Oleh:
Syaiful
Arif
Alumnus Pesantren
Ciganjur,
Peneliti
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D),
Peneliti The WAHID
Institute Jakarta
Sebagai gagasan politik, demokrasi deliberatif ialah
konsep demokrasi yang mendasarkan diri pada mekanisme musyawarah yang mendalam.
Kata deliberasi (deliberation)
bermakna musyawarah atau pertimbangan yang mendalam. Oleh karena itu, demokrasi deliberatif adalah konsep
demokrasi yang menggunakan deliberasi, musyawarah, atau pertimbangan mendalam
sebagai mekanisme demokratisnya. Pada titik ini, musyawarah tidak hanya menjadi
mekanisme teknis dalam berdemokrasi, melainkan mekanisme etis. Artinya
musyawarah tidak hanya ditempatkan sebagai teknik demi mencapai tujuan,
melainkan sebagai standar etis agar mekanisme tersebut selaras dengan
nilai-nilai utama demokrasi.
Jurgen Habermas membangun gagasan ini untuk membentuk
masyarakat politik yang komunikatif. Yakni masyarakat yang menggunakan akal
budi, dan pertemuan akal budi di dalam politik. Komunikasi dalam pemikiran
Habermas tidak hanya merujuk pada saling bicara di antara dua wicara. Melainkan
penggunaan rasionalitas komunikatif, yakni rasionalitas yang hendak menciptakan
kesalingpahaman di antara komunikan, sehingga komunikasi mampu menghasilkan
konsensus rasional yang saling memahami. Masyarakat politik yang komunikatif
berarti masyarakat yang terbentuk berdasarkan rasionalitas komunikatif ini,
sehingga tatanan politiknya bisa dipertanggungjawabkan secara bersama, sebab ia
merupakan konsensus rasional hasil kesepakatan akal budi.
Dalam kaitan ini, untuk memahami demokrasi deliberatif,
perlu kiranya memahami konteks persoalan kenapa Habermas menggagas model
demokrasi ini. Konteks ini merupakan konteks politik dan kemasyarakatan yang
menempatkan demokrasi deliberatif sebagai solusi bagi persoalan yang ada, yang
menurut Habermas merupakan persoalan mendasar masyarakat modern.
Konteks tersebut ada beberapa hal. Pertama,
legitimasi kebijakan. Selama ini sah tidaknya (legitimasi) suatu kebijakan
publik didasarkan pada keberadaan kebijakan itu sendiri. Artinya, kebijakan
publik yang ditelorkan oleh parlemen secara otomatis sah, karena ia merupakan
produk parlemen. Bagi Habermas, dasar legitimasi seperti ini sangat rapuh
karena terjebak dalam formalisme politik, minus kesadaran akan kelemahan di
dalam lembaga formal negara tersebut. Hal ini wajar sebab tidak dengan
sendirinya, suatu produk UU besutan parlemen, betul-betul menyuarakan aspirasi
rakyat. Yang terjadi sering sebaliknya. UU hanya menjadi kepanjangan tangan
dari berbagai kepentingan politis para anggota DPR yang merupakan orang-orang
partai. Wal hasil, kebijakan publik sering menjadi cerminan dari
kepentingan per-politisi serta partai-partai yang memang saling
centang-perenang.
Dengan demikian, kegelisahan Habermas yang akhirnya
melahirkan demokrasi deliberatif adalah kegelisahan atas vulnerability demokrasi, yang mendasarkan legitimasi politik pada
ranah sosiologis, bukan etis. Hanya saja kritik Habermas tidak tertuju pada
prinsip majoritarianisme, melainkan pada “paradigma produk” di dalam legitimasi
kebijakan. Dalam paradigma ini, produk UU secara otomatis sah, ketika ia memang
merupakan produk parlemen. Karena yang menelorkan kebijakan adalah otoritas
yang secara yuridis-politis memiliki kewenangan legal, maka apapun kebijakan
yang dilahirkan oleh otoritas ini, menjadi sah dengan sendirinya. Pada titik
ini, terdapat formalisme kebijakan yang lahir dari “pendekatan otoritas” di
dalam memahami kebijakan publik. Artinya, masyarakat kita terjebak dalam
formalisme politik, yang mendaulat otoritas politik sebagai pihak yang paling
berwenang di dalam perumusan kebijakan. Disebut formalis karena ia mengamini
kebenaran dan kebaikan politik, hanya di dalam lembaga-lembaga formal (negara).
Disebut “otoritatif” karena ia meniscayakan lembaga formal politik itu sebagai
otoritas yang menentukan sah tidaknya suatu kebijakan publik. Paradigma
formalis-otoritatif yang akhirnya melahirkan pemahaman sarwa-produk ini,
akhirnya mengarahkan legitimasi politik kepada otoritas, bukan kepada klaim
kebenaran dan etika dari kebijakan itu sendiri.
Jadi pada titik ini bisa terpahami: jika kritik atas
vulnerabilitas demokrasi yang dicetuskan oleh Hendra Nurtjahjo merujuk pada
“yang mayoritas” di dalam parlemen, yang akhirnya melahirkan kebijakan tidak
etis; maka kritik Habermas tertuju pada otoritarianisasi “yang mayoritas”
tersebut sebagai lembaga yang dengan sendirinya sah untuk melahirkan kebijakan
yang sering tidak etis. Jika Hendra mengritik legitimasi sosiologis yang
dilahirkan oleh prinsip “yang mayoritas, yang benar”, maka Habermas mengritik
pemahaman masyarakat yang mengamini keabsahan kebijakan, karena ia lahir dari
lembaga parlemen, yang ternyata berisi prinsip majoritarianisme tersebut.
Dalam kaitan ini, solusi di antara keduanya pun sama,
yakni etika. Jika pada Hendra, etika mengacu pada etika politik di dalam
kebijakan publik, sehingga legitimasi kebijakan tidak bersifat sosiologis,
melainkan etis. Maka dalam Habermas, etika mengacu pada etika diskursus. Yakni prinsip-prinsip etis dalam berdiskursus
sehingga perumusan kebijakan selaras dengan syarat-syarat komunikasi yang
rasional dan deliberatif. Jika etika Hendra merujuk pada produk kebijakan yang etis. Maka etika Habermas merujuk pada mekanisme perumusan kebijakan yang etis,
sehingga mampu melahirkan kebijakan publik yang etis.
Pada titik inilah, etika diskursus memuat beberapa
prinsip mendasar, yang merupakan prinsip-prinsip etis di dalam tindakan
komunikatif. Dari sini terpahami bahwa etika diskursus merupakan penerapan
tindakan komunikatif (tindakan yang digerakkan oleh rasionalitas komunikatif)
ke dalam diskursus politik. Artinya, Habermas telah mendaratkan teori tindakan
komunikatif yang berada pada ranah teori sosial, ke dalam etika diskursus yang
berada pada ranah teori politik. Oleh karena itu, etika diskursus merupakan
praksis dari tindakan komunikatif pada ranah politik demokratis. Dengan
demikian, secara mendasar bisa dipahami bahwa etika diskursus adalah etika di
dalam berdiskusi atau musyawarah yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip
dasar tindakan komunikatif. Tujuannya sederhana, yakni menciptakan konsensus
rasional yang selaras dengan kebaikan bersama. Untuk itu, prinsip-prinsip dalam
etika diskursus tersebut ada beberapa hal.
Pertama, penggunaan akal
budi. Seperti diketahui, Habermas membedakan dua macam tindakan: tindakan
strategis (strategic action) dan
tindakan komunikatif (communicative
action). Tindakan strategis adalah tindakan yang digerakkan oleh rasionalitas
tujuan (purposive rationality), yakni
rasionalitas yang mengarahkan proses berpikir kepada pencapaian tujuan
tertentu. Pola rasionalitas ini bertujuan untuk mempengaruhi, bukan kehendak
memahami, selayak rasionalitas komunikatif. Pada satu titik, rasionalitas
inipun selaras dengan rasionalitas instrumental yang mendaulat proses berpikir
sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Rasionalitas tujuan melahirkan
tindakan strategis yang berupa tindakan-tindakan terencana untuk mencapai
tujuan. Oleh Habermas, tindakan strategis ini terdapat, misalnya dalam
manajemen modern yang memuat administrasi dan birokratisasi. Dengan
administrasi dan birokrasi, masyarakat modern menciptakan strategi pengaturan
kehidupan sosial-politik demi tujuan tertentu. Tujuan tersebut bisa berupa
rasionalisasi masyarakat, efisiensi kelembagaan, diferensiasi peran fungsi
institusional, hingga pada capaian eko-politik seperti pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas kekuasaan.
Sementara itu, rasionalitas komunikatif adalah
rasionalitas yang berkehendak untuk menciptakan saling pemahaman di antara
sesama manusia. Rasionalitas komunikatif tidak menempatkan proses berpikir
sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan eko-politik. Ia menempatkan proses
berpikir sebagai proses pemikiran yang mengakarkan diri pada akal budi, dan
oleh karenanya membutuhkan kesalingpahaman. Dalam kaitan ini, rasionalitas
komunikatif lahir dari corak filsafat Habermas yang bersifat inter-subjektif.
Artinya, Habermas telah melampaui filsafat subjek. Yakni corak filsafat yang
menempatkan kebenaran di dalam subjek manusia secara sendirian. Dalam
subjektivisme ini, kebenaran bisa ditemukan oleh akal budi di dalam setiap
subjek. Subjek yang sendirian di ruang buku, bisa merumuskan dan menemukan
kebenaran di dalam subjektivitasnya. Habermas mengritik hal ini dan menawarkan
filsafat inter-subjektivitas. Melalui corak filsafat ini, kebenaran tidak bisa
ditemukan secara subjektif, melainkan harus bersifat inter-subjektif. Oleh
karena itu, komunikasi atau pertukaran pengetahuan di antara subjek-subjek
menjadi conditio sine qua non bagi
penemuan kebenaran yang valid.
Dengan demikian, rasionalitas komunikatif adalah
rasionalitas yang menemukan kebenaran di dalam tindakan komunikatif, yakni
tindakan mendialogkan akal budi dengan akal budi, sehingga melahirkan konsensus
rasional akan suatu kebenaran. Pada titik inilah, etika diskursus yang
merupakan “praksis politik” dari tindakan komunikatif, tentu menggunakan akal
budi sebagai pijakan serta muara tujuan. Artinya, tindakan komunikatif berangkat
dari premis-premis kebenaran yang lahir dari akal budi, dan dialogkan dengan
akal budi-akal budi lain, serta bertujuan merumuskan kebenaran akal budi. Jadi
dari akal budi, bersama-sama akal budi, untuk akal budi. Dari sini kita menjadi
paham kenapa tindakan komunikatif dibedakan dengan tindakan strategis. Jawabnya
sederhana: tindakan komunikatif bukanlah strategi pengaturan dan kekuasaan
untuk mencapai tujuan yang sifatnya “seluar akal budi”. Tindakan komunikatif
bermuara pada penemuan konsensus akal budi, yang diakarkan pada kebenaran akal
budi.
Kedua, tidak ada paksaan selain “paksaan tak memaksa dari
argumentasi yang lebih baik” (zwangloser
Zwang des besseren Arguments). Artinya, di dalam diskursus, deliberasi,
atau musyawarah, tidak boleh ada tekanan yang membuat diskursus akhirnya tidak
bersifat bebas dan netral. Satu-satunya paksaan adalah “paksaan tak memaksa
dari argumentasi yang lebih baik”. Dengan demikian, kebenaran tidak lagi berada
pada otoritas atau suara terbanyak seperti dalam prinsip majoritarianisme.
Melainkan berada di dalam struktur kebenaran, baik koherensi logis di dalam
logika argumentasi maupun korespondensinya dengan realitas objektif.
Dalam kaitan inilah terdapat tiga klaim keabsahan yang
harus dipenuhi oleh setiap peserta diskursus sehingga ia memiliki klaim atas
argumentasi yang valid. Ketiga klaim itu adalah: klaim kebenaran (wahr), klaim kejujuran (wahrhaftig), dan klaim ketepatan (richting). Klaim kebenaran terkait
dengan objektivitas dengan alam. Klaim kejujuran terkait dengan subjektivitas
individu, dan klaim ketepatan terkait dengan norma-norma masyarakat. Jika
sebuah argumentasi memuat ketiga klaim tersebut secara serentak, artinya,
argumentasi seseorang benar secara objektif dengan realitas, jujur di dalam
hatinya, serta tidak bertentangan dengan norma masyarakat, maka argumentasi
tersebut valid adanya. Dengan demikian, etika diskursus memuat prinsip-prinsip
moral di dalam deliberasi, sehingga tidak ada lagi “komunikasi yang membusuk”
yang diakibatkan oleh kesalahan, kebohongan, dan ketidaktepatan normatif dengan
norma masyarakat. Apalagi jika deliberasi tersebut disusupi oleh kepentingan
kekuasaan yang membuat diskursus tidak bebas dan netral kepentingan.
Prinsip ketiga etika diskursus adalah kesetaraan semua
peserta diskursus. Artinya, posisi setiap peserta di dalam deliberasi bersifat
setara. Statusnya tidak ditentukan oleh posisi politik, publik, keagamaan,
mayoritas-minoritas, melainkan oleh kemampuan untuk membuat argumentasi yang
lebih baik. Dalam situasi ini, tiap peserta ditempatkan sebagai warga negara
atau masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian,
etika diskursus yang menjadi mekanisme etis dalam demokrasi deliberatif
menempatkan proses deliberasi, kembali ke akar kontrak sosial. Yakni sebuah
“keadaan alamiah” (state of nature)
pra-formalisasi lembaga parlemen, di mana setiap orang ditempatkan sebagai
warga masyarakat yang berkumpul bersama untuk mengadakan kontrak sosial. Sifat
sosial dari kontrak ini mengindikasikan sifatnya yang pra-politik. Dalam arti,
ia belum tersekat oleh pembagian dan stratifikasi kekuasaan yang membuat
peserta kontrak tidak lagi setara. Kontrak semacam ini yang ada di dalam gedung
parlemen, rapat kabinet, rapat partai, dan rapat birokrasi yang menempatkan
manusia dalam piramida otoritas. Dalam keadaan ini, manusia tidak lagi setara,
dan ucapan yang terlontar dalam situasi tersebut akhirnya bersifat performatif:
ucapan itu bermakna karena adanya otoritas yang mewadahinya. Ucapan ini yang
ada dalam kebenaran presiden, karena ia presiden; di dalam kebenaran ketua
partai karena ia terlontar dari ketua partai. Ucapan performatif tentu tidak
sesuai dengan etika diskursus, sebab kebenaran dari ucapan itu tergantung
dengan otoritas sosial-politik yang melatarinya. Sementara itu, ucapan etis
dalam etika diskursus mengacu pada kebenaran dari argumentasi itu sendiri,
karena manusia ditempatkan sebagai manusia. Bukan status perannya dalam
struktur masyarakat.
Keempat, imparsialitas. Motivasi tiap peserta deliberasi
mestilah bersifat imparsial. Artinya, melintasi kepentingan pribadi. Karena
deliberasi atau musyawarah merupakan tindakan bersama untuk merumuskan dan
mewujudkan kebaikan bersama (res publica),
maka tujuan dari deliberasi tersebut tentulah tujuan bersama, bukan kepentingan
pribadi. Prinsip imparsialitas inilah yang akhirnya menjadi standar penilaian
sah tidaknya suatu argumentasi. Dengan demikian, prinsip imparsial bisa menjadi
“pisau kritis” untuk mengoreksi kelemahan dalam struktur argumentasi dari
peserta deliberasi. Imparsialitas menjadi prinsip terpenting sebab etika
diskursus memang berada pada ranah publik. ia menjadi mekanisme deliberatif
bagi aktivasi ruang publik, di dalam corak demokrasi yang republikan. Yakni
suatu corak demokrasi yang mendasarkan diri pada tradisi republikanisme. Dalam
tradisi ini, demokrasi ditempatkan sebagai mekanisme etis demi tujuan yang
emansipatoris, yakni perwujudan res
publica. Maka, domain dari demokrasi tidak berada di ranah
prosedur-prosedur politik, melainkan di ranah kepublikan. Dalam ranah
kepublikan inilah, kebaikan publik menjadi “harga mati” yang tak bisa ditawar
lagi.[1]
Konteks kedua yang melahirkan gagasan demokrasi
deliberatif adalah ketegangan antara demokrasi perwakilan (representative democracy) dan demokrasi langsung (direct democracy). Artinya, melalui
demokrasi deliberatif, Habermas hendak mewujudkan cita-cita demokrasi langsung
di dalam mekanisme demokrasi perwakilan. Dengan pemahaman ini kita menjadi
mafhum, kenapa gagasan Habermas disebut oleh F Budi Hardiman sebagai radikalisasi prosedur demokrasi.[2]
Hal ini terkait dengan cita-cita Habermas di atas, yakni mewujudkan demokrasi
langsung di dalam demokrasi perwakilan.[3]
Bagaimana demokrasi deliberatif melakukan hal ini?
Seperti diketahui, pola demokrasi yang terealisir dalam
kehidupan kita kini adalah demokrasi perwakilan. Ia merupakan pola realistis,
setelah kemustahilan penerapan sistem demokrasi langsung, selayak di Athena. Di
dalam sistem politik Athena, demokrasi langsung, di mana seluruh warga negara
bisa berpartisipasi di dalam Majelis Eclesia, bisa terjadi sebab bentuk
negaranya yang minimalis, yakni negara-kota (city state). Dengan bentuk negara-kota, maka warga negara yang
berjumlah tak-kompleks, bisa diakomodir dalam sistem demokrasi langsung. Di
dalam konteks negara-bangsa (nation-state)
yang memuat penduduk dan kewarganegaraan yang begitu kompleks, demokrasi
perwakilanlah yang realistis, mengingat ketidakmungkinan teknis untuk
menyatukan semua warga negara di dalam gedung parlemen. Hanya, selalu saja ada
kekecewaan atas praktik demokrasi perwakilan, dan selalu saja ada utopia untuk
kembali pada demokrasi langsung. Mengapa? Karena perwakilan politik ternyata
tidak merepresentasikan kehendak “yang diwakili”. Rakyat akhirnya terpisah dari
kedaulatannya justru karena watak para wakil rakyat yang tidak mewakili rakyat,
melainkan mewakili partai dan kepentingannya sendiri. Maka kerinduan untuk
menghadirkan kembali demokrasi langsung menjadi kebutuhan mendasar, sebab
dengan corak ini, rakyat bisa berpartisipasi langsung di dalam perumusan
kebijakan publik.
Pada titik ini, demokrasi deliberatif hendak mewujudkan
demokrasi langsung di dalam demokrasi perwakilan dalam dua ranah, yakni
internal dan eksternal. Pada ranah internal, demokrasi deliberatif telah
menciptakan partisipasi langsung di dalam konsepnya tentang peserta deliberasi
yang bersifat setara, dengan menempatkan kedaulatan tidak pada status,
otoritas, atau kekuatan politik, melainkan pada validitas argumentasi. Hal ini yang
terdapat dalam etika diskursus di atas, sebab di dalam etika ini, otoritas
kebenaran tidak berada di pundak anggota parlemen, melainkan di dalam struktur
argumentasi yang benar. Artinya, dengan menambatkan kedaulatan rakyat di dalam
“struktur argumentasi yang benar”, Habermas telah mendeformalisasi kedaulatan
rakyat, dari legalisme lembaga parlemen, kepada struktur kebenaran di dalam
argumentasi diskursif. Oleh karena itu, demokrasi deliberatif dengan etika
diskursusnya, hendak mendelegitimasi lembaga parlemen sebagai perwakilan sah
rakyat, ketika lembaga parlemen itu tidak mampu mempraktikkan etika diskursus.
Hal ini niscaya sebab legitimasi di dalam demokrasi deliberatif, tidak terletak
pada anggota DPR hasil pemilu. Melainkan pada benar tidaknya, atau etis
tidaknya argumentasi para anggota DPR itu dalam mengartikulasikan kepentingan
rakyat. Jika diskursus yang diciptakan anggota parlemen ternyata tidak selaras
dengan etika diskursus, sehingga melahirkan kebijakan yang tidak pro-rakyat,
maka secara otomatis gugur sudah legitimasinya.
Dalam kaitan inilah gagasan demokrasi deliberatif
merupakan radikalisasi prosedur
demokrasi. Artinya, gagasan ini hendak meradikalkan prosedur demokrasi yang
sudah ada, yang membuat demokrasi deliberatif mampu mewujudkan demokrasi
langsung di dalam demokrasi perwakilan. Artinya, upaya perwujudan ini tetap
dalam domain prosedur demokrasi perwakilan, melalui radikalisasi prosedur demokrasi. Radikalisasi prosedur ini memuat
upaya untuk mengarahkan diskursus dalam perumusan kebijakan publik, sehingga
selaras dengan standar etis dari tindakan komunikatif. Ia disebut radikal,
karena diskursus di dalam parlemen dihunjamkan hingga ke landasan etis. Dengan
memiliki muatan etis, maka segenap diskursus para politisi memiliki beban moral
yang besar, yang membuatnya “tidak asal ucap”, atau “tidak asal politis”. Radikalisasi prosedur demokrasi yang
bermakna pengetisan kembali diskursus politik, secara otomatis mengritik sifat
manipulatif dari diskursus politik, dengan mendasarkan semua diskursus tersebut
kepada landasan etis. Segenap prosedur demokrasi tidak disebut radikal, karena
ia cenderung bersifat konvensional, rutinitas formalis, dan oleh karenanya
sering memberangus etika politik. Oleh karena itu, mengetiskan kembali
diskursus politik, berarti meradikalkan segenap prosedur konvensional
demokrasi.
Sementara itu secara eksternal perwujudan demokrasi
langsung di dalam demokrasi perwakilan dilakukan melalui penyambungan kembali
keterpisahan antara negara dan masyarakat. Hal ini sekaligus menjadi konteks
ketiga dari demokrasi deliberatif, yakni kolonisasi
sistem atas Lebenswelt (dunia-kehidupan).
Dalam kaitan ini, perlulah kiranya memahami konsep kolonisasi tersebut sebagai
pengantar bagi penyambungan kembali keterpisahan antara negara dan masyarakat.
Gagasan kolonisasi
sistem atas Lebenswelt lahir
dari pemahaman Habermas atas dua macam sistem tindakan, yakni tindakan
strategis dan tindakan komunikatif. Seperti termaktub di atas, tindakan
strategis adalah tindakan yang mengarah pada pengaturan demi pencapaian tujuan
tertentu. Sementara itu tindakan komunikatif adalah tindakan yang lahir dari
kehendak untuk menciptakan kesalingpahaman. Tindakan strategis ini akhirnya
melahirkan sistem sosial, sebagai mekanisme pengaturan sosial demi tercapainya
tujuan-tujuan yang dalam konteks modernisasi berupa rasionalisasi masyarakat.
Artinya, tindakan-tindakan strategis bertujuan untuk mengatur masyarakat secara
rasional, agar pola kemasyarakatan bersifat rasional. Pola rasionalisasi ini
terdapat dalam birokratisasi pemerintahan dan sistem produksi kapitalisme. Jadi
menurut Habermas, sistem kemasyarakatan kita telah didominasi oleh dua sistem
besar ini, yakni sistem politik yang mewujud dalam birokratisasi, dan sistem
ekonomi yang mewujud dalam industrialisasi. Dua sistem besar ini telah
merasionalkan masyarakat modern karena pengaturan sosial-politik telah ditata
berdasarkan diferensiasi fungsional dalam pembagian peran-fungsi yang jelas.
Serta produksi ekonomi yang menaikkan kesejahteraan sebagian warga bumi secara
rasional. Dengan birokrasi politik dan industrialisasi ekonomi, masyarakat
modern bisa sejahtera dalam bimbingan rasionalitas.
Sementara itu tindakan komunikatif adalah tindakan yang
terjadi dalam keseharian manusia di dalam dunia-kehidupan (Lebenswelt). Dalam dunia-kehidupan ini, manusia saling
berkomunikasi untuk mencapai kesepahaman. Orang satu berbicara dengan orang
lain, tentu dengan maksud ingin dipahami dan sekaligus memahami. Tindakan
komunikatif ini yang merekatkan integrasi masyarakat karena ia mengakar pada
kehidupan keseharian manusia, dalam kerangka kebutuhan untuk saling memahami.[4]
Dalam kaitan ini, sistem yang dibentuk oleh tindakan
strategis, pada awalnya mengakar pada tindakan komunikatif di dalam Lebenswelt. Hal ini wajar sebab
cita-cita pengaturan sosial, ekonomi dan politik tentu dilahirkan melalui
percakapan komunikatif dalam Lebenswelt.
Segenap sistem tersebut juga lahir dari harapan-harapan dasar manusia yang
dipercakapkan di dalam Lebenswelt.
Oleh karena itu, sistem sebagai pengaturan kehidupan, tentu berakar pada
dunia-kehidupan, tempat manusia mengomunikasikan harapan-harapannya. Sistem
birokrasi misalnya, lahir dari harapan akan pengaturan institusi-institusi
sosial agar proses kehidupan masyarakat modern yang kompleks bisa tertata
secara rasional. Demikianpun negara. Sebagai sistem raksasa, ia tentu lahir
dari harapan yang dikomunikasikan masyarakat dalam Lebenswelt. Harapan akan hidup yang lebih sejahtera. Harapan akan
adanya pemimpin yang peduli dengan nasib wong
cilik. Kesemua sistem tersebut ada, karena melayani harapan mendasar
manusia dalam dunia-kehidupannya.
Hanya saja dalam perkembangannya telah terjadi arus balik
yang destruktif. Yakni kolonisasi sistem
atas Lebenswelt. Hal ini terjadi melalui beberapa proses. Pertama,
kemandirian sistem dari Lebenswelt.
Pada awalnya segenap sistem lahir dari cita-cita mendasar manusia yang
diartikulasikan di dalam dunia-kehidupan. Ternyata hal ini tidak berlangsung
secara mulus. Alasan sederhana: sistem ternyata memiliki logika dan kepentingannya
sendiri, yang terlepas dari cita-cita pembentukannya yang berakar pada Lebenswelt. Hal ini terjadi sebab sistem
memang sebuah “kategori sosial” tersendiri, yang memiliki struktur, pola, dan
tujuannya sendiri. Ya, kita sedang
bicara tentang sistem modern yang memuat watak internal di dalam dirinya
sendiri, yakni self-organizing (pengaturan
diri).
Artinya, apapun bentuk sistem itu, apakah sistem
birokrasi, sistem ekonomi, maupun sistem demokrasi; ia selalu memiliki konsepsi
tentang sistem di dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, sebelum “kategori
sistem” itu dilekatkan dengan predikat-sekundernya, seperti (sistem) ekonomi,
(sistem) sosial, dan (sistem) politik, sistem sebagai “kategori sosial” dari
sistem sosial modern telah memiliki definisi, logika, pola, dan tujuannya
sendiri. Logika, pola dan tujuan sistem itu sendiri adalah self-organizing. Yakni kebutuhan untuk mengatur dirinya sendiri.
Hal ini niscaya sebab sistem adalah jalinan struktural yang saling memperkuat
demi terjaganya tujuan sistem, yakni stabilitas sistem itu sendiri. Jadi tujuan
di dalam diri sistem adalah pengaturan-diri, agar jalinan struktural yang
membentuk sistem bisa tetap stabil. Dalam kaitan inilah pengaturan-diri sistem
berhadapan dengan “lingkungan luar” yang dianggap mengancam. Oleh karena itu,
tujuan dari sistem adalah memperkuat pertahanan diri, agar “lingkungan luar”
sistem tidak mengacaukan bangunan struktural yang membentuk sistem.
Pengaturan-diri akhirnya menjadi pola kinerja sistem yang berlaku secara rutin,
monoton, dan tertutup.
Dengan pola self-organizing
ini, maka sistem akhirnya otonom, terpisah dari Lebenswelt yang menjadi rahim pelahirnya. Maka, sistem birokrasi
lebih sibuk di dalam pengaturan administrasi dan stabilitas peran-fungsi masing
strukturnya, daripada mengarahkan sistem birokrasi tersebut untuk pelayanan
publik, jika ia merupakan birokrasi publik. Sistem pendidikan lebih sibuk
menjalankan dan menstabilkan struktur kurikulum dan rutinitas administratif,
daripada mengarahkan sistem pendidikan untuk mendewasakan akal-budi siswa.
Sistem demokrasi lebih sibuk dengan pengaturan-diri prosedur formalnya,
daripada mengarahkan sistem tersebut demi kesejahteraan rakyat. Segenap
pengarahan sistem untuk mengabdi pada kehidupan lebih baik dari manusia di
dalam dunia-kehidupan ini jarang terlaksana, sebab ia mensyaratkan pelampauan
sistem dari pola-pola internalnya, yang membuat sistem terpisah dari
dunia-kehidupan itu.
Proses kedua setelah otonomisasi sistem adalah
kolonisasi. Yakni sebuah situasi destruktif, ketika sistem ternyata berbalik
arus menekan dunia-kehidupan. Proses ini disebut Habermas sebagai kolonisasi,
sebab ia melakukan penjajahan atas ruang yang sebenarnya bukan domain dari
sistem tersebut. Artinya, dunia-kehidupan adalah ruang-ruang kultural, tempat
manusia bertindak secara komunikatif. Dengan terjadinya kolonisasi sistem atas dunia-kehidupan, maka pola tindakan di dalam
dunia-kehidupan pun berubah menjadi tindakan strategis. Yakni tindakan yang
mengarah pada tercapainya kepentingan, sehingga ia cenderung menempatkan
manusia sebagai alat pemuas tujuan, bukan nilai di dalam dirinya sendiri yang
butuh dipahami, selayak terjadi pada tindakan komunikatif. Dengan demikian,
karena tindakan strategis telah merangsek ke dalam dunia-kehidupan, maka dunia
keseharian kitapun dijejali oleh rasionalitas instrumental, bukan rasionalitas
nilai. Dalam rasionalitas instrumental, semua hal ditempatkan sebagai alat
untuk mencapai tujuan tertentu. Hal beda dengan rasionalitas nilai yang
menempatkan sesuatu berdasarkan nilai-nilai normatif yang melingkupi.[5]
Selain kolonisasi cara-pikir instrumentalis dan pola
tindakan strategis ini, kolonisasi juga bersifat sosial. Artinya, segenap
sistem sosial, ekonomi, budaya dan politik telah memperluas hegemoninya di
ranah-ranah kultural dunia-kehidupan. Akhirnya, ruang-ruang kehidupan mendasar
manusia kini dipenuhi oleh “sistematisasi formal”. Dunia pendidikan pasti
identik dengan sistem pendidikan formal. Dunia politik, identik dengan negara,
partai, dan parlemen. Dunia budaya dijajah oleh pola-pola birokratis dari Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata. Dunia ekonomi dijajah oleh sistem ekonomi raksasa
bernama industrialisme. Segenap ruang-ruang mendasar kehidupan kita telah
tersistemkan, dan manusia modern hanya memiliki sedikit ruang otonom dalam
dunia-kehidupannya, yang independen dari sistem. Hal ini menjadi kenyataan
tragis, sebab “yang berbeda” dengan sistem, akhirnya disebut sebagai “di luar
sistem” atau bahkan “anti-sistem”. Orang yang belajar otodidak di ruang-ruang
pendidikan non-formal, tentu menjadi orang pinggiran, sebab ia tidak memiliki
ijazah sah, keluaran sistem pendidikan. Calon presiden independen tentu
tersingkir dari bursa pemilu, sebab ia di luar sistem pemilu. Bahkan di era
Soeharto, segenap gerakan politik yang berada di luar sistem resmi, pastilah
disebut anti-sistem dan oleh karenanya, membahayakan negara.
Dalam situasi inilah, keterpisahan atau kolonisasi negara
atas masyarakat terjadi. Jadi kolonisasi negara atas masyarakat merupakan
kolonisasi pada ranah politik, yang menjadi bagian dari kolonisasi sistem atas Lebenswelt secara umum. Dalam kaitan ini,
kolonisasi tersebut juga terjadi melalui dua proses: keterpisahan antara negara
dan masyarakat, serta kolonisasi negara atas masyarakat. Tiba saja negara, baik
berupa eksekutif, legislatif, yudikatif dan militer, memisah diri dari
masyarakat yang membentuknya, untuk otonom dan bekerja sesuai dengan logika,
pola, dan tujuan dari sistem negara tersebut. Sistem itu secara umum merujuk
pada administrasi, birokratisasi, militerisasi, dan politisasi, yang membuat
negara “hidup untuk dirinya sendiri”. Dengan demikian, sistem negara bekerja
dalam pengaturan-diri (self-organizing)
demi stabilitas sistem politik itu sendiri.
Hal ini misalnya terjadi dalam beberapa corak sistemik.
Pada ranah departemental, sistem itu mewujud dalam administrasi dan
birokratisasi. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari penerapan pemerintahan
birokratis, yang menjadi “tubuh gemuk” dari negara. Segenap kementerian, dari
kementerian agama, sosial, hukum dan HAM, olah raga, perhubungan, serta
kesekretariatan jenderal di dalam tubuh parlemen, kabinet, kepresidenan,
peradilan dan militer, telah menyediakan pola organisasi bebas-nilai yang
birokratis. Tentu birokratisasi tubuh negara merupakan upaya rasionalisasi
pemerintahan, agar pengaturan dan alokasi sumber daya bisa tertata secara
manajerial di dalam kompleksitasnya. Hanya saja seperti termaktub di tulisan
sebelumnya, birokratisasi ini akhirnya menimbulkan “sisi gelap” berupa hukum
besi oligarki. Yakni hukum besi yang ada di setiap birokrasi. Dengan hukum besi
oligarki ini, sistem birokrasi akhirnya bekerja untuk dirinya sendiri, selayak
sebagian besar pegawai negeri di dalamnya, yang bekerja dengan motivasi
ekonomis, bukan pelayanan publik. Bekerja dalam birokrasi pemerintahan tiada
bedanya dengan bekerja di perusahan ekonomis, padahal dalam pemerintahan,
pelayanan publik merupakan tujuan utama dari pekerjaan tersebut. Birokrasi
pemerintahan adalah pelayan bagi kesejehteraan publik. Dengan birokratisasi,
tujuan pelayanan publik itu dilokalisir menjadi pengaturan sistem birokrasi
pemerintahan itu sendiri, yang memuara pada kesejahteraan para pegawai negeri.
Di sisi lain, negara juga menjadi ruang politis bagi
politikisasi para politisi. Inilah yang melahirkan “politik kartel” seperti
termaktub di bab sebelumnya. Para politisi menjadi elit yang menentukan kinerja
dan arah dari negara yang memuara tidak kepada kesejahteraan rakyat, melainkan
peraupan keuntungan para politisi dan partai. Pada titik ini negara akhirnya
menjadi “negara partai”, di mana proses demokrasi dipahami sebagai
prosedur-prosedur politik, yang membuat para politisi bisa “menjadi negara” dan
menikmati kekuasaan di dalamnya. Demokrasi prosedural semacam ini yang
melahirkan “diktator terpilih”, sehingga rakyat hanya diposisikan sebagai pemilih
setiap pemilu, dan menjadi penonton kediktatoran para wakil rakyat dan presiden
terpilih. Segenap arus negara, khususnya di dalam legislatif dan eksekutif
senantiasa berkutat pada “lingkaran setan” politikisasi para elit politik,
sejak para anggota DPR, kepresidenan, dan menteri. Karena segenap posisi
tersebut ditempati orang-orang partai, maka logika yang berjalan adalah logika
politis (politicking), bukan logika
profesional apalagi logika pengabdian publik. Dengan demikian, negara telah
memisah dari harapan rakyat, dan menjadi alat bagi kepentingan para politisi
demi stabilitas kekuasaan partai-partai.
Hal serupa terjadi pada militer, baik tentara maupun
polisi yang sering berhadapan dengan rakyat. Bukan untuk membela dan melayani
rakyat, melainkan menjadi alat represif negara untuk memberangus rakyat, ketika
rakyat dianggap membahayakan negara. Dengan demikian, negara yang dikuasai para
politisi kemudian menggerakkan militer untuk merepresi rakyat atas nama “bela
negara”. Hal ini yang absurd dan tragis, sebab negara yang dibela oleh
militer dengan mengorbankan darah-nyawa rakyat itu, adalah negara yang dikuasai
oleh partai-partai. Seperti kita tahu, partai-partai kita sangat minim wawasan
dan kualitas kenegaraannya.
Pada titik inilah, negara kemudian mengoloni masyarakat.
Hal ini terjadi melalui birokratisasi, politikisasi dan militerisasi.
Birokratisasi pemerintahan telah mengoloni pelayanan publik, sehingga segenap
pelayanan publik baik pada ranah sosial, ekonomi, pendidikan, agama, dan budaya
cenderung bercorak birokratis. Dengan demikian, birokratisasi yang pada awalnya
merupakan manajemen internal pemerintahan, telah merangsek ke dunia-kehidupan,
karena objek pemerintahan tersebut adalah rakyat itu sendiri. Dengan
birokratisasi pelayanan publik ini, maka pelayanan publik itu sendiri dibatasi
oleh logika dan mekanisme birokratis, sehingga tidak mampu menembus ke dalam
persoalan-persoalan yang lebih mendasar yang menjadi keseharian rakyat. Pola
pelayanan publik birokratis akhirnya menciptakan pelayanan publik yang
formalis, terbatas, dan tidak boleh keluar dari mekanisme birokrasi itu
sendiri. Lihatlah betapa banyak pengemis, anak jalanan dan fakir miskin,
meskipun sudah ada Kementerian Sosial. Lihatlah betapa kasus pelanggaran HAM
masih terbengkalai meskipun sudah ada kementerian hukum dan HAM. Lihatlah
betapa banyak aspirasi rakyat tak tersalurkan meskipun sudah ada lembaga
parlemen.
Hal sama pada politikisasi yang telah mengoloni
masyarakat dengan mengubah makna politik, dari perwujudan kebaikan bersama (res publica), menjadi proses pergelutan
kekuasaan (struggle to power). Dengan
cara ini, politikisasi telah menceraikan politik dari perwujudan kebaikan
bersama, sehingga ia murni menjadi pergelutan kekuasaan dari elit untuk elit.
Politikisasi juga mengoloni masyarakat melalui praktik politik uang setiap
pemilu, serta menempatkan kelompok-kelompok strategis masyarakat sebagai alat
bagi politisasi. Lihatlah betapa setiap pemilu dan pilkada, segenap kelompok
strategis seperti majelis ta’lim,
kiai, pesantren, organisasi masyarakat, organisasi pemuda, organisasi agama,
dsb menjadi alat-alat taktis bagi kepentingan politis para calon wakil rakyat,
calon presiden, hingga calon bupati dan gubernur. Kolonisasi juga terjadi pada
militerisme, karena militer akhirnya memang menjadi agen represif negara yang
dihadapkan vis a vis dengan masyarakat untuk menjaga kepentingan negara.
Pada situasi inilah, demokrasi perwakilan akhirnya
mengoloni kedaulatan rakyat dan akhirnya memisahkan negara dari masyarakat.
Dalam kaitan ini, kehendak Habermas untuk mewujudkan demokrasi langsung melalui
demokrasi perwakilan lahir dari kelemahan demokrasi perwakilan di dalam
mengartikulasikan aspirasi rakyat. Hal ini memang karakter utama dari demokrasi
deliberatif, sebab corak demokrasi ini hendak memperluas ruang partisipasi,
dari sekat institusi parlemen ke ranah ruang publik secara luas.[6]
Di dalam demokrasi deliberatif, perwakilan politik menjadi absah legitimasinya
ketika betul-betul merepresentasikan aspirasi rakyat. Oleh karena itu,
representasi haruslah mencerminkan presentasi (kehadiran), karena kehadiran
(kedaulatan) rakyat tidak bisa diwakilkan. Kehadiran ini tentunya tidak
bersifat fisik-kuantitatif melainkan bersifat aspiratif-kualitatif. Cita-cita
dan harapan kerakyatanlah yang berusaha diperjuangkan oleh wakil rakyat, sebab
representasi wakil rakyat tidak otomatis mencerminan presentasi rakyat.
Pada titik ini, demokrasi deliberatif akhirnya tidak
murni berada di dalam ruang parlemen, melainkan menciptakan ketersambungan
antara parlemen dengan ruang publik. Inilah penyambungan keterpisahan antara
sistem dan Lebenswelt itu. Dalam
kaitan ini, ruang publik memiliki peran vital, karena perluasan partisipasi ini
dilakukan melalui deformalisasi ruang partisipasi dengan penekanan pada
“publikisasi partisipasi”. Artinya demokrasi deliberatif telah menggeser ruang
partisipasi dan artikulasi politik dari perwakilanisme demokrasi dalam parlemen
kepada partisipasi deliberatif dalam ruang publik. Dalam situasi ini, peserta
deliberasi tidak terbatas kepada masyarakat sipil tetapi juga negara dan wakil
rakyat itu sendiri. Hanya saja, segenap wakil rakyat-negara, harus duduk secara
setara bersama semua warga negara di dalam ruang publik, tempat masyarakat
sipil mengajukan peninjauan kembali atas kebijakan yang telah ditelorkan oleh
wakil rakyat. Ya, inti demokrasi
deliberatif terletak di sini. Yakni gerak tindakan
komunikatif dari ruang publik kepada negara, di mana kebijakan negara
ditinjau kembali oleh masyarakat sipil, sehingga negara akhirnya betul-betul
menggodog kebijakan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Dengan demikian, demokrasi deliberatif akhirnya merupakan
perluasan demokrasi dari ruang parlamen kepada ruang publik, di mana negara dan
masyarakat duduk bersama untuk merumuskan kembali kebijakan publik. Seringnya,
perumusan ini bersifat-kembali, sebab ia merupakan peninjauan ulang kebijakan
negara oleh masyarakat sipil. Peninjauan kembali kebijakan merupakan
konsekuensi logis dari pola legitimasi yang tidak cukup hanya berdasar pada
perwakilanisme politik di dalam parlemen, namun harus mengakar pada persetujuan
masyarakat yang diwakili oleh para wakil rakyat tersebut. Tidak hanya terhenti
di sini, sebab pendasaran legitimasi juga dilakukan di dalam forum deliberasi,
melalui perdebatan argumentatif dalam terang etika diskursus. Jadi legitimasi
demokrasi deliberatif tidak hanya terletak pada perluasan aspirasi politik dari
wakil rakyat (negara) kepada masyarakat sipil, melainkan di dalam proses
deliberasi di ruang publik itu sendiri, sesuai dengan prinsip-prinsip tindakan komunikatif dalam etika
diskursus.
Pada titik inilah Habermas mendaulat ruang publik sebagai
ruang utama praksis politik. Seperti diketahui, ruang publik adalah
ruang-antara negara dan rumah tangga. Di dalam ruang publik, masyarakat telah
keluar dari keprivatan rumah tangga (ekonomi) dan menjaga jarak dari negara.
Deekonomisme dan deformalisasi politik menjadi ciri khas ruang publik, karena
di dalamnya para aktivis publik memang telah keluar dari res privata, baik yang berada dalam ruang-ruang privat
kerumahtanggaan, maupun dalam praktik industri ekonomi. Tujuannya jelas: untuk
melakukan penyeimbangan atas negara, sehingga masyarakat sipil bisa membendung
imperatif-hegemonik dari proses kolonisasi negara atas masyarakat.[7]
Oleh karena itu, penempatan ruang publik atau reaktivasi ruang publik adalah
strategi untuk mendekolonisasi negara atas masyarakat. Dengan reaktivasi ruang
publik dalam terang demokrasi deliberatif, maka Habermas telah membendung arus
kolonisasi negara atas masyarakat, dan menempatkan masyarakat politik dan
masyarakat sipil secara setara di dalam kepublikan.
Dalam proses ini, hukum ditahbiskan Habermas sebagai
“engsel” yang menyambungkan keterpisahan sistem dan Lebenswelt. Mengapa? Karena sebagai aturan normatif, hukum berada
di dua ruang tersebut sekaligus. Hukum adalah aturan normatif yang telah
dilegalkan di dalam lembaga yuridis kenegaraan. Namun sebagai normativitas, ia
lahir dari cita-cita kemanusiaan yang tertanam, digali dan dirumuskan di dalam Lebenswelt. Artinya, sebelum “menjadi
negara” (konstitusi, UU, dan lembaga peradilan), hukum adalah konsensus
rasional yang dirumuskan di dalam ruang publik. Sebagai cita-cita luhur, hukum
ini digali dari kearifan-kearifan hidup di dalam dunia-kehidupan, untuk secara
rasional dirumuskan di dalam legalitas hukum. Selayak pemilahan Kant atas
moralitas dan legalitas di dalam hukum. Moralitas adalah nilai-nilai hukum yang
berada di dalam sanubari manusia dan menjadi etika sosial di masyarakat.
Sementara legalitas adalah formalisasi moralitas sehingga etika sosial itu
memiliki cangkangan institusional, agar ia memiliki kekuatan mengikat dan
menghukum.[8]
Karena legalitas hukum berasal dari moralitas manusia,
maka hukum bisa menjadi “engsel” untuk menyambung kembali sistem dan Lebenswelt. Hal ini terjadi karena
letaknya yang serba-strategis. Sebab dari sisi sistem misalnya, sebuah sistem
dan para pelakunya pastilah mencari pendasaran normatif segenap tindakannya
dari hukum, agar tindakan tersebut legitimatif. Dalam situasi ini, hukum
menjadi rem-pengendali langkah-langkah destruktif dari pelaku sistem. Hal sama
terjadi pada masyarakat, yang bisa mendasarkan kritiknya atas sistem
berdasarkan hukum. Sebab sah tidaknya sistem tergantung pada ada tidaknya
landasan hukum di dalam tindakan sistem tersebut. Konstitusi tentang
perlindungan hak warga negara misalnya, adalah klausul hukum yang harus ditaati
negara, dan oleh karena itu bisa dijadikan alat bagi masyarakat untuk mengritik
kebijakan negara yang bertentangan dengan konstitusi tersebut.[9]
Dengan cara inilah Habermas melakukan re-integrasi
masyarakat akibat kolonisasi sistem atas
Lebenswelt tersebut. Dengan cara ini pula Habermas melakukan rasionalisasi
masyarakat. Re-integrasi terjadi karena segenap pergerakan politik, dalam hal
ini deliberasi antara negara dan masyarakat, tidak terjadi dalam pemberontakan
berdarah atau saling-kritik yang melahirkan instabilitas masyarakat. Segenap
proses timbal-balik antara masyarakat dan negara justru mampu mengintegrasikan
kembali masyarakat, sebab hukum adalah dasar yang membentuk negara dari
masyarakat itu sendiri. Baik negara maupun masyarakat pastilah rela untuk
menaati hukum, sebab hukum adalah tata aturan yang disepakati bersama agar
semua manusia bisa hidup dalam hak dan keawjibannya. Proses ini juga telah
melakukan rasionalisasi masyarakat, sebab dengan menjadikan hukum sebagai media
demokrasi deliberatif, maka segenap proses demokratisasi mampu mengajak semua
elemen masyarakat (baik negara dan masyarakat sipil), untuk menyelesaikan semua
persoalan secara rasional. Hal ini berangkat dari pengandaian Habermas, bahwa
hukum adalah nilai-nilai rasional hasil konsensus sosial, yang menjadi pijakan
hidup bermasyarakat, pasca-bangkrutnya nilai-nilai tradisional yang lahir dari
primordialisme kelompok. Artinya, hukum adalah cara-hidup baru masyarakat
pasca-tradisional, yang tidak lagi bisa mendasarkan hidup kemasyarakatannya
berdasarkan nilai-nilai tradisi yang bersifat lokalistik. Oleh karena itu,
gagasan demokrasi deliberatif, senyata menjadi bagian utama dari proyek
rasionalisasi masyarakat ala Habermas.[10]
Mekanisme
deliberatif
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat kelebihan
demokrasi deliberatif, dibandingkan dengan konsep demokrasi konvensional.
Kelebihan ini terletak pada perluasan dan pendalaman demokrasi itu sendiri,
yang saat ini sedang banyak diwacanakan oleh para pegiat demokrasi. Perluasan
diartikan sebagai pelampauan perwakilanisme politik, dari ruang-ruang formal
kenegaraan menuju ruang-ruang publik kerakyatan. Sementara pendalaman terdapat
pada radikalisasi prosedur demokrasi, dengan menggerakkan prosedur perumusan
kebijakan ke dalam ideal etika diskursus. Dengan cara ini, demokrasi
deliberatif akhirnya menandai pergeseran dari corak demokrasi mayoritarian (majoritarian democracy) kepada demokrasi
konsensus (consensus democracy). Pada
yang pertama, demokrasi disangga oleh tarung kekuatan partai. Pada yang kedua,
disangga oleh konsensus rasional dalam ruang publik.
Dalam kaitan ini, demokrasi deliberatif memiliki
keunggulan jika dibanding dengan model-model demokrasi lain. Dengan demokrasi
liberal misalnya, model demokrasi ini memiliki keunggulan di dalam asumsi
metafisiknya yang melampaui individualisme. Seperti diketahui, demokrasi
liberal berangkat dari pandangan akan subjek sebagai “manusia abstrak” yang
terbebas dari beban komunitariannya. Michel Sandel menyebut subjek ini sebagai unencumbered self, diri yang tercerabut
dari akar kulturalnya. Yang disebut sebagai “subjek abstrak” ini adalah
gambaran tentang kemanusiaan secara umum. Yakni suatu ciri umum dari manusia
secara universal yang diangkat dari segenap keunikan lokalitas dan
komunitasnya. Ciri umum atau universalitas manusia ini yang kemudian mengarah
pada individualisme, karena penerjemahan atas sifat abstraknya diserahkan
kepada individu. Subjek individu yang abstrak dan dicerabut dari akar
pembentukan komunalnya ini yang akhirnya melahirkan hak pilih universal (one man one vote), karena tak ada
otoritas yang paling otoritatif selain otoritas individu sebagai bentuk ideal
dari kemanusiaan abstrak.
Sayangnya watak demokrasi liberal yang berpondasi
individualisme ini akhirnya terjebak dalam pendaulatan individualisme sebagai
tiang utama kedaulatan rakyat. Akhirnya kedaulatan rakyat pun dihitung dari
banyaknya per-individu yang memberikan suara, sementara segenap prosedur
demokrasi hanya mewadahi agregasi kepentingan individu melalui kelompok-kelompok
politiknya (partai). Pembelaan atas hak individu ini juga melahirkan corak
kebebasan negatif. Yakni corak kebebasan yang memenuhi hak individu untuk bebas
mengartikulasikan hak-hak politiknya. Maka, prosedur demokrasi liberal akhirnya
hanya menjadi wahana pragmatis bagi kepentingan individu-individu politis,
untuk memuaskan kepentingan individualisnya.
Demokrasi deliberatif melampaui individualisme liberal
karena pandangan atas subjek yang tidak individualis, pun tidak komunitarian.
Pandangan subjek demokrasi deliberatif tertuju pada subjek etis-hukum sebagai
bagian dari abstraksi atas sifat universal manusia. Artinya, demokrasi
deliberatif pun berangkat dari pengandaian “manusia abstrak” ala liberalisme.
Mengapa? Karena pengandaian ini yang menjaga manusia pada aras kemanusiaannya.
Dengan menjaga “yang abstrak” ini, sifat universal manusia seperti
rasionalitas, hak untuk memiliki hak, kesetaraan, kebutuhan akan kebebasan,
penghargaan terhadap individu, dan humanisme itu sendiri bisa diperjuangkan melampaui
hal-hal yang “seluar manusia.”
Hanya saja “manusia abstrak” dari demokrasi deliberatif
ini tidak dicerabut dari akar kulturalnya. Ia tetap merawat keunikan perspektif
yang dibentuk oleh Lebenswelt
kultural. Hal ini wajar sebab apa yang disebut Habermas sebagai tindakan
komunikatif adalah tindakan yang memiliki pra-paradigma yang secara tak sadar
dibentuk oleh Lebenswelt. Lebenswelt ini adalah kultur, tradisi,
dan nilai-nilai kelompok yang membuahkan “konteks ucapan” atau common denominator yang secara tak sadar
telah disepakati. Lebenswelt
komunikatif inilah yang selaras dengan subjek komunitarian, yang mendaulat
komunitas sebagai pembentuk subjek, sehingga individualisme liberal dianggap
mencerabut kedirian subjek dari akar komunitasnya. Hanya saja, ketika
mengakomodir dua kutub subjek liberal dan komunitarian, subjek demokrasi
deliberatif tetap melampaui keduanya, dengan menempatkan pembentukan subjek
pada konsensus, bukan kesendirian individualis maupun komunitas. Artinya,
kebenaran tidak ditemukan subjek dalam individualisme maupun oleh bentukan
kultural komunitarian. Melainkan melalui proses deliberasi. Kebenaran tidak
ditentukan sejak awal, baik oleh individu maupun oleh komunitas, melainkan
ditemukan di dalam proses deliberasi yang akhirnya melahirkan konsensus bersama
secara rasional. Kebenaran “tidak ditentukan” tetapi “ditemukan” dalam proses
konsensus.[11]
Dengan menambatkan penemuan kebenaran (dalam arti konsep
atau rumusan tentang kebaikan bersama) dalam konsensus, maka demokrasi
deliberatif tidak mendaulat individu sebagai soko guru demokrasi. Dengan
menjadikan konsensus sebagai soko guru demokrasi, maka kebaikan bersama bukan
merupakan preferensi individu-individu di dalam kelompok-kelompok politik yang
plural. Melainkan dirumuskan secara bersama dengan mekanisme deliberasi yang
menerapkan etika diskursus. Perumusan bersama tentang kebaikan bersama (res publica) inilah yang akan menjaga
perwujudan kebaikan bersama itu dari dominasi pandangan dan kepentingan
sebagian orang atau kelompok. Oleh karena itu, syarat perumusan bersama ini
akan begitu ketat (sesuai dengan syarat-syarat etika diskursus) sehingga proses
deliberasi tidak lagi ditentukan oleh interest
individu maupun oleh hegemoni kelompok mayoritas. Dengan cara ini, demokrasi
deliberatif akhirnya mende-mayorokrasi-kan demokrasi. Artinya, menyelamatkan
proses demokrasi dari beban mayoritarianisme.
Demikian pula dengan demokrasi pluralis, yang mendasarkan
sistem demokrasinya kepada pluralitas kelompok-kelompok politik. Demokrasi
model ini tentu terkritik oleh demokrasi deliberatif sebab mekanisme
demokrasinya yang mendedahkan centang-perenang pertarungan antarkelompok
politik. Basis utama demokrasi akhirnya bukan pembentukan konsensus atau
kesepakatan bersama demi res publica,
melainkan kompetisi elit berbaur dengan politik kartel yang menutupi praktik
koruptif dari masing kawan dan lawan politik. Demokrasi deliberatif yang
mendasarkan diri pada deliberasi-etis akan membuyarkan pertarungan elit itu,
karena mekanisme demokrasi tidak didasarkan pada kompetisi elit melainkan oleh
mekanisme deliberasi yang menempatkan semua komponen secara setara. Otoritas di
dalam demokrasi deliberatif tidak berada pada kelompok politik yang kuat, yang dicerminkan
oleh “mayoritas kekuatan politik”, melainkan oleh argumentasi yang paling baik
akan kebaikan bersama. Kebenaran demokratis akhirnya tidak ditentukan oleh
kelompok politik yang kuat dana dan kekuasaannya, melainkan oleh struktur
argumentasi yang lebih valid tentang res
publica. Oleh karena itu, demokrasi deliberatif akan membuyarkan dominasi
kelompok-kelompok politik, dan mengembalikan proses demokrasi kepada “kontrak
sosial” yang mendudukkan semua orang sebagai warga negara setara, punya atau tidak
kekuasaan, ia.
Hal serupa terjadi pada demokrasi sosialis yang dekat
dengan tradisi komunis. Dalam tradisi ini, negara dijadikan pusat bagi
pemerataan ekonomi yang akhirnya melahirkan etatisme ekonomi, yakni konsentrasi
pengaturan ekonomi oleh negara. Meskipun keberpihakan atas pemerataan sosial
diamini oleh demokrasi deliberatif, tetapi pendaulatan otoritas politik kepada
negara-memusat tentu ditolak oleh tradisi deliberatif tersebut. Hal ini terjadi
karena pemusatan negara tentu akan membuyarkan deliberasi politik yang setara.
Pemusatan kekuasaan negara tentu akan melahirkan “komunikasi yang membusuk”,
sehingga tindakan komunikatif dalam terang demokrasi deliberatif akhirnya
dibusukkan oleh intervensi kekuasaan negara ke dalam proses deliberasi tersebut.
Bahkan karena negara yang memusat itulah, maka deliberasi mustahil terjadi
sebab pembuatan keputusan tidak dilahirkan melalui mekanisme musyawarah di
dalam ruang publik yang setara, melainkan oleh sang penguasa komunis yang
memusat dan anti-demokrasi.
Persoalannya adalah apa bentuk institusional dari model
demokrasi deliberatif ini yang menjadi penyempurna bagi kelemahan sistemik,
model-model demokrasi lainnya? Jika mengacu pada Habermas, bentuk institusional
itu secara eksplisit terdapat pada umpan-balik antara negara dan masyarakat di
dalam ruang publik. Artinya di sini ada dua ruang: negara dan ruang publik.
Maka bisa saja demokrasi deliberatif itu merupakan pertemuan antara masyarakat
sipil (aktivis NGO, penulis, intelektual, seniman, akademisi, pastor, kiai,
pimpinan ormas, ketua adat, dan sebagainya) dengan pejabat publik (anggota DPR,
menteri, presiden, ketua MA, hakim, tentara) di dalam ruang publik (ruang
diskusi publik) yang otonom dari negara dan pasar. Oleh karena itu, pendaulatan
ruang publik sebagai ruang utama pengganti ruang-negara kemudian menempatkan
pejabat negara secara setara dengan warga negara biasa. Dalam situasi ini,
tidak ada lagi perbedaan. Yang ada hanyalah warga negara yang duduk setara,
memiliki hak mengungkapkan pendapat, dan hak atas kebaikan bersama yang
dimusyawarahkan tersebut.
Dalam kaitan inilah, David Held memaparkan beberapa misal
dari mekanisme-mekanisme deliberatif. Pertama, jajak pendapat deliberatif.
Jajak pendapat ini melampaui jajak pendapat konvensional yang tidak
mengedepankan refleksi masyarakat atas persoalan publik. Refleksi ini diartikan
sebagai pemahaman atas persoalan secara sadar, dibarengi dengan fakta-fakta
terkait, sehingga menimbulkan pemahaman mendalam. Lalu bagaimana teknisnya?
Pada titik ini Held memaparkan:
“Ide
pokoknya adalah membawa sampel populasi sebagai representasi bersama-sama dalam
satu tempat selama beberapa hari, untuk mendeliberasi permasalahan pokok yang
ada dalam kehidupan publik. Sebelumnya, sampel tersebut diberi kesempatan
menyatakan pandangan pra-deliberatifnya. Kemudian deliberasi dilakukan dengan
melibatkan biasanya dua elemen: penjajakan dan pertanyaan kepada sekelompok
ahli isu yang sedang dibahas; dan debat publik di antara para partisipan untuk
mendapatkan keputusan publik yang lebih dapat dipertahankan. Setelah proses
ini, semua ditanyai pendapatnya lagi, dan hasil jajak pendapat sebelum dan
setelahnya dibandingkan. Biasanya proses deliberasi mengubah pandangan yang ada
karena pandangan-pandangan tersebut telah terpengaruh oleh informasi fakta yang
dijadikan bahan pertimbangan, dan mereka yang terlibat di dalamnya juga
mempertimbangkan opini dan argumentasi orang lain”.[12]
Dari sini terlihat bahwa jajak pendapat deliberatif
bertujuan untuk mengajak warga negara untuk berpartisipasi langsung dalam
merumuskan kebijakan publik. Perumusan bersama oleh rakyat secara langsung ini
dibarengi dengan pemberian informasi yang lengkap atas persoalan yang sedang
dirumuskan. Inilah perlunya para ahli di dalam deliberasi tersebut. Oleh karena
itu, muara dari jajak pendapat ini adalah keputusan rakyat atas suatu kebijakan
publik, disertai oleh pemahaman rakyat atas kebijakan yang diputuskan tersebut.
Jajak-pendapat ini bisa dilakukan dalam suatu “Hari Deliberatif”: sampel
populasi, misalnya 500 warga negara dikumpulkan dalam satu tempat selama sehari
penuh, untuk melakukan jajak pendapat deliberatif tersebut. Semua media massa,
dari cetak hingga elektronik, menyiarkan proses jajak pendapat yang sekaligus
merupakan proses deliberasi publik secara massal. Menariknya, jajak pendapat
dan “Hari Deliberatif” ini telah dipraktikkan di negara-negara liberal, seperti
Amerika Serikat dan Eropa. Di Amerika, kedua “lembaga deliberatif” ini telah
diterapkan untuk melibatkan masyarakat dalam mengontrol dan ikut merumuskan
persoalan-persoalan publik seperti tunjangan kesehatan, bantuan luar negeri,
kenaikan pajak, hingga pemilihan pejabat publik.
Kedua, juri warga negara. Mekanisme ini dibentuk oleh
“badan publik” yang berfungsi sebagai tim penasehat pemerintah nasional dari
kalangan rakyat. Tugas juri warga negara ini adalah merumuskan pandangan publik
tentang suatu kebijakan, atau merumuskan persoalan mendasar masyarakat untuk
diajukan kepada pemerintah sebagai rancangan kebijakan. Jadi pada titik ini,
terdapat dua tugas dari juri ini; sebagai “wakil rakyat” yang mengajukan
aspirasi masyarakat kepada pemerintah, serta sebagai lembaga kontrol kebijakan
pemerintah. Tentu juri warga negara ini berbeda dengan wakil rakyat resmi di
parlemen. Juri warga negara dibentuk oleh “badan publik” yang berada di luar
struktur parlemen. Di Amerika Serikat, juri warga negara telah mampu membuat
pandangan tandingan dari kebijakan resmi, salah satunya pembongkaran tunjangan
kesehatan eksekutif, yudikatif, dan legislatif, yang tidak masuk akal.
Ketiga, umpan balik warga dan pemerintah. Mekanisme
ketiga ini lebih merupa pada mekanisme penyaluran umpan balik antara warga dan
pemerintah. Artinya, pemerintah memberikan saluran aspirasi agar terjadi umpan
balik dalam merumuskan kebijakan. Pada awalnya model umpan balik ini terdapat
pada e-government. Yakni pemanfaatan
pemerintah atas fasilitas internet untuk menyosialisasikan kebijakan. Hanya
saja pendekatan ini bersifat top-down: dari pemerintah kepada rakyat,
tanpa adanya umpan balik yang setara dari rakyat itu sendiri. Hal ini terjadi
karena kebijakan disosialisasikan setelah kebijakan tersebut, ditetapkan.
Sementara itu, umpan balik deliberatif terdapat pada e-democracy, yakni pemanfaatan jaringan virtual dunia maya oleh
gerakan-gerakan demokrasi, baik untuk mengritisi kebijakan pemerintah, maupun
untuk mendebatkan persoalan publik secara deliberatif. Model e-democracy ini terdapat pada E-Democracy Minnesota dan DNet di California. Keduanya merupakan
forum debat dan evaluasi kandidat pejabat publik. Hal sama terdapat pada OpenDemocracy.net di Inggris yang
menfokuskan diri berbagai isu global dan bertujuan untuk menstimulasi diskusi
publik tentang persoalan tersebut.[13]
E-Democracy juga terdapat pada
berbagai aksi mobilisasi massa via Facebook
dan Twitter dalam kasus di Indonesia,
seperti “Cicak versus Buaya” (KPK versus Polisi), “Koin Keadilan untuk Prita”,
atau penggulingan rezim despotik di Timur-Tengah seperti di Mesir, Tunisia,
Libya, dan Yaman pada dekade 2000 ini.
Dengan adanya beberapa misal mekanisme di atas, maka
menjadi PR besar ke kedepan untuk membangun suatu lembaga kenegaraan
deliberatif. Lembaga ini merupakan jembatan yang menghubungan negara dengan
masyarakat, atau meminjam konsep Habermas, mewujudkan demokrasi langsung di
dalam demokrasi perwakilan. Saat ini memang sudah ada mekanisme legal seperti
itu, misalnya dalam rapat dengar pendapat (public
hearing) antara DPR dan komponen masyarakat sipil dalam kasus tertentu.
Namun forum ini hanya memintakan pendapat dari masyarakat sebagai masukan.
Selebihnya, pembuat keputusan tetap anggota parlemen. Sama dengan posisi juri
warga negara di AS seperti termaktub di atas. Hal sama pada mekanisme judicial review dalam perundang-undangan
yang saat ini telah diakomodir oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui mekanisme
ini, masyarakat bisa mengajukan peninjauan kembali atas UU yang disinyalir
bertentangan dengan UUD 1945. Peninjauan ini tentu lahir dari kesadaran atas
pertentangan UU tersebut terhadap hak warga negara yang dijamin oleh UUD. MK
bisa menggugurkan UU, jika memang terbukti bertentangan dengan UUD.
Hanya saja dalam mekanisme demokrasi perwakilan yang
terfokus dalam sistem parlemen, belum terdapat suatu demokrasi langsung di
dalam demokrasi perwakilan. Mekanisme pengaturan kedaulatan rakyat masih
melalui sistem perwakilan, di mana rakyat diwakili oleh orang-orang partai.
Maka dibutuhkan suatu “lembaga deliberatif” yang berangkat dari asumsi dasar,
bahwa rakyat secara langsung harus dilibatkan di dalam perumusan kebijakan.
Dibutuhkan suatu “lembaga deliberatif” yang mendudukkan rakyat secara langsung
di dalam kedaulatannya. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan mengubah sistem
pemilu kita, dari mekanik kepada organik. Seperti diketahui, sistem mekanik
adalah sistem pemilu yang menempatkan partai politik sebagai satu-satunya
peserta pemilu. Sementara sistem organik, tidak hanya menempatkan partai, melainkan
pula organisasi-organisasi kemasyarakatan, NGO, dan segenap pergerakan rakyat
yang memiliki basis pengabdian yang mengakar.
Satuan masyarakat sipil ini kemudian didudukkan secara
setara, menjadi anggota parlemen di samping partai-partai politik. Mekanisme
ini sekaligus merupakan proses departaisasi
demokrasi kita. Mengapa? Karena sebagian besar partai kita tidak memiliki
kerja basis yang jelas dan mengakar. Hal ini berbeda dengan LSM pendampingan
petani, buruh, organisasi profesi guru, paguyuban seniman, komunitas
intelektual, persatuan pelajar, solidaritas tukang becak, pemulung, ormas
keagamaan, organisasi mahasiswa, dosen, pengusaha, dan sebagainya. Berbagai
divisi pengabdian masyarakat dari partai politik yang mandul, bisa diganti
dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan ini. Oleh karena itu, “sistem
parlemen organik” akan melakukan pergeseran paradigmatik dari parlemen berbasis
partai, menjadi parlemen berbasis kemasyarakatan. Hal ini urgen sebab kualitas
partai kita masih berbasis “politikisasi massa”, bukan “pengabdian profesional”
selayak paradigma organisasi kemasyarakatan.
Tentu kita tidak menafikan kecenderungan pragmatis dari
sebagian organ kemasyarakatan. Sebab di dalam setiap pergerakan pastilah ada
kepentingan. Hanya saja, “sistem parlemen organik” ini berangkat dari asumsi
dasar sederhana, yakni lebih mendekatkan anggota parlemen dengan “kerja basis”
dalam masyarakat bawah. Kejelasan “kerja basis” ini tidak dimiliki oleh
partai-partai kita, karena sifat kelembagaannya yang lebih mengedepankan “kerja
politis” daripada “kerja pengadian” secara profesional. Karena organ-organ
kemasyarakatan secara fungsional bersifat spesifik di dalam ruang lingkup
kerjanya, maka spesifitas pendampingan inilah yang menjadi perwakilan
satuan-satuan masyarakat. Maka, kedaulatan rakyat tidak terepresentasikan an sich melalui partai. Sebab perwakilan
partai masih bersifat umum, dan hanya melakukan pemilahan berdasar kelompok
agama, ideologi, atau sekadar kharisma tokoh. Sistem perwakilan umum ini yang
perlu diubah melalui sistem perwakilan yang bersifat spesifik berdasarkan
profesi-profesi kemasyarakatan. Dengan demikian, dalam “sistem parlemen
organik” ini, para buruh diwakili oleh organisasi buruh, petani diwakili
pendamping petani, seniman diwakili paguyuban seniman, tukang becak diwakili
solidaritas tukang becak, PKL diwakili solidaritas PKL, dsb. Dengan sistem
inilah, demokrasi langsung bisa diwujudkan di dalam demokrasi perwakilan. (*)
Artikel Terkait
- Salam Redaksi
- Riset Redaksi
- Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
- Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
- Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
- Demokrasi Deliberatif
- Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
- Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
- Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
- Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
- Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
- Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
- Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
- Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)
[1] Lihat F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Menimbang ‘Negara
Hukum’ dan ‘Ruang Piblik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009),
h., 46-53
[4] Pemilahan Habermas atas
tindakan strategis dan komunikatif bisa juga dibaca sebagai kelanjutan dari
pemilahannya atas tiga kepentingan pengetahuan; empirik-analitis,
historis-hermeneutis, dan ilmu-ilmu kritis. Seperti diketahui, ilmu
empirik-analitis adalah ilmu-ilmu positif yang menggunakan metode
eksplanasi/penjelasan/eklaren untuk
menemukan hukum-hukum (kausalitas) dari fenomena alam. Oleh karenanya, ilmu ini
menjadi ilmu objektif karena objek studinya yang mengarah pada studi tentang
alam-fisikal. Melalui metode penjelasan, sang ilmuwan bisa mengambil jarak
(objektif) untuk menetapkan hukum-hukum kausalitas yang bersifat tetap dari
kejadian empirik. Ilmu empirik-analitis ini yang bekerja pada rasio strategis
dan melahirkan tindakan strategis. Produknya berawal dari sains dan teknologi
dan memuncak pada pembangunan sistem administrasi politik dan industrialiasi
ekonomi. Kedua, ilmu historis-hermeneutis. Yakni ilmu-ilmu humaniora yang
menempatkan manusia sebagai makhluk historis. Karena objek studinya adalah
kesejarahan dan manusia, maka metodenya tak bisa meminjam dari ilmu alam
(eksplanasi), melainkan melalui pemahaman/verstehen.
Dengan memahami, manusia dan kesejarahannya telah menyediakan horizon makna
bagi penafsiran budaya. Di dalam antropologi misalnya, keinginan untuk memahami
budaya manusia telah melahirkan interpretivisme simbolik yang melakukan
penafsiran atas penafsiran (interpretation
of interpretation). Jadi peneliti budaya menafsiri penafsiran pelaku
budaya. Dengan demikian, sifat ilmu humaniora ini tak bisa objektif, melainkan
tetap melibatkan subjektivitas, sebab sang pengkaji adalah manusia yang tengah
mengkaji manusia. Ilmu historis-hermeneutis inilah yang tersirat dalam rasio
dan tindakan komunikatif. Yakni rasio yang berada pada ranah kehidupan manusia,
dan digunakan untuk saling memahami. Tindakan komunikatif seperti kita tahu,
telah melahirkan gagasan Habermas tentang ruang publik.
Sementara itu ilmu-ilmu kritis
adalah refleksi-diri atas ilmu-ilmu lainnya, ketika bangunan ilmu telah
mengalami ideologisasi. Artinya, baik ketika ilmu empirik-analitik dan
historis-hermeneutis telah terjebak di dalam kebenarannya sendiri sehingga ia
anti-kritik, maka di titik itulah ilmu-ilmu kritik merefleksikan ketertutupan
tersebut. Kritik ilmu-ilmu kritis juga terdapat pada positivisme. Yakni
penggunaan ilmu empirik-analitis untuk mengkaji persoalan manusia, padahal
studi manusia sudah memiliki kekhasan ilmu humanioranya. Dengan demikian,
ketika ilmu empirik-analitis memiliki kepentingan praktis untuk mengolah alam,
ilmu historis-hermenuetis memiliki kepentingan pengetahuan untuk memahami
kehidupan manusia. Maka ilmu-ilmu kritis memiliki kepentingan pengetahuan bagi
emansipasi manusia. Mengapa? Karena ideologisasi pengetahuan berarti pula
pemanfaatan pengetahuan oleh kekuasaan. Pada titik ini, ilmu-ilmu kritis telah
mengembangkan kritik pengetahuan sebagai kritik ideologi. Yakni kritis atas
pertautan pengetahuan dan kepentingan. Pada ranah teori politik, demokrasi
deliberatif adalah penerapan praksis dari ilmu-ilmu kritis kepada bangunan
sistem politik yang telah dibentuk oleh tindakan strategis (ilmu
empirik-analitik) tersebut. Hal ini niscaya sebab tujuan demokrasi deliberatif
adalah emansipasi masyarakat dari ideologisasi sistem dalam bentuk kolonisasi
sistem atas Lebenswelt. Untuk
pemilahan tiga kepentingan pengetahuan Habermas, lihat F Budi Hardiman, Kritik Ideologi, h., 131-163. Lihat juga
Andrew Edgar, Habermas, The Key Concepts,
(Taylor & Franscis
Group: Routledge, 2006), h., 10-16
[5] Lihat Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action,
Lifeworld and System: A Critique of Fungtionalist Reason, (Boston: Beacon
Press, 1985), h., 113-153
[7] Lihat Jurgen Habermas, Ruang Publik, Sebuah Kajian tentang Kategori
Masyarakat Borjuis, Yudi Santoso (penerj.), (Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2008), h., 1-21. Lihat pula Pauline Johnson, Habermas, Rescuing the Public Sphere, (London dan New York:
Routledge, 2006), h., 1-15
[8] Lihat Sebastian Gardner, The Primacy of Practical Reason, dalam
Graham Bird, A Companion to Kant, (Blackwell
Publishing Ltd, 2006), h., 259-270
[9] Lihat Jurgen Habermas, Between facts and Norms, Contributions to
Discourse Theory of Law and Democracy, (The MIT Press, Cambridge,
Massachusetts, 1996), h., 359-387. Lihat juga Luke Goode, Jurgen Habermas: Democracy and Public Sphere, (London: Pluto Press,
2005), h., 120-133
[10] F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, h., 125-156.
Demokrasi deliberatif sebagai rasionalisasi masyarakat ini menunjukkan posisi
Habermas sebagai penjaga modernitas. Sebagai generasi kedua Mazhab Frankfurt,
Habermas memang memiliki pandangan optimis atas modernitas. Hal ini yang
berbeda dengan para pendahulunya, yakni Adorno, Horkheimer, dan Marcuse yang
cenderung pesimis dengan masyarakat yang telah “satu dimensi” ini. Pandangan
optimis Habermas terletak pada warisan berharga modernitas, yakni Rasionalitas Pencerahan.
Sebab dalam warisan ini, emansipasi atas manusia bisa diperjuangkan. Oleh
karena itu, Habermas adalah penggeret mazhab kritis, yakni mazhab pemikiran
Jerman yang kritis terhadap modernitas, yang tetap ingin menyelamatkan proyek
modernitas, yakni rasionalitas. Oleh Habermas, rasionalitas ini digeres dari
rasio subjektif (penemuan kebenaran oleh satu subjek manusia), kepada rasio
intersubjektif (penemuan kebenaran secara bersama). Oleh karenanya, Habermas
mendaulat konsensus rasional dalam terang kebaikan publik, sebagai “obat
penyembuh” dari dalam tubuh modernitas sendiri, yang telah mengalami patologi
akibat rasionalitas bawaan Pencerahan, yakni rasionalitas instrumental, yang
telah melahirkan kolonisasi sistem atas Lebenswelt.
Artinya rasionalisasi Habermas merupakan tanggapan atas rasionalisasi awal
Pencerahan yang telah melahirkan sistem sosial modern, berupa birokrasi pemerintahan
dan industri ekonomi. Jadi rasionalisasi komunikatif, sebagai obat bagi
patologi rasionalisasi instrumental. Proses ini disebut rasionalisasi, karena
hukum adalah produk konsensus sosial yang dibentuk melalui rasionalitas
komunikatif. Lihat Jurgen Habermas, The
Philosophical Discourse of Modernity, (Cambridge: Polity Press, 1998), h.,
294-300.
[11] F Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, h., 179-186
Tidak ada komentar:
Posting Komentar