Kamis, 16 Januari 2014

Demokrasi dan Dua Pemikiran tentang Kebebasan: Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould

Oleh: 
Wawan Kurniawan
Santri Pesantren Ciganjur,
Mahasiswa LIPIA Jakarta

Pendahuluan

Di antara beberapa nilai yang disandingkan dengan demokrasi, tampaknya tak ada yang lebih sering dilekatkan kepadanya selain nilai kebebasan. “Kebebasan adalah dasar dari konstitusi demokratis” kata Aristoteles. Kuatnya gelombang tuntutan-tuntutan akan demokrasi di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini juga mengatakan hal yang sama: tuntutan akan kebebasan. Kebebasan yang dimaksud dalam konteks terakhir ini biasanya adalah kebebasan dari rezim kekuasaan yang otoriter atau totaliter. Kebebasan dalam makna ini kemudian termanifestasikan dalam kebebasan berpendapat, berekspresi, berpartisipasi dalam politik, dan yang semacamnya.

Namun demikian, tidak berarti bahwa persoalan kebebasan dan demokrasi telah selesai begitu saja. Lebih dari itu, pandangan yang mendalam dapat membuktikan betapa kebebasan itu sendiri suatu ketika dapat menggerogoti demokrasi dan, sebaliknya, demokrasi juga dapat menekan kebebasan. Sebagai contoh, kebebasan berpartisipasi dalam area politik, karena begitu kuat ketergantungannya pada sarana material dan sosial, hanya dapat secara efektif dinikmati segelintir orang. Ini berarti bahwa “kekuasaan oleh rakyat”, sebagai salah satu sendi demokrasi, hanyalah omong kosong. Beberapa kasus terkait kebebasan beragama di negeri ini juga memperlihatkan kompleksitas persoalan kebebasan dan demokrasi yang dalam hal ini berupa hubungan mayoritas dan minoritas.

Dalam rangka itu, tulisan ini akan coba menelisik hakikat dan hubungan antara kebebasan dengan demokrasi ditinjau dari perspektif filsafat politik. Untuk kepentingan ini, penulis memilih dua pemikir dari jalur berbeda. Pertama, Isaiah Berlin, dalam esainya “Dua Konsep Kebebasan” (Two Concepts of Liberty),[1] dan Carol C. Gould, dalam bukunya “Demokrasi Ditinjau Kembali”.[2] Berlin, sebagai seorang liberal, dipilih karena kontribusinya tentang kebebasan yang telah dikenal luas dan cukup berpengaruh. Sementara itu, sebagai pembanding, dipilih Gould karena, di antara beberapa pengkritik Berlin[3], ia bisa dibilang satu-satunya pemikir yang berusaha keras membangun teori utuh demokrasi berangkat dari konsepsi kebebasan.

Kesimpulan sementara dari tulisan ini adalah bahwa konsepsi berbeda mengenai kebebasan mempengaruhi, secara umum, bentuk pemerintahan apa yang dipilih, dan, secara khusus, juga mempengaruhi pandangan terhadap demokrasi. Tulisan ini akan dimulai dengan uraian mengenai pemikiran Berlin. Pemikiran Gould menyusul setelahnya. Dalam catatan akhir, penulis akan coba memberikan kesimpulan tulisan ini, disertai beberapa tanggapan terhadapnya. Marilah kita mulai dengan membaca uraian tentang pemikiran Berlin.

Membela Kebebasan ‘Negatif’: Pemikiran Isaiah Berlin

Dalam esai “Dua Konsep Kebebasan”, Berlin berusaha membedakan antara dua konsep kebebasan, yakni kebebasan “negatif” dan kebebasan “positif”. Lebih dari itu, ia juga berusaha menunjukkan kelemahan-kelemahan konsep kebebasan “positif”, dan membela kebebasan “negatif”.

Menurut Berlin, kebebasan dalam makna “negatif” (negative liberty) merupakan kebebasan dari (freedom from)[4]. Pertanyaan yang coba dijawab oleh kebebasan “negatif” adalah dalam area apakah sang subjek, baik individu maupun kelompok, seharusnya dibiarkan untuk berbuat, atau apa yang dapat ia lakukan, tanpa campur-tangan orang lain. Atau, singkat kata, “di area mana saya adalah tuan?”.[5] Ia merujuk pada ke-tiada-an (absence) campur-tangan, atau  penindasan.[6] Dalam makna ini, seseorang dapat dikatakan bebas sejauh pilihannya, baik yang potensial maupun yang aktual, tidak dihalang-halangi atau tidak dicampurtangani oleh orang lain. Jadi, semakin luas wilayah kehidupan yang di situ seorang individu tidak dihalang-halangi atau tidak dicampurtangani, semakin luas pula wilayah kebebasannya.[7] Semakin seseorang dapat memilih melakukan keinginannya, tanpa campurtangan atau paksaan dari orang lain,[8] semakin tinggi tingkat kebebasannya.

Sementara itu, kebebasan dalam makna “positif” (positive liberty) adalah kebebasan untuk (freedom to).[9] Ia adalah jawaban bagi pertanyaan “Apa, atau siapa, yang merupakan sumber kontrol atau campur tangan yang dapat menentukan seseorang untuk melakukan atau menghendaki hal ini dan bukan hal itu?”[10] atau, lebih singkatnya, “siapa yang merupakan tuan?”[11] Dengan demikian, ia merujuk kepada ada-nya kontrol oleh diri sendiri, bukan oleh orang lain. Seseorang dapat dikatakan bebas dalam makna “positif” bila ia bebas untuk mengatur kehidupannya sendiri. Tingkat kebebasannya tergantung pada sejauh mana ia menjadi pemilik, pengatur, dan pelaksana kehidupannya sendiri, dan tidak dimiliki, diatur, atau menjadi sarana untuk kehendak orang lain.[12]

Pemaknaan kebebasan secara demikian mempunyai konsekuensi politik yang berbeda. Kebebasan dari melapangkan banyak peluang yang mungkin dipilih dan dijalani seseorang. Sedangkan kebebasan untuk, yang mengesahkan diri sendiri sebagai otoritas tunggal, cenderung memilihkan mana peluang yang mesti dilewati dan mana yang tidak semestinya dilewati. Bila kebebasan “negatif” cenderung membukakan banyak pintu, maka kebebasan “positif” cenderung menentukan mana pintu yang layak dimasuki.

Kedua makna kebebasan ini, secara ideal-normatif, sah dan perlu. Tanpa kebebasan dari, kehidupan sosial-politik akan menjadi ruang sempit dan pengap. Sebab, pilihan-pilihan tindakan yang mungkin dipilih dan dijalani akan sangat sedikit dan kecil. Kreativitas dan keragaman, tanpa kebebasan “negatif”, akan sangat mungkin dicap sebagai penyimpangan atau bid’ah. Sementara itu, tanpa kebebasan untuk, kehidupan bermasyarakat hampir mustahil dilangsungkan. Suatu tata kehidupan yang karut-marut atau chaos sedikit sekali kemungkinan --untuk tidak menyatakan mustahil sama sekali-- terelakkan tanpa kebebasan “positif”. Dengan demikian, keseimbangan antara kedua jenis kebebasan itu jelas merupakan suatu kondisi yang sempurna dan ideal.

Berlin mengakui bahwa ide tentang dua makna kebebasan ini tidak jauh berlainan. Keduanya tampak seperti “konsep-konsep yang secara logis tidak dapat dipisahkan satu sama lain-yang tidak lebih merupakan suatu bentuk negatif dan positif untuk mengatakan hal yang sama”.[13] Tapi, Berlin juga menegaskan bahwa masing-masing macam kebebasan ini mengandung kemungkinan untuk diselewengkan menjadi sesuatu yang berlawanan dengan dirinya sendiri. Pembelaan terhadap konsepsi kebebasan “negatif “, demikian Berlin, telah sering digunakan sebagai dalih untuk membenarkan berbagai kebijakan yang melegitimasi penindasan kejam oleh yang kuat atas yang lemah. Pada akhirnya, pembenaran dan penindasan semacam itu justru balik melanggar kebebasan negatif itu sendiri. Kata Berlin:

“ ...kejahatan dari laissez-faire yang tak dibatasi, dan dari berbagai sistem sosial dan legal yang mengizinkan dan mendukungnya, menyebabkan pelanggaran yang keras terhadap kebebasan negatif-yakni terhadap hak-hak dasar manusia (yang selalu merupakan gagasan ‘negatif’: suatu tembok terhadap para penindas).“[14]

Sementara itu, kebebasan positif, menurut Berlin, benar-benar telah disalah-arahkan menjadi pemujaan otoritas, “salah satu fenomena paling lazim dan paling suram dari masa kita”.[15] Dan tampaknya karena hal inilah, Berlin merasakan kebutuhan mendesak untuk lebih banyak menyingkap penyelewengan kebebasan “positif” ketimbang penyelewengan kebebasan “negatif”.[16] Maksudnya, bila dalam ‘Dua Konsep Kebebasan’ itu Berlin jauh lebih banyak menguraikan penyelewengan kebebasan “positif”, itu bukan karena kebebasan “negatif” pada dirinya sendiri lebih baik dan lebih universal dari pada kebebasan ”positif”, melainkan karena merebaknya pemujaan pada otoritas pada zaman itulah yang bagi Berlin meminta demikian. Lalu, bagaimanakah Berlin menjelaskan sekaligus mempertanggungjawabkan klaimnya bahwa kebebasan positif benar-benar telah diselewengkan, bahkan oleh para teoritisinya sendiri? Mari kita tinjau barang sedikit mengenai hal ini.

Pertama-tama, perlu digarisbawahi bahwa Berlin memandang beragam pandangan mengenai kebebasan dapat diturunkan secara langsung dari berbagai pandangan mengenai diri (self), pribadi, dan manusia. Ini berarti bahwa penyelewengan konsepsi kebebasan, tak terkecuali kebebasan positif, dapat dilacak dari konsepsi mengenai manusia yang mendasari penyelewengan tersebut.[17]

Para teoritisi yang menyalah-artikan kebebasan “positif” menurut Berlin telah mulai membuat penyelewengan ketika mereka mengasumsikan keterbelahan diri manusia ke dalam dua bagian yang saling bertentangan: diri yang “sejati” (real self) dan diri yang “tidak sejati”. Diri “sejati” adalah diri yang berkuasa, diri yang dikenali sebagai akal-budi, sebagai yang luhur, yang “nyata”, yang memperkirakan dan mengantisipasi apa yang dalam jangka panjang menguntungkan. Sedangkan diri yang tidak “sejati” adalah diri yang dikuasai, yang “lebih rendah”, diri yang dikenali sebagai dorongan-dorongan yang tidak rasional dan mengejar kesenangan sesaat, diri yang “empiris”. Tidak hanya sampai di sini, diri sejati tersebut kemudian, demikian Berlin, dibengkakkan sampai pada tahap entitas- dapat berupa negara, kelas, bangsa, dan lainnya-yang, karena begitu luasnya, di situ individu dipandang sebagai unsur penyusun belaka. Diri “sejati” yang telah dibengkakkan ini, untuk sampai pada kebebasannya yang lebih tinggi, menjadikan kehendak tunggalnya sebagai satu-satunya pilihan bagi seluruh individu yang bernaung di bawahnya dan memaksa mereka yang membangkang agar taat dan setia pada kehendak yang dianggap sebagai kehendak bersama itu. Menurut Berlin, tepat pada titik inilah ditemukan penindasan oleh beberapa orang atas orang lain atas nama kepentingan mereka yang ditindas, atas nama kebaikan yang, seandainya mereka yang ditindas lebih bijak dan lebih berpengetahuan, akan mereka pilih secara sadar.[18]

Dari uraian singkat ini, dapat dipahami kiranya bahwa, pada dasarnya, yang Berlin kritik adalah apa yang dianggapnya sebagai penyelewengan kebebasan positif oleh beberapa pemikir, berikut asumsi-asumsi metafisik dan filosofis para pemikir tersebut. Sambil demikian, Berlin mengkampanyekan dan mempertahankan pendiriannya sendiri mengenai kebebasan individual.

Sampai di sini, mari kita kembali mengintrodusir pertanyaan kunci tulisan ini: bagaimana konsepsi Berlin mengenai demokrasi? Bagaimana pula hubungan kebebasan individual yang dibelanya itu dengan demokrasi?

Secara umum, Berlin percaya bahwa pemerintahan yang demokratis adalah bagian dari “kebutuhan manusia yang mendasar, sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri”.[19] Berlin mengakui bahwa demokrasi, dibanding rezim yang lain, memberikan jaminan lebih terhadap kebebasan individual. Karena itu, demokrasi pada dirinya sendiri dibela oleh kaum libertarian.[20] Meski demikian, Berlin tetap melihat demokrasi sebagai satu dari sekian jawaban atas pertanyaan “siapa yang memerintah saya?”. Ini berarti bahwa Berlin meletakkan demokrasi sebagai bagian dari kebebasan “positif”.[21] Konsekuensi pandangan sedemikian ini, tegas Berlin, adalah bahwa demokrasi, dalam sekali waktu, dapat tidak bersesuaian dengan kebebasan. Hubungan antara kebebasan individual dengan demokrasi tidak bersifat niscaya.[22] Artinya, pernyataan bahwa semakin demokratis suatu pemerintahan, semakin bebas pula warganya adalah keliru.

Benar memang, dengan pandangannya ini, Berlin berbeda pandangan dari sekian banyak rekan liberalnya dan telah membuat marah sebagian pengkritik Berlin sendiri.[23] Pasalnya, bila benar bahwa kaitan antara kebebasan dan demokrasi tidak bersifat niscaya, maka ada saat tertentu di mana kebebasan "negatif” dengan terbatas dapat dinikmati dalam suatu pemerintahan yang demokratis tapi minus toleransi, namun justru lebih dapat dinikmati secara luas di bawah pemerintahan seorang despot. Dan memang inilah yang diyakini Berlin. Bukti yang diajukannya adalah bahwa Sokrates, yang dipenjara dan kemudian dihukum mati oleh suatu rezim demokratis, akan lebih banyak mempunyai dan menikmati kebebasan bilamana ia mau keluar dan lari dari rezim kala itu.[24]

Bila ini benar –yakni bahwa demokrasi dapat, dalam suatu kondisi tertentu, menindas kebebasan individual– maka jelas dibutuhkan suatu dasar lain yang dengannya masyarakat yang bebas dapat diwujudkan, terlepas dari bentuk pemerintahan dalam masyarakat tersebut.

Kebebasan Positif sebagai Pengembangan Diri: Pemikiran Carol Gould

Carol C. Gould adalah satu dari sekian pemikir yang telah mengajukan kritik terhadap pandangan-pandangan Berlin dalam “Dua Konsep Kebebasan”. Bahkan, mungkin bisa dibilang kritik yang diajukannya tergolong menyeluruh. Sebab, tak hanya kritik yang ia ajukan, melainkan juga alternatif berikut konsekuensi-konsekuensi dari alternatif tersebut. Semua itu ia lakukan dengan tujuan memperluas demokrasi, dari hanya demokrasi politik, menuju demokrasi ekonomi, sosial, dan budaya. Penulis akan coba memulai uraian pemikiran Gould dengan kritiknya terhadap pandangan Berlin mengenai kebebasan.

Pada dasarnya, Gould tidak menolak pembelahan kebebasan ke dalam kebebasan “negatif” dan kebebasan “positif” seperti yang telah dipopulerkan kembali oleh Berlin. Ia bahkan mengadopsi pembelahan tersebut dan memberikan makna yang berbeda, terkhusus kepada kebebasan “positif”. Jadi, yang ia tolak adalah pemaknaan Berlin tentang kedua kebebasan itu.

Dalam pemahaman Gould, Berlin mendukung kebebasan “negatif” dan mengartikannya sebagai “ketiadaan halangan luar”, dan menolak kebebasan “positif” karena cenderung mengarah ke rezim yang totaliter dan menggunakan paksaan dalam melancarkan kehendaknya.[25] Namun, pemaknaan kebebasan “negatif” sebagai hanya “ketiadaan halangan luar” menurut Gould telah menghilangkan dua arti mendasar dari kebebasan. Pertama, pandangan semacam ini mengabaikan sarana yang dibutuhkan untuk mewujudkan secara aktual pilihan-pilihan yang telah dimungkinkan secara potensial dengan tiadanya hambatan luar itu. Berlin sendiri pada hakikatnya menyatakan bahwa kebebasan “negatif”, bagaimanapun, harus dibedakan dari dari kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mewujudkannya dan bahwa kebebasan “negatif”, tanpa kondisi-kondisi itu, tiada atau kecil artinya. Gould menganggap bahwa Berlin benar ketika memisahkan kebebasan dari kondisi pewujudnya, namun keliru ketika memisahkan kondisi “positif” ini, demikian Gould menyebutnya, dari makna yang utuh dari kebebasan. Sebab, argumen Gould, makna utuh dari kebebasan tidak hanya mensyaratkan ketiadaan (“negatif”)-penghalang, namun juga ada (“positif”)-nya kondisi-kondisi yang memungkinkan kebebasan itu diwujudkan. Kritik Gould kedua terhadap kebebasan “negatif” Berlin adalah bahwa dalam hubungan dengan kebebasan memilih, kebebasan “negatif” dengan arti sedemikian telah mengabaikan perkembangan yang mungkin terjadi pada seseorang disebabkan perbuatannya, di samping juga mengabaikan perlunya tujuan dan rencana jangka panjang.[26]

Lebih jelasnya, Gould memaknai kebebasan sebagai terdiri dari dua bagian. Pertama, kemampuan memilih di antara pelbagai alternatif tindakan yang mungkin. Inilah yang disebutnya sebagai kepelakuan. Semua manusia mempunyai kemampuan ini secara sama. Kemampuan ini sifatnya abstrak. Ia akan tampak dalam tindakan konkrit sehari-hari, yang di dalamnya terkandung kecenderungan atau tujuan tertentu. Jadi, menurut Gould, setiap tindakan manusia adalah hasil pemilihan. Pada taraf ini, Gould memposisikan kebebasan “negatif” sebagai kondisi yang diperlukan untuk tindakan. Maksudnya, seseorang seyogyanya dibiarkan memilih sendiri apa yang akan diperbuatnya tanpa (“negatif”) dicampurtangani atau didikte apa yang harus menjadi pilihannya. Sampai di sini, Gould masih terlihat sejalan dengan Berlin.

Ia mulai berbeda darinya ketika mengintrodusir kebebasan “positif” sebagai kebebasan pengembangan diri. Inilah bagian kedua kebebasan menurut Gould. Pengembangan diri yang dimaksudnya adalah pengembangan kualitas atau karakter seorang individu oleh dirinya sendiri. Ini makna pertama pengembangan diri. Makna kedua, yang lebih serius dari makna pertama, adalah diraihnya tujuan atau kebutuhan jangka panjang.[27]

Dengan menilik kedua makna pengembangan diri ini, dapat dipahami kiranya bahwa subyek pengembangan diri adalah individu, bukan kelas, bangsa, atau semisalnya. Konsekuensinya, penentuan pengembangan diri macam manakah yang sesuai dengan seorang individu sepenuhnya diserahkan pada pilihan masing-masing individu. Namun, ini tidak berarti bahwa Gould, dengan konsepsi semacam ini, menjatuhkan pemihakannya pada individualisme dan bahwa konsepsinya adalah satu dari sekian varian individualisme. Baik individualisme maupun apa yang diidentifikasi Berlin sebagai “penggelembungan metafisis” atas diri ditolak oleh Gould. Individualitas dalam konsepsi Gould adalah individualitas-sosial. Kata Gould:

“..individu-individu yang bersangkutan tidaklah saling terpisah, melainkan lebih merupakan orang yang bermasyarakat. Artinya, mereka mengekspresikan siapa dirinya dan menjadi apa yang diinginkannya dengan perantaraan hubungan-hubungannya dengan orang lain.”[28]

Konsepsi mengenai individualitas-sosial ini akan semakin dikenali bila diperhatikan bahwa Gould memposisikan resiprositas atau ketimbal-balikan sosial dan kerja sama, yang adalah bagian dari sarana sosial, sebagai syarat bagi pengembangan diri. Resiprositas sosial adalah suatu bentuk hubungan sosial yang di dalamnya individu-individu, di samping mengakui atas kebebasan dan kesetaraan, saling memahami dan menghormati pelaku lain dan tujuannya. Salah satu bentuk resiprositas sosial ini, menurut Gould, adalah kerja sama, yakni dalam maknanya yang kental, suatu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh lebih dari satu individu dan mempunyai tujuan bersama.

Di samping itu, dapat juga dipahami betapa pengembangan diri tidak dicapai dengan sekali jadi, melainkan melalui serangkaian tindakan yang saling berkelanjutan. Ada proses panjang yang, meski dapat berbeda dari satu individu ke individu yang lain, perlu dilewati untuk membuat diri manusia berkembang. Pada tingkat ini, Gould menyatakan bahwa kebutuhan terhadap sarana material dan sosial untuk pengembangan diri menjadi tak terelakkan.

Sebelum melangkah pada diskusi mengenai konsepsi umum Gould mengenai demokrasi, pada titik ini, pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah darimana konsepsi pengembangan diri ini berasal? Menurut Gould, konsepsi pengembangan diri diasaskan pada fakta bahwa manusia dalam rentang kehidupannya yang panjang cenderung ke arah pengembangan diri. Ide pengembangan diri “memancar dari sifat dasar aktivitas manusia”[29]. Dengan ini, Gould hendak menyatakan bahwa norma pengembangan diri bukanlah norma yang dipaksakan oleh suatu otoritas di luar manusia. Ia justru, lanjut Gould, berakar dari diri manusia itu sendiri, yaitu tindakannya.

Setelah melihat, meski sekilas, konsepsi Gouldian tentang kebebasan di atas, kini saatnya memasuki problematika dasar tulisan ini: apa konsepsi Gould tentang demokrasi? Dan, bagaimana kaitan gagasannya mengenai kebebasan itu dengan gagasannya mengenai demokrasi?

Perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa pandangan Gould diwarnai ketakpuasan terhadap teori tradisional mengenai demokrasi, yaitu demokrasi liberal. Dalam pemahaman Gould, demokrasi liberal mengasumsikan bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat politik memiliki hak dan kebebasan yang sama. Individu-individu itu, terlepas dari kedudukan sosial dan ekonomi mereka, berhak untuk berperan sebagai wakil atau yang diwakili dalam membuat keputusan politik. Inilah sasaran ketidakpuasan Gould pada demokrasi liberal, yaitu bahwa demokrasi liberal membatasi demokrasi hanya pada ranah politik. Gould meyakini bahwa penyempitan demokrasi hanya pada ranah politik ini diasaskan pada gagasan kebebasan “negatif” yang pada akhirnya membatasi tugas negara hanya sebatas mencegah penggunaan kebebasan oleh seorang individu yang bertujuan mencelakai atau mengganggu kebebasan individu lainnya.[30]

Dari ketakpuasan ini, lahir kritik Gould pada demokrasi liberal. Kritik itu bisa diringkas pada dua hal. Pertama, suatu pemerintahan seringkali mengintervensi persoalan-persoalan yang secara keseluruhan adalah persoalan ekonomi. Hal ini, bagi Gould, menandai adanya jurang yang menganga lebar antara teori dan praktik demokrasi liberal. Kedua, asumsi demokrasi liberal, bahwa semua individu mempunyai hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, hanya bersifat formal dan tidak terjadi dalam kenyataan sehari-hari. Yang terjadi dan seringkali ditemui adalah eksklusivitas partisipasi politik hanya pada kalangan yang “berpunya”, baik secara ekonomi maupun sosial. Menurut Gould, ini bermula dari kenyataan bahwa teori demokrasi liberal melupakan pengaruh non-politik, semisal ekonomi dan sosial, yang dapat mempengaruhi jalannya proses politik itu sendiri. Pengaruh ini semakin terlihat dalam realitas politik kontemporer di mana partisipasi politik sangat bergantung pada akses pada sarana ekonomi dan sosial.[31]

Dari kritik ini, Gould merasa perlu akan adanya suatu teori demokrasi alternatif, yakni teori yang tidak membatasi demokrasi melulu pada ranah politik, namun juga merambah ranah sosial dan ekonomi. Dan, tepat inilah yang hendak diusahakan oleh Gould. Jadi, apa yang dilakukannya, pada dasarnya, adalah memperluas wilayah demokrasi.

Apa yang penting sejauh ini adalah argumen yang Gould ajukan untuk memperkokoh dasar demokrasi yang diperluas itu. Argumen itu ia derivasikan, meski tak langsung, dari  konsepsinya mengenai kebebasan. Secara rekonstruktif, argumen itu kurang lebih dapat dinyatakan sebagai berikut: apa yang membuat manusia sebagai manusia adalah bahwa ia bebas. Setiap manusia setara dalam hal kebebasannya dan dalam mewujudkan kebebasan itu. Di samping itu, setiap manusia mempunyai hak yang sama terhadap kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mewujudkan kebebasan. Sementara itu, kegiatan bersama adalah salah satu kondisi yang diperlukan untuk menerapkan kebebasan. Suatu kegiatan disebut kegiatan bersama jika, dan hanya jika, individu-individu yang terlibat di dalamnya mempunyai hak yang sama untuk mengambil peran dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kegiatan bersama itu. Bila demikian, maka setiap individu yang terlibat dalam suatu kegiatan bersama, yang mencakup baik kegiatan bersama dalam hal ekonomi, politik, maupun sosial, mempunyai hak yang sama untuk berpartisipasi dalam menentukan berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan bersama tersebut.

Sejauh argumen Gould ini dapat diterima, konsekuensi yang dihasilkannya menuntut perluasan konsepsi mengenai apa yang menjadi tugas negara. Dari hanya menjamin kebebasan dan hak kesetaraan partisipasi politik, seperti dalam konsepsi liberal, tugas negara pada akhirnya mencakup kewajiban menyediakan sarana sosial dan material yang diperlukan untuk pengembangan diri para warganya. Tak hanya itu, di luar pemerintahan, konsekwensi argumen ini juga merambah setiap organisasi yang lebih kecil skalanya dari negara. Yakni, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan adalah milik setiap individu yang terlibat di dalam organisasi tersebut, dan, sejauh dimungkinkan, bentuk dan proses partisipasi itu dilaksanakan secara langsung.


Catatan Akhir

Ada dua konsep kebebasan dalam wacana filsafat politik: kebebasan “negatif” dan “kebebasan positif”. Dalam pemikiran Berlin, kebebasan “negatif” berarti ke-tiada-an halangan eksternal, sedangkan kebebasan “positif” berarti adanya kontrol oleh diri sendiri. Berlin memperingatkan penyelewengan kebebasan “positif” dan mengkampanyekan kebebasan “negatif”. Implikasinya adalah bahwa setiap jenis pemerintahan dapat menyempitkan kebebasan, tak terkecuali demokrasi. Oleh karena itu, masih diperlukan syarat lain untuk membangun suatu masyarakat bebas.

Sementara itu, Carol C. Gould menilai bahwa konsep kebebasan a la Berlin masih abstrak dan formal. Untuk itu, Carol memasukkan ketersediaan sarana pemungkin kebebasan dalam kebebasan “positif”, yang dimaknai sebagai pengembangan diri. Kebebasan negatif menjadi kondisi penting bagi kebebasan positif dalam makna tersebut. Implikasi politiknya adalah bahwa demokrasi mutlak diperlukan untuk menjamin dua kebebasan itu.

Beberapa catatan dapat diberikan di sini. Pertama, baik kebebasan “negatif” maupun kebebasan “positif” pada dasarnya dapat dilekatkan pada individu. Untuk kebebasan “negatif”, poin ini mungkin telah jelas. Sebab, baik dalam pemikiran Berlin maupun Gould, kebebasan “negatif” selalu individual. Demikian juga dengan kebebasan “positif” dalam pemikiran Gould. Sebab, ia tidak mengidentifikasi kebebasan “positif” pada subyek yang mengatasi individu. Ia senantiasa menekankan bahwa kebebasan adalah kebebasan individu, yang dimengertinya sebagai individu-dalam-hubungan. Sementara itu, kebebasan “positif” pada tingkat individu dalam pemikiran Berlin dapat dipahami secara samar atau secara implisit. Bilamana Berlin menekankan bahwa kebebasan “positif” telah diselewengkan ketika ia dinisbatkan kepada entitas abstrak yang mengatasi individu, maka, sebaliknya, tentu bukan penyelewengan bila ia dilekatkan pada taraf individu. Dan itu berarti Berlin secara tak langsung mengafirmasi kebebasan “positif” individual, yang berarti otonomi.

Kedua, dalam konteks keindonesiaan, setelah reformasi bergulir, sistem pemerintahan di Indonesia bersifat demokratis, meski kadar atau tingkatannya masih dapat diperdebatkan. Dalam sistem yang baru ini, kebebasan “negatif” dapat dinikmati kembali. Hanya saja, sebagaimana ditekankan Berlin, demokrasi juga dapat menindas melalui tirani mayoritas atau tirani “pendapat dan perasaan umum”. Melihat beberapa kasus perbedaan agama di Indonesia akhir-akhir ini, kemungkinan munculnya tirani mayoritas sangat besar. Tentu saja, ini berarti perjuangan kebebasan di Indonesia tidak akan mudah. Akan tetapi, nasib kebebasan “negatif” ini masih jauh lebih baik daripada nasib “saudarinya”, kebebasan “positif”, baik dalam arti otonomi, sebagaimana dalam pemikiran Berlin, maupun dalam arti “pengembangan diri” Gouldian. Kesadaran yang tinggi akan kebebasan “negatif” belum diimbangi dengan kadar yang sama dari kebebasan “positif”. Kesadaran akan hak kebebasan jauh lebih kental daripada kesadaran dan tanggungjawab akan penggunaan hak kebebasan tersebut. Rendahnya kesadaran akan cita-cita bersama bangsa, juga akan cita-cita reformasi, hanyalah sebagaian dari beragam manifestasi nasib kebebasan “positif” ini. (*)





[1] Isaiah Berlin, Dua Konsep Kebebasan, dalam Empat Esai Kebebasan, (Jakarta ; LP3ES, 2004). Selanjutnya akan disingkan Dua Konsep.
[2] Carol. C. Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali, (Yogyakarta; Tiara Wacana, 1994). Selanjutnya disingkat Demokrasi.
[3] Esai Berlin di atas memang mendapat banyak tanggapan. Selain dari Gould, beberapa di antaranya adalah ‘What’s Wrong With Negative Liberty’ oleh Charles Taylor, ‘Freedom and Money’ oleh G. A. Cohen, ‘A Third Concept of Liberty’ oleh Quentin Skinner, dan lain-lain.
[4] Berlin, Dua Konsep, h. 238
[5] Ibid, hal 47, 231
[6] Taylor menamai konsepsi semisal ini dengan opportunity-concept (konsep-peluang) yang dilawankan dengan exercise-concept (konsep-penggunaan) atau kebebasan positif. Menurutnya, opportunity-concept murni ini tidak mungkin (impossible), sebab, sesuai dengan pandangan realisasi-diri (self-realization view), beberapa tingkat penggunaan kebebasan itu sendiri bersifat niscaya agar seseorang dapat dianggap bebas. Lihat, Taylor, ‘What’s Wrong with Negative Liberty’, dalam  Philosophy and The Human Sciences: Philosophical Papers,  (New York: Cambridge University Press, 1990). h. 213
[7] Berlin, Dua Konsep, h. 233
[8] Dengan demikian, menurut Berlin, bila seseorang dapat melakukan kehendaknya sendiri tanpa ada halangan atau paksaan dari orang lain, kondisi ini sudah cukup untuk menyebutnya sebagai subyek yang bebas. Tapi, bagi Taylor, ketiadaan penghalang eksternal saja tidak dapat diterima sebagai kondisi yang cukup (sufficient condition) untuk kebebasan. Sebab, kebebasan subyek dapat terhalang oleh kondisi internalnya sendiri. Tindakan yang dikehendaki sendiri oleh sang subyek, tanpa penghalang atau paksaan luar, tidak dapat dianggap sebagai tindakan bebas, bila ia lahir dari ketakutan, ketaksadaran, atau bertentangan dengan kehendak-sejati sang subyek. Jadi, subyek yang bebas menurut konsepsi Berlin belum tentu bebas menurut konsepsi Taylor. Ibid, hal 215-216.
[9] Berlin, ibid, 243.
[10] Ibid, hal 231.
[11] Ibid, 47.
[12] Ibid, 244.
[13] Ibid, hal. 244.
[14] Berlin, Pendahuluan, dalam  ibid, hal. 50.
[15] Ibid, hal 52.
[16] Ibid, hal 53.
[17] Berlin, Dua Konsep, hal.  248.
[18] Ibid, hal 245-247
[19] Berlin, Pendahuluan, dalam Empai Esai Kebebasan, hal 52
[20] Berlin, Dua Konsep, hal 242
[21] Ibid, hal. 242-243
[22] ibid
[23] Ibid, hal. 66.
[24] Ibid.
[25] Gould, Demokrasi, Hal. 36.
[26] Ibid. Hal. 35.
[27] Ibid. Hal. 40. Lihat pula hal. 46. 
[28] Ibid, hal. 48.
[29] Ibid, hal. 53.
[30] Ibid, h. 78-79
[31] Ibid, h. 79-80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar