Kamis, 16 Januari 2014

Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

Oleh: 
Mahbib Khoiron
Santri Pesantren Ciganjur,
Wartawan NU-Online

Muka

Dalam sejarah pemikiran politik, demokrasi tetaplah primadona yang paling banyak menyedot kekaguman manusia-manusia modern. Buah pergeseran pandangan dunia abad pencerahan ini selain mapan lama di Eropa dan Amerika ternyata juga meluas ke hampir seluruh penjuru dunia, salah satunya Indonesia. Kita tahu, demokrasi lahir sejalan dengan komitmen pengingkaran terhadap monopoli kekuasaan yang menindas dan menjajah martabat kemanusiaan. Begitulah republik ini didirikan, setelah tercengkeram kolonialisme dan otoritarianisme, kemudian menyambut cita baru kedaulatan dan kemerdekaan yang seutuhnya, dengan penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak demokratis setiap warganya.

Kesepakatan untuk memilih demokrasi memang tidak berlangsung mulus. Perdebatan ideologis dan pertarungan intrik menyertai proses konsensus politik para pendiri bangsa. Selain menghadapi counter keras dari kaum agamawan yang membela terbentuknya negara teokratis, perjalanan demokrasi Indonesia juga diwarnai pertarungan opini mengenai penerjemahan demokrasi itu sendiri. Usulan Hatta untuk memasukkan hak-hak demokratis dalam batang tubuh undang-undang dasar sempat ditolak Soekarno dan Soepomo, yang mengkhawatirkan individualisme Barat mengontaminasi karakter kebangsaan. Sementara alasan sebenarnya Hatta yang didukung Muhammad Yamin ini adalah untuk menghindari timbulnya negara kekuasaan. Bagaimanapun, meski berdebat, sesungguhnya mereka disatukan oleh satu kesadaran kolektif yang mantap bahwa negara ini harus didirikan di atas prinsip kedaulatan rakyat.[1]

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen) sangat tegas dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan negara Indonesia adalah negara hukum. Fakta ini menjelaskan bahwa di Indonesia, sebagaimana demokrasi pada umumnya, terjadi konvergensi antara kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi).[2] Hukum diakui mempunyai supremasi dalam mengawal etika demokrasi yang menjunjung tinggi kesetaraan dan kebebasan rakyat. Ia adalah payung dan referensi utama bagi semua lapisan untuk mengharap, merealisasikan, dan menuntut hak-hak sipil dan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nuansa nomokratis ini kian menonjol setelah amandemen ketiga peraturan dasar kita secara eksplisit menyatakan bahwa kedaulatan rakyat itu dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Aspek yuridis (kedaulatan hukum) dan aspek sosiologis/politik (kedaulatan rakyat) dalam demokrasi adalah dua hal yang senantiasa berelasi tanpa putus. Betapapun mendasarnya fungsi hukum, ia tetaplah manifestasi demokrasi yang kontraktual. Artinya, produk yang dihasilkan tidak sepenuhnya derivasi etika demokratis murni (kebebasan dan kesetaraan), melainkan terdapat campuran peristiwa politik yang melibatkan kompromi, negosiasi, adu kekuatan, perebutan pengaruh, dan pertengkaran kepentingan. Hal ini tidak hanya terjadi di tingkat perumusan konstitusi, tapi juga implementasi dan interpretasi atas undang-undang yang sudah tersedia. Peristiwa politik yang timbul dari berbagai kepentingan dan kalangan merupakan konsekuensi dari keterbukaan demokrasi. Di poin inilah kita melihat letak “relativitas” kebenaran demokrasi sebagai sistem politik, yang memberi kemungkinan untuk menyimpang dari prinsip substansialnya untuk menegakkan keadilan melalui kebebasan dan kesetaraan. Etika demokratis dapat diintervensi secara politik baik lewat masyarakat sipil maupun kelembagaan resmi negara, sehingga bisa saja terjadi negara yang demokratis sekaligus juga diskriminatif.

Khusus masalah keberagamaan dan keberkeyakinan, Indonesia menyimpan sejarah pergulatan hubungan agama dan negara yang tak kunjung selesai. Pernyataan populer bahwa “Indonesia bukan negara agamis, juga bukan negara sekuler”, di satu sisi menunjukkan “kesuksesan” di awal untuk melerai pertarungan ideologi agama versus ideologi negara, tapi di sisi lain merupakan kerancuan di kemudian hari yang dapat memicu intervensi negara atas perkara privat warganya untuk beragama dan berkeyakinan sesuai dengan hati nurani. Tampak sekali, politik demokrasi yang dinamis sejak rezim Orde Lama (Demokrasi Liberal/Parlementer dan Demokrasi Terpimpin), Orde Baru (Demokrasi Pancasila), hingga demokrasi pasca-Reformasi, secara konsisten masih merawat beberapa produk kesepakatan dan implementasi kebijakan yang diskriminatif-politis terhadap keberagamaan dan keberkeyakinan warga negara.

Kadar Komitmen Demokratis

Ciri penting yang menandai demokrasi sebagai politik modern adalah keberpihakannya kepada hak-hak dasar kemanusiaan. Keduanya ditopang oleh sistem nilai politik rasional a la abad pencerahan yang mengalihkan teosentrisme kepada humanisme.[3] Politik dijalankan bukan atas legitimasi teologis yang sukar dijangkau dan kebal kritik, melainkan atas legitimasi politis (juga yuridis) yang bisa diakses, diperjuangkan, dan dipertanyakan secara publik. Demokrasi mengklaim dirinya sebagai organisasi politik paling wajar melalui pendasaran kekuasaan yang bersifat akomodatif, inklusif, egaliter, dan toleran. Negara yang demokratis dengan demikian adalah negara yang bersikap netral terhadap pluralitas keyakinan dan keagamaan yang menempati wilayah privat warga negaranya.

Jauh sebelum itu, sejarah Nusantara memperlihatkan bahwa netralitas sikap atas keyakinan dan keagamaan masyarakat sudah menjadi tabiat politik yang mengakar sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno.[4] Kehidupan majemuk berlangsung stabil dan damai meskipun di bawah kekuasaan feodal seorang raja. Hampir tidak ditemukan kebijakan atau pertempuran politik dilatari oleh primordialitas suku, etnis, warna kulit, agama, dan kepercayaan. Mereka memang berbeda-beda tetapi soliditas sebagai bangsa tetaplah satu (Bhinneka Tunggal Ika). Jargon inilah yang kelak dikutip bangsa Indonesia sebagai semboyan moral yang diharapkan mengikat keberagaman budaya menjadi kesatuan politik-administratif, termasuk kesatuan ideologis: kebangsaan.

Bermodal semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia sedang menunjukkan toleransi atas perbedaan agama dan keyakinan, sekaligus komitmen atas persatuan keindonesiaan. Filosofi persatuan selalu disebabkan oleh perbedaan. Jadi, bukan persatuan itu yang paling penting, tetapi alasan yang melandasinya, yaitu perbedaan. Nafas demokrasi dilarang mengorbankan perbedaan demi alasan “persatuan” (baca: penyeragaman). Atas dasar fakta kemajemukan itulah, Sumpah Pemuda, Pancasila, dan Konstitusi di Indonesia lahir.[5]

Butir-butir kesepakatan bangsa ini yang paling mendasar ada pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Keduanya merupakan elemen paling vital yang menentukan komitmen demokrasi di Indonesia. Dalam konteks beragama dan berkeyakinan, masing-masing adalah sumber kepastian bagi jaminan kebebasan dan perlakuan yang sama terhadap warga negara. Kedudukannya bukan hanya sekadar simbol, tapi merangkap sebagai landasan yuridis tertinggi untuk keseluruhan praktik berdemokrasi di Indonesia. Sebagai landasan yuridis tertinggi, ia mempengaruhi peraturan/kebijakakan perundang-undangan turunannya. Sejauh mana jaminan kebebasan terwujud, dan sebatas apa negara turut campur mengatur kebebasan, secara fundamental bergantung pada Pancasila sebagai asas negara dan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi.

Sampai saat ini, Pancasila memang memberi jalan tengah, kompromi yang bisa diterima untuk mengelola kemajemukan, pada satu sisi, sekaligus menjaga kesatuan, pada sisi lain. Tapi kompromi itu selalu rentan, goyah, dan sering menimbulkan masalah pelik jika ditempatkan dalam konteks kebebasan beragama. Sila yang dipandang kerap menimbulkan perebatan tafsir adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Secara konseptual, seperti dikutip Ihsan Ali-Fauzi, Olaf Schumann menjelaskan bahwa istilah “ketuhanan” merupakan istilah yang sangat abstrak; bukan “Tuhan”, melainkan “ketuhanan”, suatu prinsip mengenai Tuhan, tetapi bukan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, ia pun sangat sulit diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Dalam bahasa Inggris barangkali dapat diterjemahkan dengan istilah divinity, bukan “diety” atau “God”, dan dalam bahasa Jerman Gottheit atau Gottlichkeit. Ia pun bukan Gott. Hanya teologi yang dapat menjelaskan dengan memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan ketuhanan itu secara nyata.[6]

Secara historis, kemunculan redaksi itu memang buah kompromi ideologis-politis antara kelompok yang menginginkan “negara teokratis” dan negara demokratis.[7] Kompromi alot di kedua kubu pada akhirnya membuahkan “hasil maksimal”, kendatipun di kemudian hari implikasi dari butir itu adalah favoritisme agama-agama besar dan pelarangan terhadap animisme, dinamisme, politeisme, ateisme dan non-teisme, serta kepercayaan-kepercayaan minoritas lain yang menjadi wilayah personal warga negara. Fakta ini rawan sekali dipolitisasi oleh negara untuk mencampur-tangani urusan privat secara legitimatif, karena ditemukan pendasarannya di dalam konstitusi.

Kebijakan restriktif terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan mencolok sekali terutama di sepanjang rezim Orde Baru. Berbeda dengan orientasi Orde Lama yang ideologis, otoritarianisme Orde Baru hampir tidak memperlihatkan konsistensi dan komitmen yang jelas terhadap kebijakan keagamaannya. Demokrasi Pancasila sering kali menempatkan Pancasila sebatas pengelabuhan untuk menutupi kebutuhan atas pemeliharaan kekuasaannya. Maka, sesekali Soeharto berafiliasi dengan umat Islam untuk bersama-sama mengadakan pemberantasan PKI dan pelarangan lebih dari seratus aliran kepercayaan dan kebatinan yang berhaluan kiri. Dan sesekali mengebiri umat Islam sebagai kekuatan politik melalui peneguhan asas tunggal Pancasila.[8] Di rezim ini pula marak lahir kebijakan keagamaan yang intoleran seperti pembedaan antara agama resmi dan tidak resmi, pengawasan terhadap aliran yang dianggap sesat, larangan faham Marxisme-Leninisme, dan lain-lain. Undang-Undang Dasar pasal 29 ayat (2) yang secara terang menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” tidak berfungsi dengan baik di bawah kedigdayaan politik Soeharto yang demikian kuat.

Bangkitnya Orde Reformasi pasca-Orde Baru telah banyak mengubah perkembangan mutakhir kepolitikan kita. “Demokrasi seolah-olah” diperjuangkan untuk diluruskan lagi menjadi demokrasi yang sebenarnya. Di antara prestasi yang dapat diinventarisir adalah empat kali amandemen (1999-2002) terhadap undang-undang “bermasalah”. Khusus mengenai kebebasan beragama/berkeyakinan, yang menjadi fokus tulisan ini, hasil amandemen UUD 1945 memberi jaminan konstitusional yang sangat kuat. Pasal 28E memberi penegasan bahwa (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; dan (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Dengan itu menjadi jelas bahwa hak dan kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan pilihan yang bebas “sesuai dengan hati nurani” seseorang yang dihormati. Tidak ada institusi apapun yang dapat menghalangi, meniadakan atau memaksakan agama atau keyakinan seseorang.[9]

Seperti disebutkan, sebagai politik modern demokrasi tidak bisa dilepaskan dari akomodasi hak-hak dasar kemanusiaan. Komitmen politik kesetaraan demokrasi pasca-Orba telah berusaha mewujudkan hal itu. Usaha itu tergolong berhasil dengan adanya ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) lewat UU No. 12/2005 dan masuknya HAM dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kedua UU ini menjelaskan secara rinci betapa kebebasan berpikir dan berkeyakinan adalah hak dasar yang tidak seorang pun dapat membatasi, mengganggu, atau memaksakannya. Segala praktik diskriminatif berdasarkan sentimen keagamaan, kepercayaan, suku, ras, etnis, kelompok, jenis kelamin, bahasa, status sosial, status ekonomi, dan keyakinan politik termasuk melanggar hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar maupun Undang-Undang.

Secara umum, gairah demokratisasi pada orde pembaharuan ini telah mampu memperlihatkan komitmen demokratis yang sangat kuat. Sejumlah amandemen dan ratifikasi telah berkontribusi banyak dalam mengubah wajah konstitusi kita untuk semakin tinggi menjunjung hak asasi manusia sebagai perwujudan hak-hak demokratis warga. Hanya, perlu diingat bahwa beberapa peraturan perundang-undangan masih menyediakan ruang tafsir dan kesempatan diskriminasi oleh penegak hukum, praktisi politik, atau kekuatan mayoritas rakyat. Sehingga, idealisme hukum terkadang diselewengkan lewat tarik-menarik politik yang sarat kepentingan dan sentimen keyakinan dan keagamaan.

Politik Diskriminasi Beragama/Berkeyakinan

Dalam demokrasi terdapat segitiga hubungan antara etika, hukum, dan politik. Secara filosofis, etika demokratis, berupa prinsip kebebasan dan kesetaraan, menjadi jangkar nurani yang menjustifikasi demokrasi sebagai gagasan politik yang baik untuk diterima. Basis etis ini selanjutnya diterjemahkan ke dalam serangkaian hukum dengan melibatkan proses-proses politik. Keberadaan hukum lalu menggeser etika sebagai sikap batin yang mutlak, menjadi peraturan yang memiliki dimensi koersivitas lahiriah melalui kelembagaan politik yang diisi oleh sejumlah aparat dan sanksi-sanksi sebagai sarana pemaksa. Pada level politik, ekspresi negatif kekuasaan kerap kali memanfaatkan dimensi koersivitas (pemaksaan) ini untuk melakukan kekerasan dan dominasi yang mengatasnamakan hukum. Tepat di sinilah letak vulnerability dan paradoks demokrasi, yaitu ketika etika demokrasi terlepas dari dan dikuasai oleh manifestasi yuridis dan politiknya.[10]

Kata Frédéric Bastiat, hukum adalah organisasi hak individu secara kolektif untuk membela diri secara sah.[11] Dalam konteks demokrasi, proposisi ini melengkapi pendapat Jean Bachler tentang karakter dasar demokrasi yang selalu berproses secara kontraktual untuk mencapai suatu kesepakatan yang dijadikan dasar bagi kepatuhan bersama.[12] Idealisme hukum yang dikemukakan Bastiat adalah sarana kepatuhan bersama untuk mengharap, menuntut, dan mempertanyakan hak-hak demokratis warga negara. Namun, Bastiat sendiri mengingatkan bahwa hukum sama sekali tidak membatasi dirinya pada fungsi-fungsi yang seharusnya. Dan ketika ia melampaui fungsi-fungsi yang seharusnya itu, hukum bisa berkembang melawan tujuannya sendiri. Hukum sudah dipakai untuk memberangus keadilan yang seharusnya ia pelihara: untuk membatasi dan menghancurkan hak-hak yang seharusnya ia junjung tinggi.[13]

Dalam konteks Indonesia, secara yuridis “organisasi hak individu” itu terlembaga dalam konstitusi yang dimiliki. Jaminan kebebasan dan perlakukan yang sama warga negara secara eksplisit diatur oleh perundang-undangan. Hanya saja, lantaran proses-proses politik yang intoleran, beberapa kebijakan melenceng dari fungsi-fungsi hukum yang seharusnya. Pelencengan tersebut terjadi pada dua hal. Pertama, produksi hukum yang diskriminatif terhadap warga negara. Kalau dalam sejumlah pasal perundang-undangan menyatakan jaminan kebebasan dan kesetaraan, maka sejumlah peraturan lain yang mengadakan pembatasan kebebasan dan diskriminasi secara tak wajar adalah wujud kerancuan produk hukum yang diciptakan oleh negara. Hukum semacam ini biasanya lahir dari kebutuhan situasi politik tertentu, atau desakan kekuatan sementara pihak yang menginginkan adanya ketidakbebasan dan ketidaksetaraan di masyarakat.

Kedua, implementasi hukum yang diskriminatif, yang dimotori oleh para aparatnya dan sejumlah kelembagaan politik yang terkait. Di sini aktor-aktor pembuat kebijakan telah tertutup dari kebijaksanaan pengambilan keputusan, sehingga memunculkan sejumlah keputusan yang bertentangan dengan asas kebebasan dan kesetaraan dalam demokrasi. Dalam hal ini, kolaborasi antara mayoritarianisme dan aktor-aktor politik negara (legislatif, yudikatif, atau eksekutif) untuk membatasi kebebasan dan membeda-bedakan perlakuan merupakan pangkal masalah mengapa kebijakan itu keluar dan diterapkan dengan melanggar nilai demokrasi.

Kita bisa memulai analisa politik diskriminasi di Indonesia dengan menunjukkan kebijakan yang tidak memihak secara merata kepada warga negara, kemudian mengamati proses politikisasi yang merugikan sebagian pihak sebagai warga negara dalam kerangka demokrasi. Dalam konteks beragama dan berkeyakinan di Indonesia, masalah intoleransi dan diskriminasi banyak berporos pada UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Peraturan ini seringkali dijadikan legitimasi yuridis untuk melakukan pelarangan terhadap keyakinan-keyakinan yang dianggap sesat dalam pandangan agama-agama mainstream. Pasal undang-undang itu memuat larangan menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia. Jika penyimpangan tersebut dilakukan oleh organisasi atau aliran, Presiden dapat membubarkannya sebagai organisasi/aliran yang terlarang.[14]

Dalam sejarahnya, UU yang sebelumnya Perpres ini[15] lahir dari situasi saat dinamika sosial politik Indonesia diwarnai persaingan antar ideologi-idologi besar seperti nasionalisme, agama, dan komunisme. Saat itu timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama, yang mengancam terjadinya pelanggaran hukum, memecah persatuan nasional, menyalahgunakan dan menodai agama. Perkembangan aliran dan organisasi kebatinan dianggap telah berkembang ke arah membahayakan agama-agama yang ada. PNPS 1965 terbit selain untuk melindungi agama-agama (yang diakui negara), juga merupakan bagian dari gagasan Nasakom Presiden Soekarno untuk memobilisasi kekuatan-kekuatan nasionalisme, agama, dan komunisme demi meningkatkan kekuatan politiknya. Konfigurasi politik pada era Demokrasi Terpimpin yang otoriter, sentralistik, dan terpusat di tangan Presiden Soekarno telah menyebabkan produk-produk hukum yang diciptakan pada masa tersebut juga bersifat otoriter dan sentralistik, tidak terkecuali UU Penodaan Agama.[16]

Di tangan Orde Baru UU PNPS ini tampil semakin politis. Diliputi hasrat mempertahankan status quo, Soeharto mengontrol kekuatan politik di sekelilingnya melalui sejumlah undang-undang, bahkan dasar negara Pancasila. Kehadiran PNPS ini memberinya keleluasaan untuk menyingkirkan setiap lawan politik yang berlatar belakang kepercayaan atau keagamaan dengan dalih penyalahgunaan dan penodaan agama. Di era ini kontrol politik atas agama dipertegas dengan peresmian agama-agama besar, yang terbatas pada Islam, Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu.[17] Di tingkat empirik, politik pengesahan ini memacu kaum misionaris agama-agama semitis (mayoritas) khususnya Islam, Kristen, dan Katolik untuk mengolonialisasi agama-agama lokal (minoritas) yang bisa jadi ada lebih awal namun tidak diakui oleh negara.[18] Untuk agama-agama yang dianggap “devian” dari agama-agama besar ini, seperti Dayak Kaharingan di Kalimantan, Parmalim di Medan, Tolotang di Sulawesi Selatan, dan Sunda Wiwitan di Jawa Barat, kadang juga digolongkan secara sewenang-wenang ke dalam salah satu dari agama resmi. Jelas ini termasuk pemaksaan, apalagi politik pengesahan ini berpengaruh besar terhadap keseharian hidup warga, seperti sistem administrasi kependudukan dan pernikahan, subsidi, pendidikan dan lain-lain.

Dalam praktiknya, kebijakan keagamaan itu beroperasi atas partisipasi utama dari lembaga negara yang bersinggungan dengan agama dan keyakinan seperti Kementerian Agama dan Badan Koordinasi Pengawas Aliran dalam Masyarakat (Bakorpakem). Fungsi lembaga yang hingga kini masih eksis itu semakin memperkuat cengkeraman negara terhadap kepercayaan privat warganya. Untuk kementerian agama, secara genealogis merupakan warisan zaman kolonial Belanda (dengan nama Kantoor voor Inlandsche zaken/Kantor Urusan Pribumi) dan Jepang (dengan nama Shumubu), yang dilanjutkan pasca-kemerdekaan sebagai “jalan tengah” menghadapi tarik-menarik keras antara yang menginginkan “negara sekuler” dan “negara teokratis”.[19]

Selain diskriminatif, “fungsi kolonial” ternyata juga melekat di Kementerian Agama dan Bakorpakem. Terbukti, Soeharto bertingkah layaknya Snouck Hurgronje, yang berupaya melakukan pengawasan, pengaturan, dan pembatasan ketat terhadap munculnya agama-politik melalui tangan kedua institusi ini. Adapun di era demokrasi sekarang ini, fungsi itu lebih merupakan pemihakan negara kepada tafsir keagamaan kaum mayoritas untuk mengolonialisasi, bahkan mengriminalisasi,[20] sekte-sekte “baru” atau “aneh” yang berbeda pandangan dengan alur umum. Politik pemihakan ini, dengan instrumen UU PNPS, dilakukan negara:[21] (1) melalui Depag, menentukan apa yang disebut “pokok-pokok ajaran agama”; (2) menetukan mana penafsiran agama yang dianggap “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama” dan mana yang tidak; (3) jika diperlukan, melakukan penyidikan terhadap aliran-aliran yang diduga melakukan penyimpangan serta menindak mereka. Dua kewenangan terakhir dilaksanakan oleh Bakorpakem, yang mula-mula didirikan oleh Depag pada 1954 untuk mengawasi agama-agama baru, kelompok-kelompok kebatinan dan kegiatan mereka. Sejak 1960, tugas dan kewenangan itu diletakkan di bawah Kejaksaan Agung.

Terlihat aneh memang, di zaman keran demokrasi dibuka lebar seperti sekarang ini masih saja tersisa produk dan implementasi kebijakan yang membredel kebebasan agama dan keyakinan pribadi seseorang. Gelombang demokratisasi belum menyentuh ke semua lapisan perundang-undangan dan institusi negara.[22] Sejumlah kebijakan restriktif keagamaan era Orde Lama dan Orde Baru masih dipelihara dan diteruskan dengan baik hingga hari ini. Kemunculan keyakinan-keyakinan yang berseberangan dengan pendapat mainstream dicap begitu saja sebagai aliran sesat yang menodai agama, dan karena dianggap kriminal para pelakunya harus meringkuk di penjara.

Netralitas sikap negara terhadap urusan privat warganya sebagai realisasi etika demokrasi untuk mewujudkan kebebasan dan kesetaraan kepada setiap warga ternyata tidak berkutik di bawah hegemoni politik mayoritas, yang selalu menempatkan pihak di luar dirinya sebagai kelas nomor dua. Negara akhirnya berurusan dengan wilayah privat dan perdebatan yang semestinya menjadi perkara di tingkat horisontal antar-warga. Pemihakan negara atas pendapat keyakinan dan keberagamaan tertentu jelas berseberangan dengan fungsi negara dalam demokrasi sebagai pengayom warga secara keseluruhan. Pemihakan, lalu penanganan perbedaan melalui jalur negara (perundang-undangan dan institusi politik) menyebabkan adanya pengabaian terhadap persoalan-persoalan partikular yang harusnya didudukkan secara khusus. Penanganan terhadap kasus-kasus “menyimpang”, seperti ketidaksensitifan polling tabloid Monitor, pemahaman Ahmadiyah dan Yehowa, ide shalat dwi bahasa, gerakan agama baru Lia Eden, lantas digeneralisasi sebagai “penodaan agama” yang berujung punishment yang mengekang.[23] Maka, di sini politik mayoritas telah memanfaatkan dimensi koersivitas hukum dalam demokrasi untuk mendominasi dan memaksa pihak minoritas mengikuti alur pemahaman mayoritas.

Etika politik memang menyediakan paham-paham inti sekitar demokrasi, tetapi yang dapat mempergunakannya dalam perjuangan politik bukanlah etika politik sendiri, melainkan diskursus politik dalam masyarakat yang bersangkutan.[24] Pun saat etika itu dilembagakan dalam produk hukum, masih terbuka lebar potensi manipulasi oleh aktor-aktor politik dan diktator mayoritas, sehingga—meminjam istilah Bastiat—hukum bisa dipakai untuk menghancurkan tujuannya sendiri. Hasil amandemen dan ratifikasi Hak-Hak Sipil dan Politik, serta ratifikasi Hak Asasi Manusia menjadi “ompong”, ketika sentimen kelompok, subyektivitas kepentingan, dan egoisme status tetap mendominasi ruang publik demokrasi. Keompogan itu terlihat dari inkoherensi peraturan/kebijakan perundang-undangan pasca reformasi hukum antara UUD dan sejumlah peraturan turunannya, dan dikendalikan oleh aparat-aparat yang kehilangan kebijaksanaan dan toleransi.

Akhir

Uraian di atas memperlihatkan bahwa cita-cita kemerdekaan bangsa ini untuk mewujudkan nilai-nilai demokratis belum terlaksana secara penuh hingga sekarang. Kebijakan keagamaan pasca kemerdekaan masih memiliki “garis kesinambungan” dengan kebijakan keagamaan pada zaman kolonial. Garis itu terlihat dari intensitas campur-tangan kekuasaan atas kehidupan pribadi warganya dalam hal keberagamaan dan keberkeyakinan. Favoritisme negara atas pihak-pihak tertentu menimbulkan intoleransi dan diskriminasi perlakuan terhadap pihak-pihak lainnya, yang kemudian menghilangkan ketulusan dan nafas lega warga untuk mencari jalan spiritualnya sendiri.

Politik diskriminasi yang tampil memang menunjukkan variasi kepentingan yang berbeda di setiap orde pemerintahan. Namun, dampak yang ditimbulkan nuansanya selalu sama: kolonialisasi, marginalisasi dan kriminalisasi kepercayaan-kepercayaan minoritas yang dianggap menyimpang. Katakanlah, “misi mulia” negara adalah melakukan politik kerukunan untuk mengatasi konflik di masyarakat demi stabilitas demokrasi. Akan tetapi, tidak seharusnya pendekatan yang diambil adalah institusionalisasi pengesahan dan pelarangan agama dan keyakinan. Pendekatan ini menimbulkan kerancuan, apakah institusionalisasi itu sungguh-sungguh menciptakan kerukunan atau justru memberi justifikasi kebencian dan permusuhan terhadap kelompok lain yang dinilai menyimpang. Terlebih, negara atas nama melindungi kemurnian ajaran agama telah masuk pada wilayah definisi, tafsir, dan penghakiman pendapat yang seharusnya hanya terjadi antara warga vis-à-vis warga, bukan negara vis-à-vis warganya. Di sini, logika “perlindungan” akhirnya berjalan seiring dengan dampak ketidakadilan.[25]

Dalam konteks negara demokratis, gejala ini menunjukkan adanya jurang pemisah antara idealisme dan implementasi praksis dari demokrasi. Secara ideal, demokrasi mengusung cita-cita kemanusiaan yang menghargai kemerdekaan dan kesetaraan warga negara. Namun, kedaulatan mayoritas rakyat atau elit-elit politik yang mendominasi keputusan rakyat sering kali mengingkari cita-cita tersebut. Pembatasan kebebasan dalam demokrasi hanya masuk akal diterapkan kepada mereka yang bertentangan dengan demokrasi. Para penolak kemajemukan, penganjur permusuhan, dan pelaku kriminal yang merugikan masyarakat demokratis adalah sasaran tepat untuk mendapatkan pembatasan gerak. Perlakuan negara demokratis juga menolak keungulan individu dalam masyarakat plural berdasarkan sentimen keagamaan, kepercayaan, suku, ras, etnis, kelompok, jenis kelamin, bahasa, status sosial, dan status ekonomi. Apabila yang terjadi sebaliknya, percayalah, demokrasi akan melahirkan anak-anak kandung yang suatu saat akan membunuh demokrasi itu sendiri. Monggo…

asrama,
malem tahoen baroe rongewoerolas
Ómahbib khoiron


Artikel Terkait
  1. Salam Redaksi
  2. Riset Redaksi
  3. Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
  4. Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
  5. Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
  6. Demokrasi Deliberatif
  7. Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
  8. Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
  9. Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
  10. Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
  11. Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
  12. Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
  13. Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
  14. Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)



[1] Franz Magnis-Suseno SJ, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis (Jakarta: Gramedia, 1995), h. 9
[2] Secara umum dapat dipahami, konsekuensi logis dari operasionalisasi kedaulatan rakyat membutuhkan kerangka yuridis atau format hukum agar wajah kedaulatan rakyat itu mengemuka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum yang sudah disetujui rakyat kemudian berdaulat atas nama kedaulatan rakyat. Kepastian hukum dijadikan alat untuk mencapai keadilan yang didambakan rakyat. Di sinilah kemudian letak transformasi dan konvergensi, yaitu hukum berdaulat atas nama rakyat. Lihat, Hendra Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 41
[3]Menurut Magnis, pengakuan semakin universalnya demokrasi bukanlah karena demokrasi adalah satu-satunya kemungkinan pemerintahan yang legitim an sich, melainkan karena terjadi perubahan dalam pandangan dunia. Legitimasinya tidak berdiri di ruang kosong dan tidak bersifat mutlak dan apriori, melainkan berdasarkan kepercayaan tertentu tentang manusia, masyarakat, dan Tuhan. Artinya, kalau demokrasi menganggap politik tradisional sebagai hal yang irasional, demikian juga ia akan tertolak dalam sistem kepercayaan tradisional yang banyak mendasarkan kekuasaan secara metafisik. Magnis-Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, h.41-42.
[4] Abdurrahman Wahid, Merajut Akar-Akar Kebangsaan Indonesia, sumber tak terlacak.
[5] Rocky Gerung, Agama dan Negara, dalam Bonar Tigor (ed.), Beragama, Berkeyakinan, dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: Setara Institute, 2009), h. 169-170.
[6] Ihsan Ali-Fauzi, et.all., Membela Kebebasan Beragama: Catatan pengantar, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme (Jakarta: Paramadina, 2010), h. xiii.
[7] Sejak awal kelompok Islam baik modernis maupun tradisionalis, telah menginginkan penetapan syari’at Islam sebagai dasar negara yang kemudian terkenal dengan “Piagam Jakarta”. Meskipun penerimaan Bung Hatta, pada waktu itu, atas keberatan kelompok non-muslim dan kelompok nasionalis atas pencantuman tujuh kata dalam Pancasila, lebih didasarkan atas realitas kemajemukan masyarakat Indonesia, tetapi Soekarno sendiri lebih memiliki pertimbangan ideologis. Bagi Bung Karno, menuruti usulan NU (KH. Abdul Wahid Hasyim) untuk menambah sila pertama yang semula hanya “Kepercayaan kepada Tuhan” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang merupakan upaya untuk mendekatkan Pancasila dengan prinsip ketauhidan dalam Islam, tentu tidak sekadar mengganti kekecewaan umat Islam, atas ditolaknya Piagam Jakarta. Kepentingan Soekarno untuk mengakomodir aspirasi umat Islam, adalah kekhawatirannya terhadap disintegrasi nasional dan melemahnya dukungan umat Islam menghadapi agresi Belanda waktu itu. Selain itu, akomodasi juga ditunjukkan lewat persetujuan atas berdirinya Kementerian Agama. Anas Saidi, Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru (Jakarta: Desantara, 2004), h. 14 & 55.
[8] Anas, Menekuk Agama, Membangun Tahta, h. 14-16.
[9] Ihsan, Membela Kebebasan Beragama, h. xv-xvi.
[10] Menurut prinsip eksistensialnya demokrasi mengandung tiga fenomena sekaligus, yaitu fenomena politik (kekuasaan), fenomena etika (ajaran moral), dan fenomena hukum, yang saling berjalin-kelindan membentuk sebuah teori dengan pendasaran teoritis yang tegas-tegas menolak tatanan kekuasaan yang otoriter dan totaliter. Jadi, demokrasi dapat diartikan sebagai spirit (ide) dan institusionalisasi dari prinsip-prinsip kebebasan dan kesamaan dengan segala derivasinya menuju persetujuan politik melalui kedaulatan suara mayoritas yang dimasukkan dalam kerangka yuridis. Hendra, Filsafat Demokrasi, h. 82-84.
[11] Frédéric Bastiat, The Law (Terjemahan: Hukum, Rancangan Klasik untuk Membangun Masyarakat Merdeka) (Jakarta: Freedom Institute, 2010), h. 2.
[12] Jean Baechler, Democracy an Analycal Survey (Terjemahan: Demokrasi, Sebuah Tinjauan Analitis) (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 95-96.
[13] Bastiat, The Law, h. 4-5.
[14] Bunyi selengkapnya adalah: Pasal 1, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”; Pasal 2 ayat (1), “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.” Dan Pasal 2 ayat (2), “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.”
[15] UU Penodaan Agama awalnya berbentuk Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun 1965 yang dikeluarkan Soekarno pada 27 Januari 1965. Setelah Soekarno jatuh, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) memerintahkan untuk dilakukan peninjauan kembali produk-produk legislatif negara di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan hal tersebut dibentuk UU No.5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Berdasarkan UU No.5 Tahun 1969 maka Penpres Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ditetapkan sebagai suatu UU dan disebut UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Siti Aminah & Uli Parulian S, Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Putusan Uji Materiil UU Penodaan Agama (Jakarta: ILRC, 2011), h. 1-2.
[16] Departemen Agama (Depag) melaporkan pada tahun 1953, terdapat lebih dari 360 kelompok kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini memainkan peran menentukan hingga pada pemilu 1955, partai-partai Islam gagal meraih suara mayoritas. Aminah & Parulian, Memahami Pendapat Berbeda, h. 2-3.
[17] Status agama-agama resmi ini terkandung dalam Surat Edaran Mendagri No.477/74054/BA.01.2/4683/95 (18 November 1978) tentang Pengakuan Agama yang diakui oleh Pemerintah. Belakangan Konghucu masuk sebagai “agama resmi” setelah Abdurrahman Wahid melalui Keppres No.6/2000 mencabut Inpres No.14/1967 tentang pelarangan dan pembekuan kegiatan-kegiatan warga Tionghoa.
[18] Anas, Menekuk Agama, Membangun Tahta, h. 59-62.
[19] Kementerian Agama tidak ada pada kabinet pertama 1945 lantaran mendapat penolakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kehadiran kementerian agama pada Kabinet Syahrir pada 3 Januari 1946 adalah “konsesi” yang diberikan kepada umat Islam. Meski kontroversial, Soekarno berharap “hadiah” ini dapat mengobati kekecewaan umat Islam dengan dihapusnya tujuh kata di Piagam Jakarta, dan segera berintegerasi secara nasional untuk bersama-sama ikut serta menghadang penjajah yang ingin kembali masuk ke Indonesia. Di awal pembentukannya mengemuka usulan nama kementerian agama Islam, namun selanjutnya disepakati kementerian agama saja. Lihat, Anas, Menekuk Agama, Membangun Tahta, h.55-59
[20] Dalam pasal 3 UU PNPS eksplisit dinyatakan, “apabila… mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.”
[21] Ihsan, Membela Kebebasan Beragama, h. xix.
[22] Menarik jika kita menyaksikan pergulatan usaha pencabutan UU No.1/PNPS/1965. MK tahun 2010 menolak uji materiil undang-undang tentang penodaan agama itu yang diajukan oleh Abdurahman Wahid (Alm), Siti Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq, dan tujuh organisasi masyarakat sipil, yaitu: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, Setara Institute, Demos, Elsam, Desantara, dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Dalam proses persidangan salah satu hakim MK Maria Farida Indarti berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan mayoritas hakim lainnya. Menurutnya, UU Penodaan Agama telah menciptakan diskriminasi, terbukti di Departemen Agama (Depag) hanya ada perwakilan enam agama resmi saja (Dirjen Bimas), yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Undang-undang itu produk lampau, yang walau berdasarkan Aturan Peralihan I UUD 1945 secara formal masih mempunyai daya laku (validity), namun secara substansial mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan yang sangat mendasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal-pasal yang menyangkut hak-hak asasi manusia. Sementara ketua MK Mahfud MD berpandangan, jaminan konstitusional kebebasan beragama di Indonesia sudah absolutely clear, tetapi tanggung jawab negara terhadap agama tidak sebatas memberi perlindungan kebebasan beragama kepada para pemeluk agama, tetapi juga memberikan pelayanan terhadap pemeluk agama dan melindungi kemurnian ajaran agama dari penyelewengan dan penyimpangan. Pendapat Mahfud selengkapnya bisa dirujuk di Mahfud MD, Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi, makalah dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Senin, 5 Oktober 2009, di Ruang Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta.
[23] CRCS, Antara “Penodaan” dan “Kerukunan” (2010), h. 5.
[24] Magnis, Mencari Sosok Demokrasi, h. 68-69.
[25] Dalam konteks kebebasan beragama/berkeyakinan, penulis sepakat dengan pernyataan Bastiat bahwa hukum adalah konsep negatif, sehingga pernyataan “tujuan hukum adalah menjadikan keadilan berdaulat” bukanlah pernyataan yang akurat. Seharusnya dinyatakan bahwa tujuan hukum adalah mencegah bercokolnya ketidakadilan. Dalam kenyataan, ketidakadilanlah, dan bukan keadilan, yang memiliki eksistensi sendiri. Keadilan dicapai hanya ketika ketidakadilan tak ada. Hukum adalah keadilan yang terorganisasi. Ketika keadilan diorganisasi oleh hukum—yakni, oleh kekuatan/paksaan—hal ini menyingkirkan gagasan tentang menggunakan hukum (paksaan) untuk mengorganisasi segala aktivitas manusia, di antaranya pendidikan, seni, atau agama. Lihat, Bastiat, The Law, h. 55 & 25-26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar