Oleh:
Weni Syamsu Dhuha
Santri Pesantren Ciganjur,
Alumnus Pascasarjana Ekonomi
Universitas Indonesia
Saat ini kita sering mendengar kata demokrasi.
Demokrasi menjadi bagaian yang paling penting dari kehidupan manusia khususnya
dalm hidup bernegara. demokrasi menjadi bagian penting dari kehidupan manusia
karena menjunjung tinggi hak-hak dasar kemanusiaan. Di dalam sistem demokrasi, semua
warga negara dianggap mempunyai hak dan
kewajiban yang sama, warga negara tidak lagi dibedakan berdasarkan, gologan,
kasta, suku bangsa, warna kulit dan sebagainya. Demokrasi juga memungkinkan
terjadinya pergantian kepemimpinan secara reguler. Periode kepemimpinan
suatu pemerintahan dalam sebuah negara
dibatasi oleh rentang waktu tertentu. Hal ini bisa mencegah terjadinya
absolutisme dan diktatorisme kekuasaan yang berbahaya. Karena prinsip dasar
tersebutlah demokrasi sampai saat ini masih menjadi sistem terbaik dari sistem
pemerintahan yang ada.
Pertumbuhan negara-negara demokrasi
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Menurut Freedom House, jumlah negara demokrasi pada tahun 1979 hanya
sekitar 32 prosen dari jumlah total negara di dunia kemudian meningkat selama
dua daswarsa seiring dengan runtuhnya komunisme di Uni Soviet, reunifikasi
Jerman yang ditandai dengan robohnya “Tembok Berlin” yang memisahkan Jerman
Barat dengan Jerman Timur, serta perubahan sistem pemerintahan di beberapa
negara Eropa Timur seperti Polandia, Hungaria, Cekoslowakia, Bulgaria dari sistem
lama yang komunis sosialis ke sistem baru yang demokratis, sehingga pada tahun 1999
jumlahnya menjadi 37 persen. Sementara pada tahun 2009 jumlah ini diperkirakan
mencapai 46 persen. Saat ini seiring dengan menggelindingnya demokrasi di Timur
Tengah tentunya persentase jumlah negara demokrasi juga semakin bertambah pula.
Akar kata dari demokrasi sendiri
berasal dari penggalan dua suku kata
yunani yaitu demos yang berarti pemerintahan dan kratos
yang artinya rakyat. Jika dua suku kata tersebut diterjemahkan dalam satu rangkaian
kata maka demokrasi berarti pemerintahan yang dijalankan oleh seluruh rakyat
bukan oleh satu orang satu kelompok
masyarakat atau satu golongan tertentu. Abraham Lincoln dalam salah satu
pidatonya menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, artinya rakyat menjadi otoritas untuk
menjalankan suatu roda pemerintahan, pemberlakuan atas aturan-aturan hukum oleh
“ rakyat” bukan aturan-aturan perseorangan atau individual (individual rule).
Jika dilihat dari sejarahnya, benih
lahirnya demokrasi modern saat ini telah ada sejak sekitar tahun 4000 SM di
Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara kota yang
independen. Di setiap negara kota tersebut seringkali rakyat berkumpul untuk
mendiskusikan segala persoalan yang ada untuk diambil suatu kesepakatan. Namun
demikian mayoritas para sejarawan berpendapat bahwa cikal-bakal lahirnya
demokrasi modern berasal dari Yunani Kuno yang diperkirakan sekitar tahun
504 SM. Yunani pada saat itu
diperkirakan memiliki beberapa negara kota atau polis. Demokrasi dipraktikkan
untuk memilih salah satu wakilnya. Setiap laki-laki dan dewasa serta keturunan
asli Athena ikut berpartisipasi aktif di dalamnya. Perempuan meskipun juga
menjadi bagian dari warga negara dan keturunan bangsa Athena tidak memperoleh
hak-hak secara politik. Demikian pula budak yang saat itu diperkirakan
berjumlah dua pertiga dari penduduk Athena juga tidak mempunyai hak politik,
karena mereka adalah bukan keturunan asli Athena dan mayoritas adalah warga
yang kalah perang. Anak-anak tentu saja tidak dimasukkan dalam proses politik
karena dianggap belum rasional.
Di milenium modern ini demokrasi
telah mengalami beberapa perkembangan baik dari sisi partisipan maupun
jenisnya. Dari sisi partisipannya, demokrasi tidak lagi dimonopoli oleh kaum laki-laki
dewasa. Perempuan yang pada awal sejarah demokrasi hanya menjadi subordinat
laki-laki, karena tidak mempunyai hak secara politik, akhirnya diakomodir
hak-hak politiknya sehingga memperoleh kesempatan yang sama dalam sistem
demokrasi. Dengan demikian, maka hak-hak untuk berpartisipasi aktif dalam demokrasi
saat ini mencakup semua warga negara yang sudah dewasa tanpa melihat latar
belakang, status sosial maupun juga bias terhadap gender.
Salah satu jenis demokrasi yang
muncul di abad kontemporer adalah demokrasi kosmopolit. Ada beberapa teoritikus
yang dikelompokkan sebagai pencetus lahirnya demokrasi kosmopolitan yang
pertama adalah Chrarles Beitz, ia mengatakan bahwa prinsip global keadilan
redistribusi mensyaratkan adanya redistribusi sumber-sumber alam dengan alasan
bahwa distribusi sumber daya alam bersifat arbiter, karena terjadi indepedensi
dan korporasi ekonomi yang meluas, maka tidak sah membatasai penerapan prinsip
dasar keadilan distribusi hanya dalam garis kebangsaan sehingga intervensi
ekonomi dan politik itu sah, agar menghasilkan distribusi yang adil dan hanya negara yang adillah yang berada di bawah
prinsip non intervensi.[1]
Pendapat yang kedua adalah Henry
Shue yang dalam teorinya mengatakan bahwa perlu adanya distribusi ekonomi yang
melintasi batas-batas negara, atas hak asasi untuk hidup subsisten yaitu suatu
hak yang bersifat mendasar dan universal. Sehingga secara moral perlu dilakukan
transformasi sumberdaya dan barang-barang dari orang-orang yang berkelimpahan kepada kelompok masyarakat yang kekurangan.
Sementara Alan Goldman menegaskan bahwa
hak negara untuk memerintah sendiri sekali waktu harus
disubordinasikan pada pesyaratan moral
untuk menegakan hak asasi secara universal. Sehingga intervensi suatu negara
dapat dibenarkan atau sah apabila mayoritas yang menjadi penguasa menolak hak asasi
kaum minoritas yang menghendaki perlindungan dari luar negeri[2].
Dari penjelasan beberapa teoritikus
demokrasi kosmopolitan tersebut setidaknya
ada beberapa nilai yang bisa kita simpulkan yang merupakan bentuk perluasan dan
pembaharuan dari teori demokrasi sebelumnya atau yang lebih dikenal sebagai
teori demokrasi tradisional. Sisi perluasannya adalah adanya perluasan hak
dasar atas atas nilai-nilai dari Hak Asasi Manusia (Human Rights). Di dalam konsep demokrasi tradisonal penegakan atas
hak asasi manusia hanya terbatas pada hak tunggal yaitu adanya persamaan secara
politik dan meniadakan hak-hak atas adanya distribusi ekonomi yang lebih adil
dan merata. Konsep demokrasi kosmopolitan memperluas jangkauan menjadi lebih
holistik dan integrative dengan memasukan pendekatan persamaan atas hak-hak ekonomi
bagi seluruh umat manusia.
Secara sederhana, ketika kita
merujuk kepada konsep dasar dari demokrasi kosmopolitan maka kita bisa mengatakan
bahwa tanggung jawab para penegak demokrasi di dunia ini bukan hanya
membebaskan dunia dari tirani-tirani diktatorisme penguasa, atau sikap-sikap
politik yang bersifat represif sehingga melanggar terhadap hak-hak dasar
kemanusiaan tetapi juga membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan serta
bencana kelaparan. Jika ada kemiskinan dan bencana kelaparan yang melanda
bagian lain dari dunia maka hal itu bukan hanya menjadi tanggung jawab negara
tersebut tetapi juga menjadi tanggung umat manusia di seluruh dunia. Jika
sampai saat ini negara Ethiopia, misalnya, mengalami lingkaran setan bencana
kelaparan maka bukan hanya pemerintah Ethiopia atau lokal masyarakatnya yang
harus membebaskan saudara-saudara mereka dari bencana kemiskinan dan kelaparan
tersebut tetapi masyarakat lain di dunia ini secara global. Jadi kita bisa
mengatakan bahwa negara di dunia lain akan sangat “berdosa” apabila apabila
membiarkan kasus-kasus kemiskinan dan bencana kelaparan terus ada dan
mengiringi perjalanan umat manusia di dunia ini termasuk di Ethiopia sebagai
contoh.
Sedangkan sisi pembaharuan dari
demokrasi kosmopolitan adalah pada pengakuan atas adanya nilai-nilai moral yang bersifat universal (universal
value of morality). Maksud dari
nilai yang universal adalah adanya nilai-nilai fundamental yang menyangkut
prinsip-prinsip moral yang melewati batas-batas negara atau kebangsaan di mana
hubungan antar bangsa harus diikat oleh nilai moral itu. Nilai-nilai universal
tersebut harus ditaati dan dijadikan sebagai prinsip dasar oleh semua negara.
Apabila ada negara yang tidak menerapkan nilai-nilai universal tersebut maka
diperbolehkan negara lain untuk melakukan intervensi baik itu melalui jalur damai
maupun penggunaan kekuatan militer. Prinsip ini tentu saja menganulir prinsip
fundamental dari demokrasi tradisional terutama pemikiran Michael Walzer[3].
Sementara di dalam konsep demokarsi
tradisional otonomi suatu negara bersifat absolut atau mutlak,[4]
sehingga setiap negara mempunyai hak penuh untuk mengatur dirinya sendiri dan
menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di dalam negaranya tanpa
intervensi ataupun campur tangan dari pihak luar. Hubungan antarbangsa juga
tidak disentuh oleh prinsip moral. Dengan demikian maka tidak ada nilai moral
yang bersifat universal. Kemutlakan dari prinsip tradisonal demokrasi ini
menjadi relatif dengan adanya konsep universalitas nilai dari demokrasi kosmopolitan. Menjadi
relatif karena kemutlakan dari otonomi suatau bangsa hanya berlaku selama
negara tersebut menerapkan nilai-nilai universal yang diakui sebagai prinsip
dasar dari kosmopolitan demokrasi. Apabila nilai-nilai universal itu dilanggar
oleh negara tersebut maka secara otomatis hak-hak atas kemutlakan itu hilang
artinya diperbolehkan negara lain untuk melakukan intervensi kepada negara yang
bersangkutan.
Secara eksplisit kita bisa melihat beberapa intervensi militer
yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutunya menurut penulis merupakan
bagian upaya dari pemberlakuan penegakan
konsep demokrasi kosmopolitan. Peristiwa pertama adalah penyerangan Amerika Serikat
dan sekutunya atas Irak. Agresi militer yang dilakukan sekutu atas Irak pada
awal mulanya memang terkait dengan pencaplokan Irak atas Kuwait. Irak mengklaim
bahwa wilayah Kuwait yang kaya minyak dan berbatasan langsung dengan Irak
merupakan bagian dari wilayah Irak pada masa lalu. Propaganda Baratlah yang
kemudian membuat wilayah itu terpisah. Presiden Saddam Hussein berupaya agar
wilayah tersebut dikembalikan lagi ke Irak. Merasa tidak mendapatkan respon
positif dari pemerintah Kuwait lalu Irak mengirimkan tentaranya memasuki
perbatasan Kuwait. Agresi militer ini menimbulkan kemarahan dan kekhawatiran
para pemimpin Kuwait. Para pemimpin Kuwait tidak mungkin melawan Irak karena
kalah secara persenjataan. Akhirnya mereka meminta negara-negara Barat untuk
membantu melawan invasi Irak tersebut maka pecahlah perang besar di Teluk Persia
untuk yang kedua kalinya yang terjadi antara pasukan Irak melawan pasukan
multinasional di bawah pimpinan Amerika serikat[5].
Pasukan Irak akhirnya berhasil dipukul mundur oleh pasukan koalisi. Namun
Saddam Hussein masih belum bisa ditangkap dan masih tetap berkuasa di Irak.
Amerika akhirnya melakukan embargo persenjataan dan ekonomi atas Irak.
Setelah beberapa tahun isu
intervensi Amerika atas Irak bergeser menjadi
isu HAM dan demokrasi serta kepemilikan
senjata pemusnah massal. Irak dituduh telah melakukan pelanggaran HAM dan
bersikap diktator. Praktik diktator yang dilakukan oleh Saddam Hussein telah
menimbulkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan tirani mayoritas atas
minoritas. Saddam dituduh telah melakukan genosida atau pembunuhan massal atas ribuan
minoritas suku Kurdi selama berkuasa. Suku
Kurdi yang bersikap oposan dan melawan rezim Saddam Hussein karena marasa bukan
bagian dari negara Irak. Mereka ingin membentuk pemerintahan berdaulat Kurdi. Irak
akhirnya berhasil dikuasai oleh Amerika dan pada puncaknya Saddam Hussein
berhasil ditangkap dan dihukum gantung setelah diadili oleh pengadilan
setempat.
Demokratisasi yang kedua adalah di
Mesir. Peristiwa ini bermula ketika Hosni Mubarak untuk yang kesekian kalinya
terpilih kembali menjadi presiden di Mesir, karena partai yang dipimpinya
kembali memenangangkan dalam pemilu di negara tersebut. Para oposisi tidak
terima dan menolak hasil tersebut mereka menuduh bahwa telah terjadi kecurangan
dalam pemilu. Hosni Mubarak dituduh menggunakan cara-cara yang tidak demokratis
untuk melanggengkan singgasananya. Demonstrasi besar-besaran tidak terelakkan
lagi dan mendesak Hosni Mubarak untuk mundur dari jabatannya. Karena tingginya
tekanan terhadap dirinya baik itu yang datang dari sebagian besar rakyat Mesir
dan Barat terutama Amerika Serikat akhirnya Mubarak tidak kuasa untuk bertahan
dan meletakkan jabatannya sebagai presiden.
Catatan penting lainnya dalam
sejarah demokratisasi adalah yang terjadi di Libya. Intervensi militer yang
dilakukan oleh Barat untuk memaksa Moammar Ghadafi mundur dari jabatannya. Moammar
Ghadafi dituduh telah telah bersikap diktator dan memberangus lawan politiknya.
Keadaan ini tentu saja bertentangan dengan semangat dan nilai-nilai demokrasi dan HAM.
Namun Ghadafi bersikeras untuk bertahan di kursi kepresidenan. Pertempuran
bersenjata tidak bisa dihindari lagi terjadi antara tentara yang loyal terhadap
Ghadafi melawan oposisi yang dibantu oleh Amerika Serikat. Pertempuran ini
tidak berlangsung lama karena setalah beberapa hari penguasa Libya selama 42
tahun berkuasa tersebut ditemukan telah tewas. Tewasnya Ghadafi menjadi puncak
dari runtuhnya diktatorisme di Libya. Peristiwa lain yang juga menjadi konsekuensi
dari globalisasi nilai-nilai demokrasi adalah yang terjadi di Tunisia yang
membuat presiden Ben Ali akhirnya juga mengundurkan diri.
Harapan Baru Perluasan Konsep Ekonomi
Di dalam tulisan ini saya tidak
ingin terjebak dalam kontradiksi mekanisme teknis tentang bagaimana seharusnya
demokrasi kosmopolit itu diterapkan, atau siapa yang berhak menjadi hakim atau
pengadil sehingga sebuah negara dikatakan sudah menerapkan prinsip-prinsip
dasar kosmopolitan demokrasi atau bahkan sebaliknya telah terjadi pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip tersebut, juga siapa yang kemudian menjadi “eksekutor”
sekiranya terdapat bukti-bukti bahwa sebuah negara telah melakukan tindakan
yang bertentangan dengan HAM dan demokrasi, dan apakah intervensi militer yang
dilakukan dalam upaya untuk menegakkan HAM dan demokrasi sesungguhnya akan
menimbulkan pelanggaran atas hak-hak asasi
dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri yang selama ini telah dijunjung tinggi. Fokus tulisan ini akan
membahas tentang dampak positif dari perluasan konsep dasar dari kosmopolitan
demokrasi khususnya terkait dengan persamaan dalam bidang ekonomi.
Perluasan konsep yang menjadi
nilai-nilai dasar dari demokrasi kosmopolitan yang terkait dengan persamaan dalam bidang ekonomi menurut
saya menjadi begitu penting karena melihat dari dua faktor
utama. Faktor pertama adalah pada sisi pemerataan dan keadilan atas penghasilan
ekonomi dunia sedangkan faktor kedua adalah dengan melihat dampak yang telah
terjadi dari adanya kesenjangan ekonomi terhadap proses demokratisasi itu
sendiri.
Salah satu harapan besar dari lahirnya
konsep demokrasi ekonomi adalah
terciptanya distribusi ekonomi yang lebih adil dan merata. Semangat dari
konsep ini tentu saja sangat relevan dengan kondisi ekonomi dunia yang hingga hari
ini masih begitu timpang. Ada negara-negara tertentu yang secara ekonomi mengalami kemakmuran yang luar biasa
sementara pada belahan dunia lainnya bencana kelaparan dan kemiskinan senatiasa
mengerayuti dan mengancam kehidupan mereka.[6]
Perembesan dari pembangunan
mengalami penyumbatan-penyumbatan. Distribusi ekonomi yang diharapkan terjadi
antara negara-negara di dunia masih belum berjalan baik dan optimal.
Negara-negara di belahan bumi utara khususnya di Eropa Barat dan Amerika Utara
termasuk juga Amerika Serikat dan Kanada atau yang dikenal sebagai
negara-negara pusat ( central)
memperoleh proporsi atas kue pembangunan ekonomi dunia jauh lebih besar dari
pada negara di belahan dunia lainnya termasuk di sebagian Asia, Amerika Latin,
dan juga negara-negara di kawasan Afrika Selatan atau yang sering disebut
sebagai bagian pinggiran dari dunia ini (peripheral).
Pertumbuhan ekonomi negara-negara
maju cenderung lebih tinggi dari pada negara-negara dunia ketiga. Misalnya
Inggris, menurut GNP perkapita tahun 2000 berdasarkan nilai dolar AS mencapai
23. 550. Demikian pula AS, pendapatan perkapita rata-rata penduduk mencapai
34.260, sementara untuk negara Amerika Latin posisi tertinggi untuk pendapatan
perkapita masih diduduki oleh Argetina yang mencapai 12.090 selebihnya
pendapatan di Amerika Latin kurang dari 10.000. Kondisi yang paling
memprihatinkan tentu saja dialami oleh negara-negara di benua Afrika. Secara
umum pendapatan perkapita rata-rata di benua tersebut masih kurang dari 5.000.
Begitupun dari sisi ketimpangan di dalam sebuah negara. Ketimpangan pendapatan
perkapita penduduk di negara maju cenderung lebih kecil jika dibandingkan
dengan ketimpangan di negara berkembang[7].
Di negara-negara maju pada akhir 1990-an,
sekitar 20 porsen jumlah penduduknya menikmati 86 persen atas pembagian dari
penghasilan dunia. Sedangkan 20 persen dari bawah hanya menikmati 1 persen dari
penghasilan dunia.[8]
Begitu banyak fakta lain yang menunjukkan bagaimana konstelasi kesenjangan
ekonomi masih begitu melebar. Di negara-negara berkembang jumlah dana yang
dikeluarkan untuk perbaikan pendidikan dasar untuk semua hanya berkisar 6
milyar dolar pertahun. Jumlah ini tentunya masih lebih kecil dibandingkan
dengan pengeluaran untuk pembelian kosmetik di AS yang mencapai 8 milyar dolar.
Instalasi air bersih di negara-negara berkembang memerlukan dana sebesar 9
milyar dolar sementara konsumsi untuk pembelian es krim masyarakat Eropa diperkirakan
mencapai 11 milyar dolar pertahun. Pemeliharaan kesehatan dasar dan nutrisi
memerlukan dana sekitar 13 milyar dolar untuk negara-negara berkembang. Jumlah ini
masih di bawah pengeluaran orang Eropa dan AS untuk membeli konsumsi makanan
hewan piaraan mereka seperti anjing dan kuncing yang diperkirakan mencapai 17
milyar dolar pertahun.[9]
Di beberapa negara di benua Afrika hingga
memasuki abad baru ini masih terus dibayangi oleh bencana kemiskinan yang begitu
sulit untuk dicarikan jalan keluar. Di Afrika Selatan 16 juta orang dari tujuh
wilayah terancam mati kelaparan pada setiap akhir tahunnya. Menurut laporan
yang dikeluarkan oleh badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization) setiap bulanya 50.000 orang dapat terjangkit
malnutrisi (gizi buruk) serta penyakit lainnya. Begitu juga yang terjadi Gwenge
di wilayah Malawi Tengah, ada banyak warga
negara setempat yang meninggal secara mengenaskan akibat tidak tersedianya
bahan makanan. Kenya dan Somalia juga mengalami krisis pangan yang sangat
menyedihkan dan mengalami kondisi yang tidak lebih baik daripada negara-negara
di Afrika Selatan lainnya.
Harapan lain dari munculnya
demokrasi ekonomi adalah terciptanya
prospek demokrasi yang lebih efektif. Arsitoteles mengatakan bahwa
prospek-prospek dari efektif demokrasi tergantung pada pembangunan sosial dan
ekonomi. Selanjutnya Carol C Gould dalam Rethinking
Democracy Freedom and Social Corporation in Politics, Economy, and Society mengatakan
bahwa praktik politik yang timpang dalam demokrasi merupakan akibat dari
ketimpangan wilayah-wilayah di luar politik sebagai contohnya: kemiskinan,
diskriminasi dalam pendidikan serta kesempatan kerja merupakan salah satu
bagiannya.
Ada beberapa fakta bahwa hubungan
ekonomi yang timpang berpotensi besar untuk mendistorsi terhadap jalannya
demokrasi di suatu negara. Fakta yang pertama bisa kita lihat pada permulaan
awal lahirnya demokrasi di Eropa Barat. Adanya ketimpangan ekonomi yang besar
yang terjadi pada saat itu berpengaruh terhadap hak-hak politik di sana. Demokratisasi
di Eropa Barat ternyata pada saat itu gagal untuk mewujudkan semangat equality
(persamaan) yang sesungguhnya. Awal demokrasi di sana hanya berhasil mengeser
dominasi kelompok elit yang lama yang pada waktu itu dimiliki oleh kaum aristokrat
dan kelompok gereja kepada elite baru yaitu kaum kapitalis borjuis, di mana
kaum kapitaslis borjuis memperoleh hak-hak istimewa dengan menindas kaum miskin
proletar. Kaum proletar memiliki parlemen tetapi terusir dari pabrik- pabrik
tempatnya bekerja.[10]
Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Afro Barometer dalam Poverty,
Poverty Measurement and Democracy in South Africa tentang bagaimana
hubungan antara kemiskinan dengan prospek dari penguatan pemerintah yang
demokratis menemukan bahwa pertama masyarakat miskin cenderung tidak mempunyai
akses terhadap media baik itu cetak maupun elektronik sehingga mengurangi
hasrat mereka terhadap terhadap persoalan-persoalan yang kaitannya dengan
politik. Kedua masyarakat miskin cenderung tidak memahami nilai-nilai demokrasi
dan hanya melihat sebagai seperangkat dari tindakan, mereka tidak melihat
demokrasi sebagai seperangkat prosedur politik untuk mencapai keputusan-keputusan.
Penelitian ini juga menemukan bahwa tingkat partisipasi politik masyarakat
miskin juga rendah. Mereka juga cenderung bersikap pasif untuk ikut serta dalam
proses-proses politik.
Demokrasi di Indonesia
Tentunya agak kurang relevan dan
cenderung memaksakan jika kita mau menderivasi pendekatan konsep kosmopolitan
demokrasi ke dalam konteks Indonesia. Hal ini mengingat bahwa secara teoritis
demokrasi kosmopolitan cenderung mengacu pada persoalan global demokrasi dan
melibatkan hubungan antarbangsa. Namun demikian, ada beberapa unsur demokrasi
kosmopolitan yang sebenarnya menjadi konsepsi dasar dari demokrasi Indonesia
yang telah digagas oleh para pendiri bangsa, yaitu demokrasi yang tidak hanya
menjunjung tinggi hak-hak politik semua warga negara tetapi juga menyangkut persamaan
bidang ekonomi dalam “benang merah” tujuan berbangsa kita.
Secara eksplisit pemikiran para
pendiri bangsa ini sudah sangat progresif di zamannya dalam melihat ke depan
tentang bagaimana membuat konsep demokrasi yang tidak hanya terfokus pada
persamaan dalam politik tetapi juga keseteraan dalam ekonomi. Ide tersebut
terkristalisasi di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan sila-sila dari Pancasila.
Nilai-nilai filosofis dari konsep demokrasi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam
pasal-pasal UUD 1945.[11]
Di era reformasi ini secara legal
formal demokrasi politik yang terjadi di Indonesia mengalami perkembangan yang
luar biasa dibanding dengan era sebelumnya khususnya era Orde Baru. Hal ini
ditandai dengan adanya kebebasan pers yang setelah sekian lama terbungkam dan
hanya menjadi corong bagi pemerintah, pembubaran dwi fungsi ABRI, pemisahan TNI
dan Polri, penghapusan undang-undang anti subversi, tumbuhnya banyak partai
yang tahun pertama pascarezim Orde Baru partai peserta pemilu mencapai 48
partai politik dan lain sebagainya. Bahkan, pada tahun 2004 Indonesia berhasil
melakukan Pemilihan Presiden secara langsung yang pertama kali sepanjang
sejarah berdirinya republik ini dan menempati posisi ketiga negara demokrasi
terbesar di dunia setelah Amerika
Serikat dan India. Indonesia disebut pula sebagai negara demokratis berpenduduk
mayoritas muslim terbesar di dunia.
Namun demikian, kita juga tidak
boleh terlalu terlena dan berpuas diri dengan kemajuan-kemajuan yang sudah
dicapai oleh bangsa ini. Karena pada faktanya dominasi suatu kelompok terhadap
kelompok lainnya masih juga terjadi meskipun tidak secara langsung. Kasus
Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, misalnya, yang membawa bencana bagi masyarakat
di hampir tiga kecamatan, di mana mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal,
tetapi juga mata pencaharian. Bahkan, mereka kehilangan sejarah mereka sendiri
akibat luberan lumpur yang sampai saat ini masih belum bisa teratasi. Penyelesaian
kasus ini pun berlarut-larut dan belum kelihatan ujung-pangkalnya. Masyarakat Porong
yang menjadi korban atas bencana tersebut tidak mampu berbuat banyak.
“Perselingkuhan” antara konglomerat dengan peguasa diindikasikan sebagai salah
satu penyebab kebuntuan penyelesian kasus ini. Dari sini jelas demokrasi telah
ternodai, suara masyarakat tereliminir oleh sekelompok kecil orang yang kebetulan
menguasi sumber ekonomi.
Fakta ini juga diperkuat oleh adanya
penelitian yang sudah ada. Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Hadiz
(2005) dalam Andi Rahman Alamzah (2007) memperlihatkan bahwa demokrasi pasca-Soeharto
hanya berhasil merubah kerangka institusional kekuasaan ditandai dengan
banyaknya partai politik, sistem pemilu menjadi terbuka, posisi parlemen
semakin menguat dan sebagainya. Namun, hubungan kekuasaan yang menopangnya belum
berubah. Ia tetaplah hubungan kekuasan Orde Baru dengan karakter kapitalisme
pemangsa. Yang pada masa Soeharto justru menjadi basis otoritasnya. Sebagai
hasilnya demokrasi yang terbentuk erat kaitannya dengan aktor-aktor lama yang
tumbuh pada kekuasaan Soeharto. Sedangkan rakyat kebanyakan seperti buruh,
kelompok sipil, orang-orang di daerah, dan sebagainya berada di posisi marginal
dalam proses politik yang sedang berlangsung.
Sementara terkait dengan demokrasi
ekonomi sebagaimana yang menjadi bagian amanah didirikannya Republik sampai
saat ini masih belum bisa dijalankan secara optimal. Pembangunan yang dihasilkan
selama kurun waktu lebih dari 60 tahun pasca-proklamasi kemerdekaan menyisakan
begitu banyak ketimpangan. Ketimpangan-ketimpangan tersebut bisa dilihat dari
masih kontradiktifnya hasil pembangunan yang ada. Pada satu sisi, kota-kota di pulau
Jawa mengalami kemajuan cukup signifikan, infrastruktur di bangun di mana-mana,
gedung-gedung dan pusat perkantoran serta sarana publik lainnya megah berdiri.
Bahkan, diperkirakan hampir 75 persen peredaran uang setiap harinya terjadi di
ibu kota provinsi. Sementara daerah-daerah lain yang jauh dari pusat
pemerintahan khususnya di pedesaan dan luar pulau Jawa, pembangunan infrastruktur
dan sarana kebutuhan publik lainnya masih sangat minim. Jalan-jalan di sana
sebagian besar masih berupa batu dan tanah.
Demikian pula tingkat
kesejahteraaan, kendatipun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah
penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan cukup siginifikan pada Maret
2011, misalnya, jumlah penduduk miskin
diperkirakan turun sebesar satu juta orang atau 3, 2 persen dibandingkan
periode yang sama pada tahun sebelumnya[12].
Namun, BPS juga mencatat bahwa terdapat setidaknya 27,12 juta jiwa penduduk
Indonesia yang berada pada kondisi hampir miskin. Dengan demikian, apabila masyarakat
yang hampir miskin ini tidak bisa diselamatkan kondisinya menjadi lebih
sejahtera maka diperkirakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia akan
mengalami peningkatkan jumlah kemiskinan sekitar 10 persen dari jumlah
sebelumnya.
Kesimpulan
Demokrasi sejak kelahirannya pertama
kali sampai saat ini terus mengalami perkembangan dan perubahan. Salah satu
demokrasi yang muncul di abad modern ini adalah demokrasi kosmopolitan. Secara
konseptual demokrasi kosmopolitan merupakan pembaharuan dari demokrasi
tradisional. Demokrasi ini secara kosepsi tentu lebih holistik dan integral. Hal
ini dikarenakan demokrasi tersebut menyandingkan hak-hak atas distribusi
ekonomi bersama dan selaras dengan hak-hak atas persamaan politik. Demokrasi
kosmopolitan juga menegasikan konsep lama tentang absolutisme suatu negara di bawah
hak-hak asasi yang bersifat universal.
Lahirnya konsep demokrasi
kosmopolitan tentunya sangat memberikan harapan baru bagi tatanan dunia yang
lebih adil terutama yang terkait dengan distribusi ekonominya. Manfaat lain
yang diharapkan dari adanya demokrasi kosmopolitan adalah prospek terhadap
penegakan demokrasi itu sendiri. Banyak teori dan fakta-fakta yang mendukung
bahwa kualitas dari demokrasi yang sesungguhnya akan tercapai dengan lebih baik
di dalam masyarakat yang secara ekonomi telah mencapai tingkat kemakmuran dan
distribusi ekonomi yang lebih merata.
Di Indonesia, ide demokrasi ada dua unsur
yang jika dikontekstualisasikan sesuai dengan ide dasar dari demokrasi kosmopolitan
yaitu adanya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang menjadi konsep besar (grand design) atas konsep demokrasi. Di era reformasi ini demokrasi politik
di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan meskipun belum
optimal. Sementara pada sisi demokrasi ekonominya, hasil pembangunan yang telah
dilakukan selama lebih dari setengah abad ini masih menyisakan ketimpangan.
Ketimpangan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya dan juga ketimpangan
pemerataan pendapatan perkapita masyarakat. (*)
Artikel Terkait
- Salam Redaksi
- Riset Redaksi
- Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
- Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
- Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
- Demokrasi Deliberatif
- Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
- Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
- Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
- Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
- Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
- Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
- Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
- Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)
Daftar Pustaka
Afro Barometer dalam Poverty,
Poverty Measurement and Democracy in South Africa
Anhar Gongong dalam
Sekarno dan Demokrasi di Indonesia hal 8 Jurnal Demokrasi dan HAM tahun
2005
Arlian Buana Crissandi yang berjudul Tinjauan Kristis
Strukturalisme Terhadap Kebijakan Ekonomi Indonesia
Carol C Gould dalam Rethinking
Democarcy Freedom and Social Coorporetaion in Politics, Economy and Society
Michel P. Todaro dan Stephen C. Smith pembangunan ekonomi didunia ketiga
edisi kedalam terjemahan
David Held
[1] Carol C
Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali, h. 313
[2] Carol C Gould,
Demokrai Ditinjau Kembali, h. 313. Lebih lanjut dalam buku tersebut,
Gould juga menyebut tokoh lain yang menjadi penggiat dari teori demokrasi
kosmopolit di antaranya adalah David Lubban, Richard Wassestrom, dan Gerald
doppelt.
[3] Carol C
Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali, h. 311
[4] Salah satu
pencetus filsafat politik tradisonal adalah Thomas Hobbes.
[5] Perang
Teluk yang pertama terjadi antara Irak dengan Iran. Perang ini oleh beberapa
pihak merupakan bagian dari ketegangan politik yang terjadi antara Blok Barat
dan Blok Timur pada saat itu. Ketegangan ini nampak atas dukungan Amerika Serikat
kepada Irak dan Uni Sovyet kepada Iran.
[6] Bank
Dunia menggunakan ukuran pendapatan Dolar Amerika Serikat untuk mengukur
tingkat kemiskinan. UNDP memperluas ukuran kemiskinan pendapatan Bank Dunia dengan
ukuran kemiskinan manusia. UNDP selanjutnya membentuk apa yang dinamakan Indeks
Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index).
Indeks Kemiskinan Manusia mengukur kemiskinan manusia berdasarkan tiga hal.
Lebih dari 30 persen penduduk negara-negara miskin hidup kurang dari 40 tahun (Life Expectancy). Pendidikan dasar
di mana mengukur berapa persen jumlah masyarakat dewasa yang buta huruf (Iliteracy). Economic Provisioning yang mengukur berapa persentase penduduk
yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih ditambah
persentase anak di bawah lima tahun yang kekurangan berat badan.
[7] Data ini
diperoleh dari bukunya Michel P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan
Ekonomi Di Dunia Ketiga, edisi ke dalam terjemahan. Hal 61
Jumlah
negara maju sampai saat ini juga masih didominasi oleh negara-negara Eropa dan
Amerika Utara, meskipun ada beberapa negara di Asia termasuk dalam kategorisasi
ini namun jumlahnya tidak besar. Sedangkan negara-negara di Benua Afrika dan
Amerika Latin sebagian besar masih dalam taraf berkembang dan bahkan miskin.
[8] Dikutip
dari tulisan Arlian Buana Crissandi yang berjudul Tinjauan Kritis
Strukturalisme Terhadap Kebijakan Ekonomi Indonesia
[9] Dikutip
dari tulisan Arlian Buana Crissandi yang berjudul Tinjauan Kristis
Strukturalisme Terhadap Kebijakan Ekonomi Indonesia
[10] Anhar
Gonggong dalam Soekarno dan Demokrasi di Indonesia, Jurnal Demokrasi dan
HAM tahun 2005, h. 8
[11] Konsep
tentang hak-hak politik d warga negara dijamin oleh pasal 28 UUD 1945. Sedangkan
hak-hak ekonominya pada pasal 33.
[12] Penduduk
miskin menurut BPS adalah masyarakat yang pengeluaran per bulannya sebesar atau
kurang dari Rp 233.740 per kapita atau sekitar 0,85 dolar AS per kapita per
hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar