Kamis, 16 Januari 2014

Demokrasi Kosmopolitan dan Hak-Hak atas Distribusi Ekonomi

Oleh: 
Weni Syamsu Dhuha
Santri Pesantren Ciganjur,
Alumnus Pascasarjana Ekonomi
Universitas Indonesia

 Saat ini kita sering mendengar kata demokrasi. Demokrasi menjadi bagaian yang paling penting dari kehidupan manusia khususnya dalm hidup bernegara. demokrasi menjadi bagian penting dari kehidupan manusia karena menjunjung tinggi hak-hak dasar kemanusiaan. Di dalam sistem demokrasi, semua warga negara dianggap mempunyai  hak dan kewajiban yang sama, warga negara tidak lagi dibedakan berdasarkan, gologan, kasta, suku bangsa, warna kulit dan sebagainya. Demokrasi juga memungkinkan terjadinya pergantian kepemimpinan secara reguler. Periode kepemimpinan suatu  pemerintahan dalam sebuah negara dibatasi oleh rentang waktu tertentu. Hal ini bisa mencegah terjadinya absolutisme dan diktatorisme kekuasaan yang berbahaya. Karena prinsip dasar tersebutlah demokrasi sampai saat ini masih menjadi sistem terbaik dari sistem pemerintahan yang ada.

Pertumbuhan negara-negara demokrasi mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Menurut Freedom House,  jumlah negara demokrasi pada tahun 1979 hanya sekitar 32 prosen dari jumlah total negara di dunia kemudian meningkat selama dua daswarsa seiring dengan runtuhnya komunisme di Uni Soviet, reunifikasi Jerman yang ditandai dengan robohnya “Tembok Berlin” yang memisahkan Jerman Barat dengan Jerman Timur, serta perubahan sistem pemerintahan di beberapa negara Eropa Timur seperti Polandia, Hungaria, Cekoslowakia, Bulgaria dari sistem lama yang komunis sosialis ke sistem baru yang demokratis, sehingga pada tahun 1999 jumlahnya menjadi 37 persen. Sementara pada tahun 2009 jumlah ini diperkirakan mencapai 46 persen. Saat ini seiring dengan menggelindingnya demokrasi di Timur Tengah tentunya persentase jumlah negara demokrasi juga semakin bertambah pula.

Akar kata dari demokrasi sendiri berasal dari penggalan dua suku kata  yunani yaitu demos yang berarti pemerintahan dan kratos yang artinya rakyat. Jika dua suku kata tersebut diterjemahkan dalam satu rangkaian kata maka demokrasi berarti pemerintahan yang dijalankan oleh seluruh rakyat bukan oleh satu orang  satu kelompok masyarakat atau satu golongan tertentu. Abraham Lincoln dalam salah satu pidatonya menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, artinya rakyat menjadi otoritas untuk menjalankan suatu roda pemerintahan, pemberlakuan atas aturan-aturan hukum oleh “ rakyat” bukan aturan-aturan perseorangan atau individual (individual rule).

Jika dilihat dari sejarahnya, benih lahirnya demokrasi modern saat ini telah ada sejak sekitar tahun 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut seringkali rakyat berkumpul untuk mendiskusikan segala persoalan yang ada untuk diambil suatu kesepakatan. Namun demikian mayoritas para sejarawan berpendapat bahwa cikal-bakal lahirnya demokrasi modern berasal dari Yunani Kuno yang diperkirakan sekitar tahun 504  SM. Yunani pada saat itu diperkirakan memiliki beberapa negara kota atau polis. Demokrasi dipraktikkan untuk memilih salah satu wakilnya. Setiap laki-laki dan dewasa serta keturunan asli Athena ikut berpartisipasi aktif di dalamnya. Perempuan meskipun juga menjadi bagian dari warga negara dan keturunan bangsa Athena tidak memperoleh hak-hak secara politik. Demikian pula budak yang saat itu diperkirakan berjumlah dua pertiga dari penduduk Athena juga tidak mempunyai hak politik, karena mereka adalah bukan keturunan asli Athena dan mayoritas adalah warga yang kalah perang. Anak-anak tentu saja tidak dimasukkan dalam proses politik karena dianggap belum rasional.

Di milenium modern ini demokrasi telah mengalami beberapa perkembangan baik dari sisi partisipan maupun jenisnya. Dari sisi partisipannya, demokrasi tidak lagi dimonopoli oleh kaum laki-laki dewasa. Perempuan yang pada awal sejarah demokrasi hanya menjadi subordinat laki-laki, karena tidak mempunyai hak secara politik, akhirnya diakomodir hak-hak politiknya sehingga memperoleh kesempatan yang sama dalam sistem demokrasi. Dengan demikian, maka hak-hak untuk berpartisipasi aktif dalam demokrasi saat ini mencakup semua warga negara yang sudah dewasa tanpa melihat latar belakang, status sosial maupun  juga  bias terhadap gender.

Salah satu jenis demokrasi yang muncul di abad kontemporer adalah demokrasi kosmopolit. Ada beberapa teoritikus yang dikelompokkan sebagai pencetus lahirnya demokrasi kosmopolitan yang pertama adalah Chrarles Beitz, ia mengatakan bahwa prinsip global keadilan redistribusi mensyaratkan adanya redistribusi sumber-sumber alam dengan alasan bahwa distribusi sumber daya alam bersifat arbiter, karena terjadi indepedensi dan korporasi ekonomi yang meluas, maka tidak sah membatasai penerapan prinsip dasar keadilan distribusi hanya dalam garis kebangsaan sehingga intervensi ekonomi dan politik itu sah, agar menghasilkan distribusi yang adil  dan hanya negara yang adillah yang berada di bawah prinsip non intervensi.[1]

Pendapat yang kedua adalah Henry Shue yang dalam teorinya mengatakan bahwa perlu adanya distribusi ekonomi yang melintasi batas-batas negara, atas hak asasi untuk hidup subsisten yaitu suatu hak yang bersifat mendasar dan universal. Sehingga secara moral perlu dilakukan transformasi sumberdaya dan barang-barang dari orang-orang  yang berkelimpahan  kepada kelompok masyarakat yang kekurangan. Sementara Alan Goldman menegaskan bahwa   hak negara untuk memerintah sendiri sekali waktu harus disubordinasikan  pada pesyaratan moral untuk menegakan hak asasi secara universal. Sehingga intervensi suatu negara dapat dibenarkan atau sah apabila mayoritas yang menjadi penguasa menolak hak asasi kaum minoritas yang menghendaki perlindungan dari luar negeri[2].


Dari penjelasan beberapa teoritikus demokrasi kosmopolitan tersebut  setidaknya ada beberapa nilai yang bisa kita simpulkan yang merupakan bentuk perluasan dan pembaharuan dari teori demokrasi sebelumnya atau yang lebih dikenal sebagai teori demokrasi tradisional. Sisi perluasannya adalah adanya perluasan hak dasar atas atas nilai-nilai dari Hak Asasi Manusia (Human Rights). Di dalam konsep demokrasi tradisonal penegakan atas hak asasi manusia hanya terbatas pada hak tunggal yaitu adanya persamaan secara politik dan meniadakan hak-hak atas adanya distribusi ekonomi yang lebih adil dan merata. Konsep demokrasi kosmopolitan memperluas jangkauan menjadi lebih holistik dan integrative dengan memasukan pendekatan persamaan atas hak-hak ekonomi bagi seluruh umat manusia.

Secara sederhana, ketika kita merujuk kepada konsep dasar dari demokrasi kosmopolitan maka kita bisa mengatakan bahwa tanggung jawab para penegak demokrasi di dunia ini bukan hanya membebaskan dunia dari tirani-tirani diktatorisme penguasa, atau sikap-sikap politik yang bersifat represif sehingga melanggar terhadap hak-hak dasar kemanusiaan tetapi juga membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan serta bencana kelaparan. Jika ada kemiskinan dan bencana kelaparan yang melanda bagian lain dari dunia maka hal itu bukan hanya menjadi tanggung jawab negara tersebut tetapi juga menjadi tanggung umat manusia di seluruh dunia. Jika sampai saat ini negara Ethiopia, misalnya, mengalami lingkaran setan bencana kelaparan maka bukan hanya pemerintah Ethiopia atau lokal masyarakatnya yang harus membebaskan saudara-saudara mereka dari bencana kemiskinan dan kelaparan tersebut tetapi masyarakat lain di dunia ini secara global. Jadi kita bisa mengatakan bahwa negara di dunia lain akan sangat “berdosa” apabila apabila membiarkan kasus-kasus kemiskinan dan bencana kelaparan terus ada dan mengiringi perjalanan umat manusia di dunia ini termasuk di Ethiopia sebagai contoh.

Sedangkan sisi pembaharuan dari demokrasi kosmopolitan adalah pada pengakuan atas adanya  nilai-nilai moral yang bersifat  universal (universal value of morality). Maksud dari nilai yang universal adalah adanya nilai-nilai fundamental yang menyangkut prinsip-prinsip moral yang melewati batas-batas negara atau kebangsaan di mana hubungan antar bangsa harus diikat oleh nilai moral itu. Nilai-nilai universal tersebut harus ditaati dan dijadikan sebagai prinsip dasar oleh semua negara. Apabila ada negara yang tidak menerapkan nilai-nilai universal tersebut maka diperbolehkan negara lain untuk melakukan intervensi baik itu melalui jalur damai maupun penggunaan kekuatan militer. Prinsip ini tentu saja menganulir prinsip fundamental dari demokrasi tradisional terutama pemikiran Michael Walzer[3].

Sementara di dalam konsep demokarsi tradisional otonomi suatu negara bersifat absolut atau mutlak,[4] sehingga setiap negara mempunyai hak penuh untuk mengatur dirinya sendiri dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di dalam negaranya tanpa intervensi ataupun campur tangan dari pihak luar. Hubungan antarbangsa juga tidak disentuh oleh prinsip moral. Dengan demikian maka tidak ada nilai moral yang bersifat universal. Kemutlakan dari prinsip tradisonal demokrasi ini menjadi relatif dengan adanya konsep universalitas  nilai dari demokrasi kosmopolitan. Menjadi relatif karena kemutlakan dari otonomi suatau bangsa hanya berlaku selama negara tersebut menerapkan nilai-nilai universal yang diakui sebagai prinsip dasar dari kosmopolitan demokrasi. Apabila nilai-nilai universal itu dilanggar oleh negara tersebut maka secara otomatis hak-hak atas kemutlakan itu hilang artinya diperbolehkan negara lain untuk melakukan intervensi kepada negara yang bersangkutan.

Secara eksplisit  kita bisa melihat beberapa intervensi militer yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutunya menurut penulis merupakan bagian upaya  dari pemberlakuan penegakan konsep demokrasi kosmopolitan. Peristiwa pertama adalah penyerangan Amerika Serikat dan sekutunya atas Irak. Agresi militer yang dilakukan sekutu atas Irak pada awal mulanya memang terkait dengan pencaplokan Irak atas Kuwait. Irak mengklaim bahwa wilayah Kuwait yang kaya minyak dan berbatasan langsung dengan Irak merupakan bagian dari wilayah Irak pada masa lalu. Propaganda Baratlah yang kemudian membuat wilayah itu terpisah. Presiden Saddam Hussein berupaya agar wilayah tersebut dikembalikan lagi ke Irak. Merasa tidak mendapatkan respon positif dari pemerintah Kuwait lalu Irak mengirimkan tentaranya memasuki perbatasan Kuwait. Agresi militer ini menimbulkan kemarahan dan kekhawatiran para pemimpin Kuwait. Para pemimpin Kuwait tidak mungkin melawan Irak karena kalah secara persenjataan. Akhirnya mereka meminta negara-negara Barat untuk membantu melawan invasi Irak tersebut maka pecahlah perang besar di Teluk Persia untuk yang kedua kalinya yang terjadi antara pasukan Irak melawan pasukan multinasional di bawah pimpinan Amerika serikat[5]. Pasukan Irak akhirnya berhasil dipukul mundur oleh pasukan koalisi. Namun Saddam Hussein masih belum bisa ditangkap dan masih tetap berkuasa di Irak. Amerika akhirnya melakukan embargo persenjataan dan ekonomi atas Irak.

Setelah beberapa tahun isu intervensi Amerika atas Irak bergeser menjadi  isu  HAM dan demokrasi serta kepemilikan senjata pemusnah massal. Irak dituduh telah melakukan pelanggaran HAM dan bersikap diktator. Praktik diktator yang dilakukan oleh Saddam Hussein telah menimbulkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan tirani mayoritas atas minoritas. Saddam dituduh telah melakukan genosida atau pembunuhan massal atas ribuan minoritas suku Kurdi  selama berkuasa. Suku Kurdi yang bersikap oposan dan melawan rezim Saddam Hussein karena marasa bukan bagian dari negara Irak. Mereka ingin membentuk pemerintahan berdaulat Kurdi. Irak akhirnya berhasil dikuasai oleh Amerika dan pada puncaknya Saddam Hussein berhasil ditangkap dan dihukum gantung setelah diadili oleh pengadilan setempat.

Demokratisasi yang kedua adalah di Mesir. Peristiwa ini bermula ketika Hosni Mubarak untuk yang kesekian kalinya terpilih kembali menjadi presiden di Mesir, karena partai yang dipimpinya kembali memenangangkan dalam pemilu di negara tersebut. Para oposisi tidak terima dan menolak hasil tersebut mereka menuduh bahwa telah terjadi kecurangan dalam pemilu. Hosni Mubarak dituduh menggunakan cara-cara yang tidak demokratis untuk melanggengkan singgasananya. Demonstrasi besar-besaran tidak terelakkan lagi dan mendesak Hosni Mubarak untuk mundur dari jabatannya. Karena tingginya tekanan terhadap dirinya baik itu yang datang dari sebagian besar rakyat Mesir dan Barat terutama Amerika Serikat akhirnya Mubarak tidak kuasa untuk bertahan dan meletakkan jabatannya sebagai presiden.

Catatan penting lainnya dalam sejarah demokratisasi adalah yang terjadi di Libya. Intervensi militer yang dilakukan oleh Barat untuk memaksa Moammar Ghadafi mundur dari jabatannya. Moammar Ghadafi dituduh telah telah bersikap diktator dan memberangus lawan politiknya. Keadaan ini tentu saja bertentangan dengan  semangat dan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Namun Ghadafi bersikeras untuk bertahan di kursi kepresidenan. Pertempuran bersenjata tidak bisa dihindari lagi terjadi antara tentara yang loyal terhadap Ghadafi melawan oposisi yang dibantu oleh Amerika Serikat. Pertempuran ini tidak berlangsung lama karena setalah beberapa hari penguasa Libya selama 42 tahun berkuasa tersebut ditemukan telah tewas. Tewasnya Ghadafi menjadi puncak dari runtuhnya diktatorisme di Libya. Peristiwa lain yang juga menjadi konsekuensi dari globalisasi nilai-nilai demokrasi adalah yang terjadi di Tunisia yang membuat presiden Ben Ali akhirnya juga mengundurkan diri.

Harapan Baru Perluasan Konsep Ekonomi

Di dalam tulisan ini saya tidak ingin terjebak dalam kontradiksi mekanisme teknis tentang bagaimana seharusnya demokrasi kosmopolit itu diterapkan, atau siapa yang berhak menjadi hakim atau pengadil sehingga sebuah negara dikatakan sudah menerapkan prinsip-prinsip dasar kosmopolitan demokrasi atau bahkan sebaliknya telah terjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut, juga siapa yang kemudian menjadi “eksekutor” sekiranya terdapat bukti-bukti bahwa sebuah negara telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan HAM dan demokrasi, dan apakah intervensi militer yang dilakukan dalam upaya untuk menegakkan HAM dan demokrasi sesungguhnya akan menimbulkan pelanggaran  atas hak-hak asasi dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri yang selama ini telah  dijunjung tinggi. Fokus tulisan ini akan membahas tentang dampak positif dari perluasan konsep dasar dari kosmopolitan demokrasi khususnya terkait dengan persamaan dalam bidang ekonomi.

Perluasan konsep yang menjadi nilai-nilai dasar dari demokrasi kosmopolitan yang  terkait dengan  persamaan dalam bidang ekonomi menurut saya  menjadi  begitu penting karena melihat dari dua faktor utama. Faktor pertama adalah pada sisi pemerataan dan keadilan atas penghasilan ekonomi dunia sedangkan faktor kedua adalah dengan melihat dampak yang telah terjadi dari adanya kesenjangan ekonomi terhadap proses demokratisasi itu sendiri.

Salah satu harapan besar dari lahirnya konsep demokrasi ekonomi adalah  terciptanya distribusi ekonomi yang lebih adil dan merata. Semangat dari konsep ini tentu saja sangat relevan dengan kondisi ekonomi dunia yang hingga hari ini masih begitu timpang. Ada negara-negara tertentu yang secara ekonomi  mengalami kemakmuran yang luar biasa sementara pada belahan dunia lainnya bencana kelaparan dan kemiskinan senatiasa mengerayuti dan mengancam kehidupan mereka.[6]

Perembesan dari pembangunan mengalami penyumbatan-penyumbatan. Distribusi ekonomi yang diharapkan terjadi antara negara-negara di dunia masih belum berjalan baik dan optimal. Negara-negara di belahan bumi utara khususnya di Eropa Barat dan Amerika Utara termasuk juga Amerika Serikat dan Kanada atau yang dikenal sebagai negara-negara pusat ( central) memperoleh proporsi atas kue pembangunan ekonomi dunia jauh lebih besar dari pada negara di belahan dunia lainnya termasuk di sebagian Asia, Amerika Latin, dan juga negara-negara di kawasan Afrika Selatan atau yang sering disebut sebagai bagian pinggiran dari dunia ini (peripheral).

Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju cenderung lebih tinggi dari pada negara-negara dunia ketiga. Misalnya Inggris, menurut GNP perkapita tahun 2000 berdasarkan nilai dolar AS mencapai 23. 550. Demikian pula AS, pendapatan perkapita rata-rata penduduk mencapai 34.260, sementara untuk negara Amerika Latin posisi tertinggi untuk pendapatan perkapita masih diduduki oleh Argetina yang mencapai 12.090 selebihnya pendapatan di Amerika Latin kurang dari 10.000. Kondisi yang paling memprihatinkan tentu saja dialami oleh negara-negara di benua Afrika. Secara umum pendapatan perkapita rata-rata di benua tersebut masih kurang dari 5.000. Begitupun dari sisi ketimpangan di dalam sebuah negara. Ketimpangan pendapatan perkapita penduduk di negara maju cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan ketimpangan di negara berkembang[7].

Di negara-negara maju pada akhir 1990-an, sekitar 20 porsen jumlah penduduknya menikmati 86 persen atas pembagian dari penghasilan dunia. Sedangkan 20 persen dari bawah hanya menikmati 1 persen dari penghasilan dunia.[8] Begitu banyak fakta lain yang menunjukkan bagaimana konstelasi kesenjangan ekonomi masih begitu melebar. Di negara-negara berkembang jumlah dana yang dikeluarkan untuk perbaikan pendidikan dasar untuk semua hanya berkisar 6 milyar dolar pertahun. Jumlah ini tentunya masih lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran untuk pembelian kosmetik di AS yang mencapai 8 milyar dolar. Instalasi air bersih di negara-negara berkembang memerlukan dana sebesar 9 milyar dolar sementara konsumsi untuk pembelian es krim masyarakat Eropa diperkirakan mencapai 11 milyar dolar pertahun. Pemeliharaan kesehatan dasar dan nutrisi memerlukan dana sekitar 13 milyar dolar untuk negara-negara berkembang. Jumlah ini masih di bawah pengeluaran orang Eropa dan AS untuk membeli konsumsi makanan hewan piaraan mereka seperti anjing dan kuncing yang diperkirakan mencapai 17 milyar dolar pertahun.[9]

Di beberapa negara di benua Afrika hingga memasuki abad baru ini masih terus dibayangi oleh bencana kemiskinan yang begitu sulit untuk dicarikan jalan keluar. Di Afrika Selatan 16 juta orang dari tujuh wilayah terancam mati kelaparan pada setiap akhir tahunnya. Menurut laporan yang dikeluarkan oleh badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization) setiap bulanya 50.000 orang dapat terjangkit malnutrisi (gizi buruk) serta penyakit lainnya. Begitu juga yang terjadi Gwenge di wilayah Malawi Tengah, ada banyak  warga negara setempat yang meninggal secara mengenaskan akibat tidak tersedianya bahan makanan. Kenya dan Somalia juga mengalami krisis pangan yang sangat menyedihkan dan mengalami kondisi yang tidak lebih baik daripada negara-negara di Afrika Selatan lainnya.

Harapan lain dari munculnya demokrasi ekonomi adalah terciptanya  prospek demokrasi yang lebih efektif. Arsitoteles mengatakan bahwa prospek-prospek dari efektif demokrasi tergantung pada pembangunan sosial dan ekonomi. Selanjutnya Carol C Gould dalam Rethinking Democracy Freedom and Social Corporation in Politics, Economy, and Society mengatakan bahwa praktik politik yang timpang dalam demokrasi merupakan akibat dari ketimpangan wilayah-wilayah di luar politik sebagai contohnya: kemiskinan, diskriminasi dalam pendidikan serta kesempatan kerja merupakan salah satu bagiannya.

Ada beberapa fakta bahwa hubungan ekonomi yang timpang berpotensi besar untuk mendistorsi terhadap jalannya demokrasi di suatu negara. Fakta yang pertama bisa kita lihat pada permulaan awal lahirnya demokrasi di Eropa Barat. Adanya ketimpangan ekonomi yang besar yang terjadi pada saat itu berpengaruh terhadap hak-hak politik di sana. Demokratisasi di Eropa Barat ternyata pada saat itu gagal untuk mewujudkan semangat equality (persamaan) yang sesungguhnya. Awal demokrasi di sana hanya berhasil mengeser dominasi kelompok elit yang lama yang pada waktu itu dimiliki oleh kaum aristokrat dan kelompok gereja kepada elite baru yaitu kaum kapitalis borjuis, di mana kaum kapitaslis borjuis memperoleh hak-hak istimewa dengan menindas kaum miskin proletar. Kaum proletar memiliki parlemen tetapi terusir dari pabrik- pabrik tempatnya bekerja.[10]

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Afro Barometer dalam Poverty, Poverty Measurement and Democracy in South Africa tentang bagaimana hubungan antara kemiskinan dengan prospek dari penguatan pemerintah yang demokratis menemukan bahwa pertama masyarakat miskin cenderung tidak mempunyai akses terhadap media baik itu cetak maupun elektronik sehingga mengurangi hasrat mereka terhadap terhadap persoalan-persoalan yang kaitannya dengan politik. Kedua masyarakat miskin cenderung tidak memahami nilai-nilai demokrasi dan hanya melihat sebagai seperangkat dari tindakan, mereka tidak melihat demokrasi sebagai seperangkat prosedur politik untuk mencapai keputusan-keputusan. Penelitian ini juga menemukan bahwa tingkat partisipasi politik masyarakat miskin juga rendah. Mereka juga cenderung bersikap pasif untuk ikut serta dalam proses-proses politik.

Demokrasi di Indonesia

Tentunya agak kurang relevan dan cenderung memaksakan jika kita mau menderivasi pendekatan konsep kosmopolitan demokrasi ke dalam konteks Indonesia. Hal ini mengingat bahwa secara teoritis demokrasi kosmopolitan cenderung mengacu pada persoalan global demokrasi dan melibatkan hubungan antarbangsa. Namun demikian, ada beberapa unsur demokrasi kosmopolitan yang sebenarnya menjadi konsepsi dasar dari demokrasi Indonesia yang telah digagas oleh para pendiri bangsa, yaitu demokrasi yang tidak hanya menjunjung tinggi hak-hak politik semua warga negara tetapi juga menyangkut persamaan bidang ekonomi dalam “benang merah” tujuan berbangsa kita.

Secara eksplisit pemikiran para pendiri bangsa ini sudah sangat progresif di zamannya dalam melihat ke depan tentang bagaimana membuat konsep demokrasi yang tidak hanya terfokus pada persamaan dalam politik tetapi juga keseteraan dalam ekonomi. Ide tersebut terkristalisasi di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan sila-sila dari Pancasila. Nilai-nilai filosofis dari konsep demokrasi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam pasal-pasal UUD 1945.[11]

Di era reformasi ini secara legal formal demokrasi politik yang terjadi di Indonesia mengalami perkembangan yang luar biasa dibanding dengan era sebelumnya khususnya era Orde Baru. Hal ini ditandai dengan adanya kebebasan pers yang setelah sekian lama terbungkam dan hanya menjadi corong bagi pemerintah, pembubaran dwi fungsi ABRI, pemisahan TNI dan Polri, penghapusan undang-undang anti subversi, tumbuhnya banyak partai yang tahun pertama pascarezim Orde Baru partai peserta pemilu mencapai 48 partai politik dan lain sebagainya. Bahkan, pada tahun 2004 Indonesia berhasil melakukan Pemilihan Presiden secara langsung yang pertama kali sepanjang sejarah berdirinya republik ini dan menempati posisi ketiga negara demokrasi terbesar di dunia setelah  Amerika Serikat dan India. Indonesia disebut pula sebagai negara demokratis berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia.

Namun demikian, kita juga tidak boleh terlalu terlena dan berpuas diri dengan kemajuan-kemajuan yang sudah dicapai oleh bangsa ini. Karena pada faktanya dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lainnya masih juga terjadi meskipun tidak secara langsung. Kasus Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, misalnya, yang membawa bencana bagi masyarakat di hampir tiga kecamatan, di mana mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga mata pencaharian. Bahkan, mereka kehilangan sejarah mereka sendiri akibat luberan lumpur yang sampai saat ini masih belum bisa teratasi. Penyelesaian kasus ini pun berlarut-larut dan belum kelihatan ujung-pangkalnya. Masyarakat Porong yang menjadi korban atas bencana tersebut tidak mampu berbuat banyak. “Perselingkuhan” antara konglomerat dengan peguasa diindikasikan sebagai salah satu penyebab kebuntuan penyelesian kasus ini. Dari sini jelas demokrasi telah ternodai, suara masyarakat tereliminir oleh sekelompok kecil orang yang kebetulan menguasi sumber ekonomi.

Fakta ini juga diperkuat oleh adanya penelitian yang sudah ada. Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Hadiz (2005) dalam Andi Rahman Alamzah (2007) memperlihatkan bahwa demokrasi pasca-Soeharto hanya berhasil merubah kerangka institusional kekuasaan ditandai dengan banyaknya partai politik, sistem pemilu menjadi terbuka, posisi parlemen semakin menguat dan sebagainya. Namun, hubungan kekuasaan yang menopangnya belum berubah. Ia tetaplah hubungan kekuasan Orde Baru dengan karakter kapitalisme pemangsa. Yang pada masa Soeharto justru menjadi basis otoritasnya. Sebagai hasilnya demokrasi yang terbentuk erat kaitannya dengan aktor-aktor lama yang tumbuh pada kekuasaan Soeharto. Sedangkan rakyat kebanyakan seperti buruh, kelompok sipil, orang-orang di daerah, dan sebagainya berada di posisi marginal dalam proses politik yang sedang berlangsung.

Sementara terkait dengan demokrasi ekonomi sebagaimana yang menjadi bagian amanah didirikannya Republik sampai saat ini masih belum bisa dijalankan secara optimal. Pembangunan yang dihasilkan selama kurun waktu lebih dari 60 tahun pasca-proklamasi kemerdekaan menyisakan begitu banyak ketimpangan. Ketimpangan-ketimpangan tersebut bisa dilihat dari masih kontradiktifnya hasil pembangunan yang ada. Pada satu sisi, kota-kota di pulau Jawa mengalami kemajuan cukup signifikan, infrastruktur di bangun di mana-mana, gedung-gedung dan pusat perkantoran serta sarana publik lainnya megah berdiri. Bahkan, diperkirakan hampir 75 persen peredaran uang setiap harinya terjadi di ibu kota provinsi. Sementara daerah-daerah lain yang jauh dari pusat pemerintahan khususnya di pedesaan dan luar pulau Jawa, pembangunan infrastruktur dan sarana kebutuhan publik lainnya masih sangat minim. Jalan-jalan di sana sebagian besar masih berupa batu dan tanah.

Demikian pula tingkat kesejahteraaan, kendatipun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan cukup siginifikan pada Maret 2011, misalnya, jumlah penduduk miskin  diperkirakan turun sebesar satu juta orang atau 3, 2 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya[12]. Namun, BPS juga mencatat bahwa terdapat setidaknya 27,12 juta jiwa penduduk Indonesia yang berada pada kondisi hampir miskin. Dengan demikian, apabila masyarakat yang hampir miskin ini tidak bisa diselamatkan kondisinya menjadi lebih sejahtera maka diperkirakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia akan mengalami peningkatkan jumlah kemiskinan sekitar 10 persen dari jumlah sebelumnya.

Kesimpulan

Demokrasi sejak kelahirannya pertama kali sampai saat ini terus mengalami perkembangan dan perubahan. Salah satu demokrasi yang muncul di abad modern ini adalah demokrasi kosmopolitan. Secara konseptual demokrasi kosmopolitan merupakan pembaharuan dari demokrasi tradisional. Demokrasi ini secara kosepsi tentu lebih holistik dan integral. Hal ini dikarenakan demokrasi tersebut menyandingkan hak-hak atas distribusi ekonomi bersama dan selaras dengan hak-hak atas persamaan politik. Demokrasi kosmopolitan juga menegasikan konsep lama tentang absolutisme suatu negara di bawah hak-hak asasi yang bersifat universal.

Lahirnya konsep demokrasi kosmopolitan tentunya sangat memberikan harapan baru bagi tatanan dunia yang lebih adil terutama yang terkait dengan distribusi ekonominya. Manfaat lain yang diharapkan dari adanya demokrasi kosmopolitan adalah prospek terhadap penegakan demokrasi itu sendiri. Banyak teori dan fakta-fakta yang mendukung bahwa kualitas dari demokrasi yang sesungguhnya akan tercapai dengan lebih baik di dalam masyarakat yang secara ekonomi telah mencapai tingkat kemakmuran dan distribusi ekonomi yang lebih merata.

Di Indonesia, ide demokrasi ada dua unsur yang jika dikontekstualisasikan sesuai dengan ide dasar dari demokrasi kosmopolitan yaitu adanya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang menjadi konsep besar (grand design) atas konsep demokrasi. Di era reformasi ini demokrasi politik di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan meskipun belum optimal. Sementara pada sisi demokrasi ekonominya, hasil pembangunan yang telah dilakukan selama lebih dari setengah abad ini masih menyisakan ketimpangan. Ketimpangan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya dan juga ketimpangan pemerataan pendapatan perkapita masyarakat. (*)


Daftar Pustaka

Afro Barometer dalam Poverty, Poverty Measurement and Democracy in South Africa
Anhar Gongong dalam  Sekarno dan Demokrasi di Indonesia hal 8 Jurnal Demokrasi dan HAM tahun 2005
Arlian Buana Crissandi yang berjudul Tinjauan Kristis Strukturalisme Terhadap Kebijakan Ekonomi Indonesia
Carol C Gould dalam Rethinking Democarcy Freedom and Social Coorporetaion in Politics, Economy and Society
Michel P. Todaro dan Stephen C.  Smith pembangunan ekonomi didunia ketiga edisi kedalam terjemahan
David Held




[1] Carol C Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali, h. 313
[2] Carol C Gould, Demokrai Ditinjau Kembali, h. 313. Lebih lanjut dalam buku tersebut, Gould juga menyebut tokoh lain yang menjadi penggiat dari teori demokrasi kosmopolit di antaranya adalah David Lubban, Richard Wassestrom, dan Gerald doppelt.
[3] Carol C Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali,  h. 311
[4] Salah satu pencetus filsafat politik tradisonal adalah Thomas Hobbes.
[5] Perang Teluk yang pertama terjadi antara Irak dengan Iran. Perang ini oleh beberapa pihak merupakan bagian dari ketegangan politik yang terjadi antara Blok Barat dan Blok Timur pada saat itu. Ketegangan ini nampak atas dukungan Amerika Serikat kepada Irak dan Uni Sovyet kepada Iran.
[6] Bank Dunia menggunakan ukuran pendapatan Dolar Amerika Serikat untuk mengukur tingkat kemiskinan. UNDP memperluas ukuran kemiskinan pendapatan Bank Dunia dengan ukuran kemiskinan manusia. UNDP selanjutnya membentuk apa yang dinamakan Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index). Indeks Kemiskinan Manusia mengukur kemiskinan manusia berdasarkan tiga hal. Lebih dari 30 persen penduduk negara-negara miskin hidup kurang dari 40 tahun (Life Expectancy). Pendidikan dasar di mana mengukur berapa persen jumlah masyarakat dewasa yang buta huruf (Iliteracy). Economic Provisioning yang mengukur berapa persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih ditambah persentase anak di bawah lima tahun yang kekurangan berat badan.
[7] Data ini diperoleh dari bukunya Michel P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, edisi ke dalam terjemahan. Hal 61
Jumlah negara maju sampai saat ini juga masih didominasi oleh negara-negara Eropa dan Amerika Utara, meskipun ada beberapa negara di Asia termasuk dalam kategorisasi ini namun jumlahnya tidak besar. Sedangkan negara-negara di Benua Afrika dan Amerika Latin sebagian besar masih dalam taraf berkembang dan bahkan miskin.
[8] Dikutip dari tulisan Arlian Buana Crissandi yang berjudul Tinjauan Kritis Strukturalisme Terhadap Kebijakan Ekonomi Indonesia
[9] Dikutip dari tulisan Arlian Buana Crissandi yang berjudul Tinjauan Kristis Strukturalisme Terhadap Kebijakan Ekonomi Indonesia
[10] Anhar Gonggong dalam Soekarno dan Demokrasi di Indonesia, Jurnal Demokrasi dan HAM tahun 2005, h. 8
[11] Konsep tentang hak-hak politik d warga negara dijamin oleh pasal 28 UUD 1945. Sedangkan hak-hak ekonominya pada pasal 33.
[12] Penduduk miskin menurut BPS adalah masyarakat yang pengeluaran per bulannya sebesar atau kurang dari Rp 233.740 per kapita atau sekitar 0,85 dolar AS per kapita per hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar