Kamis, 16 Januari 2014

Pemikiran Politik Soekarno tentang Demokrasi Indonesia

Oleh: 
Daud A. Gerung
Santri Pesantren Ciganjur,
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Bung Karno

“Demokrasi adalah alat. Alat untuk mencapai masyarakat adil-makmur yang sempurna. Pemilu adalah alat. Alat untuk menyempurnakan demokrasi itu.
Jadi, pemilu sekedar alat untuk menyempurnakan alat.”
(Soekarno, Presiden pertama RI)
Pendahuluan

Sudah 50 tahun lebih perdebatan tentang demokrasi di Indonesia masih hangat untuk diperbincangkan. Mulai dari sistem presidensial, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, sampai pada era-Reformasi sekarang ini konsep demokrasi Indonesia masih jauh panggang dari api. Tidak hanya saat ini, jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia perdebatan mengenai bentuk dan dasar didirikannya republik ini dibutuhkan waktu yang cukup lama. Ini bisa kita lihat dalam perdebatan para founding fathers dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Akan tetapi tidak seperti sekarang ini, meskipun terjadi perdebatan pada era sebelum Indonesia merdeka. Perdebatan-perdebatan itu semata-mata bukan demi kepentingan golongan atau kelompok, bukan demi kepentingan partai mereka, apalagi demi kepentingan pribadi. Perdebatan-perdebatan itu semata-mata didorong oleh keinginan untuk membangun masyarakat adil dan sejahtera yang berdasarkan pada kerakyatan dan cita-cita Revolusi Nasional, yakni Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Soekarno dan Hatta misalnya yang sama-sama mengkritik demokrasi Barat yang hanya melahirkan demokrasi politik yang kemudian melahirkan individualisme dalam bidang ekonomi.

Menurut Soekarno, demokrasi di Indonesia tidak hanya terhenti pada titik ini. Demokrasi Indonesia perlu adanya penambahan dan penekanan pada demokrasi politik plus demokrasi ekonomi sama dengan demokrasi sosial. ”Demokrasi politik saja belum mencukupi, demokrasi politik itu masih perlu di-”compleet”-kan lagi dengan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik saja belum cukup—yang mencukupi ialah demokrasi politik plus demokrasi ekonomi. Dengan mengutamakan perjuangan nasional, oleh karena keinsyafan dan perasaan nasional merupakan keinsyafan dan perasaan yang terkemuka di dalam suatu masyarakat kolonial.[1] Begitu juga menurut Hatta, ”Demokrasi kita tidak hanya memuat nilai-nilai politis akan tetapi juga ekonomis. Demokrasi kita mempunyai akar yang kuat dalam masyarakat Indonesia yang berakar dalam pengalaman Demokrasi Desa dengan tiga cirinya: rapat (bermusyawarah dan mufakat), ”hak rakyat” mengadakan protes, dan cita-cita tolong-menolong.”[2] Hanya saja, jika Soekarno membangun konsepsi berdasarkan pada ”persatuan nasional”, maka Hatta berdasarkan pada konsepsi ”kerakyatan”.

Konsep demokrasi berasal dari negara-kota (polis) Yunani Kuno barangkali bisa diterima sebagai acuan pengalaman sejarah. Begitu juga dengan kebangkitan negara-negara Eropa akhir abad ke-18 dan abad ke-19 yang menggunakan konsep demokrasi tak perlu dipersoalkan. Lalu, pertanyaannya sekarang kapan konsep demokrasi di tanah air kita mulai berpengaruh dan diterima di kalangan masyarakat luas?

Menurut Prof DR Taufik Abdullah, cita-cita demokrasi tumbuh di tanah air kita dalam konteks komunitas kota, yang berasal dari berbagai komunitas primordial. Dengan cita-cita demokrasi ”tabir ketidaktahuan”; antara sesama ’orang asing’ itu ingin ditiadakan. Demokrasi adalah ”janji bersama” untuk menciptakan suatu tata sistem politik dan hubungan sosial yang memberi tempat yang sama pada semua, karena itulah terlekat di dalam cita-cita ini suatu kesadaran bahwa berbagai persiapan sosial-kultural diperlukan juga.”[3]

Suatu tata sistem politik dan hubungan sosial inilah yang kemudian menjadi perdebatan Soekarno dan Hatta versus Syahrir pada tahun 1930-an mengenai langkah-langkah dan strategi yang digunakan dalam mencapai Indonesia Merdeka. Dalam hal ini, penulis ingin mencoba untuk menghubungkan pemikiran politik Soekarno pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan melalui tulisan-tulisannya dalam ”Fikiran Ra’jat” dan sikap politik yang diambil pasca-Indonesia merdeka. Oleh karena itu, perlu kita bedakan antara pikiran dan perilaku politik, antara harapan dan cita-cita dalam membangun suatu tata sosial yang barangkali sering menjadi perdebatan karena dianggap keliru dan telah keluar dari kesepakatan atau cita-cita bersama mewujudkan masyarakat berwibawa, adil-makmur, dan sejahtera.

Semangat Kebangsaan

Sebelum tahun 1884 kata nation hanya berarti kumpulan penduduk dari suatu provinsi, suatu negeri atau suatu kerajaan dan juga ”orang asing”. Saat ini kata tersebut diartikan sebagai suatu negara atau badan politik yang mengakui suatu pusat pemerintahan bersama yang tertinggi dan juga wilayah yang dikuasai oleh negara tersebut dan penduduk individunya, dipandang sebagai suatu kebulatan. Menurut John Stuart Mill, ”nation” tidak hanya memiliki unsur kewarganegaraan dan partisipasi atau pilihan massa, tetapi bahwa anggota-anggota suatu nasionalitas berkeinginan untuk berada di bawah pemerintahan yang sama, dan pemerintahan itu hendaklah pemerintahan oleh mereka sendiri atau sebagian dari mereka secara eksklusif. Dengan demikian kita dapat, tanpa memperdebatkannya lebih jauh lagi, menerima bahwa dalam pengertiannya yang modern konsep bangsa pada dasarnya membawa arti politis. Sejalan dengan yang digambarkan di atas, menurut E. J. Hobsbawn, ”bangsa” adalah kelompok para warganegara yang kedaulatan kolektifnya membentuk suatu negara yang merupakan ekspresi politik mereka.[4]

Begitu juga di tanah air kita, munculnya nasionalisme di Indonesia ditandai oleh semangat anti-penjajah dengan menggalang kekuatan-kekuatan etnik-lokal dan membentuk gerakan-gerakan yang berdasar pada ”prinsip-prinsip nasionalisme”. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian melakukan protes dan tuntutan-tuntutan bahwa sudah saatnya mereka menentukan nasib sendiri dengan membentuk pemerintahan oleh mereka sendiri. Pendek kata, nasionalisme Indonesia lahir dari reaksi atas kolonialisme-imperialisme Eropa Barat. Seperti yang dikatakan Roeslan Abdulgani bahwa nasionalisme mempunyai tiga aspek. Pertama, aspek politis (politik dominasi) yang bersifat menumbangkan dominasi politik bangsa asing untuk menggantinya dengan suatu sistem pemerintahan yang demokratis. Kedua, aspek sosial-ekonomis (ekonomisme-eksploitasi) yang bersifat menghentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangunkan suatu masyarakat baru bebas dari kemelaratan dan kesengsaraan. Ketiga, aspek kultural (culturele-penetrasi) yang bersifat menghidupkan kembali kepribadiannya disesuaikan dengan perubahan zaman.[5]

Dalam perjalanannya, kebangsaan (nasionalisme) kita mempunyai beberapa tahapan-tahapan perkembangan. Pertama, kesadaran kultural. Tahapan ini ditandai dengan penemuan identitas kultural dalam konteks sebagai rakyat jajahan. Pembedaan ini dilakukan semata-mata berdasarkan kultur dan cenderung rasial. Kesadaran kultural ini timbul dari penyerapan gagasan nasionalisme yang berkembang pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Melalui pembentukan organisasi-organisasi dan penggalangaan dimensi-dimensi sosial dan kultural. Sejak berdirinya Budi Utomo, Jong Java, Jong Islamieten Bond, sampai pada SDI dan SI, misalnya. Melalui organisasi­organisasi inilah ”an imagined political community” mulai mengambil bentuknya dalam masyarakat Indonesia. Inilah pertumbuhan awal dan kristalisasi gagasan nasionalisme (Proto-nasionalisme). Proto-nasionalisme ini mencapai puncaknya pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Tokoh-tokoh utamanya berasal dari tiga tempat, yakni dari Study Club (Bandung); Soekarno dan Anwari, dari Perhimpunan Indonesia (di Negeri Belanda); Datuk Nazir Pamoentjak, Nazier, Muhammad Hatta, Soekiman, Budiarto, Sartono, Soenario, Ishaq, Samsi, dan dari Perkumpulan Pelajar-pelajar Indonesia (Jakarta); Mohamad Yamin, Amir Syarifudin, Assaat, Wongsanegoro, Abbas, Suwirjo, Reksodiputro, Tamzil, dan lain-lain.[6]

Pada Kongres Pemuda II (Sumpah Pemuda 1928) inilah para pelajar terdidik Indonesia mengambil inisiatif, dengan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan (nasional), wilayah kolonial Belanda sebagai wilayah kesatuan Indonesia, dan dalam satu bangsa yakni bangsa Indonesia yang berdasar pada pengalaman sejarah yang sama. Menurut Khatibul Umam Wiranu, dideklarasikannya Sumpah Pemuda pada 1928 merupakan puncak kebersamaan—momen yang membuktikan bahwa nasionalisme telah menjadi landasan dan dijunjung tinggi dalam aktivitas kebangsaan—dengan gagasan utama untuk menyatukan visi keindonesiaan berdasarkan platform kebangsaan, dan mengatasnamakan diri mereka sebagai “orang Indonesia”, tanpa membedakan asal-usul daerah anggota.”[7]

Pada tahun 1930-an melalui tulisannya dalam ”Fikiran Ra’yat”, Soekarno mengatakan bahwa nasionalisme kita adalah sosio-nasionalisme dan demokrasi kita adalah sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi ini merupakan istilah yang dibuat oleh Soekarno sendiri untuk membedakannya dengan nasionalisme dan demokrasi bangsa lain. ”Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari ”gebyarnya” atau kilaunya negeri luar saja, tetapi ia haruslah mencari selamatnya semua manusia.” Lalu, apa itu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi? Marilah kita simak ulasan Soekarno tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi sebagai berikut:

”Sosio adalah terambil daripada perkataan yang berarti: masyarakat, pergaulan-hidup, hirup-kumbuh, siahwee. Sosio-nasionalisme adalah dus: nasionalisme-masyarakat, dan sosio-demokrasi adalah demokrasi-masyarakat.
Nasionalisme-masyarakat adalah nasionalisme yang timbulnya tidak karena ”rasa” saja, tidak karena ”gevoel” saja, tidak karena ”lirik” saja—tetapi ialah karena keadaan-keadaan yang nyata di dalam masyarakat. Sosio-nasionalisme bukanlah nasionalisme ”ngelamun”, bukanlah nasionalisme ”kemenyan”, bukanlah nasionalisme ”melayang”, tetapi ialah nasionalisme yang dengan kedua kakinya berdiri di dalam masyarakat. …. Memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang celaka, tidak ada kaum yang papa-sengsara…. Jadi, sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi—suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rejeki.
Dan sosio-demokrasi adalah demokrasi-masyarakat yang timbul karena sosio-nasionalisme. Demokrasi yang berdiri dengan kedua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan gundukan kecil saja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi bukanlah demokrasi ala Prancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggris, ala Nederland, ala Jerman, dll—tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rejeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi.”[8]

Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi ini merupakan asas. Menurutnya, kedua asas ini tidak boleh berubah sampai dunia ini hancur lebur, sampai kiamat sekalipun. Dalam hal ini, Soekarno membedakan antara asas dan asas perjuangan.[9] Kedua asas ini lahir dari kritik Soekarno terhadap demokrasi Barat. Demokrasi Barat pertama kali didengungkan setelah terjadi pemberontakan Prancis 1917 dengan semboyan: ”liberte, egalite, fraternite” kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan!

Sebelum terjadinya pemberontakan Prancis, bentuk pemerintahannya ialah monarki, cara pemerintahannya ialah otokrasi, dan masyarakatnya disebut dengan masyarakat feodal. Raja menyebut dirinya sebagai ”negara” itu sendiri. Artinya, raja memiliki otoritas penuh dalam menentukan nasib rakyatnya. Pemerintahan otokrasi ini disokong oleh golongan ningrat dan agamawan. Akan tetapi, lambat laun, muncullah satu kelas baru, satu golongan baru, yang semakin lama semakin terusik oleh aturan-aturan, undang-undang, dan cara pemerintahan otokrasi ini. Golongan atau kelas baru ini adalah kaum borjuis. Demi kesejahteraan dan keselamatan perusahan-perusahaan dan perniagaan mereka, maka perlu bagi mereka untuk mendapatkan kekuasaan pemerintahan. Sistem pemerintahan otokrasi harus dihancurkan. Akan tetapi, kaum borjuasi ketika itu belum mempunyai kekuatan untuk melakukan itu. Maka satu-satunya cara ialah dengan memanfaatkan rakyat jelata.

Dengan iming-iming bahwa nanti ketika kita berhasil menghancurkan sistem pemerintahan otokrasi ini, maka kita buat parlemen, di sana akan ada utusan atau perwakilan masing-masing golongan. Ironisnya, ketika otokrasi berhasil dihancurkan oleh rakyat jelata, dan diadakan parlemen, pengangguran merajalela, rakyat tidak sejahtera, bahkan sengsara. Sebab demokrasi Barat atau demokrasi parlementer menumbuh-suburkan kapitalisme. ”Bahwa kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi, menjadi sebabnya nilai lebih. Oleh karenanya pula menyebabkan akumulasi kapital, konsentrasi kapital, sentralisasi kapital, dan industrielle reserve-armee (tentara kaum penganggur). Kapitalisme mempunyai arah kepada verelendung, yakni menyebarkan kesengsaraan.”[10] Sebab, demokrasi yang seperti ini hanyalah demokrasi parlemen saja, yakni hanya demokrasi politik saja, demokrasi ekonomi tidak ada. Seperti yang dikatakan Soekarno:

Tiap-tiap kaum proletar kini bisa ikut memilih wakil ke dalam parlemen itu, tiap-tiap kaum proletar kini bisa ”ikut memerintah”!
Tetapi pada saat ia bisa menjadi ”raja” di parlemen itu, pada saat itu juga ia sendiri bisa diusir dari pabrik di mana ia bekerja dengan upah kokoro—dilemparkan di atas jalan, menjadi orang pengangguran![11]

Maka, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi tidak boleh kita tinggalkan, sebagai asas yang berdiri dengan dua kakinya di tengah-tengah masyarakat, yang meluruskan kepincangan-kepincangan di dalam masyarakat dan dengan semangat perjuangan: non-kooperasi, machtvorming, massa-aksi, dan lain-lain. Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi ini juga tertuang dalam Pancasila. Ketika Soekarno menawarkan lima sila (Panca Sila), yakni Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan dan Ketuhanan, dan apabila kelima sila ini tidak diterima, maka kata Soekarno, “Saya akan memerasnya menjadi tiga. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu, yakni sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische democratie, yaitu politik demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peras pula menjadi satu, yakni sosio-demokrasi. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi, yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Inilah weltanschauung kita—ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka.”[12]

Masa pendudukan Jepang (1942-1945) sangat membantu pertumbuhan nasionalisme di Indonesia. Keinginan Jepang untuk membebaskan Asia dan Asia Tenggara khususnya dari kolonialisme dan imperialisme Barat sekaligus kebijakannya yang anti-Barat telah mendorong pertumbuhan nasionalisme lokal di Indonesia. Bahkan, Jepang memberikan peluang betapa pun terbatasnya kepada para pemimpin lokal untuk membicarakan masa depan wilayah dan bangsa mereka masing-masing. Akan tetapi Jepang lebih mendorong kelompok agama dan ulama dalam rangka membangkitkan daya juang mereka ketimbang kelompok-kelompok nasionalis. Dengan harapan mampu memobilisasi kelompok-kelompoknya pada tingkatan paling bawah, ”akar rumput” atau grassroot. Baru kemudian bebarapa saat setelah berakhirnya pendudukan, Jepang kembali menoleh kelompok nasionalis.

Kedua, nasionalisme politik. Dukungan Jepang kepada kelompok nasionalis untuk memikirkan, membicarakan, dan membentuk nation-state, membuka peluang yang sangat besar terhadap proses pembentukan negara-bangsa Indonesia. Kelompok nasionalis sebagai pemegang kendali jalan terbentuknya ’nation-state and caracter building’, dikarenakan kerinduan rakyat akan ’pemimpin nasionalis’. Soekarno yang sejak awal mengobarkan semangat nasionalisme mendapat dukungan dari kelompok agama dan ulama. Menurut Soekarno, ”nasionalisme merupakan konsep sentral untuk membangun Indonesia yang mandiri dan terhormat di tengah percaturan internasional.” Ia mengutuk eksklusivisme dan chauvinisme nasionalisme Eropa yang justru menciptakan eksploitasi terhadap bangsa-bangsa Asia Afrika. Nasionalisme kita adalah nasionalisme kontekstual yang berdasar pada akar kesejarahan jiwa-bangsa Indonesia. Selain itu, Soekarno juga mampu menyatukan tiga ideologi besar di Indonesia, yakni ajaran Marx tentang penindasan Imperialisme,[13] Islam tentang permusuhan kaum muslimin terhadap penjajah kafir, serta Nasionalisme sebagai pemersatu bangsa yang berdasarkan rasa cinta kasih kepada seluruh manusia. Ini terangkum menjadi satu dalam NASAKOM.

Nasionalisme politik menemu puncaknya pada 17 Agustus 1945, ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan, dengan menyatakan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia. Maka nasionalisme fase ini, seperti bisa diduga sangat sarat dengan muatan politis ketimbang sosial dan kultural.

Pilihan Demokrasi

Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan melalui Proklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia tidak begitu saja terbebas dari kolonialisme Belanda. Belanda dan juga sekutu Barat tidak mengakuinya. Baru pada tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan di Den Haag antara Agustus dan November 1949. Belanda menghentikan tuntutannya atas kedaulatan Indonesia kecuali Irian Barat dan mendukung berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS).[14] Pada November tahun itu kekuasaan berpindah ke tangan Sutan Sjahrir yang memimpin organisasi bawah tanah pada masa perang. Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri dan Hatta sebagai wakil presiden. Dalam rangka menyelamatkan Republik yang baru ini Sjahrir memaksa Belanda berunding dengan Republik Indonesia dan menghimbau sekutu Barat untuk memperhitungkan prinsip-prinsip demokrasi mereka. Usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan ini tidak hanya melalui perundingan saja. Perang gerilya selama empat tahun di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi terus dilancarkan.[15] Setelah 1949 periode ini dikenal dengan demokrasi parlementer.[16] Parlemen adalah badan yang diangkat, tetapi pada saat kabinet tidak dapat lagi menguasai mayoritas di dalamnya, ia pun jatuh.

Pada masa-masa ini banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapai pemerintah dalam memerintah. Pemberontakan yang terjadi di Sumatera (PRRI) dan di Sulawesi (Permesta), merupakan bukti nyata dari demokrasi kita yang tidak terkontrol. Tidak hanya di Sumatera dan Sulawesi, gerakan-gerakan separatis ini juga muncul di berbagai daerah di Jawa dan luar Jawa. Ditambah lagi dengan konstituante yang belum juga menemukan UUD tetap bagi negara. Soekarno berpendapat bahwa penyebab ketidakstabilan pemerintahan dan yang telah membuat kita selama sebelas tahun lamanya menderita karena kita menggunakan sistem yang salah. Demokrasi Parlementer ala Barat—yang di dalamnya adalah begrip—yang dinamakan begrip opposisi. Oleh karena begrip opposisi ini kita maknakan dan kita artikan dengan jalan yang tidak cocok dengan jiwa Indonesia.

Untuk meredam gerakan-gerakan separatisme, penyakit kepartaian dan kapitalisme-liberalisme, maka demokrasi kita harus sesuai dengan ”jiwa Proklamasi”, yakni pertama, jiwa merdeka nasional yaitu tak mau dihinggapi oleh penjajahan sedikit pun jua. Kedua, jiwa ikhlas (ikhlas mengabdi cita-cita, sepi ing pamrih rame ing gawe, tak mengenal perkataan ”aku”, tetapi hanya mengenal perkataan ”kita”). Ketiga, jiwa persatuan nasional yang sejati, dan bukan hanya persatuan keluarga saja, atau persatuan golongan. Keempat, jiwa pembangunan (membangun dengan tak mengenal lelah, membangun negara dan masyarakat dari ketiadaan).[17] Maka, demokrasi kita ialah demokrasi yang tidak hanya di parlemen saja. Demokrasi harus berasaskan kerakyatan untuk mewujudkan keadilan sosial. Oleh sebab itu, pada 5 Juli 1959, konstituante resmi dibubarkan dan melalui dekrit Presiden Soekarno mengajukan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.

Pada 17 Agustus 1959 pidato Soekarno yang berjudul ”Kembali ke Rel Revolusi”, dijadikan sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia oleh Dewan Pertimbangan Agung melalui wakil ketuanya, yaitu Roeslan Abdulgani. Secara rinci, Roeslan menyatakan, Manifesto Politik memuat dua hal yang sangat dibutuhkan untuk melancarkan jalannya Revolusi Indonesia. Pertama, persoalan-persoalan pokok dari Revolusi Indonesia. Kedua, program umum Revolusi Indonesia (usaha-usaha pokok).[18] Inilah yang kemudian disebut sebagai ”Manipol-Usdek” (Manifesto Politik Republik Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia).

Soekarno mengritik Demokrasi Parlementer—demokrasi ala Barat atau demokrasi liberal, yang mengakibatkan ketidakstabilan politik dalam negeri, dan menyarankan untuk diganti dengan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi tidak dapat berjalan tanpa dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan berupa nilai-nilai dasar yang dikehendaki demos atau rakyat. Demokrasi substansial sejatinya adalah ”Demokrasi Terpimpin”. Demokrasi yang dipimpin bukan oleh orang, melainkan oleh nilai-nilai dasar yang berpihak seutuhnya kepada mereka yang tidak beruntung.[19]

Ketidakstabilan pemerintahan selama ini menurut Soekarno disebabkan oleh karena kita dihinggapi oleh empat macam krisis. Pertama, krisis politik, yang banyak orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Padahal, demokrasi merupakan penjelmaan dari toleransi. Maka kita perlu melakukan penyempurnaan kehidupan demokrasi, yang berlandaskan pada Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial. Inilah cita-cita Revolusi Nasional. Tetapi akibat dianjurkan dibangunnya partai politik pada November 1945, kita mengalami yang namanya penyakit kepartaian, yakni kesukuan dan kedaerahan. Maka kita perlu mengubur partai-partai—dengan mengurangi jumlah partai.[20]

Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Untuk mengadakan penyederhanaan kepartaian seperti yang tersebut di atas, Soekarno menawarkan konsepsi, yang kemudian dikenal dengan ”konsepsi presiden”. Konsepsi ini terdiri dari dua hal. Pertama, mengenai kabinet, yang terdiri dari menteri dan anggota parlemen (fraksi), terdiri dari orang-orang partai—yang mencapai ’kies-quetient’ (ketentuan kies-quetient ini terserah pada penyelenggara). Kabinet ini dinamakan ”Kabinet Gotong-Royong”. Kedua, Dewan Nasional (disebut juga dengan Dewan Revolusioner), merupakan ’kekeluargaan besar’. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil atau orang-orang dari ’golongan fungsional’ di dalam masyarakat, yakni intellegensia (kaum cendikiawan), buruh, tani, wakil yang dapat vertolken (daerah), wakil golongan ’45, golongan wanita, golongan pengusaha nasional, golongan protestan, golongan katolik, dua wakil alim ulama, kepala staf AD, kepala staf AL, kepala staf AU, kepala kepolisian negara, jaksa agung, beberapa menteri yang penting. Dewan Nasional ini berfungsi memberi nasehat kepada kabinet, baik yang diminta maupun yang tidak diminta. Kedua konsepsi ini harus dijalankan, sebab kabinet merupakan cerminan dari parlemen, sedangkan Dewan Nasional cermin dari masyarakat.[21]

Ketiga, krisis cara berfikir dan cara meninjau. Untuk menjalankan kekuatan pemerintahan (Kabinet dan Dewan Nasional), maka cara berfikir dan cara meninjau lama harus kita ganti—”kembali ke dunia baru, dengan jiwa baru dan pengertian baru.” Dalam hal ini, Soekarno menawarkan program-program yang disebutnya sebagai program ’jangka pendek’ dan program ’jangka panjang’. Program jangka pendek merupakan program kerja kabinet, yakni mempertahankan kepribadian bangsa, melanjutkan perjuangan anti-Imperialisme, sandang-pangan, dan keamanan. Sedangkan, program jangka panjang merupakan cita-cita revolusi nasional, yakni menciptakan masyarakat adil dan makmur, melenyapkan imperialisme di mana-mana, dan mencapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia yang kekal dan abadi. Inilah dasar dan tujuan Revolusi Indonesia—social concience of man, budi nurani kemanusiaan—keadilan sosial, kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, kebebasan, dan demokrasi.

Akan tetapi, jika ada masalah-masalah yang berhubungan dengan tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang tersebut, maka untuk menanggulanginya diperlukan suatu ordening baru dan herordening baru. Inilah yang dikatakan Soekarno sebagai retooling for the future”.[22] Lalu, apa saja yang harus di-retool? Soekarno menguraikannya sebagai berikut:

”...Retooling daripada semua alat-alat perjuangan! Dan konsolidasi daripada semua alat-alat perjuangan sesudah retooled!, antara lain: Retooling badan eksekutif, yaitu pemerintah, kepegawaian dan lain sebagainya, vertikal dan horizontal. Di bidang eksekutif ini retooling sedang berjalan berangsur-angsur.
Retooling badan legislatif, yaitu DPR. Siapa yang tidak bersumpah setia kepada Undang-undang Dasar ’45 dikeluarkan dari DPR; siapa yang ikut pemberontakan, dipecat dari DPR dan akan dihukum. Siapa yang tidak mengerti apa makna ”kembali kepada Undang-undang Dasar ’45, sebaiknya ia keluar saja dari DPR.
Retooling semua alat-alat kekuasaan negara—Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Polisi. Alat-alat kekuasaan negara ini harus disapih sama sekali dari liberalisme. Kini mereka bernaung di bawah bendera Undang-undang Dasar ’45, dan mereka harus dijadikan lagi alat Revolusi.
Retooling alat-alat produksi dan alat-alat distribusi—semuanya harus direorganisasi, harus dibelokkan setirnya ke arah pelaksanaan fasal 33 UUD 1945 dengan mempergunakan relnya demokrasi terpimpin. Retooling organisasi-organisasi masyarakat—partai-partai politik, badan-badan sosial, badan-badan ekonomi. Dengan penyederhanaan kepartaian dan mengadakan undang-undang Pemilihan Umum baru, itu adalah retooling pula.”[23]

Retooling tidak hanya dalam hal seperti yang tersebut di atas, Soekarno menambahkan bahwa retooling harus kita teruskan di semua lapangan, baik lapangan ekonomi, lapangan politik maupun lapangan kemasyarakatan.[24]

Keempat, krisis moral. Menurut Soekarno, krisis moral ini lahir akibat dari ”penyakit” kurang menghormati gezag (kewibawaan). Gezag itu tidak kita hormati oleh karena kesadaran bernegara belum bertulang-sumsum di sebagian rakyat Indonesia. Akibatnya bermunculanlah gerakan-gerakan anti-pemerintah. Dan oposisi seringkali diartikan dalam arti mengritik pemerintah sehebat-hebatnya coute que coute. Oposisi juga diartikan sedapat mungkin menumbangkan pemerintah yang ada diganti dengan pemerintah dari oposisi itu sendiri. Maka, untuk mengatasi keadaan ini, gezag harus dikembalikan kepada singgasananya. Gezag harus berani kembali menjalankan gezag.[25]

Beberapa hal yang tersebut di atas itulah yang menurut penulis kemudian melahirkan konsep ”demokrasi terpimpin”. Demokrasi harus terpimpin, tentu bukan dipimpin oleh orang, tetapi oleh nilai-nilai yang telah disepakati bersama, yang menjadi konsensus bangsa Indonesia—yang tertuang dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Inilah cita-cita dari Republik Proklamasi.

Kesimpulan

Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi merupakan konsep sentral dalam pemikiran politik Soekarno. Yang membedakannya dari nasionalisme ala Gandhi maupun demokrasi ala Barat. Nasionalisme dan demokrasi yang sesuai dengan ”kepribadian bangsa” yang disebut juga dengan ”jiwa bangsa”, yang tertuang dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Akan tetapi, kepribadian bangsa inilah yang kemudian menjadi bumerang bagi Soekarno.

Berakhirnya kekuasaan Soekarno (Orde Lama) menyusul kegagalan kudeta berdarah PKI pada 30 September 1965, menandai fase baru di bawah pimpinan Jendral Soeharto (Orde Baru) dengan konsep nasionalisme ekonomi (developmentalisme). Jika pada Orde Lama mengembangkan konsep pembangunan kawasan maritim, maka Orde Baru lebih menekankan pembangunan kawasan agraria. Hal ini membuka peluang bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, pemerintah menjadi semakin otoriter dalam mengambil kebijakan dan keputusan terkait ’kontrak karya’ dengan perusahaan asing. Selain itu, penguasaan aparat pemerintahan, seperti militer, menjadikan Orde Baru sebagai kekuatan baru yang represif juga otoriter. Rencana pembangunan yang dicanangkan Orde Baru, semata-mata hanya demi kepentingan pemilik modal. Nasionalisme ekonomi adalah topeng Orde Baru dengan tiga aliansi: yakni modal asing, pemerintah (Orde Baru), dan borjuasi lokal, yang ditopang oleh “nilai-nilai Pancasila”, di mana yang berhak menafsirkannya adalah pemerintah.

Jika Bung Karno lebih menekankan pada ”paradigma konflik”, maka Soeharto menganggapnya sebagai ”paradigma konsensus”, yakni krisis kebudayaan ditafsirkan sebagai krisis politik, yang bersalah adalah sistem, maka patut diubah. Sebab tidak sesuai dengan ‘kepribadian bangsa’—menurut Soeharto, kepribadian bangsa inilah yang menjadi penghambat pemersatu bangsa. Padahal kita tahu bahwa kebangsaan kita bukanlah semata-mata dibangun berdasar nilai-nilai tradisional-kultural. Akan tetapi, berdasar pada cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan bersama dan melepaskan diri dari alienasi kolonialisme.

Itulah sebabnya penulis dalam tulisan ini bermaksud mengajak pembaca untuk memahami ”tata-buku” masa lalu dan membaca tata buku saat ini—agar bisa digunakan untuk membaca dan menata tata-buku masa depan. Tidak hanya dengan menyalahkan satu pihak, dengan tuduhan bahwa yang bersalah adalah mereka, bahwa yang patut disalahkan hanyalah dia. Tetapi, dengan memahami tata-buku masa lalu, kita juga harus berani mengatakan bahwa yang bersalah tidak hanya mereka, bahwa yang bersalah bukan hanya dia, tetapi juga kita. Akankah kita mau bersikap demikian? (*)





[1]Soekarno, Di bawah Bendera Revolusi (DBR), (Jakarta: 1963), cetakan kedua, h. 580.
[2]Franz Magnis-Suseno SJ, Mencari Sosok Demokrasi (Sebuah Telaah Filosofis), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 1995.
[3] Prof DR Taufik Abdullah mencontohkan suatu peristiwa yang terjadi di Minangkabau pada tahun 1906, di mana sekelompok pedagang yang berasal dari pedalaman (darek) melakukan oposisi yang cukup gencar terhadap Panglima Regen (Penguasa Pribumi), di Kota Padang. Di bawah pimpinan seorang penghulu adat, yang bekerja sebagai wartawan surat kabar dan memakai argumen kemurnian adat Minangkabau, para pedagang ini menolak keabsahan kedudukan Panglima Regen dan lembaga kebangsawanan yang telah lama tertanam di Kota Padang. Pada tahun 1910-an Surabaya bisa pula dianggap sebagai kota pusat ”revolusi demokratis”. Selain itu, pada tahun 1930-an gerakan sosial dan kultural yang mengingkari keabsahan hirarki sosial juga terjadi di Singaraja. Para pelaku dari ’revolusi’ ini menyebut diri mereka sebagai ”kaum muda” yang modern dan demokratis. Lihat Prof DR H Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah, (Bandung: Satya Historika, 2001).
[4] E. J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992). Cetakan pertama.
[5] Roeslan Abdulgani, Nasionalisme Kita Berdasarkan Demokrasi Keadialan Sosial (1957), dalam Herbert Feith & Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988).
[6] Khatibul Umam Wiranu, Sejarah Konsensus Politik Indonesia ”Sebuah Kajian Filosofis”, (Depok: Saung Buku, 2010).
[7] Lebih jauh Khatibul Umam Wiranu mengatakan bahwa ”Sumpah Pemuda” juga berusaha memadukan kebhinekaan. Kemajemukan, keanekaragaman tetap ada dan dihormati, namun semangat seperjuangan dan pengakuan bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu, yakni bahasa Indonesia, telah bulat. ” (Khatibul Umam Wiranu, h. 25).
[8] DBR, hlm. 174.
[9] Menurut Soekarno, asas adalah dasar atau ”pegangan” kita, yang, ”walau sampai lebur-kiamat, terus menentukan ”sikap” kita, terus menentukan ”duduknya nyawa kita”. Asas tidak boleh kita lepaskan, tidak boleh kita buang, walaupun kita sudah mencapai Indonesia-Merdeka, bahkan malahan sesudah tercapainya Indonesia-Merdeka itu harus menjadi dasar caranya kita menyusun masyarakat kita. Akan tetapi, bagaimana kita bisa melaksanakan asas itu. Jawabannya adalah dengan perjuangan. Perjuangan adalah satu-satunya jalan untuk mencapai Indonesia-Merdeka. Inilah yang disebut Soekarno sebagai asas perjuangan. Asas perjuangan adalah menentukan hukum-hukum daripada perjuangan itu, menentukan ”strategi”, karakter, sifat-watak, dan garis-garis besar daripada perjuangan itu. Asas perjuangan misalnya, non-kooperasi, machtvorming, massa-aksi, dll. (DBR, h. 249-250).
[10]Bung Karno, Indonesia Menggugat, (Jakarta: Penerbitan S. K. SENO, 1956), Cetakan Kedua.
[11]DBR, h. 172.
[12] Soekarno, Lahirnya Pantja-Sila, Departemen Penerangan RI, Jakarta, 1956.
[13] Imperialisme adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri— suatu sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain. Merupakan suatu kejadian di dalam pergaulan hidup, yang timbulnya ialah oleh keharusan-keharusan di dalam ekonomi suatu negeri atau suatu bangsa. Selama ada ”ekonomi bangsa”, selama ada ”ekonomi negeri”, selama itu dunia melihat imperialisme. Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa ”pengeluasan negeri-daerah dengan kekerasan senjata.” Tetapi imperialisme bisa juga berjalan hanya dengan ”putar lidah” atau cara ”halus-halusan” saja, bisa juga berjalan dengan cara ”penetration pacifique”. (Indonesia Menggugat:1956, hlm. 16).
[14]RIS merupakan suatu federasi dengan 15 negara kecil yang dibikin oleh Belanda, sebagai anggotanya. Sedangkan kekuasaan yang lebih besar berada di tangan negara anggota ke-16, yaitu Republik Indonesia. RIS berdiri pada 27 Desember 1949, tetapi pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS diubah menjadi negara kesatuan kembali. (Herbert Feith, h. 41).
[15] Herbert Feith, h. 2.
[16] Demokrasi Parlementer berakhir Maret 1958, ketika terjadi pertentangan antara pemerintah pusat dengan para pemimpin Sumatera yang telah mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). (Herbert Feith, h. 84).
[17] (Soekarno: 1952).
[18] Dewan Pertimbangan Agung, Manifesto Politik sebagai Program Umum Revolusi, dalam Herbert Feith, h. 97.
[19] Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial, (Depok: Koekoesan, 2010).
[20] (Soekarno: 1954-1956)
[21](Soekarno: 1957)
[22]“Retooling berarti mengganti sarana-sarana, mengganti alat-alat dan aparatur yang tidak sesuai lagi dengan pikiran demokrasi terpimpin, dengan sarana-sarana baru, dengan alat-alat dan aparatur-aparatur baru, yang lebih sesuai dengan outlook baru. Retooling berarti juga menghemat segala sarana-sarana dan alat-alat yang masih dapat dipergunakan, asal saja alat-alat itu masih mungkin diperbaiki dan dipertajam kembali.” (Soekarno: 1959).
[23]Herbert Feith, h. 93
[24](Soekarno: 1959)
[25](Soekarno: 1952) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar