Oleh:
Wawan Kurniawan
Santri Pesantren Ciganjur,
Mahasiswa LIPIA Jakarta
Pendahuluan
Di antara beberapa nilai yang disandingkan dengan demokrasi,
tampaknya tak ada yang lebih sering dilekatkan kepadanya selain nilai
kebebasan. “Kebebasan adalah dasar dari konstitusi demokratis” kata
Aristoteles. Kuatnya gelombang tuntutan-tuntutan akan demokrasi di berbagai
belahan dunia akhir-akhir ini juga mengatakan hal yang sama: tuntutan akan
kebebasan. Kebebasan yang dimaksud dalam konteks terakhir ini biasanya adalah
kebebasan dari rezim kekuasaan yang otoriter atau totaliter. Kebebasan dalam
makna ini kemudian termanifestasikan dalam kebebasan berpendapat, berekspresi,
berpartisipasi dalam politik, dan yang semacamnya.
Namun demikian, tidak berarti bahwa persoalan kebebasan
dan demokrasi telah selesai begitu saja. Lebih dari itu, pandangan yang
mendalam dapat membuktikan betapa kebebasan itu sendiri suatu ketika dapat
menggerogoti demokrasi dan, sebaliknya, demokrasi juga dapat menekan kebebasan.
Sebagai contoh, kebebasan berpartisipasi dalam area politik, karena begitu kuat
ketergantungannya pada sarana material dan sosial, hanya dapat secara efektif
dinikmati segelintir orang. Ini berarti bahwa “kekuasaan oleh rakyat”, sebagai
salah satu sendi demokrasi, hanyalah omong kosong. Beberapa kasus terkait
kebebasan beragama di negeri ini juga memperlihatkan kompleksitas persoalan
kebebasan dan demokrasi yang dalam hal ini berupa hubungan mayoritas dan
minoritas.
Dalam rangka itu, tulisan ini akan coba menelisik hakikat
dan hubungan antara kebebasan dengan demokrasi ditinjau dari perspektif
filsafat politik. Untuk kepentingan ini, penulis memilih dua pemikir dari jalur
berbeda. Pertama, Isaiah Berlin, dalam esainya “Dua Konsep Kebebasan” (Two
Concepts of Liberty),[1]
dan Carol C. Gould, dalam bukunya “Demokrasi Ditinjau Kembali”.[2]
Berlin, sebagai seorang liberal, dipilih karena kontribusinya tentang kebebasan
yang telah dikenal luas dan cukup berpengaruh. Sementara itu, sebagai
pembanding, dipilih Gould karena, di antara beberapa pengkritik Berlin[3],
ia bisa dibilang satu-satunya pemikir yang berusaha keras membangun teori utuh
demokrasi berangkat dari konsepsi kebebasan.
Kesimpulan sementara dari tulisan ini adalah bahwa
konsepsi berbeda mengenai kebebasan mempengaruhi, secara umum, bentuk
pemerintahan apa yang dipilih, dan, secara khusus, juga mempengaruhi pandangan
terhadap demokrasi. Tulisan ini akan dimulai dengan uraian mengenai pemikiran
Berlin. Pemikiran Gould menyusul setelahnya. Dalam catatan akhir, penulis akan
coba memberikan kesimpulan tulisan ini, disertai beberapa tanggapan terhadapnya.
Marilah kita mulai dengan membaca uraian tentang pemikiran Berlin.
Membela Kebebasan ‘Negatif’: Pemikiran Isaiah Berlin
Dalam esai “Dua Konsep Kebebasan”, Berlin berusaha
membedakan antara dua konsep kebebasan, yakni kebebasan “negatif” dan kebebasan
“positif”. Lebih dari itu, ia juga berusaha menunjukkan kelemahan-kelemahan
konsep kebebasan “positif”, dan membela kebebasan “negatif”.
Menurut Berlin, kebebasan dalam makna “negatif” (negative
liberty) merupakan kebebasan dari (freedom from)[4].
Pertanyaan yang coba dijawab oleh kebebasan “negatif” adalah dalam area
apakah sang subjek, baik individu maupun kelompok, seharusnya dibiarkan untuk
berbuat, atau apa yang dapat ia lakukan, tanpa campur-tangan orang lain. Atau,
singkat kata, “di area mana saya adalah tuan?”.[5]
Ia merujuk pada ke-tiada-an (absence) campur-tangan, atau penindasan.[6]
Dalam makna ini, seseorang dapat dikatakan bebas sejauh pilihannya, baik yang
potensial maupun yang aktual, tidak dihalang-halangi atau tidak dicampurtangani
oleh orang lain. Jadi, semakin luas wilayah kehidupan yang di situ seorang
individu tidak dihalang-halangi atau tidak dicampurtangani, semakin luas pula
wilayah kebebasannya.[7]
Semakin seseorang dapat memilih melakukan keinginannya, tanpa campurtangan atau
paksaan dari orang lain,[8]
semakin tinggi tingkat kebebasannya.
Sementara itu, kebebasan dalam makna “positif” (positive
liberty) adalah kebebasan untuk (freedom to).[9]
Ia adalah jawaban bagi pertanyaan “Apa, atau siapa, yang merupakan sumber
kontrol atau campur tangan yang dapat menentukan seseorang untuk melakukan atau
menghendaki hal ini dan bukan hal itu?”[10]
atau, lebih singkatnya, “siapa yang merupakan tuan?”[11]
Dengan demikian, ia merujuk kepada ada-nya kontrol oleh diri sendiri,
bukan oleh orang lain. Seseorang dapat dikatakan bebas dalam makna “positif”
bila ia bebas untuk mengatur kehidupannya sendiri. Tingkat
kebebasannya tergantung pada sejauh mana ia menjadi pemilik, pengatur, dan
pelaksana kehidupannya sendiri, dan tidak dimiliki, diatur, atau menjadi sarana
untuk kehendak orang lain.[12]
Pemaknaan kebebasan secara demikian mempunyai konsekuensi
politik yang berbeda. Kebebasan dari melapangkan banyak peluang yang
mungkin dipilih dan dijalani seseorang. Sedangkan kebebasan untuk, yang
mengesahkan diri sendiri sebagai otoritas tunggal, cenderung memilihkan mana peluang
yang mesti dilewati dan mana yang tidak semestinya dilewati. Bila kebebasan
“negatif” cenderung membukakan banyak pintu, maka kebebasan “positif” cenderung
menentukan mana pintu yang layak dimasuki.
Kedua makna kebebasan ini, secara ideal-normatif, sah dan
perlu. Tanpa kebebasan dari, kehidupan sosial-politik akan menjadi ruang
sempit dan pengap. Sebab, pilihan-pilihan tindakan yang mungkin dipilih dan
dijalani akan sangat sedikit dan kecil. Kreativitas dan keragaman, tanpa
kebebasan “negatif”, akan sangat mungkin dicap sebagai penyimpangan atau
bid’ah. Sementara itu, tanpa kebebasan untuk, kehidupan bermasyarakat
hampir mustahil dilangsungkan. Suatu tata kehidupan yang karut-marut atau chaos
sedikit sekali kemungkinan --untuk tidak menyatakan mustahil sama sekali-- terelakkan
tanpa kebebasan “positif”. Dengan demikian, keseimbangan antara kedua jenis
kebebasan itu jelas merupakan suatu kondisi yang sempurna dan ideal.
Berlin mengakui bahwa ide tentang dua makna kebebasan ini
tidak jauh berlainan. Keduanya tampak seperti “konsep-konsep yang secara
logis tidak dapat dipisahkan satu sama lain-yang tidak lebih merupakan
suatu bentuk negatif dan positif untuk mengatakan hal yang sama”.[13]
Tapi, Berlin juga menegaskan bahwa masing-masing macam kebebasan ini mengandung
kemungkinan untuk diselewengkan menjadi sesuatu yang berlawanan dengan dirinya
sendiri. Pembelaan terhadap konsepsi kebebasan “negatif “, demikian Berlin,
telah sering digunakan sebagai dalih untuk membenarkan berbagai kebijakan yang
melegitimasi penindasan kejam oleh yang kuat atas yang lemah. Pada akhirnya,
pembenaran dan penindasan semacam itu justru balik melanggar kebebasan negatif
itu sendiri. Kata Berlin:
“ ...kejahatan dari laissez-faire
yang tak dibatasi, dan dari berbagai sistem sosial dan legal yang mengizinkan
dan mendukungnya, menyebabkan pelanggaran yang keras terhadap kebebasan
negatif-yakni terhadap hak-hak dasar manusia (yang selalu merupakan gagasan
‘negatif’: suatu tembok terhadap para penindas).“[14]
Sementara
itu, kebebasan positif, menurut Berlin, benar-benar telah disalah-arahkan
menjadi pemujaan otoritas, “salah satu fenomena paling lazim dan paling suram
dari masa kita”.[15]
Dan tampaknya karena hal inilah, Berlin merasakan kebutuhan mendesak untuk
lebih banyak menyingkap penyelewengan kebebasan “positif” ketimbang
penyelewengan kebebasan “negatif”.[16]
Maksudnya, bila dalam ‘Dua Konsep Kebebasan’ itu Berlin jauh lebih
banyak menguraikan penyelewengan kebebasan “positif”, itu bukan karena
kebebasan “negatif” pada dirinya sendiri lebih baik dan lebih universal dari
pada kebebasan ”positif”, melainkan karena merebaknya pemujaan pada otoritas
pada zaman itulah yang bagi Berlin meminta demikian. Lalu, bagaimanakah Berlin
menjelaskan sekaligus mempertanggungjawabkan klaimnya bahwa kebebasan positif
benar-benar telah diselewengkan, bahkan oleh para teoritisinya sendiri? Mari
kita tinjau barang sedikit mengenai hal ini.
Pertama-tama,
perlu digarisbawahi bahwa Berlin memandang beragam pandangan mengenai kebebasan
dapat diturunkan secara langsung dari berbagai pandangan mengenai diri (self),
pribadi, dan manusia. Ini berarti bahwa penyelewengan konsepsi kebebasan, tak
terkecuali kebebasan positif, dapat dilacak dari konsepsi mengenai manusia yang
mendasari penyelewengan tersebut.[17]
Para
teoritisi yang menyalah-artikan kebebasan “positif” menurut Berlin telah mulai
membuat penyelewengan ketika mereka mengasumsikan keterbelahan diri manusia ke
dalam dua bagian yang saling bertentangan: diri yang “sejati” (real self)
dan diri yang “tidak sejati”. Diri “sejati” adalah diri yang berkuasa, diri
yang dikenali sebagai akal-budi, sebagai yang luhur, yang “nyata”, yang memperkirakan
dan mengantisipasi apa yang dalam jangka panjang menguntungkan. Sedangkan diri
yang tidak “sejati” adalah diri yang dikuasai, yang “lebih rendah”, diri yang
dikenali sebagai dorongan-dorongan yang tidak rasional dan mengejar kesenangan
sesaat, diri yang “empiris”. Tidak hanya sampai di sini, diri sejati tersebut
kemudian, demikian Berlin, dibengkakkan sampai pada tahap entitas- dapat berupa
negara, kelas, bangsa, dan lainnya-yang, karena begitu luasnya, di situ
individu dipandang sebagai unsur penyusun belaka. Diri “sejati” yang telah
dibengkakkan ini, untuk sampai pada kebebasannya yang lebih tinggi, menjadikan
kehendak tunggalnya sebagai satu-satunya pilihan bagi seluruh individu yang
bernaung di bawahnya dan memaksa mereka yang membangkang agar taat dan setia
pada kehendak yang dianggap sebagai kehendak bersama itu. Menurut Berlin, tepat
pada titik inilah ditemukan penindasan oleh beberapa orang atas orang lain atas
nama kepentingan mereka yang ditindas, atas nama kebaikan yang, seandainya
mereka yang ditindas lebih bijak dan lebih berpengetahuan, akan mereka pilih
secara sadar.[18]
Dari
uraian singkat ini, dapat dipahami kiranya bahwa, pada dasarnya, yang Berlin kritik
adalah apa yang dianggapnya sebagai penyelewengan kebebasan positif oleh
beberapa pemikir, berikut asumsi-asumsi metafisik dan filosofis para pemikir
tersebut. Sambil demikian, Berlin mengkampanyekan dan mempertahankan
pendiriannya sendiri mengenai kebebasan individual.
Sampai
di sini, mari kita kembali mengintrodusir pertanyaan kunci tulisan ini:
bagaimana konsepsi Berlin mengenai demokrasi? Bagaimana pula hubungan kebebasan
individual yang dibelanya itu dengan demokrasi?
Secara
umum, Berlin percaya bahwa pemerintahan yang demokratis adalah bagian dari “kebutuhan
manusia yang mendasar, sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri”.[19]
Berlin mengakui bahwa demokrasi, dibanding rezim yang lain, memberikan jaminan
lebih terhadap kebebasan individual. Karena itu, demokrasi pada dirinya sendiri
dibela oleh kaum libertarian.[20]
Meski demikian, Berlin tetap melihat demokrasi sebagai satu dari sekian jawaban
atas pertanyaan “siapa yang memerintah saya?”. Ini berarti bahwa Berlin
meletakkan demokrasi sebagai bagian dari kebebasan “positif”.[21]
Konsekuensi pandangan sedemikian ini, tegas Berlin, adalah bahwa demokrasi,
dalam sekali waktu, dapat tidak bersesuaian dengan kebebasan. Hubungan antara
kebebasan individual dengan demokrasi tidak bersifat niscaya.[22]
Artinya, pernyataan bahwa semakin demokratis suatu pemerintahan, semakin bebas
pula warganya adalah keliru.
Benar
memang, dengan pandangannya ini, Berlin berbeda pandangan dari sekian banyak
rekan liberalnya dan telah membuat marah sebagian pengkritik Berlin sendiri.[23]
Pasalnya, bila benar bahwa kaitan antara kebebasan dan demokrasi tidak bersifat
niscaya, maka ada saat tertentu di mana kebebasan "negatif” dengan
terbatas dapat dinikmati dalam suatu pemerintahan yang demokratis tapi minus
toleransi, namun justru lebih dapat dinikmati secara luas di bawah pemerintahan
seorang despot. Dan memang inilah yang diyakini Berlin. Bukti yang diajukannya
adalah bahwa Sokrates, yang dipenjara dan kemudian dihukum mati oleh suatu
rezim demokratis, akan lebih banyak mempunyai dan menikmati kebebasan bilamana
ia mau keluar dan lari dari rezim kala itu.[24]
Bila
ini benar –yakni bahwa demokrasi dapat, dalam suatu kondisi tertentu, menindas
kebebasan individual– maka jelas dibutuhkan suatu dasar lain yang dengannya
masyarakat yang bebas dapat diwujudkan, terlepas dari bentuk pemerintahan dalam
masyarakat tersebut.
Kebebasan
Positif sebagai Pengembangan Diri: Pemikiran Carol Gould
Carol
C. Gould adalah satu dari sekian pemikir yang telah mengajukan kritik terhadap
pandangan-pandangan Berlin dalam “Dua Konsep Kebebasan”. Bahkan, mungkin
bisa dibilang kritik yang diajukannya tergolong menyeluruh. Sebab, tak hanya
kritik yang ia ajukan, melainkan juga alternatif berikut
konsekuensi-konsekuensi dari alternatif tersebut. Semua itu ia lakukan dengan
tujuan memperluas demokrasi, dari hanya demokrasi politik, menuju demokrasi
ekonomi, sosial, dan budaya. Penulis akan coba memulai uraian pemikiran Gould
dengan kritiknya terhadap pandangan Berlin mengenai kebebasan.
Pada
dasarnya, Gould tidak menolak pembelahan kebebasan ke dalam kebebasan “negatif”
dan kebebasan “positif” seperti yang telah dipopulerkan kembali oleh Berlin. Ia
bahkan mengadopsi pembelahan tersebut dan memberikan makna yang berbeda,
terkhusus kepada kebebasan “positif”. Jadi, yang ia tolak adalah pemaknaan Berlin
tentang kedua kebebasan itu.
Dalam
pemahaman Gould, Berlin mendukung kebebasan “negatif” dan mengartikannya sebagai
“ketiadaan halangan luar”, dan menolak kebebasan “positif” karena cenderung
mengarah ke rezim yang totaliter dan menggunakan paksaan dalam melancarkan
kehendaknya.[25]
Namun, pemaknaan kebebasan “negatif” sebagai hanya “ketiadaan halangan luar”
menurut Gould telah menghilangkan dua arti mendasar dari kebebasan. Pertama,
pandangan semacam ini mengabaikan sarana yang dibutuhkan untuk mewujudkan
secara aktual pilihan-pilihan yang telah dimungkinkan secara potensial dengan
tiadanya hambatan luar itu. Berlin sendiri pada hakikatnya menyatakan bahwa
kebebasan “negatif”, bagaimanapun, harus dibedakan dari dari kondisi-kondisi
yang diperlukan untuk mewujudkannya dan bahwa kebebasan “negatif”, tanpa
kondisi-kondisi itu, tiada atau kecil artinya. Gould menganggap bahwa Berlin
benar ketika memisahkan kebebasan dari kondisi pewujudnya, namun keliru ketika
memisahkan kondisi “positif” ini, demikian Gould menyebutnya, dari makna yang
utuh dari kebebasan. Sebab, argumen Gould, makna utuh dari kebebasan tidak hanya
mensyaratkan ketiadaan (“negatif”)-penghalang, namun juga ada (“positif”)-nya
kondisi-kondisi yang memungkinkan kebebasan itu diwujudkan. Kritik Gould kedua
terhadap kebebasan “negatif” Berlin adalah bahwa dalam hubungan dengan
kebebasan memilih, kebebasan “negatif” dengan arti sedemikian telah mengabaikan
perkembangan yang mungkin terjadi pada seseorang disebabkan perbuatannya, di
samping juga mengabaikan perlunya tujuan dan rencana jangka panjang.[26]
Lebih
jelasnya, Gould memaknai kebebasan sebagai terdiri dari dua bagian. Pertama,
kemampuan memilih di antara pelbagai alternatif tindakan yang mungkin. Inilah
yang disebutnya sebagai kepelakuan. Semua manusia mempunyai kemampuan ini
secara sama. Kemampuan ini sifatnya abstrak. Ia akan tampak dalam tindakan
konkrit sehari-hari, yang di dalamnya terkandung kecenderungan atau tujuan
tertentu. Jadi, menurut Gould, setiap tindakan manusia adalah hasil pemilihan.
Pada taraf ini, Gould memposisikan kebebasan “negatif” sebagai kondisi yang
diperlukan untuk tindakan. Maksudnya, seseorang seyogyanya dibiarkan memilih
sendiri apa yang akan diperbuatnya tanpa (“negatif”) dicampurtangani atau
didikte apa yang harus menjadi pilihannya. Sampai di sini, Gould masih terlihat
sejalan dengan Berlin.
Ia
mulai berbeda darinya ketika mengintrodusir kebebasan “positif” sebagai
kebebasan pengembangan diri. Inilah bagian kedua kebebasan menurut Gould. Pengembangan
diri yang dimaksudnya adalah pengembangan kualitas atau karakter seorang
individu oleh dirinya sendiri. Ini makna pertama pengembangan diri. Makna kedua,
yang lebih serius dari makna pertama, adalah diraihnya tujuan atau kebutuhan
jangka panjang.[27]
Dengan
menilik kedua makna pengembangan diri ini, dapat dipahami kiranya bahwa subyek
pengembangan diri adalah individu, bukan kelas, bangsa, atau semisalnya.
Konsekuensinya, penentuan pengembangan diri macam manakah yang sesuai dengan
seorang individu sepenuhnya diserahkan pada pilihan masing-masing individu. Namun,
ini tidak berarti bahwa Gould, dengan konsepsi semacam ini, menjatuhkan
pemihakannya pada individualisme dan bahwa konsepsinya adalah satu dari sekian
varian individualisme. Baik individualisme maupun apa yang diidentifikasi
Berlin sebagai “penggelembungan metafisis” atas diri ditolak oleh Gould. Individualitas
dalam konsepsi Gould adalah individualitas-sosial. Kata Gould:
“..individu-individu yang bersangkutan
tidaklah saling terpisah, melainkan lebih merupakan orang yang bermasyarakat.
Artinya, mereka mengekspresikan siapa dirinya dan menjadi apa yang
diinginkannya dengan perantaraan hubungan-hubungannya dengan orang lain.”[28]
Konsepsi
mengenai individualitas-sosial ini akan semakin dikenali bila diperhatikan
bahwa Gould memposisikan resiprositas atau ketimbal-balikan sosial dan kerja
sama, yang adalah bagian dari sarana sosial, sebagai syarat bagi pengembangan
diri. Resiprositas sosial adalah suatu bentuk hubungan sosial yang di dalamnya
individu-individu, di samping mengakui atas kebebasan dan kesetaraan, saling
memahami dan menghormati pelaku lain dan tujuannya. Salah satu bentuk
resiprositas sosial ini, menurut Gould, adalah kerja sama, yakni dalam maknanya
yang kental, suatu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh lebih dari satu individu
dan mempunyai tujuan bersama.
Di
samping itu, dapat juga dipahami betapa pengembangan diri tidak dicapai dengan
sekali jadi, melainkan melalui serangkaian tindakan yang saling berkelanjutan.
Ada proses panjang yang, meski dapat berbeda dari satu individu ke individu
yang lain, perlu dilewati untuk membuat diri manusia berkembang. Pada tingkat
ini, Gould menyatakan bahwa kebutuhan terhadap sarana material dan sosial untuk
pengembangan diri menjadi tak terelakkan.
Sebelum
melangkah pada diskusi mengenai konsepsi umum Gould mengenai demokrasi, pada
titik ini, pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah darimana konsepsi
pengembangan diri ini berasal? Menurut Gould, konsepsi pengembangan diri diasaskan
pada fakta bahwa manusia dalam rentang kehidupannya yang panjang cenderung ke
arah pengembangan diri. Ide pengembangan diri “memancar dari sifat dasar
aktivitas manusia”[29].
Dengan ini, Gould hendak menyatakan bahwa norma pengembangan diri bukanlah
norma yang dipaksakan oleh suatu otoritas di luar manusia. Ia justru, lanjut
Gould, berakar dari diri manusia itu sendiri, yaitu tindakannya.
Setelah
melihat, meski sekilas, konsepsi Gouldian tentang kebebasan di atas, kini
saatnya memasuki problematika dasar tulisan ini: apa konsepsi Gould tentang
demokrasi? Dan, bagaimana kaitan gagasannya mengenai kebebasan itu dengan
gagasannya mengenai demokrasi?
Perlu
dikemukakan terlebih dahulu bahwa pandangan Gould diwarnai ketakpuasan terhadap
teori tradisional mengenai demokrasi, yaitu demokrasi liberal. Dalam pemahaman
Gould, demokrasi liberal mengasumsikan bahwa individu-individu dalam suatu
masyarakat politik memiliki hak dan kebebasan yang sama. Individu-individu itu,
terlepas dari kedudukan sosial dan ekonomi mereka, berhak untuk berperan
sebagai wakil atau yang diwakili dalam membuat keputusan politik. Inilah
sasaran ketidakpuasan Gould pada demokrasi liberal, yaitu bahwa demokrasi liberal
membatasi demokrasi hanya pada ranah politik. Gould meyakini bahwa penyempitan
demokrasi hanya pada ranah politik ini diasaskan pada gagasan kebebasan
“negatif” yang pada akhirnya membatasi tugas negara hanya sebatas mencegah
penggunaan kebebasan oleh seorang individu yang bertujuan mencelakai atau
mengganggu kebebasan individu lainnya.[30]
Dari
ketakpuasan ini, lahir kritik Gould pada demokrasi liberal. Kritik itu bisa
diringkas pada dua hal. Pertama, suatu pemerintahan seringkali mengintervensi
persoalan-persoalan yang secara keseluruhan adalah persoalan ekonomi. Hal ini,
bagi Gould, menandai adanya jurang yang menganga lebar antara teori dan praktik
demokrasi liberal. Kedua, asumsi demokrasi liberal, bahwa semua individu
mempunyai hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, hanya
bersifat formal dan tidak terjadi dalam kenyataan sehari-hari. Yang terjadi dan
seringkali ditemui adalah eksklusivitas partisipasi politik hanya pada kalangan
yang “berpunya”, baik secara ekonomi maupun sosial. Menurut Gould, ini bermula
dari kenyataan bahwa teori demokrasi liberal melupakan pengaruh non-politik,
semisal ekonomi dan sosial, yang dapat mempengaruhi jalannya proses politik itu
sendiri. Pengaruh ini semakin terlihat dalam realitas politik kontemporer di
mana partisipasi politik sangat bergantung pada akses pada sarana ekonomi dan
sosial.[31]
Dari
kritik ini, Gould merasa perlu akan adanya suatu teori demokrasi alternatif,
yakni teori yang tidak membatasi demokrasi melulu pada ranah politik, namun
juga merambah ranah sosial dan ekonomi. Dan, tepat inilah yang hendak
diusahakan oleh Gould. Jadi, apa yang dilakukannya, pada dasarnya, adalah
memperluas wilayah demokrasi.
Apa
yang penting sejauh ini adalah argumen yang Gould ajukan untuk memperkokoh
dasar demokrasi yang diperluas itu. Argumen itu ia derivasikan, meski tak
langsung, dari konsepsinya mengenai
kebebasan. Secara rekonstruktif, argumen itu kurang lebih dapat dinyatakan
sebagai berikut: apa yang membuat manusia sebagai manusia adalah bahwa ia
bebas. Setiap manusia setara dalam hal kebebasannya dan dalam mewujudkan
kebebasan itu. Di samping itu, setiap manusia mempunyai hak yang sama terhadap
kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mewujudkan kebebasan. Sementara itu,
kegiatan bersama adalah salah satu kondisi yang diperlukan untuk menerapkan
kebebasan. Suatu kegiatan disebut kegiatan bersama jika, dan hanya jika,
individu-individu yang terlibat di dalamnya mempunyai hak yang sama untuk
mengambil peran dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kegiatan
bersama itu. Bila demikian, maka setiap individu yang terlibat dalam suatu
kegiatan bersama, yang mencakup baik kegiatan bersama dalam hal ekonomi,
politik, maupun sosial, mempunyai hak yang sama untuk berpartisipasi dalam
menentukan berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan bersama tersebut.
Sejauh
argumen Gould ini dapat diterima, konsekuensi yang dihasilkannya menuntut
perluasan konsepsi mengenai apa yang menjadi tugas negara. Dari hanya menjamin
kebebasan dan hak kesetaraan partisipasi politik, seperti dalam konsepsi
liberal, tugas negara pada akhirnya mencakup kewajiban menyediakan sarana
sosial dan material yang diperlukan untuk pengembangan diri para warganya. Tak
hanya itu, di luar pemerintahan, konsekwensi argumen ini juga merambah setiap
organisasi yang lebih kecil skalanya dari negara. Yakni, hak untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan adalah milik setiap individu yang
terlibat di dalam organisasi tersebut, dan, sejauh dimungkinkan, bentuk dan
proses partisipasi itu dilaksanakan secara langsung.
Catatan
Akhir
Ada
dua konsep kebebasan dalam wacana filsafat politik: kebebasan “negatif” dan “kebebasan
positif”. Dalam pemikiran Berlin, kebebasan “negatif” berarti ke-tiada-an
halangan eksternal, sedangkan kebebasan “positif” berarti adanya kontrol oleh
diri sendiri. Berlin memperingatkan penyelewengan kebebasan “positif” dan
mengkampanyekan kebebasan “negatif”. Implikasinya adalah bahwa setiap jenis
pemerintahan dapat menyempitkan kebebasan, tak terkecuali demokrasi. Oleh
karena itu, masih diperlukan syarat lain untuk membangun suatu masyarakat
bebas.
Sementara
itu, Carol C. Gould menilai bahwa konsep kebebasan a la Berlin masih
abstrak dan formal. Untuk itu, Carol memasukkan ketersediaan sarana pemungkin
kebebasan dalam kebebasan “positif”, yang dimaknai sebagai pengembangan diri.
Kebebasan negatif menjadi kondisi penting bagi kebebasan positif dalam makna
tersebut. Implikasi politiknya adalah bahwa demokrasi mutlak diperlukan untuk
menjamin dua kebebasan itu.
Beberapa
catatan dapat diberikan di sini. Pertama, baik kebebasan “negatif” maupun
kebebasan “positif” pada dasarnya dapat dilekatkan pada individu. Untuk
kebebasan “negatif”, poin ini mungkin telah jelas. Sebab, baik dalam pemikiran
Berlin maupun Gould, kebebasan “negatif” selalu individual. Demikian juga
dengan kebebasan “positif” dalam pemikiran Gould. Sebab, ia tidak
mengidentifikasi kebebasan “positif” pada subyek yang mengatasi individu. Ia
senantiasa menekankan bahwa kebebasan adalah kebebasan individu, yang dimengertinya
sebagai individu-dalam-hubungan. Sementara itu, kebebasan “positif” pada
tingkat individu dalam pemikiran Berlin dapat dipahami secara samar atau secara
implisit. Bilamana Berlin menekankan bahwa kebebasan “positif” telah diselewengkan
ketika ia dinisbatkan kepada entitas abstrak yang mengatasi individu, maka,
sebaliknya, tentu bukan penyelewengan bila ia dilekatkan pada taraf individu.
Dan itu berarti Berlin secara tak langsung mengafirmasi kebebasan “positif”
individual, yang berarti otonomi.
Kedua,
dalam konteks keindonesiaan, setelah reformasi bergulir, sistem pemerintahan di
Indonesia bersifat demokratis, meski kadar atau tingkatannya masih dapat
diperdebatkan. Dalam sistem yang baru ini, kebebasan “negatif” dapat dinikmati
kembali. Hanya saja, sebagaimana ditekankan Berlin, demokrasi juga dapat
menindas melalui tirani mayoritas atau tirani “pendapat dan perasaan umum”. Melihat
beberapa kasus perbedaan agama di Indonesia akhir-akhir ini, kemungkinan
munculnya tirani mayoritas sangat besar. Tentu saja, ini berarti perjuangan
kebebasan di Indonesia tidak akan mudah. Akan tetapi, nasib kebebasan “negatif”
ini masih jauh lebih baik daripada nasib “saudarinya”, kebebasan “positif”,
baik dalam arti otonomi, sebagaimana dalam pemikiran Berlin, maupun dalam arti
“pengembangan diri” Gouldian. Kesadaran yang tinggi akan kebebasan “negatif”
belum diimbangi dengan kadar yang sama dari kebebasan “positif”. Kesadaran akan
hak kebebasan jauh lebih kental daripada kesadaran dan tanggungjawab akan
penggunaan hak kebebasan tersebut. Rendahnya kesadaran akan cita-cita bersama
bangsa, juga akan cita-cita reformasi, hanyalah sebagaian dari beragam
manifestasi nasib kebebasan “positif” ini. (*)
Artikel Terkait
- Salam Redaksi
- Riset Redaksi
- Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
- Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
- Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
- Demokrasi Deliberatif
- Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
- Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
- Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
- Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
- Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
- Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
- Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
- Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)
[1] Isaiah Berlin, Dua Konsep
Kebebasan, dalam Empat Esai Kebebasan, (Jakarta ; LP3ES, 2004).
Selanjutnya akan disingkan Dua Konsep.
[2] Carol. C. Gould, Demokrasi
Ditinjau Kembali, (Yogyakarta; Tiara Wacana, 1994). Selanjutnya disingkat Demokrasi.
[3] Esai Berlin di atas memang
mendapat banyak tanggapan. Selain dari Gould, beberapa di antaranya adalah ‘What’s
Wrong With Negative Liberty’ oleh Charles Taylor, ‘Freedom and Money’
oleh G. A. Cohen, ‘A Third Concept of Liberty’ oleh Quentin Skinner, dan
lain-lain.
[4] Berlin, Dua Konsep, h.
238
[5] Ibid, hal 47, 231
[6] Taylor menamai konsepsi
semisal ini dengan opportunity-concept (konsep-peluang) yang dilawankan
dengan exercise-concept (konsep-penggunaan) atau kebebasan positif.
Menurutnya, opportunity-concept murni ini tidak mungkin (impossible),
sebab, sesuai dengan pandangan realisasi-diri (self-realization view),
beberapa tingkat penggunaan kebebasan itu sendiri bersifat niscaya agar
seseorang dapat dianggap bebas. Lihat, Taylor, ‘What’s Wrong with Negative
Liberty’, dalam Philosophy and The
Human Sciences: Philosophical Papers, (New
York: Cambridge University Press, 1990). h. 213
[7] Berlin, Dua Konsep, h.
233
[8] Dengan demikian, menurut
Berlin, bila seseorang dapat melakukan kehendaknya sendiri tanpa ada halangan
atau paksaan dari orang lain, kondisi ini sudah cukup untuk menyebutnya sebagai
subyek yang bebas. Tapi, bagi Taylor, ketiadaan penghalang eksternal saja tidak
dapat diterima sebagai kondisi yang cukup (sufficient condition) untuk
kebebasan. Sebab, kebebasan subyek dapat terhalang oleh kondisi internalnya
sendiri. Tindakan yang dikehendaki sendiri oleh sang subyek, tanpa penghalang
atau paksaan luar, tidak dapat dianggap sebagai tindakan bebas, bila ia lahir
dari ketakutan, ketaksadaran, atau bertentangan dengan kehendak-sejati sang
subyek. Jadi, subyek yang bebas menurut konsepsi Berlin belum tentu bebas
menurut konsepsi Taylor. Ibid, hal 215-216.
[9] Berlin, ibid, 243.
[10] Ibid, hal 231.
[11] Ibid, 47.
[12] Ibid, 244.
[13] Ibid, hal. 244.
[14] Berlin, Pendahuluan, dalam
ibid, hal. 50.
[15] Ibid, hal 52.
[16] Ibid, hal 53.
[17] Berlin, Dua Konsep,
hal. 248.
[18] Ibid, hal 245-247
[19] Berlin, Pendahuluan,
dalam Empai Esai Kebebasan, hal 52
[20] Berlin, Dua Konsep,
hal 242
[21] Ibid, hal. 242-243
[22] ibid
[23] Ibid, hal. 66.
[24] Ibid.
[25] Gould, Demokrasi, Hal.
36.
[26] Ibid. Hal. 35.
[27] Ibid. Hal. 40. Lihat pula
hal. 46.
[28] Ibid, hal. 48.
[29] Ibid, hal. 53.
[30] Ibid, h. 78-79
[31] Ibid, h. 79-80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar