemahaman/verstehen. Dengan memahami, manusia dan kesejarahannya telah menyediakan horizon makna bagi penafsiran budaya. Di dalam antropologi misalnya, keinginan untuk memahami budaya manusia telah melahirkan interpretivisme simbolik yang melakukan penafsiran atas penafsiran (interpretation of interpretation). Jadi peneliti budaya menafsiri penafsiran pelaku budaya. Dengan demikian, sifat ilmu humaniora ini tak bisa objektif, melainkan tetap melibatkan subjektivitas, sebab sang pengkaji adalah manusia yang tengah mengkaji manusia. Ilmu historis-hermeneutis inilah yang tersirat dalam rasio dan tindakan komunikatif. Yakni rasio yang berada pada ranah kehidupan manusia, dan digunakan untuk saling memahami. Tindakan komunikatif seperti kita tahu, telah melahirkan gagasan Habermas tentang ruang publik.
  Sementara itu ilmu-ilmu kritis adalah refleksi-diri atas ilmu-ilmu lainnya, ketika bangunan ilmu telah mengalami ideologisasi. Artinya, baik ketika ilmu empirik-analitik dan historis-hermeneutis telah terjebak di dalam kebenarannya sendiri sehingga ia anti-kritik, maka di titik itulah ilmu-ilmu kritik merefleksikan ketertutupan tersebut. Kritik ilmu-ilmu kritis juga terdapat pada positivisme. Yakni penggunaan ilmu empirik-analitis untuk mengkaji persoalan manusia, padahal studi manusia sudah memiliki kekhasan ilmu humanioranya. Dengan demikian, ketika ilmu empirik-analitis memiliki kepentingan praktis untuk mengolah alam, ilmu historis-hermenuetis memiliki kepentingan pengetahuan untuk memahami kehidupan manusia. Maka ilmu-ilmu kritis memiliki kepentingan pengetahuan bagi emansipasi manusia. Mengapa? Karena ideologisasi pengetahuan berarti pula pemanfaatan pengetahuan oleh kekuasaan. Pada titik ini, ilmu-ilmu kritis telah mengembangkan kritik pengetahuan sebagai kritik ideologi. Yakni kritis atas pertautan pengetahuan dan kepentingan. Pada ranah teori politik, demokrasi deliberatif adalah penerapan praksis dari ilmu-ilmu kritis kepada bangunan sistem politik yang telah dibentuk oleh tindakan strategis (ilmu empirik-analitik) tersebut. Hal ini niscaya sebab tujuan demokrasi deliberatif adalah emansipasi masyarakat dari ideologisasi sistem dalam bentuk kolonisasi sistem atas Lebenswelt. Untuk pemilahan tiga kepentingan pengetahuan Habermas, lihat F Budi Hardiman, Kritik Ideologi, h., 131-163. Lihat juga Andrew Edgar, Habermas, The Key Concepts, (Taylor & Franscis Group: Routledge, 2006), h., 10-16
[5] Lihat Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Lifeworld and System: A Critique of Fungtionalist Reason, (Boston: Beacon Press, 1985), h., 113-153

[6] Frank Cunningham, Theories of Democracy, h., 163-166
[7] Lihat Jurgen Habermas, Ruang Publik, Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat Borjuis, Yudi Santoso (penerj.), (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), h., 1-21. Lihat pula Pauline Johnson, Habermas, Rescuing the Public Sphere, (London dan New York: Routledge, 2006), h., 1-15
[8] Lihat Sebastian Gardner, The Primacy of Practical Reason, dalam Graham Bird, A Companion to Kant, (Blackwell Publishing Ltd, 2006), h., 259-270
[9] Lihat Jurgen Habermas, Between facts and Norms, Contributions to Discourse Theory of Law and Democracy, (The MIT Press, Cambridge, Massachusetts, 1996), h., 359-387. Lihat juga Luke Goode, Jurgen Habermas: Democracy and Public Sphere, (London: Pluto Press, 2005), h., 120-133
[10] F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, h., 125-156. Demokrasi deliberatif sebagai rasionalisasi masyarakat ini menunjukkan posisi Habermas sebagai penjaga modernitas. Sebagai generasi kedua Mazhab Frankfurt, Habermas memang memiliki pandangan optimis atas modernitas. Hal ini yang berbeda dengan para pendahulunya, yakni Adorno, Horkheimer, dan Marcuse yang cenderung pesimis dengan masyarakat yang telah “satu dimensi” ini. Pandangan optimis Habermas terletak pada warisan berharga modernitas, yakni Rasionalitas Pencerahan. Sebab dalam warisan ini, emansipasi atas manusia bisa diperjuangkan. Oleh karena itu, Habermas adalah penggeret mazhab kritis, yakni mazhab pemikiran Jerman yang kritis terhadap modernitas, yang tetap ingin menyelamatkan proyek modernitas, yakni rasionalitas. Oleh Habermas, rasionalitas ini digeres dari rasio subjektif (penemuan kebenaran oleh satu subjek manusia), kepada rasio intersubjektif (penemuan kebenaran secara bersama). Oleh karenanya, Habermas mendaulat konsensus rasional dalam terang kebaikan publik, sebagai “obat penyembuh” dari dalam tubuh modernitas sendiri, yang telah mengalami patologi akibat rasionalitas bawaan Pencerahan, yakni rasionalitas instrumental, yang telah melahirkan kolonisasi sistem atas Lebenswelt. Artinya rasionalisasi Habermas merupakan tanggapan atas rasionalisasi awal Pencerahan yang telah melahirkan sistem sosial modern, berupa birokrasi pemerintahan dan industri ekonomi. Jadi rasionalisasi komunikatif, sebagai obat bagi patologi rasionalisasi instrumental. Proses ini disebut rasionalisasi, karena hukum adalah produk konsensus sosial yang dibentuk melalui rasionalitas komunikatif. Lihat Jurgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity, (Cambridge: Polity Press, 1998), h., 294-300.
[11] F Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, h., 179-186
[12] David Held, Models of Democracy, h., 291
[13] David Held, Models of Democracy, h., 393-394

Tidak ada komentar:

Posting Komentar