Oleh:
Daud A. Gerung
Santri Pesantren Ciganjur,
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Bung Karno
“Demokrasi adalah alat. Alat
untuk mencapai masyarakat adil-makmur yang sempurna. Pemilu adalah alat. Alat
untuk menyempurnakan demokrasi itu.
Jadi, pemilu sekedar alat
untuk menyempurnakan alat.”
(Soekarno, Presiden pertama RI)
Pendahuluan
Sudah 50 tahun lebih perdebatan
tentang demokrasi di Indonesia masih hangat untuk diperbincangkan. Mulai dari sistem
presidensial, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, sampai
pada era-Reformasi sekarang ini konsep demokrasi Indonesia masih jauh panggang
dari api. Tidak hanya saat ini, jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia
perdebatan mengenai bentuk dan dasar didirikannya republik ini dibutuhkan waktu
yang cukup lama. Ini bisa kita lihat dalam perdebatan para founding fathers
dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia).
Akan tetapi tidak
seperti sekarang ini, meskipun terjadi perdebatan pada era sebelum Indonesia
merdeka. Perdebatan-perdebatan itu semata-mata bukan demi kepentingan golongan
atau kelompok, bukan demi kepentingan partai mereka, apalagi demi kepentingan
pribadi. Perdebatan-perdebatan itu semata-mata didorong oleh keinginan untuk
membangun masyarakat adil dan sejahtera yang berdasarkan pada kerakyatan dan
cita-cita Revolusi Nasional, yakni Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Soekarno dan Hatta misalnya yang sama-sama mengkritik demokrasi Barat
yang hanya melahirkan demokrasi politik yang kemudian melahirkan individualisme
dalam bidang ekonomi.
Menurut Soekarno, demokrasi
di Indonesia tidak hanya terhenti pada titik ini. Demokrasi Indonesia perlu
adanya penambahan dan penekanan pada demokrasi politik plus demokrasi ekonomi sama dengan demokrasi sosial. ”Demokrasi
politik saja belum mencukupi, demokrasi politik itu masih perlu di-”compleet”-kan
lagi dengan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik saja belum cukup—yang
mencukupi ialah demokrasi politik plus demokrasi ekonomi. Dengan mengutamakan
perjuangan nasional, oleh karena keinsyafan dan perasaan nasional merupakan
keinsyafan dan perasaan yang terkemuka di dalam suatu masyarakat kolonial.”[1] Begitu juga menurut Hatta, ”Demokrasi kita tidak hanya
memuat nilai-nilai politis akan tetapi juga ekonomis. Demokrasi kita mempunyai
akar yang kuat dalam masyarakat Indonesia yang berakar dalam pengalaman Demokrasi Desa dengan tiga cirinya: rapat
(bermusyawarah dan mufakat), ”hak rakyat” mengadakan protes, dan cita-cita
tolong-menolong.”[2] Hanya
saja, jika Soekarno membangun konsepsi berdasarkan pada ”persatuan nasional”, maka
Hatta berdasarkan pada konsepsi ”kerakyatan”.
Konsep demokrasi
berasal dari negara-kota (polis)
Yunani Kuno barangkali bisa diterima sebagai acuan pengalaman sejarah. Begitu
juga dengan kebangkitan negara-negara Eropa akhir abad ke-18 dan abad ke-19
yang menggunakan konsep demokrasi tak perlu dipersoalkan. Lalu, pertanyaannya sekarang
kapan konsep demokrasi di tanah air kita mulai berpengaruh dan diterima di
kalangan masyarakat luas?
Menurut Prof DR Taufik
Abdullah, cita-cita
demokrasi tumbuh di tanah air kita dalam konteks komunitas kota, yang berasal
dari berbagai komunitas primordial. Dengan cita-cita demokrasi ”tabir
ketidaktahuan”; antara sesama ’orang asing’ itu ingin ditiadakan. Demokrasi
adalah ”janji bersama” untuk menciptakan suatu tata sistem politik dan hubungan
sosial yang memberi tempat yang sama pada semua, karena itulah terlekat di
dalam cita-cita ini suatu kesadaran bahwa berbagai persiapan sosial-kultural
diperlukan juga.”[3]
Suatu tata sistem
politik dan hubungan sosial inilah yang kemudian menjadi perdebatan Soekarno
dan Hatta versus Syahrir pada tahun 1930-an mengenai langkah-langkah dan
strategi yang digunakan dalam mencapai Indonesia Merdeka. Dalam hal ini, penulis
ingin mencoba untuk menghubungkan pemikiran politik Soekarno pra-kemerdekaan
dan pasca-kemerdekaan melalui tulisan-tulisannya dalam ”Fikiran Ra’jat” dan
sikap politik yang diambil pasca-Indonesia merdeka. Oleh karena itu, perlu kita
bedakan antara pikiran dan perilaku politik, antara harapan dan cita-cita dalam
membangun suatu tata sosial yang barangkali sering menjadi perdebatan karena
dianggap keliru dan telah keluar dari kesepakatan atau cita-cita bersama
mewujudkan masyarakat berwibawa, adil-makmur, dan sejahtera.
Semangat Kebangsaan
Sebelum tahun 1884
kata nation hanya berarti kumpulan
penduduk dari suatu provinsi, suatu negeri atau suatu kerajaan dan juga ”orang
asing”. Saat ini kata tersebut diartikan sebagai suatu negara atau badan
politik yang mengakui suatu pusat pemerintahan bersama yang tertinggi dan juga
wilayah yang dikuasai oleh negara tersebut dan penduduk individunya, dipandang
sebagai suatu kebulatan. Menurut John Stuart Mill, ”nation” tidak hanya memiliki unsur kewarganegaraan dan
partisipasi atau pilihan massa, tetapi bahwa anggota-anggota suatu nasionalitas
berkeinginan untuk berada di bawah pemerintahan yang sama, dan pemerintahan itu
hendaklah pemerintahan oleh mereka sendiri atau sebagian dari mereka secara
eksklusif. Dengan demikian kita dapat, tanpa memperdebatkannya lebih jauh lagi,
menerima bahwa dalam pengertiannya yang modern konsep bangsa pada dasarnya
membawa arti politis. Sejalan dengan yang digambarkan di atas, menurut E. J. Hobsbawn,
”bangsa” adalah kelompok para warganegara yang kedaulatan kolektifnya membentuk
suatu negara yang merupakan ekspresi politik mereka.[4]
Begitu juga di
tanah air kita, munculnya nasionalisme di Indonesia ditandai oleh semangat
anti-penjajah dengan menggalang kekuatan-kekuatan etnik-lokal dan membentuk
gerakan-gerakan yang berdasar pada ”prinsip-prinsip nasionalisme”. Gerakan-gerakan
inilah yang kemudian melakukan protes dan tuntutan-tuntutan bahwa sudah saatnya
mereka menentukan nasib sendiri dengan membentuk pemerintahan oleh mereka
sendiri. Pendek kata, nasionalisme Indonesia lahir dari reaksi atas
kolonialisme-imperialisme Eropa Barat. Seperti yang dikatakan Roeslan Abdulgani
bahwa nasionalisme mempunyai tiga aspek. Pertama, aspek politis (politik
dominasi) yang bersifat menumbangkan dominasi politik bangsa asing untuk
menggantinya dengan suatu sistem pemerintahan yang demokratis. Kedua, aspek sosial-ekonomis (ekonomisme-eksploitasi) yang
bersifat menghentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangunkan suatu masyarakat
baru bebas dari kemelaratan dan kesengsaraan. Ketiga, aspek kultural (culturele-penetrasi) yang bersifat menghidupkan kembali kepribadiannya
disesuaikan dengan perubahan zaman.[5]
Dalam perjalanannya,
kebangsaan (nasionalisme) kita
mempunyai beberapa tahapan-tahapan perkembangan. Pertama, kesadaran kultural. Tahapan ini ditandai dengan penemuan identitas
kultural dalam konteks sebagai rakyat jajahan. Pembedaan ini dilakukan
semata-mata berdasarkan kultur dan cenderung rasial. Kesadaran kultural ini
timbul dari penyerapan gagasan nasionalisme yang berkembang pada pertengahan
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Melalui pembentukan organisasi-organisasi dan
penggalangaan dimensi-dimensi sosial dan kultural. Sejak berdirinya Budi Utomo,
Jong Java, Jong Islamieten Bond, sampai pada SDI dan SI, misalnya. Melalui
organisasiorganisasi inilah ”an imagined
political community” mulai mengambil bentuknya dalam masyarakat Indonesia. Inilah
pertumbuhan awal dan kristalisasi gagasan nasionalisme (Proto-nasionalisme). Proto-nasionalisme
ini mencapai puncaknya pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tokoh-tokoh utamanya
berasal dari tiga tempat, yakni dari Study Club (Bandung); Soekarno dan Anwari,
dari Perhimpunan Indonesia (di Negeri Belanda); Datuk Nazir Pamoentjak, Nazier,
Muhammad Hatta, Soekiman, Budiarto, Sartono, Soenario, Ishaq, Samsi, dan dari
Perkumpulan Pelajar-pelajar Indonesia (Jakarta); Mohamad Yamin, Amir Syarifudin,
Assaat, Wongsanegoro, Abbas, Suwirjo, Reksodiputro, Tamzil, dan lain-lain.[6]
Pada Kongres Pemuda
II (Sumpah Pemuda 1928) inilah para pelajar terdidik Indonesia mengambil
inisiatif, dengan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan (nasional),
wilayah kolonial Belanda sebagai wilayah kesatuan Indonesia, dan dalam satu
bangsa yakni bangsa Indonesia yang berdasar pada pengalaman sejarah yang sama. Menurut
Khatibul Umam Wiranu, dideklarasikannya Sumpah Pemuda pada 1928 merupakan
puncak kebersamaan—momen yang membuktikan bahwa nasionalisme telah menjadi
landasan dan dijunjung tinggi dalam aktivitas kebangsaan—dengan gagasan utama
untuk menyatukan visi keindonesiaan berdasarkan platform kebangsaan, dan mengatasnamakan diri mereka sebagai “orang
Indonesia”, tanpa membedakan asal-usul daerah anggota.”[7]
Pada tahun 1930-an
melalui tulisannya dalam ”Fikiran Ra’yat”, Soekarno mengatakan bahwa
nasionalisme kita adalah sosio-nasionalisme dan demokrasi kita adalah
sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi ini merupakan istilah
yang dibuat oleh Soekarno sendiri untuk membedakannya dengan nasionalisme dan
demokrasi bangsa lain. ”Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak
mencari ”gebyarnya” atau kilaunya negeri luar saja, tetapi ia haruslah mencari
selamatnya semua manusia.” Lalu, apa itu sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi? Marilah kita simak ulasan Soekarno tentang sosio-nasionalisme
dan sosio-demokrasi sebagai berikut:
”Sosio adalah terambil daripada perkataan yang berarti:
masyarakat, pergaulan-hidup, hirup-kumbuh, siahwee. Sosio-nasionalisme adalah
dus: nasionalisme-masyarakat, dan sosio-demokrasi adalah demokrasi-masyarakat.
…
Nasionalisme-masyarakat adalah nasionalisme yang timbulnya
tidak karena ”rasa” saja, tidak karena ”gevoel” saja, tidak karena
”lirik” saja—tetapi ialah karena keadaan-keadaan yang nyata di dalam masyarakat.
Sosio-nasionalisme bukanlah nasionalisme ”ngelamun”, bukanlah nasionalisme
”kemenyan”, bukanlah nasionalisme ”melayang”, tetapi ialah nasionalisme yang
dengan kedua kakinya berdiri di dalam masyarakat. …. Memperbaiki
keadaan-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang pincang itu
menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum
yang celaka, tidak ada kaum yang papa-sengsara…. Jadi, sosio-nasionalisme
adalah nasionalisme politik dan ekonomi—suatu nasionalisme yang bermaksud
mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan
rejeki.
Dan sosio-demokrasi adalah demokrasi-masyarakat yang timbul
karena sosio-nasionalisme. Demokrasi yang berdiri dengan kedua kakinya di dalam
masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan gundukan kecil
saja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi bukanlah demokrasi ala Prancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggris, ala
Nederland, ala Jerman, dll—tetapi ia
adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan
negeri dan keberesan rejeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi-politik dan
demokrasi-ekonomi.”[8]
Sosio-nasionalisme
dan sosio-demokrasi ini merupakan asas. Menurutnya, kedua asas ini tidak boleh
berubah sampai dunia ini hancur lebur, sampai kiamat sekalipun. Dalam hal ini, Soekarno
membedakan antara asas dan asas perjuangan.[9]
Kedua asas ini lahir dari kritik Soekarno terhadap demokrasi Barat. Demokrasi Barat
pertama kali didengungkan setelah terjadi pemberontakan Prancis 1917 dengan
semboyan: ”liberte, egalite, fraternite” kemerdekaan,
persamaan, dan persaudaraan!
Sebelum terjadinya
pemberontakan Prancis, bentuk pemerintahannya ialah monarki, cara
pemerintahannya ialah otokrasi, dan masyarakatnya disebut dengan masyarakat
feodal. Raja menyebut dirinya sebagai ”negara” itu sendiri. Artinya, raja
memiliki otoritas penuh dalam menentukan nasib rakyatnya. Pemerintahan otokrasi
ini disokong oleh golongan ningrat dan agamawan. Akan tetapi, lambat laun, muncullah
satu kelas baru, satu golongan baru, yang semakin lama semakin terusik oleh
aturan-aturan, undang-undang, dan cara pemerintahan otokrasi ini. Golongan atau
kelas baru ini adalah kaum borjuis. Demi kesejahteraan dan keselamatan
perusahan-perusahaan dan perniagaan mereka, maka perlu bagi mereka untuk
mendapatkan kekuasaan pemerintahan. Sistem pemerintahan otokrasi harus
dihancurkan. Akan tetapi, kaum borjuasi ketika itu belum mempunyai kekuatan
untuk melakukan itu. Maka satu-satunya cara ialah dengan memanfaatkan rakyat
jelata.
Dengan iming-iming
bahwa nanti ketika kita berhasil menghancurkan sistem pemerintahan otokrasi ini,
maka kita buat parlemen, di sana akan ada utusan atau perwakilan masing-masing
golongan. Ironisnya, ketika otokrasi berhasil dihancurkan oleh rakyat jelata, dan
diadakan parlemen, pengangguran merajalela, rakyat tidak sejahtera, bahkan
sengsara. Sebab demokrasi Barat atau demokrasi parlementer menumbuh-suburkan
kapitalisme. ”Bahwa kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari
cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi, menjadi
sebabnya nilai lebih. Oleh karenanya pula menyebabkan akumulasi kapital, konsentrasi
kapital, sentralisasi kapital, dan industrielle reserve-armee (tentara
kaum penganggur). Kapitalisme mempunyai arah kepada verelendung, yakni menyebarkan kesengsaraan.”[10] Sebab, demokrasi
yang seperti ini hanyalah demokrasi parlemen saja, yakni hanya demokrasi
politik saja, demokrasi ekonomi tidak ada. Seperti yang dikatakan Soekarno:
Tiap-tiap kaum proletar kini bisa ikut memilih wakil ke dalam
parlemen itu, tiap-tiap kaum proletar kini bisa ”ikut memerintah”!
Tetapi pada saat ia bisa menjadi ”raja” di parlemen itu, pada
saat itu juga ia sendiri bisa diusir dari pabrik di mana ia bekerja dengan upah
kokoro—dilemparkan di atas jalan, menjadi orang pengangguran![11]
Maka, sosio-nasionalisme
dan sosio-demokrasi tidak boleh kita tinggalkan, sebagai asas yang berdiri
dengan dua kakinya di tengah-tengah masyarakat, yang meluruskan
kepincangan-kepincangan di dalam masyarakat dan dengan semangat perjuangan:
non-kooperasi, machtvorming, massa-aksi, dan lain-lain. Sosio-nasionalisme
dan sosio-demokrasi ini juga tertuang dalam Pancasila. Ketika Soekarno
menawarkan lima sila (Panca Sila), yakni
Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan
dan Ketuhanan, dan apabila kelima sila ini tidak diterima, maka kata Soekarno,
“Saya akan memerasnya menjadi tiga. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan
internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu, yakni
sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische democratie, yaitu politik
demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid,
demokrasi dengan kesejahteraan, saya peras pula menjadi satu, yakni
sosio-demokrasi. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi, yang
asalnya lima itu telah menjadi tiga: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan
ketuhanan. Inilah weltanschauung kita—ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka.”[12]
Masa pendudukan
Jepang (1942-1945) sangat membantu pertumbuhan nasionalisme di Indonesia. Keinginan
Jepang untuk membebaskan Asia dan Asia Tenggara khususnya dari kolonialisme dan
imperialisme Barat sekaligus kebijakannya yang anti-Barat telah mendorong
pertumbuhan nasionalisme lokal di Indonesia. Bahkan, Jepang memberikan peluang
betapa pun terbatasnya kepada para pemimpin lokal untuk membicarakan masa depan
wilayah dan bangsa mereka masing-masing. Akan tetapi Jepang lebih mendorong
kelompok agama dan ulama dalam rangka membangkitkan daya juang mereka ketimbang
kelompok-kelompok nasionalis. Dengan harapan mampu memobilisasi
kelompok-kelompoknya pada tingkatan paling bawah, ”akar rumput” atau grassroot. Baru kemudian bebarapa saat
setelah berakhirnya pendudukan, Jepang kembali menoleh kelompok nasionalis.
Kedua,
nasionalisme politik. Dukungan Jepang kepada kelompok nasionalis untuk
memikirkan, membicarakan, dan membentuk nation-state,
membuka peluang yang sangat besar terhadap proses pembentukan negara-bangsa Indonesia.
Kelompok nasionalis sebagai pemegang kendali jalan terbentuknya ’nation-state and caracter building’, dikarenakan
kerinduan rakyat akan ’pemimpin nasionalis’. Soekarno yang sejak awal
mengobarkan semangat nasionalisme mendapat dukungan dari kelompok agama dan
ulama. Menurut Soekarno, ”nasionalisme
merupakan konsep sentral untuk membangun Indonesia yang mandiri dan terhormat
di tengah percaturan internasional.” Ia mengutuk eksklusivisme dan
chauvinisme nasionalisme Eropa yang justru menciptakan eksploitasi terhadap
bangsa-bangsa Asia Afrika. Nasionalisme kita adalah nasionalisme kontekstual
yang berdasar pada akar kesejarahan jiwa-bangsa Indonesia. Selain itu, Soekarno
juga mampu menyatukan tiga ideologi besar di Indonesia, yakni ajaran Marx tentang penindasan
Imperialisme,[13] Islam tentang permusuhan kaum muslimin
terhadap penjajah kafir, serta Nasionalisme sebagai pemersatu bangsa yang
berdasarkan rasa cinta kasih kepada seluruh manusia. Ini terangkum menjadi satu
dalam NASAKOM.
Nasionalisme politik menemu
puncaknya pada 17 Agustus 1945, ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkan
kemerdekaan, dengan menyatakan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia. Maka nasionalisme
fase ini, seperti bisa diduga sangat sarat dengan muatan politis ketimbang
sosial dan kultural.
Pilihan Demokrasi
Setelah bangsa Indonesia
menyatakan kemerdekaan melalui Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia tidak
begitu saja terbebas dari kolonialisme Belanda. Belanda dan juga sekutu Barat
tidak mengakuinya. Baru pada tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar yang
diselenggarakan di Den Haag antara Agustus dan November 1949. Belanda menghentikan tuntutannya atas kedaulatan Indonesia
kecuali Irian Barat dan mendukung berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS).[14] Pada
November tahun itu kekuasaan berpindah ke tangan Sutan Sjahrir yang memimpin
organisasi bawah tanah pada masa perang. Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri
dan Hatta sebagai wakil presiden. Dalam rangka menyelamatkan Republik yang baru
ini Sjahrir memaksa Belanda berunding dengan Republik Indonesia dan menghimbau
sekutu Barat untuk memperhitungkan prinsip-prinsip demokrasi mereka. Usaha-usaha
mempertahankan kemerdekaan ini tidak hanya melalui perundingan saja. Perang
gerilya selama empat tahun di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi terus
dilancarkan.[15] Setelah
1949 periode ini dikenal dengan demokrasi parlementer.[16] Parlemen
adalah badan yang diangkat, tetapi pada saat kabinet tidak dapat lagi menguasai
mayoritas di dalamnya, ia pun jatuh.
Pada masa-masa ini
banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapai pemerintah dalam memerintah. Pemberontakan
yang terjadi di Sumatera (PRRI) dan di Sulawesi (Permesta), merupakan bukti
nyata dari demokrasi kita yang tidak terkontrol. Tidak hanya di Sumatera dan
Sulawesi, gerakan-gerakan separatis ini juga muncul di berbagai daerah di Jawa
dan luar Jawa. Ditambah lagi dengan konstituante yang belum juga menemukan UUD
tetap bagi negara. Soekarno berpendapat bahwa penyebab ketidakstabilan
pemerintahan dan yang telah membuat kita selama sebelas tahun lamanya menderita
karena kita menggunakan sistem yang salah. Demokrasi Parlementer ala Barat—yang di dalamnya adalah begrip—yang dinamakan begrip opposisi. Oleh karena begrip opposisi ini kita maknakan dan
kita artikan dengan jalan yang tidak cocok dengan jiwa Indonesia.
Untuk meredam
gerakan-gerakan separatisme, penyakit kepartaian dan kapitalisme-liberalisme, maka
demokrasi kita harus sesuai dengan ”jiwa Proklamasi”, yakni pertama, jiwa merdeka nasional yaitu tak mau dihinggapi oleh penjajahan
sedikit pun jua. Kedua, jiwa
ikhlas (ikhlas mengabdi cita-cita, sepi
ing pamrih rame ing gawe, tak mengenal perkataan ”aku”, tetapi hanya
mengenal perkataan ”kita”). Ketiga, jiwa
persatuan nasional yang sejati, dan bukan hanya persatuan keluarga saja, atau
persatuan golongan. Keempat, jiwa pembangunan (membangun dengan tak mengenal lelah, membangun
negara dan masyarakat dari ketiadaan).[17] Maka, demokrasi kita ialah demokrasi yang
tidak hanya di parlemen saja. Demokrasi harus berasaskan kerakyatan untuk
mewujudkan keadilan sosial. Oleh sebab itu, pada 5 Juli 1959, konstituante
resmi dibubarkan dan melalui dekrit Presiden Soekarno mengajukan kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945.
Pada 17 Agustus
1959 pidato Soekarno yang berjudul ”Kembali ke Rel Revolusi”, dijadikan sebagai
Manifesto Politik Republik Indonesia oleh Dewan Pertimbangan Agung melalui wakil
ketuanya, yaitu Roeslan Abdulgani. Secara rinci, Roeslan menyatakan, Manifesto Politik memuat dua hal yang sangat dibutuhkan
untuk melancarkan jalannya Revolusi Indonesia. Pertama, persoalan-persoalan pokok dari Revolusi Indonesia. Kedua,
program umum Revolusi Indonesia (usaha-usaha
pokok).[18] Inilah
yang kemudian disebut sebagai ”Manipol-Usdek” (Manifesto
Politik Republik Indonesia, Undang-undang
Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia).
Soekarno mengritik
Demokrasi Parlementer—demokrasi ala Barat atau demokrasi liberal, yang
mengakibatkan ketidakstabilan politik dalam negeri, dan
menyarankan untuk diganti dengan
Demokrasi Terpimpin. Demokrasi tidak dapat berjalan tanpa dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan berupa nilai-nilai dasar yang dikehendaki demos atau rakyat. Demokrasi substansial sejatinya adalah
”Demokrasi Terpimpin”. Demokrasi yang dipimpin bukan oleh orang, melainkan oleh
nilai-nilai dasar yang berpihak seutuhnya kepada mereka yang tidak beruntung.[19]
Ketidakstabilan
pemerintahan selama ini menurut Soekarno disebabkan oleh karena kita dihinggapi
oleh empat macam krisis. Pertama, krisis politik, yang banyak orang tidak percaya lagi kepada
demokrasi. Padahal, demokrasi merupakan penjelmaan dari toleransi. Maka kita
perlu melakukan penyempurnaan kehidupan demokrasi, yang berlandaskan pada
Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kerakyatan dan keadilan
sosial. Inilah cita-cita Revolusi Nasional. Tetapi akibat dianjurkan
dibangunnya partai politik pada November 1945, kita mengalami yang namanya
penyakit kepartaian, yakni kesukuan dan kedaerahan. Maka kita perlu mengubur
partai-partai—dengan mengurangi jumlah partai.[20]
Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Untuk mengadakan
penyederhanaan kepartaian seperti yang tersebut di atas, Soekarno menawarkan
konsepsi, yang kemudian dikenal dengan ”konsepsi presiden”. Konsepsi ini
terdiri dari dua hal. Pertama, mengenai
kabinet, yang terdiri dari menteri dan anggota parlemen (fraksi), terdiri dari
orang-orang partai—yang mencapai ’kies-quetient’
(ketentuan kies-quetient ini terserah
pada penyelenggara). Kabinet ini dinamakan ”Kabinet Gotong-Royong”. Kedua, Dewan Nasional (disebut juga
dengan Dewan Revolusioner), merupakan ’kekeluargaan besar’. Anggotanya terdiri
dari wakil-wakil atau orang-orang dari ’golongan fungsional’ di dalam
masyarakat, yakni intellegensia (kaum cendikiawan), buruh, tani, wakil yang
dapat vertolken (daerah), wakil golongan
’45, golongan wanita, golongan pengusaha nasional, golongan protestan, golongan
katolik, dua wakil alim ulama, kepala staf AD, kepala staf AL, kepala staf AU, kepala
kepolisian negara, jaksa agung, beberapa menteri yang penting. Dewan Nasional
ini berfungsi memberi nasehat kepada kabinet, baik yang diminta maupun yang
tidak diminta. Kedua konsepsi ini harus dijalankan, sebab kabinet merupakan
cerminan dari parlemen, sedangkan Dewan Nasional cermin dari masyarakat.[21]
Ketiga, krisis cara berfikir dan cara meninjau. Untuk menjalankan
kekuatan pemerintahan (Kabinet dan Dewan Nasional), maka cara berfikir dan cara
meninjau lama harus kita ganti—”kembali
ke dunia baru, dengan jiwa baru dan pengertian baru.” Dalam hal ini, Soekarno
menawarkan program-program yang disebutnya sebagai program ’jangka pendek’ dan
program ’jangka panjang’. Program jangka pendek merupakan program kerja kabinet,
yakni mempertahankan kepribadian bangsa, melanjutkan perjuangan
anti-Imperialisme, sandang-pangan, dan keamanan. Sedangkan, program jangka
panjang merupakan cita-cita revolusi nasional, yakni menciptakan masyarakat
adil dan makmur, melenyapkan imperialisme di mana-mana, dan mencapai
dasar-dasar bagi perdamaian dunia yang kekal dan abadi. Inilah dasar dan tujuan
Revolusi Indonesia—social concience of
man, budi nurani kemanusiaan—keadilan sosial, kemerdekaan individu, kemerdekaan
bangsa, kebebasan, dan demokrasi.
Akan tetapi, jika
ada masalah-masalah yang berhubungan dengan tujuan-tujuan jangka pendek dan
jangka panjang tersebut, maka untuk menanggulanginya diperlukan suatu ordening baru dan herordening baru. Inilah yang dikatakan Soekarno sebagai “retooling
for the future”.[22] Lalu, apa saja yang harus di-retool? Soekarno menguraikannya sebagai berikut:
”...Retooling daripada
semua alat-alat perjuangan! Dan konsolidasi daripada semua alat-alat perjuangan
sesudah retooled!, antara lain: Retooling badan eksekutif, yaitu pemerintah,
kepegawaian dan lain sebagainya, vertikal dan horizontal. Di bidang eksekutif
ini retooling sedang berjalan
berangsur-angsur.
Retooling
badan legislatif, yaitu DPR. Siapa yang tidak bersumpah setia kepada
Undang-undang Dasar ’45 dikeluarkan dari DPR; siapa yang ikut pemberontakan, dipecat
dari DPR dan akan dihukum. Siapa yang tidak mengerti apa makna ”kembali kepada
Undang-undang Dasar ’45, sebaiknya ia keluar saja dari DPR.
Retooling
semua alat-alat kekuasaan negara—Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara,
dan Polisi. Alat-alat kekuasaan negara ini harus disapih sama sekali dari
liberalisme. Kini mereka bernaung di bawah bendera Undang-undang Dasar ’45, dan
mereka harus dijadikan lagi alat Revolusi.
Retooling
alat-alat produksi dan alat-alat distribusi—semuanya harus direorganisasi, harus
dibelokkan setirnya ke arah pelaksanaan fasal 33 UUD 1945 dengan mempergunakan
relnya demokrasi terpimpin. Retooling
organisasi-organisasi masyarakat—partai-partai politik, badan-badan sosial, badan-badan
ekonomi. Dengan penyederhanaan kepartaian dan mengadakan undang-undang
Pemilihan Umum baru, itu adalah retooling
pula.”[23]
Retooling tidak
hanya dalam hal seperti yang tersebut di atas, Soekarno menambahkan bahwa retooling harus kita teruskan di semua
lapangan, baik lapangan ekonomi, lapangan politik maupun lapangan
kemasyarakatan.[24]
Keempat, krisis moral. Menurut Soekarno, krisis moral ini lahir
akibat dari ”penyakit” kurang menghormati gezag (kewibawaan). Gezag itu tidak kita hormati oleh karena kesadaran bernegara
belum bertulang-sumsum di sebagian rakyat Indonesia. Akibatnya bermunculanlah
gerakan-gerakan anti-pemerintah. Dan oposisi seringkali diartikan dalam arti
mengritik pemerintah sehebat-hebatnya coute
que coute. Oposisi juga diartikan sedapat mungkin menumbangkan pemerintah
yang ada diganti dengan pemerintah dari oposisi itu sendiri. Maka, untuk mengatasi keadaan ini, gezag harus dikembalikan kepada
singgasananya. Gezag harus berani
kembali menjalankan gezag.[25]
Beberapa hal yang
tersebut di atas itulah yang menurut
penulis kemudian melahirkan konsep ”demokrasi terpimpin”. Demokrasi harus
terpimpin, tentu bukan dipimpin oleh orang, tetapi oleh nilai-nilai yang telah
disepakati bersama, yang menjadi konsensus bangsa Indonesia—yang tertuang dalam
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Inilah cita-cita dari Republik
Proklamasi.
Kesimpulan
Sosio-nasionalisme
dan sosio-demokrasi merupakan konsep sentral dalam pemikiran politik Soekarno. Yang
membedakannya dari nasionalisme ala Gandhi
maupun demokrasi ala Barat. Nasionalisme
dan demokrasi yang sesuai dengan ”kepribadian bangsa” yang disebut juga dengan
”jiwa bangsa”, yang tertuang dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Akan
tetapi, kepribadian bangsa inilah yang kemudian menjadi bumerang bagi Soekarno.
Berakhirnya
kekuasaan Soekarno (Orde Lama) menyusul kegagalan kudeta berdarah PKI pada 30
September 1965, menandai fase baru di bawah pimpinan Jendral Soeharto (Orde
Baru) dengan konsep nasionalisme ekonomi (developmentalisme).
Jika pada Orde Lama mengembangkan konsep pembangunan kawasan maritim, maka
Orde Baru lebih menekankan pembangunan kawasan agraria. Hal ini membuka peluang
bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, pemerintah
menjadi semakin otoriter dalam mengambil kebijakan dan keputusan terkait
’kontrak karya’ dengan perusahaan asing. Selain itu, penguasaan aparat
pemerintahan, seperti militer, menjadikan Orde Baru sebagai kekuatan baru yang
represif juga otoriter. Rencana pembangunan yang dicanangkan Orde Baru, semata-mata
hanya demi kepentingan pemilik modal. Nasionalisme ekonomi adalah topeng Orde
Baru dengan tiga aliansi: yakni modal asing, pemerintah (Orde Baru), dan
borjuasi lokal, yang ditopang oleh “nilai-nilai Pancasila”, di mana yang berhak
menafsirkannya adalah pemerintah.
Jika Bung Karno
lebih menekankan pada ”paradigma konflik”, maka Soeharto menganggapnya sebagai
”paradigma konsensus”, yakni krisis kebudayaan ditafsirkan sebagai krisis
politik, yang bersalah adalah sistem, maka patut diubah. Sebab tidak sesuai
dengan ‘kepribadian bangsa’—menurut Soeharto, kepribadian bangsa inilah yang menjadi penghambat
pemersatu bangsa. Padahal kita tahu bahwa kebangsaan kita bukanlah semata-mata
dibangun berdasar nilai-nilai tradisional-kultural. Akan tetapi, berdasar pada
cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan bersama dan melepaskan diri dari
alienasi kolonialisme.
Itulah sebabnya
penulis dalam tulisan ini bermaksud mengajak pembaca untuk memahami ”tata-buku”
masa lalu dan membaca tata buku saat ini—agar bisa digunakan untuk membaca dan
menata tata-buku masa depan. Tidak hanya dengan menyalahkan satu pihak, dengan
tuduhan bahwa yang bersalah adalah mereka, bahwa yang patut disalahkan hanyalah
dia. Tetapi, dengan memahami tata-buku masa lalu, kita juga harus berani
mengatakan bahwa yang bersalah tidak hanya mereka, bahwa yang bersalah bukan
hanya dia, tetapi juga kita. Akankah kita mau bersikap demikian? (*)
Artikel Terkait
- Salam Redaksi
- Riset Redaksi
- Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
- Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
- Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
- Demokrasi Deliberatif
- Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
- Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
- Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
- Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
- Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
- Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
- Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
- Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)
[1]Soekarno, Di bawah
Bendera Revolusi (DBR), (Jakarta: 1963), cetakan kedua, h. 580.
[2]Franz Magnis-Suseno SJ, Mencari
Sosok Demokrasi (Sebuah Telaah Filosofis), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 1995.
[3] Prof DR Taufik Abdullah mencontohkan suatu peristiwa yang
terjadi di Minangkabau pada tahun 1906, di mana sekelompok pedagang yang
berasal dari pedalaman (darek)
melakukan oposisi yang cukup gencar terhadap Panglima Regen (Penguasa Pribumi),
di Kota Padang. Di bawah pimpinan seorang penghulu adat, yang bekerja sebagai
wartawan surat kabar dan memakai argumen kemurnian adat Minangkabau, para
pedagang ini menolak keabsahan kedudukan Panglima Regen dan lembaga
kebangsawanan yang telah lama tertanam di Kota Padang. Pada tahun 1910-an Surabaya
bisa pula dianggap sebagai kota pusat ”revolusi demokratis”. Selain itu, pada
tahun 1930-an gerakan sosial dan kultural yang mengingkari keabsahan hirarki
sosial juga terjadi di Singaraja. Para pelaku dari ’revolusi’ ini menyebut diri
mereka sebagai ”kaum muda” yang modern dan demokratis. Lihat Prof DR H Taufik
Abdullah, Nasionalisme & Sejarah,
(Bandung: Satya Historika, 2001).
[4] E. J. Hobsbawm, Nasionalisme
Menjelang Abad XXI, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992). Cetakan pertama.
[5] Roeslan Abdulgani, Nasionalisme
Kita Berdasarkan Demokrasi Keadialan Sosial (1957), dalam Herbert Feith
& Lance Castles, Pemikiran Politik
Indonesia 1945-1965, (Jakarta:
LP3ES, 1988).
[6] Khatibul Umam Wiranu, Sejarah
Konsensus Politik Indonesia ”Sebuah Kajian Filosofis”, (Depok: Saung Buku, 2010).
[7] Lebih jauh Khatibul Umam Wiranu mengatakan bahwa ”Sumpah
Pemuda” juga berusaha memadukan kebhinekaan. Kemajemukan, keanekaragaman tetap
ada dan dihormati, namun semangat seperjuangan dan pengakuan bertanah air, berbangsa,
dan berbahasa satu, yakni bahasa Indonesia, telah bulat. ” (Khatibul Umam
Wiranu, h. 25).
[8] DBR, hlm. 174.
[9] Menurut Soekarno, asas adalah dasar atau ”pegangan” kita, yang,
”walau sampai lebur-kiamat, terus menentukan ”sikap” kita, terus menentukan
”duduknya nyawa kita”. Asas tidak boleh kita lepaskan, tidak boleh kita buang, walaupun
kita sudah mencapai Indonesia-Merdeka, bahkan malahan sesudah tercapainya
Indonesia-Merdeka itu harus menjadi dasar caranya kita menyusun masyarakat kita.
Akan tetapi, bagaimana kita bisa melaksanakan asas itu. Jawabannya adalah
dengan perjuangan. Perjuangan adalah satu-satunya jalan untuk mencapai
Indonesia-Merdeka. Inilah yang disebut Soekarno sebagai asas perjuangan. Asas
perjuangan adalah menentukan hukum-hukum daripada perjuangan itu, menentukan
”strategi”, karakter, sifat-watak, dan garis-garis besar daripada perjuangan
itu. Asas perjuangan misalnya, non-kooperasi, machtvorming, massa-aksi, dll.
(DBR, h. 249-250).
[10]Bung Karno, Indonesia
Menggugat, (Jakarta: Penerbitan
S. K. SENO, 1956), Cetakan Kedua.
[11]DBR, h. 172.
[12] Soekarno, Lahirnya
Pantja-Sila, Departemen Penerangan RI, Jakarta, 1956.
[13] Imperialisme adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau
mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri— suatu sistem merajai atau
mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain. Merupakan suatu kejadian di dalam
pergaulan hidup, yang timbulnya ialah oleh keharusan-keharusan di dalam ekonomi
suatu negeri atau suatu bangsa. Selama ada ”ekonomi bangsa”, selama ada
”ekonomi negeri”, selama itu dunia melihat imperialisme. Ia tak usah dijalankan
dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa
”pengeluasan negeri-daerah dengan kekerasan senjata.” Tetapi imperialisme bisa
juga berjalan hanya dengan ”putar lidah”
atau cara ”halus-halusan” saja, bisa
juga berjalan dengan cara ”penetration
pacifique”. (Indonesia Menggugat:1956, hlm. 16).
[14]RIS merupakan suatu federasi dengan 15 negara kecil yang
dibikin oleh Belanda, sebagai anggotanya. Sedangkan kekuasaan yang lebih besar
berada di tangan negara anggota ke-16, yaitu Republik Indonesia. RIS berdiri pada
27 Desember 1949, tetapi pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS diubah menjadi negara
kesatuan kembali. (Herbert Feith, h. 41).
[15] Herbert Feith, h. 2.
[16] Demokrasi Parlementer berakhir Maret 1958, ketika terjadi
pertentangan antara pemerintah pusat dengan para pemimpin Sumatera yang telah
mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). (Herbert Feith, h.
84).
[17] (Soekarno:
1952).
[18] Dewan Pertimbangan Agung, Manifesto Politik sebagai Program Umum Revolusi, dalam Herbert
Feith, h. 97.
[19] Donny Gahral Adian, Demokrasi
Substansial, (Depok: Koekoesan,
2010).
[20] (Soekarno:
1954-1956)
[21](Soekarno: 1957)
[22]“Retooling
berarti mengganti sarana-sarana, mengganti alat-alat dan aparatur yang tidak
sesuai lagi dengan pikiran demokrasi terpimpin, dengan sarana-sarana baru, dengan
alat-alat dan aparatur-aparatur baru, yang lebih sesuai dengan outlook baru. Retooling berarti juga menghemat segala sarana-sarana dan alat-alat
yang masih dapat dipergunakan, asal saja alat-alat itu masih mungkin diperbaiki
dan dipertajam kembali.” (Soekarno: 1959).
[23]Herbert Feith, h. 93
[24](Soekarno: 1959)
[25](Soekarno: 1952)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar