Oleh:
Mahbib Khoiron
Santri Pesantren Ciganjur,
Wartawan NU-Online
Muka
Dalam sejarah
pemikiran politik, demokrasi tetaplah primadona yang paling banyak menyedot
kekaguman manusia-manusia modern. Buah pergeseran pandangan dunia abad
pencerahan ini selain mapan lama di Eropa dan Amerika ternyata juga meluas ke
hampir seluruh penjuru dunia, salah satunya Indonesia. Kita tahu, demokrasi
lahir sejalan dengan komitmen pengingkaran terhadap monopoli kekuasaan yang
menindas dan menjajah martabat kemanusiaan. Begitulah republik ini didirikan, setelah
tercengkeram kolonialisme dan otoritarianisme, kemudian menyambut cita baru
kedaulatan dan kemerdekaan yang seutuhnya, dengan penghargaan yang tinggi
terhadap hak-hak demokratis setiap warganya.
Kesepakatan untuk
memilih demokrasi memang tidak berlangsung mulus. Perdebatan ideologis dan
pertarungan intrik menyertai proses konsensus politik para pendiri bangsa.
Selain menghadapi counter keras dari
kaum agamawan yang membela terbentuknya negara teokratis, perjalanan demokrasi
Indonesia juga diwarnai pertarungan opini mengenai penerjemahan demokrasi itu
sendiri. Usulan Hatta untuk memasukkan hak-hak demokratis dalam batang tubuh
undang-undang dasar sempat ditolak Soekarno dan Soepomo, yang mengkhawatirkan
individualisme Barat mengontaminasi karakter kebangsaan. Sementara alasan sebenarnya
Hatta yang didukung Muhammad Yamin ini adalah untuk menghindari timbulnya
negara kekuasaan. Bagaimanapun, meski berdebat, sesungguhnya mereka disatukan
oleh satu kesadaran kolektif yang mantap bahwa negara ini harus didirikan di
atas prinsip kedaulatan rakyat.[1]
Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen) sangat tegas dinyatakan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan negara Indonesia adalah negara hukum.
Fakta ini menjelaskan bahwa di Indonesia, sebagaimana demokrasi pada umumnya, terjadi
konvergensi antara kedaulatan rakyat (demokrasi)
dan kedaulatan hukum (nomokrasi).[2] Hukum diakui
mempunyai supremasi dalam mengawal etika demokrasi yang menjunjung tinggi
kesetaraan dan kebebasan rakyat. Ia adalah payung dan referensi utama bagi
semua lapisan untuk mengharap, merealisasikan, dan menuntut hak-hak sipil dan
politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nuansa nomokratis ini kian
menonjol setelah amandemen ketiga peraturan dasar kita secara eksplisit
menyatakan bahwa kedaulatan rakyat itu dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.
Aspek yuridis (kedaulatan
hukum) dan aspek sosiologis/politik (kedaulatan rakyat) dalam demokrasi adalah
dua hal yang senantiasa berelasi tanpa putus. Betapapun mendasarnya fungsi
hukum, ia tetaplah manifestasi demokrasi yang kontraktual. Artinya, produk yang
dihasilkan tidak sepenuhnya derivasi etika demokratis murni (kebebasan dan
kesetaraan), melainkan terdapat campuran peristiwa politik yang melibatkan
kompromi, negosiasi, adu kekuatan, perebutan pengaruh, dan pertengkaran
kepentingan. Hal ini tidak hanya terjadi di tingkat perumusan konstitusi, tapi
juga implementasi dan interpretasi atas undang-undang yang sudah tersedia. Peristiwa
politik yang timbul dari berbagai kepentingan dan kalangan merupakan konsekuensi
dari keterbukaan demokrasi. Di poin inilah kita melihat letak “relativitas”
kebenaran demokrasi sebagai sistem politik, yang memberi kemungkinan untuk menyimpang
dari prinsip substansialnya untuk menegakkan keadilan melalui kebebasan dan
kesetaraan. Etika demokratis dapat diintervensi secara politik baik lewat
masyarakat sipil maupun kelembagaan resmi negara, sehingga bisa saja terjadi negara
yang demokratis sekaligus juga diskriminatif.
Khusus masalah
keberagamaan dan keberkeyakinan, Indonesia menyimpan sejarah pergulatan
hubungan agama dan negara yang tak kunjung selesai. Pernyataan populer bahwa
“Indonesia bukan negara agamis, juga bukan negara sekuler”, di satu sisi menunjukkan
“kesuksesan” di awal untuk melerai pertarungan ideologi agama versus ideologi
negara, tapi di sisi lain merupakan kerancuan di kemudian hari yang dapat
memicu intervensi negara atas perkara privat warganya untuk beragama dan
berkeyakinan sesuai dengan hati nurani. Tampak sekali, politik demokrasi yang
dinamis sejak rezim Orde Lama (Demokrasi Liberal/Parlementer dan Demokrasi
Terpimpin), Orde Baru (Demokrasi Pancasila), hingga demokrasi pasca-Reformasi,
secara konsisten masih merawat beberapa produk kesepakatan dan implementasi
kebijakan yang diskriminatif-politis terhadap keberagamaan dan keberkeyakinan
warga negara.
Kadar Komitmen Demokratis
Ciri penting yang
menandai demokrasi sebagai politik modern adalah keberpihakannya kepada hak-hak
dasar kemanusiaan. Keduanya ditopang oleh sistem nilai politik rasional a la abad pencerahan yang mengalihkan
teosentrisme kepada humanisme.[3]
Politik dijalankan bukan atas legitimasi teologis yang sukar dijangkau dan
kebal kritik, melainkan atas legitimasi politis (juga yuridis) yang bisa
diakses, diperjuangkan, dan dipertanyakan secara publik. Demokrasi mengklaim
dirinya sebagai organisasi politik paling wajar melalui pendasaran kekuasaan
yang bersifat akomodatif, inklusif, egaliter, dan toleran. Negara yang
demokratis dengan demikian adalah negara yang bersikap netral terhadap
pluralitas keyakinan dan keagamaan yang menempati wilayah privat warga
negaranya.
Jauh sebelum itu,
sejarah Nusantara memperlihatkan bahwa netralitas sikap atas keyakinan dan
keagamaan masyarakat sudah menjadi tabiat politik yang mengakar sejak zaman
kerajaan-kerajaan kuno.[4]
Kehidupan majemuk berlangsung stabil dan damai meskipun di bawah kekuasaan
feodal seorang raja. Hampir tidak ditemukan kebijakan atau pertempuran politik
dilatari oleh primordialitas suku, etnis, warna kulit, agama, dan kepercayaan. Mereka
memang berbeda-beda tetapi soliditas sebagai bangsa tetaplah satu (Bhinneka
Tunggal Ika). Jargon inilah yang kelak dikutip bangsa Indonesia sebagai
semboyan moral yang diharapkan mengikat keberagaman budaya menjadi kesatuan
politik-administratif, termasuk kesatuan ideologis: kebangsaan.
Bermodal semboyan
Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia sedang menunjukkan toleransi atas perbedaan agama
dan keyakinan, sekaligus komitmen atas persatuan keindonesiaan. Filosofi
persatuan selalu disebabkan oleh perbedaan. Jadi, bukan persatuan itu yang
paling penting, tetapi alasan yang melandasinya, yaitu perbedaan. Nafas
demokrasi dilarang mengorbankan perbedaan demi alasan “persatuan” (baca:
penyeragaman). Atas dasar fakta kemajemukan itulah, Sumpah Pemuda, Pancasila,
dan Konstitusi di Indonesia lahir.[5]
Butir-butir kesepakatan
bangsa ini yang paling mendasar ada pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Keduanya merupakan elemen paling vital yang menentukan komitmen demokrasi
di Indonesia. Dalam konteks beragama dan berkeyakinan, masing-masing adalah
sumber kepastian bagi jaminan kebebasan dan perlakuan yang sama terhadap warga
negara. Kedudukannya bukan hanya sekadar simbol, tapi merangkap sebagai
landasan yuridis tertinggi untuk keseluruhan praktik berdemokrasi di Indonesia.
Sebagai landasan yuridis tertinggi, ia mempengaruhi peraturan/kebijakakan
perundang-undangan turunannya. Sejauh mana jaminan kebebasan terwujud, dan
sebatas apa negara turut campur mengatur kebebasan, secara fundamental
bergantung pada Pancasila sebagai asas negara dan UUD 1945 sebagai sumber hukum
tertinggi.
Sampai saat ini, Pancasila
memang memberi jalan tengah, kompromi yang bisa diterima untuk mengelola
kemajemukan, pada satu sisi, sekaligus menjaga kesatuan, pada sisi lain. Tapi
kompromi itu selalu rentan, goyah, dan sering menimbulkan masalah pelik jika
ditempatkan dalam konteks kebebasan beragama. Sila yang dipandang kerap
menimbulkan perebatan tafsir adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Secara
konseptual, seperti dikutip Ihsan Ali-Fauzi, Olaf Schumann menjelaskan bahwa
istilah “ketuhanan” merupakan istilah yang sangat abstrak; bukan “Tuhan”,
melainkan “ketuhanan”, suatu prinsip mengenai Tuhan, tetapi bukan Tuhan
sendiri. Oleh karena itu, ia pun sangat sulit diterjemahkan ke dalam bahasa
asing. Dalam bahasa Inggris barangkali dapat diterjemahkan dengan istilah divinity, bukan “diety” atau “God”, dan
dalam bahasa Jerman Gottheit atau Gottlichkeit. Ia pun bukan Gott. Hanya teologi yang dapat
menjelaskan dengan memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan
ketuhanan itu secara nyata.[6]
Secara historis, kemunculan redaksi
itu memang buah kompromi ideologis-politis antara kelompok yang menginginkan “negara
teokratis” dan negara demokratis.[7]
Kompromi alot di kedua kubu pada akhirnya membuahkan “hasil maksimal”,
kendatipun di kemudian hari implikasi dari butir itu adalah favoritisme
agama-agama besar dan pelarangan terhadap animisme, dinamisme, politeisme,
ateisme dan non-teisme, serta kepercayaan-kepercayaan minoritas lain yang
menjadi wilayah personal warga negara. Fakta ini rawan sekali dipolitisasi oleh
negara untuk mencampur-tangani urusan privat secara legitimatif, karena
ditemukan pendasarannya di dalam konstitusi.
Kebijakan restriktif terhadap
kebebasan beragama/berkeyakinan mencolok sekali terutama di sepanjang rezim
Orde Baru. Berbeda dengan orientasi Orde Lama yang ideologis, otoritarianisme
Orde Baru hampir tidak memperlihatkan konsistensi dan komitmen yang jelas
terhadap kebijakan keagamaannya. Demokrasi Pancasila sering kali menempatkan
Pancasila sebatas pengelabuhan untuk menutupi kebutuhan atas pemeliharaan kekuasaannya.
Maka, sesekali Soeharto berafiliasi dengan umat Islam untuk bersama-sama
mengadakan pemberantasan PKI dan pelarangan lebih dari seratus aliran
kepercayaan dan kebatinan yang berhaluan kiri. Dan sesekali mengebiri umat
Islam sebagai kekuatan politik melalui peneguhan asas tunggal Pancasila.[8]
Di rezim ini pula marak lahir kebijakan keagamaan yang intoleran seperti
pembedaan antara agama resmi dan tidak resmi, pengawasan terhadap aliran yang
dianggap sesat, larangan faham Marxisme-Leninisme, dan lain-lain. Undang-Undang
Dasar pasal 29 ayat (2) yang secara terang menyatakan bahwa “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” tidak berfungsi dengan baik
di bawah kedigdayaan politik Soeharto yang demikian kuat.
Bangkitnya Orde Reformasi pasca-Orde
Baru telah banyak mengubah perkembangan mutakhir kepolitikan kita. “Demokrasi
seolah-olah” diperjuangkan untuk diluruskan lagi menjadi demokrasi yang sebenarnya.
Di antara prestasi yang dapat diinventarisir adalah empat kali amandemen (1999-2002)
terhadap undang-undang “bermasalah”. Khusus mengenai kebebasan
beragama/berkeyakinan, yang menjadi fokus tulisan ini, hasil amandemen UUD 1945
memberi jaminan konstitusional yang sangat kuat. Pasal 28E memberi penegasan
bahwa (1) “Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; dan (2) “Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.” Dengan itu menjadi jelas bahwa hak dan kebebasan
beragama/berkeyakinan merupakan pilihan yang bebas “sesuai dengan hati nurani”
seseorang yang dihormati. Tidak ada institusi apapun yang dapat menghalangi,
meniadakan atau memaksakan agama atau keyakinan seseorang.[9]
Seperti
disebutkan, sebagai politik modern demokrasi tidak bisa dilepaskan dari
akomodasi hak-hak dasar kemanusiaan. Komitmen politik kesetaraan demokrasi
pasca-Orba telah berusaha mewujudkan hal itu. Usaha itu tergolong berhasil
dengan adanya ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) lewat UU No.
12/2005 dan masuknya HAM dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kedua
UU ini menjelaskan secara rinci betapa kebebasan berpikir dan berkeyakinan
adalah hak dasar yang tidak seorang pun dapat membatasi, mengganggu, atau
memaksakannya. Segala praktik diskriminatif berdasarkan sentimen keagamaan, kepercayaan,
suku, ras, etnis, kelompok, jenis kelamin, bahasa, status sosial, status
ekonomi, dan keyakinan politik termasuk melanggar hak asasi manusia yang
dijamin oleh Undang-Undang Dasar maupun Undang-Undang.
Secara umum,
gairah demokratisasi pada orde pembaharuan ini telah mampu memperlihatkan
komitmen demokratis yang sangat kuat. Sejumlah amandemen dan ratifikasi telah
berkontribusi banyak dalam mengubah wajah konstitusi kita untuk semakin tinggi
menjunjung hak asasi manusia sebagai perwujudan hak-hak demokratis warga. Hanya,
perlu diingat bahwa beberapa peraturan perundang-undangan masih menyediakan
ruang tafsir dan kesempatan diskriminasi oleh penegak hukum, praktisi politik,
atau kekuatan mayoritas rakyat. Sehingga, idealisme hukum terkadang
diselewengkan lewat tarik-menarik politik yang sarat kepentingan dan sentimen
keyakinan dan keagamaan.
Politik Diskriminasi Beragama/Berkeyakinan
Dalam demokrasi
terdapat segitiga hubungan antara etika, hukum, dan politik. Secara filosofis,
etika demokratis, berupa prinsip kebebasan dan kesetaraan, menjadi jangkar
nurani yang menjustifikasi demokrasi sebagai gagasan politik yang baik untuk diterima.
Basis etis ini selanjutnya diterjemahkan ke dalam serangkaian hukum dengan
melibatkan proses-proses politik. Keberadaan hukum lalu menggeser etika sebagai
sikap batin yang mutlak, menjadi peraturan yang memiliki dimensi koersivitas
lahiriah melalui kelembagaan politik yang diisi oleh sejumlah aparat dan sanksi-sanksi
sebagai sarana pemaksa. Pada level politik, ekspresi negatif kekuasaan kerap
kali memanfaatkan dimensi koersivitas (pemaksaan) ini untuk melakukan kekerasan
dan dominasi yang mengatasnamakan hukum. Tepat di sinilah letak vulnerability dan paradoks demokrasi,
yaitu ketika etika demokrasi terlepas dari dan dikuasai oleh manifestasi
yuridis dan politiknya.[10]
Kata Frédéric
Bastiat, hukum adalah organisasi hak individu secara kolektif untuk membela
diri secara sah.[11] Dalam konteks
demokrasi, proposisi ini melengkapi pendapat Jean Bachler tentang karakter
dasar demokrasi yang selalu berproses secara kontraktual untuk mencapai suatu
kesepakatan yang dijadikan dasar bagi kepatuhan bersama.[12] Idealisme hukum
yang dikemukakan Bastiat adalah sarana kepatuhan bersama untuk mengharap,
menuntut, dan mempertanyakan hak-hak demokratis warga negara. Namun, Bastiat sendiri
mengingatkan bahwa hukum sama sekali tidak
membatasi dirinya pada fungsi-fungsi yang seharusnya. Dan ketika ia melampaui fungsi-fungsi
yang seharusnya itu, hukum bisa berkembang melawan tujuannya sendiri. Hukum
sudah dipakai untuk memberangus keadilan yang seharusnya ia pelihara: untuk
membatasi dan menghancurkan hak-hak yang seharusnya ia junjung tinggi.[13]
Dalam konteks
Indonesia, secara yuridis “organisasi hak individu” itu terlembaga dalam
konstitusi yang dimiliki. Jaminan kebebasan dan perlakukan yang sama warga
negara secara eksplisit diatur oleh perundang-undangan. Hanya saja, lantaran
proses-proses politik yang intoleran, beberapa kebijakan melenceng dari
fungsi-fungsi hukum yang seharusnya. Pelencengan tersebut terjadi pada dua hal.
Pertama, produksi hukum yang
diskriminatif terhadap warga negara. Kalau dalam sejumlah pasal
perundang-undangan menyatakan jaminan kebebasan dan kesetaraan, maka sejumlah
peraturan lain yang mengadakan pembatasan kebebasan dan diskriminasi secara tak
wajar adalah wujud kerancuan produk hukum yang diciptakan oleh negara. Hukum
semacam ini biasanya lahir dari kebutuhan situasi politik tertentu, atau
desakan kekuatan sementara pihak yang menginginkan adanya ketidakbebasan dan ketidaksetaraan
di masyarakat.
Kedua, implementasi hukum yang diskriminatif, yang dimotori oleh para aparatnya
dan sejumlah kelembagaan politik yang terkait. Di sini aktor-aktor pembuat
kebijakan telah tertutup dari kebijaksanaan pengambilan keputusan, sehingga
memunculkan sejumlah keputusan yang bertentangan dengan asas kebebasan dan
kesetaraan dalam demokrasi. Dalam hal ini, kolaborasi antara mayoritarianisme
dan aktor-aktor politik negara (legislatif, yudikatif, atau eksekutif) untuk
membatasi kebebasan dan membeda-bedakan perlakuan merupakan pangkal masalah
mengapa kebijakan itu keluar dan diterapkan dengan melanggar nilai demokrasi.
Kita bisa memulai
analisa politik diskriminasi di Indonesia dengan menunjukkan kebijakan yang
tidak memihak secara merata kepada warga negara, kemudian mengamati proses
politikisasi yang merugikan sebagian pihak sebagai warga negara dalam kerangka
demokrasi. Dalam konteks beragama dan berkeyakinan di Indonesia, masalah
intoleransi dan diskriminasi banyak berporos pada UU No.1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Peraturan ini seringkali
dijadikan legitimasi yuridis untuk melakukan pelarangan terhadap
keyakinan-keyakinan yang dianggap sesat dalam pandangan agama-agama mainstream.
Pasal undang-undang itu memuat larangan menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan
dukungan umum untuk melakukan penafsiran dan
kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama yang dianut di Indonesia. Jika penyimpangan tersebut dilakukan
oleh organisasi atau aliran, Presiden dapat membubarkannya sebagai organisasi/aliran
yang terlarang.[14]
Dalam sejarahnya,
UU yang sebelumnya Perpres ini[15]
lahir dari situasi saat dinamika sosial politik Indonesia diwarnai persaingan
antar ideologi-idologi besar seperti nasionalisme, agama, dan komunisme. Saat
itu timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan
masyarakat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama, yang mengancam
terjadinya pelanggaran hukum, memecah persatuan nasional, menyalahgunakan dan
menodai agama. Perkembangan aliran dan organisasi kebatinan dianggap telah
berkembang ke arah membahayakan agama-agama yang ada. PNPS 1965 terbit selain
untuk melindungi agama-agama (yang diakui negara), juga merupakan bagian dari
gagasan Nasakom Presiden Soekarno untuk memobilisasi kekuatan-kekuatan
nasionalisme, agama, dan komunisme demi meningkatkan kekuatan politiknya.
Konfigurasi politik pada era Demokrasi Terpimpin yang otoriter, sentralistik,
dan terpusat di tangan Presiden Soekarno telah menyebabkan produk-produk hukum
yang diciptakan pada masa tersebut juga bersifat otoriter dan sentralistik,
tidak terkecuali UU Penodaan Agama.[16]
Di tangan Orde Baru
UU PNPS ini tampil semakin politis. Diliputi hasrat mempertahankan status quo, Soeharto
mengontrol kekuatan politik di sekelilingnya melalui sejumlah undang-undang,
bahkan dasar negara Pancasila. Kehadiran PNPS ini memberinya keleluasaan untuk menyingkirkan
setiap lawan politik yang berlatar belakang kepercayaan atau keagamaan dengan
dalih penyalahgunaan dan penodaan agama. Di era ini kontrol politik atas agama
dipertegas dengan peresmian agama-agama besar, yang terbatas pada Islam,
Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu.[17]
Di tingkat empirik, politik pengesahan ini memacu kaum misionaris agama-agama
semitis (mayoritas) khususnya Islam, Kristen, dan Katolik untuk
mengolonialisasi agama-agama lokal (minoritas) yang bisa jadi ada lebih awal
namun tidak diakui oleh negara.[18]
Untuk agama-agama yang dianggap “devian” dari agama-agama besar ini, seperti
Dayak Kaharingan di Kalimantan, Parmalim di Medan, Tolotang di Sulawesi
Selatan, dan Sunda Wiwitan di Jawa Barat, kadang juga digolongkan secara
sewenang-wenang ke dalam salah satu dari agama resmi. Jelas ini termasuk
pemaksaan, apalagi politik pengesahan ini berpengaruh besar terhadap keseharian
hidup warga, seperti sistem administrasi kependudukan dan pernikahan, subsidi,
pendidikan dan lain-lain.
Dalam praktiknya,
kebijakan keagamaan itu beroperasi atas partisipasi utama dari lembaga negara yang
bersinggungan dengan agama dan keyakinan seperti Kementerian Agama dan Badan
Koordinasi Pengawas Aliran dalam Masyarakat (Bakorpakem). Fungsi lembaga yang
hingga kini masih eksis itu semakin memperkuat cengkeraman negara terhadap kepercayaan
privat warganya. Untuk kementerian agama, secara genealogis merupakan warisan
zaman kolonial Belanda (dengan nama Kantoor
voor Inlandsche zaken/Kantor Urusan Pribumi) dan Jepang (dengan nama Shumubu), yang dilanjutkan
pasca-kemerdekaan sebagai “jalan tengah” menghadapi tarik-menarik keras antara
yang menginginkan “negara sekuler” dan “negara teokratis”.[19]
Selain
diskriminatif, “fungsi kolonial” ternyata juga melekat di Kementerian Agama dan
Bakorpakem. Terbukti, Soeharto bertingkah layaknya Snouck Hurgronje, yang berupaya
melakukan pengawasan, pengaturan, dan pembatasan ketat terhadap munculnya agama-politik
melalui tangan kedua institusi ini. Adapun di era demokrasi sekarang ini,
fungsi itu lebih merupakan pemihakan negara kepada tafsir keagamaan kaum mayoritas
untuk mengolonialisasi, bahkan mengriminalisasi,[20]
sekte-sekte “baru” atau “aneh” yang berbeda pandangan dengan alur umum. Politik
pemihakan ini, dengan instrumen UU PNPS, dilakukan negara:[21] (1) melalui Depag,
menentukan apa yang disebut “pokok-pokok ajaran agama”; (2) menetukan mana
penafsiran agama yang dianggap “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama” dan
mana yang tidak; (3) jika diperlukan, melakukan penyidikan terhadap
aliran-aliran yang diduga melakukan penyimpangan serta menindak mereka. Dua
kewenangan terakhir dilaksanakan oleh Bakorpakem, yang mula-mula didirikan oleh
Depag pada 1954 untuk mengawasi agama-agama baru, kelompok-kelompok kebatinan
dan kegiatan mereka. Sejak 1960, tugas dan kewenangan itu diletakkan di bawah
Kejaksaan Agung.
Terlihat aneh
memang, di zaman keran demokrasi dibuka lebar seperti sekarang ini masih saja
tersisa produk dan implementasi kebijakan yang membredel kebebasan agama dan
keyakinan pribadi seseorang. Gelombang demokratisasi belum menyentuh ke semua
lapisan perundang-undangan dan institusi negara.[22]
Sejumlah kebijakan restriktif keagamaan era Orde Lama dan Orde Baru masih
dipelihara dan diteruskan dengan baik hingga hari ini. Kemunculan keyakinan-keyakinan
yang berseberangan dengan pendapat mainstream dicap begitu saja sebagai
aliran sesat yang menodai agama, dan karena dianggap kriminal para pelakunya
harus meringkuk di penjara.
Netralitas sikap negara
terhadap urusan privat warganya sebagai realisasi etika demokrasi untuk
mewujudkan kebebasan dan kesetaraan kepada setiap warga ternyata tidak berkutik
di bawah hegemoni politik mayoritas, yang selalu menempatkan pihak di luar
dirinya sebagai kelas nomor dua. Negara akhirnya berurusan dengan wilayah
privat dan perdebatan yang semestinya menjadi perkara di tingkat horisontal
antar-warga. Pemihakan negara atas pendapat keyakinan dan keberagamaan tertentu
jelas berseberangan dengan fungsi negara dalam demokrasi sebagai pengayom warga
secara keseluruhan. Pemihakan, lalu penanganan perbedaan melalui jalur negara
(perundang-undangan dan institusi politik) menyebabkan adanya pengabaian
terhadap persoalan-persoalan partikular yang harusnya didudukkan secara khusus.
Penanganan terhadap kasus-kasus “menyimpang”, seperti ketidaksensitifan polling
tabloid Monitor, pemahaman Ahmadiyah
dan Yehowa, ide shalat dwi bahasa, gerakan agama baru Lia Eden, lantas
digeneralisasi sebagai “penodaan agama” yang berujung punishment yang mengekang.[23]
Maka, di sini politik mayoritas telah memanfaatkan dimensi koersivitas hukum
dalam demokrasi untuk mendominasi dan memaksa pihak minoritas mengikuti alur
pemahaman mayoritas.
Etika politik
memang menyediakan paham-paham inti sekitar demokrasi, tetapi yang dapat
mempergunakannya dalam perjuangan politik bukanlah etika politik sendiri,
melainkan diskursus politik dalam masyarakat yang bersangkutan.[24] Pun saat etika itu
dilembagakan dalam produk hukum, masih terbuka lebar potensi manipulasi oleh
aktor-aktor politik dan diktator mayoritas, sehingga—meminjam istilah
Bastiat—hukum bisa dipakai untuk menghancurkan tujuannya sendiri. Hasil
amandemen dan ratifikasi Hak-Hak Sipil dan Politik, serta ratifikasi Hak Asasi
Manusia menjadi “ompong”, ketika sentimen kelompok, subyektivitas kepentingan,
dan egoisme status tetap mendominasi ruang publik demokrasi. Keompogan itu
terlihat dari inkoherensi peraturan/kebijakan perundang-undangan pasca
reformasi hukum antara UUD dan sejumlah peraturan turunannya, dan dikendalikan
oleh aparat-aparat yang kehilangan kebijaksanaan dan toleransi.
Akhir
Uraian di atas
memperlihatkan bahwa cita-cita kemerdekaan bangsa ini untuk mewujudkan
nilai-nilai demokratis belum terlaksana secara penuh hingga sekarang. Kebijakan
keagamaan pasca kemerdekaan masih memiliki “garis kesinambungan” dengan
kebijakan keagamaan pada zaman kolonial. Garis itu terlihat dari intensitas
campur-tangan kekuasaan atas kehidupan pribadi warganya dalam hal keberagamaan
dan keberkeyakinan. Favoritisme negara atas pihak-pihak tertentu menimbulkan intoleransi
dan diskriminasi perlakuan terhadap pihak-pihak lainnya, yang kemudian
menghilangkan ketulusan dan nafas lega warga untuk mencari jalan spiritualnya
sendiri.
Politik
diskriminasi yang tampil memang menunjukkan variasi kepentingan yang berbeda di
setiap orde pemerintahan. Namun, dampak yang ditimbulkan nuansanya selalu sama:
kolonialisasi, marginalisasi dan kriminalisasi kepercayaan-kepercayaan
minoritas yang dianggap menyimpang. Katakanlah, “misi mulia” negara adalah
melakukan politik kerukunan untuk mengatasi konflik di masyarakat demi
stabilitas demokrasi. Akan tetapi, tidak seharusnya pendekatan yang diambil
adalah institusionalisasi pengesahan dan pelarangan agama dan keyakinan.
Pendekatan ini menimbulkan kerancuan, apakah institusionalisasi itu
sungguh-sungguh menciptakan kerukunan atau justru memberi justifikasi kebencian
dan permusuhan terhadap kelompok lain yang dinilai menyimpang. Terlebih, negara
atas nama melindungi kemurnian ajaran
agama telah masuk pada wilayah definisi, tafsir, dan penghakiman pendapat
yang seharusnya hanya terjadi antara warga vis-à-vis
warga, bukan negara vis-à-vis
warganya. Di sini, logika “perlindungan” akhirnya berjalan seiring dengan
dampak ketidakadilan.[25]
Dalam konteks
negara demokratis, gejala ini menunjukkan adanya jurang pemisah antara
idealisme dan implementasi praksis dari demokrasi. Secara ideal, demokrasi
mengusung cita-cita kemanusiaan yang menghargai kemerdekaan dan kesetaraan
warga negara. Namun, kedaulatan mayoritas rakyat atau elit-elit politik yang
mendominasi keputusan rakyat sering kali mengingkari cita-cita tersebut. Pembatasan
kebebasan dalam demokrasi hanya masuk akal diterapkan kepada mereka yang
bertentangan dengan demokrasi. Para penolak kemajemukan, penganjur permusuhan,
dan pelaku kriminal yang merugikan masyarakat demokratis adalah sasaran tepat
untuk mendapatkan pembatasan gerak. Perlakuan negara demokratis juga menolak
keungulan individu dalam masyarakat plural berdasarkan sentimen keagamaan,
kepercayaan, suku, ras, etnis, kelompok, jenis kelamin, bahasa, status sosial,
dan status ekonomi. Apabila yang terjadi sebaliknya, percayalah, demokrasi akan
melahirkan anak-anak kandung yang suatu saat akan membunuh demokrasi itu
sendiri. Monggo…
asrama,
malem tahoen baroe rongewoerolas
Ómahbib khoiron
Artikel Terkait
- Salam Redaksi
- Riset Redaksi
- Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
- Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
- Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
- Demokrasi Deliberatif
- Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
- Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
- Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
- Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
- Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
- Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
- Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
- Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)
[1] Franz
Magnis-Suseno SJ, Mencari Sosok
Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis (Jakarta: Gramedia, 1995), h. 9
[2] Secara
umum dapat dipahami, konsekuensi logis dari operasionalisasi kedaulatan rakyat
membutuhkan kerangka yuridis atau format hukum agar wajah kedaulatan rakyat itu
mengemuka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum yang sudah
disetujui rakyat kemudian berdaulat atas nama kedaulatan rakyat. Kepastian
hukum dijadikan alat untuk mencapai keadilan yang didambakan rakyat. Di sinilah
kemudian letak transformasi dan konvergensi, yaitu hukum berdaulat atas nama
rakyat. Lihat, Hendra Nurtjahyo, Filsafat
Demokrasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 41
[3]Menurut
Magnis, pengakuan semakin universalnya demokrasi bukanlah karena demokrasi
adalah satu-satunya kemungkinan pemerintahan yang legitim an sich, melainkan karena terjadi perubahan dalam pandangan dunia.
Legitimasinya tidak berdiri di ruang kosong dan tidak bersifat mutlak dan
apriori, melainkan berdasarkan kepercayaan tertentu tentang manusia,
masyarakat, dan Tuhan. Artinya, kalau demokrasi menganggap politik tradisional
sebagai hal yang irasional, demikian juga ia akan tertolak dalam sistem
kepercayaan tradisional yang banyak mendasarkan kekuasaan secara metafisik.
Magnis-Suseno, Mencari Sosok Demokrasi,
h.41-42.
[4]
Abdurrahman Wahid, Merajut Akar-Akar
Kebangsaan Indonesia, sumber tak terlacak.
[5] Rocky
Gerung, Agama dan Negara, dalam Bonar
Tigor (ed.), Beragama, Berkeyakinan, dan
Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Beragama/Berkeyakinan di Indonesia
(Jakarta: Setara Institute, 2009), h. 169-170.
[6] Ihsan
Ali-Fauzi, et.all., Membela Kebebasan
Beragama: Catatan pengantar, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Membela Kebebasan Beragama: Percakapan
tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme (Jakarta: Paramadina,
2010), h. xiii.
[7] Sejak
awal kelompok Islam baik modernis maupun tradisionalis, telah menginginkan
penetapan syari’at Islam sebagai dasar negara yang kemudian terkenal dengan
“Piagam Jakarta”. Meskipun penerimaan Bung Hatta, pada waktu itu, atas
keberatan kelompok non-muslim dan kelompok nasionalis atas pencantuman tujuh
kata dalam Pancasila, lebih didasarkan atas realitas kemajemukan masyarakat
Indonesia, tetapi Soekarno sendiri lebih memiliki pertimbangan ideologis. Bagi
Bung Karno, menuruti usulan NU (KH. Abdul Wahid Hasyim) untuk menambah sila
pertama yang semula hanya “Kepercayaan kepada Tuhan” menjadi “Ketuhanan Yang
Maha Esa”, yang merupakan upaya untuk mendekatkan Pancasila dengan prinsip
ketauhidan dalam Islam, tentu tidak sekadar mengganti kekecewaan umat Islam,
atas ditolaknya Piagam Jakarta. Kepentingan Soekarno untuk mengakomodir
aspirasi umat Islam, adalah kekhawatirannya terhadap disintegrasi nasional dan
melemahnya dukungan umat Islam menghadapi agresi Belanda waktu itu. Selain itu,
akomodasi juga ditunjukkan lewat persetujuan atas berdirinya Kementerian Agama.
Anas Saidi, Menekuk Agama, Membangun
Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru (Jakarta: Desantara, 2004), h. 14 &
55.
[8] Anas, Menekuk Agama, Membangun Tahta, h. 14-16.
[9] Ihsan, Membela Kebebasan Beragama, h. xv-xvi.
[10] Menurut
prinsip eksistensialnya demokrasi mengandung tiga fenomena sekaligus, yaitu
fenomena politik (kekuasaan), fenomena etika (ajaran moral), dan fenomena
hukum, yang saling berjalin-kelindan membentuk sebuah teori dengan pendasaran
teoritis yang tegas-tegas menolak tatanan kekuasaan yang otoriter dan
totaliter. Jadi, demokrasi dapat diartikan sebagai spirit (ide) dan institusionalisasi dari prinsip-prinsip kebebasan
dan kesamaan dengan segala derivasinya menuju persetujuan politik melalui
kedaulatan suara mayoritas yang dimasukkan dalam kerangka yuridis. Hendra, Filsafat Demokrasi, h. 82-84.
[11] Frédéric
Bastiat, The Law (Terjemahan: Hukum,
Rancangan Klasik untuk Membangun Masyarakat Merdeka) (Jakarta: Freedom
Institute, 2010), h. 2.
[12] Jean
Baechler, Democracy an Analycal Survey
(Terjemahan: Demokrasi, Sebuah Tinjauan Analitis) (Yogyakarta: Kanisius, 2001),
h. 95-96.
[13] Bastiat,
The Law, h. 4-5.
[14] Bunyi
selengkapnya adalah: Pasal 1, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka
umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk
melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama itu”; Pasal 2 ayat (1), “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut
dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan
perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa
Agung dan Menteri Dalam Negeri.” Dan Pasal 2 ayat (2), “Apabila pelanggaran
tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran
kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu
dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/aliran
terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri
Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.”
[15] UU
Penodaan Agama awalnya berbentuk Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun
1965 yang dikeluarkan Soekarno pada 27 Januari 1965. Setelah Soekarno jatuh,
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) memerintahkan untuk dilakukan
peninjauan kembali produk-produk legislatif negara di luar produk MPRS yang
tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan hal tersebut dibentuk
UU No.5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden sebagai Undang-Undang. Berdasarkan UU No.5 Tahun 1969 maka Penpres
Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
ditetapkan sebagai suatu UU dan disebut UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Siti Aminah & Uli Parulian S, Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Putusan Uji Materiil UU Penodaan Agama (Jakarta: ILRC, 2011), h. 1-2.
[16]
Departemen Agama (Depag) melaporkan pada tahun 1953, terdapat lebih dari 360
kelompok kebatinan di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini memainkan peran
menentukan hingga pada pemilu 1955, partai-partai Islam gagal meraih suara
mayoritas. Aminah & Parulian, Memahami
Pendapat Berbeda, h. 2-3.
[17] Status
agama-agama resmi ini terkandung dalam Surat Edaran Mendagri
No.477/74054/BA.01.2/4683/95 (18 November 1978) tentang Pengakuan Agama yang
diakui oleh Pemerintah. Belakangan Konghucu masuk sebagai “agama resmi” setelah
Abdurrahman Wahid melalui Keppres No.6/2000 mencabut Inpres No.14/1967 tentang
pelarangan dan pembekuan kegiatan-kegiatan warga Tionghoa.
[18] Anas, Menekuk Agama, Membangun Tahta, h. 59-62.
[19]
Kementerian Agama tidak ada pada kabinet pertama 1945 lantaran mendapat
penolakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kehadiran kementerian
agama pada Kabinet Syahrir pada 3 Januari 1946 adalah “konsesi” yang diberikan
kepada umat Islam. Meski kontroversial, Soekarno berharap “hadiah” ini dapat
mengobati kekecewaan umat Islam dengan dihapusnya tujuh kata di Piagam Jakarta,
dan segera berintegerasi secara nasional untuk bersama-sama ikut serta
menghadang penjajah yang ingin kembali masuk ke Indonesia. Di awal
pembentukannya mengemuka usulan nama kementerian agama Islam, namun selanjutnya
disepakati kementerian agama saja. Lihat, Anas, Menekuk Agama, Membangun Tahta, h.55-59
[20] Dalam
pasal 3 UU PNPS eksplisit dinyatakan, “apabila… mereka masih terus melanggar
ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota
Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun.”
[21] Ihsan, Membela Kebebasan Beragama, h. xix.
[22] Menarik
jika kita menyaksikan pergulatan usaha pencabutan UU No.1/PNPS/1965. MK tahun
2010 menolak uji materiil undang-undang tentang penodaan agama itu yang
diajukan oleh Abdurahman Wahid (Alm), Siti Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan
Maman Imanul Haq, dan tujuh organisasi masyarakat sipil, yaitu: Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, Setara Institute, Demos, Elsam,
Desantara, dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Dalam proses
persidangan salah satu hakim MK Maria Farida Indarti berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan mayoritas
hakim lainnya. Menurutnya, UU Penodaan Agama telah menciptakan diskriminasi,
terbukti di Departemen Agama (Depag) hanya ada perwakilan enam agama resmi saja
(Dirjen Bimas), yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu.
Undang-undang itu produk lampau, yang walau berdasarkan Aturan Peralihan I UUD
1945 secara formal masih mempunyai daya laku (validity), namun secara
substansial mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan yang sangat
mendasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal-pasal yang
menyangkut hak-hak asasi manusia. Sementara ketua MK Mahfud MD berpandangan,
jaminan konstitusional kebebasan beragama di Indonesia sudah absolutely clear, tetapi tanggung jawab
negara terhadap agama tidak sebatas memberi perlindungan kebebasan beragama
kepada para pemeluk agama, tetapi juga memberikan pelayanan terhadap pemeluk agama
dan melindungi kemurnian ajaran agama dari penyelewengan dan penyimpangan.
Pendapat Mahfud selengkapnya bisa dirujuk di Mahfud MD, Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi, makalah dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan
Kebebasan Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden
Terpilih, yang diselenggarakan oleh Indonesian
Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Senin, 5 Oktober 2009, di
Ruang Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta.
[23] CRCS, Antara “Penodaan” dan “Kerukunan”
(2010), h. 5.
[24] Magnis, Mencari Sosok Demokrasi, h. 68-69.
[25] Dalam
konteks kebebasan beragama/berkeyakinan, penulis sepakat dengan pernyataan
Bastiat bahwa hukum adalah konsep negatif, sehingga pernyataan “tujuan hukum
adalah menjadikan keadilan berdaulat”
bukanlah pernyataan yang akurat. Seharusnya dinyatakan bahwa tujuan hukum adalah
mencegah bercokolnya ketidakadilan. Dalam kenyataan, ketidakadilanlah, dan
bukan keadilan, yang memiliki eksistensi sendiri. Keadilan dicapai hanya ketika
ketidakadilan tak ada.
Hukum adalah keadilan yang terorganisasi. Ketika keadilan diorganisasi oleh
hukum—yakni, oleh kekuatan/paksaan—hal ini menyingkirkan gagasan tentang
menggunakan hukum (paksaan) untuk mengorganisasi segala aktivitas manusia, di
antaranya pendidikan, seni, atau agama. Lihat, Bastiat, The Law, h. 55 & 25-26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar