Jumat, 02 Mei 2014

ETIKA PROTESTAN DAN SPIRIT KAPITALISME, Sebuah Pengantar

ETIKA PROTESTAN DAN SPIRIT KAPITALISME
Sebuah Pengantar
Oleh;
Muhammad Zunus

Buku karya Max Weber The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis) terbit tahun 1920, sesaat setelah kematiannya. Bukun ini pada awalnya hanya berupa artikel dua bagian di jurnal ilmiah Archiv fur Sozialwissenschaft  und Sozialpolitik [1904-1905].

Buku ini menarik dan menjadi perdebatan senggit yang melibatkan tokoh-tokoh besar karena Weber sendiri mampu mengungkap fakta-fakta otentik seputar agama kaitanya dengan perkembangan kapitalisme. Selain itu buku ini hadir pada periode penting setelah Weber pulih dari sakit depresi yang dialaminya selama empat tahun yang sempat membuatnya tidak mampu menghasilkan karya-karya akademis.

Untuk memahami gagasan dalam buku ini setidaknya membutuhkan dua aspek keadaan yang melatarbelakangi arus pemikiran. Pertama, iklim intelektual dan kedua, jaringan antara karya itu sendiri dengan program studi dalam fase kedua karir penulis [karakteristik kapitalisme].

Pada abad ke 19 perkembangan filsafat, teori politik dan ekonomi di Jerman bertolak belakang dengan perkembangan yang ada di Inggris. Dominasi pengetahuan ekonomi politik klasik dan utilitarianisme di Inggris tidak mampu direproduksi di Jerman sebab dihambat oleh pengaruh Idealisme dan Marxisme. Di Inggirs System of Logic [1843] karya Jhon Stuart Mill yang merupakan pengikut ajaran positivime Comte mampu memberikan sumbangsih besar atas penyatuan ilmu-ilmu sosial dan ilmu alam dalam kerangka tradisi negara itu. Sementara di Jerman logika itu tidak berkembnag karena muncul pandangan –ini terkait dengan hermeniotik- diferensiasi antara ilmu-ilmu alam dari studi tentang manusia. Perilaku manusia sangat penuh makna sehingga harus diinterpretasikan atau dipahami dengan cara sedemikian rupa.

Pemaknaan terhadap Kapitalisme dan Pengaruhnya

Dalam upaya merinci karakteriktik penentu kapitalisme modern, Weber terlebih dahulu memisahkan antara perusahaan kapitalistik dengan upaya [hasrat] mendapat kapital. Hasrat mendapat kekayaan adalah sesuatu yang alamiah, terjadi hampir di semua peradaban dalam kurun waktu yang hampir bersama. Meski demikian hasrat tidak selalu terkoneksi dengan karakter hakiki kapitalisme.   

Kapitalisme dalam bentuk operasi-operasi perdagangan sudah terjadi sejak abad pertengan, tetapi baru menemukan momentumnya sejak kebangkitan peradaban Barat. Hal ini terjadi karena pergeseran terhadap pemaknaan “perdagangan” dan transformasi pengetahuan. Aktivitas kapitalistis diasosiakan sebagai organisasi rasional buruh yang merdeka, dalam artian adminstrasi yang terukur secara kontinu. Perusahaan kapitalistis rasional merujuk pada dua hal; tenaga kerja yg disiplinkan dan investasi kapital yang diregulasi. Inilah yang menjadi dasar pembeda dengan karakteristik aktivitas ekonomi tradisional.

Pengaruh signifikan dari transformasi tradisional ke ekonomi modern melahirkan kedisiplihan yang tinggi dan pada akhirnya melahirkan konsekuensi-konsekuensi. Misalnya, majikan yang ingin meningkatkan produktivitasnya mereka akan memberikan piece rates [bonus] kepada karyawan. Dengan aturan ini para pekerja akan mendapatkan insentif lebih. Namun harus diakui, konsekuensi ini tidak selamanya berjalan dengan baik dan sesaui harapan majikan, sebab para pekerja terlebih yang hasratnya standar justru akan bekerja dengan lamban dari biasanya. Itu bisa saja karena mereka tidak tertarik memaksimalkan penghasilan. Fenomena serupa juga terjadi pada orang-orang kaya [pemilik modal] dalam berbagai bentuk masyarakat. Mereka yang medapat keuntungan dari perusahaan hanya sekadar mencari uang untuk digunakan pada hal-hal umum; membeli kebutuhan; kesenangan; dan kekuasaan. Reproduksi kapital secara regular yang melibatkan investasi dan reinvestasi secara kontinu untuk tujuan efisiensi ekonomi terasa kurang familiar bagi perusahaan-perusahaan tradisional.   

Menurut Anthony Giddens, esensi dari spirit kapitalisme Weber bisa diberakatkan dari sifat manusia yang didominasi keinginan mendapat uang melalui akuisisi [1] sebagai tujuan utama hidupnya. Akuisisi ekonomis inilah yang kemudian tidak lagi menjadi subordinat bagi cara-cara manusia memuaskan kebutuhan materinya.

Menjadi rumus tanya, apa yg dijelaskan dari kondisi historis seseorang berhasrat mengumpulkan kekayaan tapi dengan ketiadaan kepentingan atas kesenangan duniawi? Tanya ini yang pada askhirnya menghatarkan pada konsep etika protestan.

Menurut Weber, keliru jika ada yang menyatakan bahwa hasrat mendapat kekayaan berasal dari pengenduran nilai-nilai moralitas. Pandangan ini berdasar atas moral itu sendiri, yang menuntut adanya disiplin diri sendiri. Para pengusaha yang diasosiasikan dengan pengembangan kapitalisme rasional justru memadukan akumulasi kekayaan dengan gaya hidup hemat secara positif.

Weber menemukan jawab ini dari This wordly asceticism [tapa brata duniawi dari puritanisme]. Asketis ini difokuskan melalui konsep calling [sinyal/panggilan] yang lahir dari semangat reformasi gereja. Calling merujuk pada ide awal bahwa bentuk tertinggi dari kewajiban moral bagi individu adalah memenuhi tugas-tugasnya dalam urusan duniawi, meminjam istilahnya Kang Sobari sebagai kesalehan sosial. 

Istilah calling ini tidak ditemukan sebelumnya dalam lingkungan Khatolik atau zaman purba, melainkan hanya ditemukan di lingkungan Protestan. Martin Luther adalah orang yang mengembangkan konsep ini pada dekade pertama dari aktivitasnya sebagai reformator.

Lebih jauh, Weber menjelaskan bahwa arti penting dari konsep panggilan dalam agama protestan adalah untuk membuat urusan-urusan  biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. “panggilan” bagi seseorang adalah suatu usaha yang dilakukan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibanya terhadap Tuhan, dengan cara perilaku yang bermoral dalam kehidupan sehari-harinya. “panggilan” merupakan suatu cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dengan memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepada dirinya sesuai dengan kedudukanya di dunia. “panggilan” adalah konsepsi agama tentang suatu tugas yang telah ditetapkan Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas di mana seseorang harus bekerja.

Namun demikian, bagi Weber, panggilan sebagaimana dipahami oleh Luther masih tradisionalistis. Hal ini terutama berdasarkan penekananya yang kuat terhadap unsur nasib [takdir] di mana seseorang tetap berada pada tempatnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Tuhan. Dengan demikian, maka tidak mungkin bagi Luther untuk mengembangkan hubungan yang fundamental antara aktivitas duniawi dengan prinsip- prinsip keagamaan. Akan tetapi dengan konsep itu paling tidak Luther telah meletakan dasar yang kuat bagi pengembangan konsep tersebut selanjutnya.

Dalam perkembangannya doktrin takdir ini mengalami perkembangan, terlebih pada ajaran Calvinsime. Menurutnya hanya beberapa orang yang terpilih yang bisa terselamtkan dari kutukan dan pilihan itu sudah ditetapkan jauh sebelum Tuhan.  Alhasil muncul dua konsekuensi perkembangan yakni pertama, seseorang diwajibkan meyakini diri sendiri sebagai “orang terpilih” sehingga kurangnya keyakinan dipadang sebagai indikasi kurangnya iman. Kedua: performa kerja yang baik. Oleh karena itu kesuksesan calling dianggap sebagai sinyal/tanda [bukan alat] untuk menentukan apakah orang itu dipilih atau tidak. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.

Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia [standarnya dalah kebahagian materi] juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Meski begitu, dan ini yang penting, akumulasi kekayaan dibolehkan sejauh dikombinasikan dengan karir besar dan upaya yang sunggung-sungguh. Dikecam jika hanya dilakukan untuk menopang kehidupan mewah dan bermalas-malas.
Dengan kata lain, kapitalisme modern menuntut untuk membatasi konsumsi untuk membatasi konsumsi supaya uang yang ada itu dapat di investasikan kembali dan untuk pertumbuhan modal, menuntut kesediaan untuk tunduk pada disiplin perencanaan yang sistematis untuk tujuan-tujuan  dimasa mendatang, bekerja secara teratur  dalam suatu pekerjaan dan sebagainya. Penjelasan ini memperllihatkan hubungan yang saling mendukung antara etika protestan dan semangat kapitalisme.

Fakta Otentik dan Penyebabnya

Sisi lain manariknya buku The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism adalah Weber mampu mengawali tulisannya dengan menghadirkan fakta-fakta otentik terkait stratifikasi sosial kaitannya dengan komposisi agama yang beraneka ragam. Ada fakta yang dikemukakan Weber dan para elit agama bahwa pemimpin bisnis dan pemilik modal maupun pekerja perusahaan yang berkualitas, staf ahli yang terdidik ternyata kebanyakan dari penganut Protestan. Hal ini, kata Weber bisa di runut dari historisitas masyarakat, dan upaya membebaskan sistem ekonomi tradisional yang tentunya juga meragukan kesucian tradisi-tradisi agama.

Di luar itu, ada juga fenomena lain yang tidak bisa dijelaskan dengan cara yang sama, di mana di beberapa kawasan seperti Baden, Bavaria, Hugaria muncul kenyataan bahwa terdapat banyak orang Katholik yang memberikan pendidikan tinggi kepada anak-anak mereka. Meski begitu presentasinya masih kalah jauh dengan orang-orang Protestan. Orang-orang Khatolik lebih menyukai pelatihan [training] dibandingkan dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Padahal semua orang tahu bahwa setiap perusahaan modern membutuhkan karyawan yang memiliki keunggulan skill dengan jumlah besar.

    
                              
    




[1] Akuisisi adalah pembelian suatu perusahaan oleh perusahaan lain atau oleh kelompok investor. Akuisisi sering digunakan untuk menjaga ketersediaan pasokan bahan baku atau jaminan produk akan diserap oleh pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar