Kamis, 16 Januari 2014

Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?

Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan[1]?
Oleh: 
Arief al-Bony
Santri Pesantren Ciganjur,
Mahasiswa ICAS Jakarta

Wacana demokrasi saat ini sudah bukan lagi menjadi sebuah perdebatan dalam ruang ideal melainkan sudah mengarah pada sosio-historis dan relasinya. Dengan banyaknya model dan teori telah menunjukkan pada kita bahwa untuk mengkaji demokrasi harus dilihat sosio-historis dan relasinya. Apa bentuk dan aplikasinya? Sebab sebuah negara yang berusaha atau sudah menganut jalan demokrasi melalui penerapan paham kebebasan dan kesetaraan tidak akan sama bentuk dan tatanan dengan demokrasi di tempat lain. Realitas ini yang membawa kita untuk melihat sosio-historis dan relasinya, apakah negara kita (Indonesia) menganut jalan demokrasi atau ada bentuk lain yang memang sama dengan nilai-nilai demokrasi? Tapi bagaimana pun juga, selama ini Indonesia sudah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi itu, jika kebebasan dan kesetaraan menjadi nilai utama yang diberikan oleh demokrasi terhadap kehidupan warganya. Akan tetapi apakah hanya dengan menerapkan nilai-nilai itu negara menjadi demokratis?

Paham bebas bukan berarti lepas, kebebasan memiliki nilai pertanggungjawaban yang luhur atas tindakannya. Bebas bukan berarti tidak memiliki sebuah tatanan nilai, melainkan proses dalam pengembangan akan tindakan yang mereka ketahui, bagaimana seseorang harus bertanggung jawab atas dirinya dan orang lain sebagai manusia yang sama-sama bebas. Sehingga apa yang mereka ketahui akan sesuatu biarkan mereka mengelola sesuatu itu. Namun, dengan banyaknya sudut pandang akan demokrasi telah memberikan kita ruang untuk mengkaji ulang sosio-historis dan relasi secara terbuka. Bagaimana ruang demokrasi mengatur tatanan negara yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat secara adil, bisa sesuai dengan data-data empiris di dalam suatu negara yang menganutnya. Sehingga nilai-nilai demokrasi yang bersifat universal dapat terlihat sebagai nilai yang menjamin kesejahteraan dan keadilan warganya. Apa nilai universal demokrasi itu? Universalitas itu berupa kebebasan dan kesetaraan— ada hak dan kewajiban yang harus dijalankan sesuai tatanan demokrasi di berbagai ranah sosial, ekonomi, politik maupun budaya tanpa ada tekanan dari manapun. Hal ini yang akan menentukan konsep dan jalannya demokrasi di setiap negara.

Dalam teori klasik demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat, yang di perintah pun rakyat. Apakah dalam hal ini rakyat merupakan substansi dari paham demokrasi yang menjadi kekuatan penuh atau hanya sebuah loncatan untuk mencapai kesepakatan dalam kekuasaan. Prosesnya, suara rakyat menjadi suara mayoritas untuk menentukan perjalanan demokrasi tanpa mengesampingkan suara terkecil. Hal semacam ini yang dilihat dalam kacamata umum demokrasi, seakan-akan demokrasi hanya berada dalam tatanan politik yang hanya mengumpulkan suara terbanyak dari rakyat untuk mencapai berkuasa, sehingga demokrasi akan memberikan pengakuan terhadap hak-hak individu yang bebas dalam berbagai bentuk tindakan untuk berpartisipasi yang tidak berkesudahan dan tidak hanya berhenti dalam tatanan formal saja.

Namun realitasnya tindakan warga terhenti hanya dalam bentuk sistem prosedur Pemilihan Umum dan tidak ada kelanjutan dari tindakan itu. Padahal demokrasi tidak hanya dilihat dari sudut pandang ini saja, walaupun partisipasi tidak berkesudahan dan bergerak dalam tatanan sosial atau budaya, tetapi kebutuhan akan partisipasi bisa terbentur dengan otoritas individu, kepentingan, dan tujuan. Semua ini sebagai bentuk kekuasaan yang dicapai setiap individu untuk mengatur individu lainnya. Maka diadakan suatu bentuk undang-undang atau norma-norma sosial untuk menekan kebebasan yang sesuai dengan hak-hak individunya secara adil, serta membentuk lembaga atau institusi lain yang dapat membangun kesadaran tindakan masyarakat terhadap tatanan demokrasi yang berada di berbagai ruang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Melalui bentuk tindakan yang didasari kebebasan dan kesetaraan seseorang telah membentuk suatu kesepakatan dari semua warga yang disebut dengan kontrak sosial.

Persoalannya tidak hanya di sini, dalam kontrak ini yang membentuk kesepakatan bersama pun masih belum begitu jelas, sebab terjadinya kontrak hanya sebatas permukaan. Dalam pemikiran Jurgen Habermas dipahami sebagai komunikasi prosedural yang menghubungkan para penguasa dengan kehendak warganegara, atau dengan kata lain, sebagai komunikasi tak bersubjek.[2] Namun prosedural Jurgen Habermas ini, merupakan demokrasi terlembaga yang diterapkan dalam bentuk ‘kekuasaan’ dengan banyaknya partai yang bersaing untuk menjadi salah satu wakil rakyat. Sehingga partisipasi rakyat sangat dibutuhkan bagi tatanan ini untuk mengambil suara terbanyak dalam partainya. Kemudian bagaimana dengan kontrak dalam tatanan ekonomi, sosial, budaya atau lainnya?

Menurut Pericles, setiap warga dapat dan harus berpartisipasi dalam membuat dan menjaga peraturan. Sebab, Pericles menyadari jika sistem pemerintahan dipegang oleh segelintir orang akan terjadi manipulasi-manipulasi dan tidak adanya kontrol terhadap para pemegang kekuasaan. Konsep ini yang tergambarkan di Athena sebagai partisipasi demos dalam urusan negara dan kehidupan warganya. Adanya demokrasi Athena ditandai dengan komitmen masyarakat pada kebajikan sipil, yaitu pengabdian (dedikasi) pada negara-kota dan mendahulukan kepentingan orang banyak, sehingga menjalankan demokrasi tidak hanya dalam politik saja, tapi bisa dijalankan di tatanan ekonomi, sosial atau lainnya. Walaupun demokrasi Athena cenderung memandang bahwa ‘kebajikan individu sama dengan kebajikan warga negara’, karena etika dan politik bersatu dalam komunitas politik dengan bentuk hak dan kewajiban. Keberadaan warga Negara selalu dibarengi hak dan kewajiban sesuai keberadaannya (publik).[3] Namun, keberadaan demokrasi Athena hanya menjadi perdebatan dalam ruang ideal dan proses perkembangan demokrasi saat ini lebih demokratis dari pada massa di Athena, tetapi terlihat dampak dari negara yang menganut jalan demokrasi, tinggal bagaimana demokrasi itu bisa sesuai dengan budaya negaranya masing-masing. 

Kendalanya, sekarang kita kesulitan untuk melihat relasi hak kebebasan dan kesetaraan dalam berbagai ruang politik, ekonomi, sosial atau budaya. Jika jalan demokrasi itu hanya dipahami sebagai satu sistem tanpa melihat bentuk tatanan demokrasi itu sendiri yang berada dalam setiap ruang[4]. Seperti Pemilihan Umum, mensyaratkan adanya partai, yang menjadi ruang dari adanya kebebasan dan kesetaraan rakyat dalam mengekspresikan nilai-nilai demokrasi, tapi apakah nilai demokrasi hanya dipahami sebatas ini. Kalau demokrasi dipahami seperti ini, maka akan mempersempit peran dari demokrasi itu sendiri ketika hak mereka tergadaikan hanya dalam tataran formal yang terfokus pada wilayah politik saja. Dari sini penglihatan kita terhadap demokrasi semakin meluas, tidak hanya dalam tataran politik tetapi ke berbagai ranah ekonomi, sosial maupun budaya. Sebab kita menyakini bahwa tujuan dari adanya demokrasi adalah kesejahteraan dan keadilan yang menjadikan rakyat hidup damai dan adanya tatanan sosial sebagai ruang interaksi individu dengan kelompok lain untuk mencapai kedudukan yang sama atau adanya tatanan ekonomi untuk mengatur kesejahteraan rakyatnya.

Maka, ruang demokrasi seharusnya bisa berjalan di berbagai tatanannya, adanya UU bisa menjamin kenyamanan dan keamanan warganya, ekonomi mampu mengatur kesejahteraan rakyatnya, politik mengatur kedamaian warganya dan lainnya. Secara ideal semua negara menginginkan demokrasi seperti ini bagi rakyatnya, tetapi bagaimana tujuan itu bisa tercapai, kita harus memahami realitas nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Sehingga kita mampu memberikan bukti adanya kebebasan dan kesetaraan pada setiap warganya, apa jaminan kebebasan dan kesetaraan itu? Hal ini yang harus direlasikan dengan adanya demokrasi, artinya dalam kebebasan dan kesetaraan masih terus dikaji, sehingga jalan demokrasi tidak banyak dimanfaatkan dalam kebijakan umum maupun kekuasaan dengan melegitimasi kebenaran subjektivitasnya, walaupun demokrasi sudah menjaminya. Sekarang bagaimana kita membedakan tindakan warga negara dengan tindakan yang dilakukan pemerintah di dalam negara yang semua manusia memiliki tujuan dan kepentingan untuk mempertahankan hidupnya.

Dalam perjalanan demokrasi, setiap warga memiliki kebebasan bertindak, berkeyakinan, posisi yang sama, tetapi bagaimana kebebasan dan kesetaraannya tidak dicurangi atau ketidakbebasan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu yang bersifat privat. Dari sini penyesuaian kebebasan dan kesetaraan yang merupakan salah satu unsur utama demokrasi agar tidak ada lagi hierarki kedudukan dalam masyarakat di muka undang-undang, karena undang-undang terbentuk dalam kesatuan dan kesepakatan rakyat bukan keputusan individu. Jadi, undang-undang tidak bisa dijadikan sebagai ‘alat pemisah’ kedudukan rakyat atau meligitimasi kekuasaan seperti problem-problem keyakinan, kemiskinan ruang, penyempitan hak-hak manusia dan penyitaan kebebasan.

Pada dasarnya sudah tertulis kontrak dalam undang-undang, akan tetapi bagi mereka yang memiliki kekuasaan akan membuat undang-undang itu sebagai kekuatan dirinya untuk meruntuhkan argumen orang lain dan mempertahankan kepentingannya. Oleh karena itu, jalan demokrasi tidak semakin baik jika kecurangan dalam ruang publik dan pemanfaatan ketidakbebasan seseorang yang digunakan sebagai kepentingan dalam ruang privat masih terjadi. Maka menjadi penting untuk memahami demokrasi sebagai sub-prosedural dengan memisahkan antara kepentingan privat dan publik untuk memperbaiki tatanan yang demokratis. Dan semakin memperjelas ruang-ruang yang sebetulnya tidak harus terlibat dalam urusannya antara ruang rakyat dan negara.   

Nilai Tawar Demokrasi

Negara yang demokratis akan selalu menawarkan paham kebebasan dan kesetaraan. Dua nilai ini menjadi tolak ukur pemikir atau teoritis untuk memahami negara yang demokratis. Dalam kasus Indonesia, proses demokratisasi telah mengalami kesenjangan ruang dalam bentuk kebijakan yang berbeda-beda. Terjadi perubahan kebijakan dalam setiap rezim berpengaruh terhadap kehidupan negara yang menerapkan demokrasi. Sejak zaman Soekarno sampai sekarang telah menerapkan berbagai bentuk tatanan dan sistem demokrasi yang terus disesuaikan dengan kultur lingkungan Indonesia. Demokrasi memang bukan hal yang ideal sepenuhnya, tetapi setidaknya di banyak negara ia sudah teruji oleh sejarah. Kita harus mengakui bahwa setengah abad merdeka, Indonesia kini sudah menjadi sebuah negara demokratis dengan keberadaan budaya sama tinggi dan sama bernilai di dalam tatanan masyarakat yang pluralistik.

Walaupun dalam realitasnya demokrasi belum bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang ditawarkan oleh nilai-nilai demokrasi itu sendiri baik sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Tetapi dari buah pikiran ini, persamaan hak dan kebebasan individu dalam demokrasi diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar keutamaan sistem dan tatanan yang lebih baik ketimbang yang sudah ada sebelumnya. Tentu saja para pemikir-pemikir  memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan demokrasi itu sendiri. Plato dapat dikatakan sebagai pengkritik demokrasi yang paling keras karena dianggap dapat mendegradasi kualitas sebuah polis dan warganya. Sebaliknya, Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan polis berkembang dan bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.[5] Dalam penerimaan dan penolakan akan demokrasi ini tidak hanya tataran konsep melainkan dalam bentuk relasinya juga masih ada yang hidup tidak demokratis walaupun negaranya menganut jalan demokratis. Kemudian bagaimana seharusnya menempatkan nilai-nilai demokrasi itu?

Memang demokrasi disepakati oleh para teoritisi sebagai jalan pemerintahan yang baik dengan menawarkan nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan. Akan tetapi, apakah nilai-nilai itu telah dimiliki dalam setiap individu atau nilai itu dibentuk oleh keberadaan paham demokrasi? Kalau kebebasan dan kesetaraan merupakan hal yang sudah ada dalam diri individu bukan bentukan, untuk apa menjalankan demokrasi jika individu atau lingkungannya tidak demokratis. Maka, seharusnya nilai-nilai yang sudah dibentuk dalam demokrasi mampu dijalankan sesuai tatanan demokrasi bukan hanya sistem yang menjalankan nilai-nilai itu. Sebab, tatanan ini berupa seperangkat sistem yang mampu menjalankan kepentingan bersama dari berbagai ranah tidak hanya ruang politik yang mendapatkan dan mempertahankan kepentingannya, melainkan demokrasi mampu dipahami di berbagai ranah. Artinya tatanan-tatanan ini bukan hanya sebatas prosedural dari kekuasaan mayoritas atau suara terbanyak.

Persoalannya adalah realitasnya tidak demikian. Dengan adanya konsep kebebasan dan kesetaraan yang menghubungkan individu-individu dengan kelompok lain atau institusi, menunjukkan adanya tujuan bersama-sama demi tercapai kepentingan pribadi, seperti korupsi, penyelewengan kekuasaan yang akan mempengaruhi hak-hak mereka yang bebas, penahanan oleh para pemodal melalui pasar bebas, atau realitas lainnya. Ini menunjukkan bahwa demokrasi hanya sebagai alat untuk mencapai kepentingan atau tujuan tertentu. Bisa kita lihat dalam tatanan politik bagaimana birokrasi atau institusi-institusi lain semuanya menyuarakan hak-hak individu tanpa menegasikan hak yang lainnya. Ide perwakilan rakyat dalam bentuk DPR atau MPR yang dipahami oleh masyarakat sebagai manifestasi dari hak rakyat yang mendelegasikan kekuasaannya. Justru mereka memanfaatkan identitas dirinya sebagai ‘perwakilan rakyat’ demi kebenaran kekuasaan pribadi melalui adanya kontrak yang dibentuk dalam UU.

Namun dengan adanya satu kontrak yang pasti, warga negara masih bisa menentukan kerangka kontrak kerja sama sosial dan bentuk pemerintahan yang sebaiknya. Kontrak kepastian ini sebagai gambaran nilai demokrasi melalui prinsip keadilan yang membuka ruang bagi manusia bebas dan rasional. Untuk memahami kontrak yang di sepakatinya, bagaimana individu harus bisa memutuskan dengan rasional bentuk yang adil dan tidaknya. Dalam kontrak sosial ini, ada struktur dasar masyarakat atau lembaga sosial yang mendistribusikan hak dan kewajiban dalam kerjasama sosial yang telah di jadikan subjek utama bagi keadilan yang dipahami Rawls.[6] Prinsip ini terus berlanjut dalam menentukan kerja sama seperti apa yang harus di jalankan sesuai rasa kesejahteraan dan keadilan. Kerjasama individu dengan individu lainnya bukan merupakan bentuk pertukaran melainkan bentuk kerjasama yang sama-sama memiliki keadilan. Kalau hak dan kewajiban individu didistribusikan dalam bentuk pertukaran maka tidak ada bedanya dengan pemahaman John Locke bahwa kontrak sosial antara individu dengan individu lainnya merupakan kesepakatan yang telah mengikat individu untuk menyerahkan kekuasaannya kepada komunitas yang baru terbentuk.[7]

Teori locke ini yang diterapkan dalam demokrasi liberal dengan kekuasaan mayoritas yang berbentuk individual. Disadari atau tidak, kontrak sosial ini secara tidak langsung ditekan dengan adanya kepentingan dan pemanfaatan ruang ketidakbebasan individu. Karena terjadinya kontrak sosial antarindividu dengan individu lainnya berlandaskan paham kebebasan yang merupakan lawan dari ketidakkebebasan dan kontrak ini terjadi hanya sebatas permukaan sebagai warga negara saja. Terlihat sebagian besar dalam prosedural demokrasi ini dengan di batasi oleh partai-partai politik yang hanya terjadi dalam pemilihan para wakil rakyat. Pasca-pemilu, hak masyarakat sebagai otoritas tertinggi dalam demokrasi seakan-akan tidak ada seperti adanya institusi atau individu sebagai representasi masyarakat yang mengontrol tindakan para wakil rakyat, apalagi dalam tatanan ekonomi, sosial maupun budaya yang tak nampak bentuk kontraknya. Walaupun adanya kontrak sosial proses demokratisasi belum terlihat baik sebab dalam kontrak ini terjadi adanya kebutuhan dan kekacauan, sehingga kontrak sosial ini hanya menjadi alat untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan.

Bentuk kebutuhan dan kekacauan ini dibuat dalam tataran politik melalui konflik dalam tatanan sosial atau ekonomi. Maka perlu adanya kesetaraan untuk mencapai sebuah tujuan yang adil. Dan perlu sikap tegas terhadap kontrak sosial sebagai kerjasama untuk mempertahankan posisi sebagai masyarakat yang bisa mengontrol jalannya demokrasi. Sehingga kontrak ini tidak mudah disalahgunakan dalam kepentingan politik, ekonomi atau sosial. Di sini perlunya perundingan kedua pihak untuk menentukan satu arah dengan penyimpulan bersama-sama bahwa kontraknya bebas dan setara. Persoalan menjadi sulit ketika kontrak ini dilihat dari sisi tatanan demokrasi yang hendak didistribusikan secara adil ditekankan konsep keadilan sangat menuntut hal yang layak dan benar adanya dengan beberapa elemen-elemen yang harus diterapkan dalam negara yang berupa kedaulatan hukum dan kontrol masyarakat. Jadi jelas, bahwa keadilan dihormati hanya jika pelaku-pelakunya bebas dan setara serta adanya persaingan yang terbuka.[8]

Persaingan ini tidak untuk membuka ruang kekuasaan atau membahas keuntungan dan kerugian tetapi bagaimana dengan adanya keterikatan antar individu mampu memberikan timbal balik yang setara di segala pihak. Seperti adanya UU sebagai landasan untuk mengatur kehidupan warga negara yang dibentuk melalui kontrak tidak memberikan ketimpangan bagi kehidupan masyarakat dan UU bisa berjalan adil sesuai realitas yang terjadi, sebab UU berlaku bagi semua masyarakat. Hal semacam ini hanya akan terjadi kalau demokrasi tidak hanya dilihat dari sudut sistemnya saja melainkan tatanan demokrasi juga yang mengakar di berbagai ranah.

Dalam buku Theory of Justice (1972) John Rawls mengemukakan teorinya yang berupa menghidupkan kembali ide “Social Contract”. Menurutnya suatu masyarakat yang adil bukanlah hanya menjamin “The greatest good for the greatest number” yang terkenal dalam prinsip demokrasi melainkan keadilan di landasi dengan hak yang sama atas kebebasan dasar yang luas bagi setiap manusia, dan bisa mengatur ketimpangan ekonomi dan sosial serta memberi  keuntungan bagi yang tidak dapat keuntungan.[9] Oleh sebab itu, suatu masyarakat yang berkeadilan, hak-hak yang dijamin oleh keadilan itu sendiri menjadi sesuatu yang tidak dapat ditawar dalam demokrasi. Namun prinsip keadilan Rawl ini merupakan posisi awal kesamaan dari seseorang yang bebas dan rasional. Berdasarkan keadaan hak manusia yang tidak dapat dilanggar, Rawls menerapkan pengertian ini kedalam kemerdekaan konstitusional, keadilan distributif (distributive justice) serta dasar-dasar dan batas dari kewajiban politis. Sehingga Rawls mengemukakan konsep masyarakat sebagai “kesatuan sosial” serta merumuskan nilai-nlai komunitas. Sebaiknya bentuk keadilan Rawls ini tidak hanya mengarah dalam pembagian kekuasaan, presties atau bentuk kekayaan. Melainkan bagaimana dari prinsip keadilan ini, kebebasan dan kesetaraan individu harus disejajarkan dengan pertanggungjawaban sesuai posisinya yang tidak hanya terfokus dalam keuntungan atau persamaan hak. Sebab keadilan ini menjadi ruang besar yang harus mengada di berbagai ruang, baik politik, ekonomi, sosial atau budaya.

Dengan demikian, berbagai model demokrasi dan teori demokrasi[10] kita tidak bisa lepas dari paham kebebasan dan kesetaraan. Dari sini pentingnya untuk memahami nilai-nilai yang ditawarkan demokrasi itu sendiri. Adanya konsep keadilan, kontrak sosial atau kerjasama yang ditawarkan Rawls, Locke atau pemikir lainnya merupakan pemahaman dari kebebasan dan kesetaraan. Tetapi bukan hal yang mudah memposisikan demokrasi sebagai jalan kebebasan dan kesetaraan. Hal ini harus dilihat dari penyesuaian dengan nilai-nilai positif demokrasi, kalau demokrasi hanya dilihat dari sistemnya tanpa diimbangi dengan adanya tatanan yang bersifat objektif dan kedudukan yang sama. Maka demokrasi sebagai ruang pembebasan dan penyetaraan akan sulit terjadi dalam berbagai ruang politik, ekonomi, sosial atau kebudayaan, seperti dalam keadilan Rawls yang hanya melihat bentuk keuntungan bagi yang tidak mendapatkannya sebagai bentuk yang adil dalam hal ekonomi atau Locke dalam kontrak sosialnya. Sebab nilai yang diterapkan oleh para teoritis demokrasi hanya menempatkan ruang demokrasi dalam sistem. Dan, masyarakat kita menjalankan demokrasi masih sebatas sistem prosedural yang dilimpahkan dalam pemilu.

Ini membuktikan bahwa demokrasi kita hanya menjalankan sistem prosedural belum mengena pada tatanan demokrasi itu sendiri yang menjadi tolok ukur perjalanan demokrasi seperti kuatnya partai-partai yang bersaing. Seakan-akan melalui partai-partai inilah negara menjadi demokratis, dengan kelompok kepentingan dan lobi-lobi yang sudah wajar dalam demokrasi: korupsi, kecurangan dan penyelewengan nilai demokrasi yang akan menggerogoti tatanan demokrasi. Padahal problem utama yang harus diselesaikan oleh demokrasi adalah pada tatanan itu sendiri. Dapat kita lihat secara sistem orang-orang bebas untuk memilih kehidupannya tetapi secara tatanan menyebabkan hancurnya jalan demokrasi seperti adanya korupsi, pasar bebas, penyumbatan hukum, nilai kemiskinan bertambah dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa adanya konsep kebebasan, kesetaraan, keadilan, atau kontrak sosial,  jika diterapkan pada ruang sistem tanpa melihat tatanannya hanya memberikan ruang kebebasan dan kesetaraan di atas permukaan demokrasi saja.

Maka, paham penyeimbangan ini menjadi sangat penting untuk menopang proses demokratisasi yang baik. Sehingga nilai-nilai yang ditawarkan demokrasi (kebebasan dan kesetaraan) dapat dipahami sebagai tatanan dan sistem yang sama. Sehingga interaksi atau tindakan masyarakat dalam menjalankan bentuk kesetaraan dan kebebasan akan memberikan ruang kesejahteraan dan keadilan. Dengan tindakan yang seimbang ini, nilai-nilai demokrasi dapat menjamin konsep kebebasan dan kesetaraan yang ada di berbagai tatanan politik, hukum, ekonomi, sosial maupun budaya, dan demokrasi mampu menata bentuk tatanan dengan baik. Dari sisi tatanan inilah yang membedakan konsep dan model demokrasi di berbagai negara dan menjadi persoalan tersendiri dalam realitas demokrasi.

Problem Kontrol dalam Ruang Publik dan Privat [11]

Pembahasan ruang publik dan privat merupakan permasalahan tersendiri dalam demokrasi yang membawa paham kesamaan-kesamaan dengan keberadaan individu atau kelompok. Prinsip persamaan ini menjadikan ruang utama dalam pertarungan untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Dalam ruang ini semua individu atau kelompok memiliki tujuan dan kepentingan yang dicapai. Sehingga kepentingan dalam ruang publik atau privat dapat disuarakan dengan kepentingan-kepentingan bersama. Persoalannya adalah ketika kepentingan bersama ini menjadi ruang yang dimanfaatkan dalam sarana-sarana kekuasaan, maka hanya akan memaksakan kepentingan bersama di atas kepentingan privat.[12] Sehingga kepentingan warganegara yang hanya mementingkan kepentingan privat tidak akan bisa menjalankan kepentingan bersama. Di sini telah terjadi ketegangan dalam ruang publik dan privat ketika tidak dipisahkan wilayah kepentingan dan tujuannya. Wilayah ini mengarah pada kekuasaan yang tidak hanya dipahami sebagai bentuk akses dalam politik melainkan kekuasaan di berbagai ruang ekonomi, sosial maupun budaya. Sebab kekuasaan ini telah mengikat seorang individu yang bebas dengan kepatuhan dan ketidakmampuannya.

Maka dalam tatanan politik misalnya, terjadi pembagian wilayah kekuasaan yang dikenal dengan Trias Politica: yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mencegah terjadi tirani. Hal ini telah menunjukkan adanya ketegangan dalam hubungan antar individu atau kelompok. Eksekutif merupakan tempat yang memiliki posisi tinggi di atas legislatif dan yudikatif. Legislatif hanya mampu mendefinisikan dan menetapkan aturan-aturan yang sudah ada. Sedangkan yudikatif hanya berusaha untuk menemukan dan mendefinisikan apa yang adil dalam kehidupan bernegara. Dari sini kita dapat mengerti bagaimana rezim demokrasi ini bisa berjalan tanpa ada dominasi dari pihak eksekutif dan legislatif atau yudikatif. Jika salah satunya saling mendominasi kekuasaan, bagaimana kita menjalankan dan menerapkan nilai-nilai demokrasi itu seperti yang terjadi dalam pemahaman demokrasi liberal yang menempatkan posisi legislatif di atas eksekutif. Liberalisme ini merupakan ideologi politik dan ekonomi yang ditekankan dalam kebebasan individu. Paham semacam ini hanya akan memunculkan ruang baru bagi hak milik kekuasaan demi kepentingan pribadi tanpa melihat hak lainnya. Lebih jelasnya, gerakan para pemodal di balik kekuasaan memiliki nilai tawar yang tinggi untuk mempertahankan kekuasaannya.

Seyogjanya, yang perlu kita pahami adalah kepentingan dalam ruang publik atau privat yang harus jelas posisinya. Jangan sampai kepentingan dalam ruang publik disatukan dengan kepentingan privat, sehingga mengaburkan bentuk kecurangan atau penyelewengan dalam tatanan politik, ekonomi, maupun sosial. Kalau kita dapat menekankan satu titik dasar tujuan dari adanya demokrasi itu sendiri bahwa dalam demokrasi ada tatanan politik, ekonomi atau sosial yang harus dilaksanakan secara bersama untuk mewujudkan tujuan pokoknya yakni kesejahteraan dan keadilan. Maka tujuan ini memungkinkan semua tatanan menjadi setara dalam kesejahteraan dan berkeadilan sesuai jalan demokrasi yang akan diterapkan dengan adanya paham ‘bersama’, sehingga masyarakat bisa bertindak sesuai nilai-nilai demokrasi. Asumsi bersama ini bisa menjadi sudut pandang kita sebagai warga negara terhadap demokrasi dengan adanya kontrol masyarakat dalam mengatur perancangan undang-undang (legislasi) dan fungsi-fungsi yudisial tanpa ada dominasi kekuasaan.

Persoalaannya adalah seberapa besar kemampuan, kepatuhan atau penolakan masyarakat terhadap kekuasaan atau dalam taraf apa fungsi-fungsi kekuasaan dijalankan? Sebab bentuk kebebasan dan kesetaraan yang diberikan demokrasi semakin hilang jika wilayah publiknya diganggu dengan kepentingan privat atau sebaliknya seperti adanya ketimpangan hukum, hak rakyat digadaikan, dan korupsi. Hal tersebut telah menunjukkan adanya kekuasaan yang tidak sesuai fungsinya dalam semua tatanan. Sehingga masyarakat kita sudah semakin hilang kontrol atau tidak memiliki otoritas untuk bertindak terhadap pemegang kekuasaan karena otoritasnya terganggu.

Adanya kekuasaan karena adanya kepatuhan atau ketidakmampuan, itulah sebabnya tujuan kekuasaan sama dengan kepentingan sehingga mempertegas pembedaan antara ruang publik dan privat. Jika tidak, institusi pemerintah atau perwakilan rakyat akan menjadi ruang besar untuk menjalankan otoritas penuh demi kepentingan dirinya melalui tubuh demokrasi. Padahal dalam demokrasi telah menyatakan bahwa peraturan dalam ruang privat harus dibedakan dengan hukum-hukum publik yang diberlakukan secara merata terhadap warga dan peraturan-peraturan privat yang tidak melanggar hukum publik positif.[13] Sehingga perlu adanya tindakan atau kontrol terhadap penilaian peraturan-peraturan yang adil dan tidaknya. Penilaian ini untuk memisahkan kelompok-kelompok kepentingan yang memiliki ruang untuk membentuk dan mempertahankan kekuasaannya. Dalam keyakinan beragama, negara tidak bisa masuk. Adanya pasar bebas yang telah menghambat perekonomian warganya, misalnya. Realitas seperti ini perlu ada ketegasan dalam ruang yang memiliki kepentingan masing-masing.

Dari sini terlihat ada kesenjangan dalam pembedaan ruang publik dan privat antara tindakan warga dan tindakan pemerintah yang bersifa subjektif. Maka, tindakan dan kontrol masyarakat menjadi peran sentral dalam mengontrol peraturan-peraturan privat dan publik. Persoalannya adalah seberapa kuat kebebasan masyarakat dalam menilai bentuk peraturan dan hukum publik? Kebebasan masyarakat ini harus ditopang dengan otoritas kebenaran publik untuk menjaga ruang objektivitas melalui institusi atau kelompok masyarakat dan harus bersifat objektif dan terbuka. Ketika kelompok masyarakat ini mampu bertindak dan menghukum para pelanggar politisi, ekonomi, sosial atau hukum, maka dalam membangun keadilan hukum atau peraturan-peraturan secara objektif harus lepas dari konsepsi-konsepsi para penguasa yang memiliki otoritas dalam hukum, kebijakan politik, ekonomi maupun sosial. Dan menjaga konsepsi para pembuat kebijakan aturan untuk tidak masuk dalam kepentingan privat yang diaktualkan dalam ruang publik.

Sudah jelas bahwa ketika ruang privat masuk dalam ruang publik dengan kelompok-kelompok kepentingan atau lobi-lobi atau sebaliknya publik masuk ke ruang privat, keterlibatan warga yang bukan urusannya telah mempengaruhi perjalanan demokrasi ke depan dan ketidakmungkinan akan adanya kontrol pihak satu dengan pihak lainnya. Sebab adanya bentuk ketidakmampuan atau penolakan individu terhadap kepentingan bersama, mereka akan menjadikan kepentingan bersama sebagai bentuk untuk mencapai tujuan-tujuan pribadinya. Dengan ketidakmungkinan untuk menjaga tatanan demokrasi dari serangan ruang publik dan privat, setidaknya pemisahan ini mampu memperlihatkan bagaimana bahayanya pembauran dalam ruang publik dan privat dengan adanya kelompok-kelompok kepentingan yang mempengaruhi kebebasan dalam tatanan politik, ekonomi, sosial atau budaya. Sehingga pengembangkan koekistensi dalam dua kepentingan yang selalu bertentangan dapat tertata dalam ruang yang lain. Dengan mengarah pada keseimbangan dari kepentingan-kepentingan yang diwujudkan dalam tatanan yang bebas dan setara.

Jadi, pemahaman akan relasi kebebasan dan kesetaraan demokrasi masih sangat jauh dengan realitas kehidupan manusia. Apalagi kalau perjalanan demokrasi ini, hanya dilakukan dalam tatanan politik, tanpa melihat tananan lainnya atau demokrasi hanya dipahami sebagai sistem (alat) perpolitikan. Padahal adanya kebebasan dan kesetaraan dalam demokrasi telah didukung dengan tatanan lainnya (ekonomi, sosial, budaya). Tanpa adanya tatanan ini, demokrasi sulit berkembang, sebab hanya orang-orang berkepentingan akan dirinya tanpa melihat kepentingan lainnya. Dalam tatanan ekonomi, sosial atau budaya, tidak sama tatanannya dan kepentingan dengan tatanan lain, sehingga kalau demokrasi ini hanya berjalan dalam tatanan tertentu politik misalnya, akan menghambat demokrasi di tatanan ekonomi, sosial atau budaya. Dampak yang sangat jelas adalah ketidakadilan dalam sosial dan ekonomi yang hanya orang-orang tertentu yang mendapat ruang kebebasan, sistem pasar bebas, ketimpangan hukum, dan penghambatan hak. Seharusnya dalam demokrasi Indonesia perlu adanya satu bentuk lembaga yang mempu mengontrol dan menghantui mereka yang berlindung di tubuh demokrasi, seperti adanya KPK seharusnya bisa mengontrol, tetapi kalau bentuk seperti KPK sudah kabur dengan kepentingan-kepentingan, lalu siapa lagi? Sebab saat ini baru hanya KPK yang mampu memperlihatkan kontrol terhadap para pemilik kekuasaan.

Dengan demikian, perjalanan demokrasi dapat terlihat jelas dengan memisahkan antara demokrasi sebagai sistem dan tatanan dalam menjalankan nilai-nilainya, harus terjadi kontrol dalam pemisahan antara ruang privat dan publik untuk memperjelas tindakannya. Sebab asumsi adanya demokrasi sebagai ruang kebebasan dan kesetaraan sudah ada relasinya yang selama ini tersumbat dalam ketimpangan, kecurangan dan ketidakadilan, maka nilai-nilai demokrasi bisa berjalan sesuai sistem dan tatanannya, baik dalam politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Jika nilai-nilai itu bisa dipahami dan diterapkan sesuai bentuk universal, demokrasi mampu dijalankan di berbagai tatanannya.

Dari sini akan mengurangi ketimpangan terhadap nilai demokrasi yang selama ini dipahami sebagai ruang kebebasan dan kesetaraan hanya dijadikan sistem (alat) dalam ruang politik, ekonomi atau sosial saja, sehingga nilai-nilai demokrasi tidak mampu terealisasikan di berbagai tempat melalui kontrol masyarakat atau lembaga yang bisa menjaga nilai-nilai itu. Ketimpangan dalam demokrasi sangat sulit untuk dihindari, tetapi bisa terhambat dengan mempertegas pemisahan ruang privat dan publik, sistem dan tatanan, dan adanya kontrol masyarakat atau lembaga terhadap kehidupan dirinya dan negaranya. Sehingga demokrasi sebagai ruang pembebasan dan penyetaraan dapat terealisasi di semua tatanannya. (*)





[1] Kedua konsep ini (kebebasan dan kesetaraan) merupakan nilai utama demokrasi yang dipahami secara umum sebagai loncatan untuk mendapatkan apa yang menjadikan individu bebas. Berbagai bentuk ekspresi kebebasan telah ditampakkan dalam ruang umum. Tetapi dengan adanya kebebasan dan kesetaraan, telah terjadi kecurangan-kecurangan, perluasan gerak dalam ruang publik, penyelewengan hak maupun adanya korupsi. Ini adalah hal-hal paradoks yang sulit dihindari dalam tatanan demokrasi baik politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Karena, nilai-nilai ini membuka orang-orang bebas untuk menentukan keinginan-keinginannya, maka berbagai bentuk kepentingan dicapai bersama-sama atas nama kebebasan dan kesetaraan. Dalam buku ‘Demokrasi: Sebuah Tinjauan Analitis’  Jean Beachler memahami konsep kebebasan sebagai sifat tripartit yang terdiri atas pilihan, otonomi, dan kejujuran. Setiap manusia bebas mempunyai kapasitas untuk mengambil pilihan secara otonom yang tepat. Akan tetapi kebebasan merupakan lawan dari ketidakbebasan (kebutuhan, heteronomi, dan kekacauan) atau adanya kebebasan dan ketidakbebasan berada pada posisi-posisi individu dalam kedudukan politik, ekonomi, sosial atau budaya. Sifat ketidakbebasan ini yang dijadikan alat dalam ‘ruang bebas’ untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dalam semua tatanan. (Jean Baechler, Democracy an Analytical Survey, (terj), (Yogyakarta: Kanisius, 2001) h. 20-21. Dari tulisan ini, demokrasi telah dipahami oleh setiap orang untuk merasa menjadi bebas dan setara, tetapi tidak menyadari bentuk dan relasi dari kebebasan dan kesetaraan itu. Maka, tema tulisan ini akan mengarahkan bagaimana seharusnya nilai-nilai demokrasi berada sesuai dengan relasi dan tatanan sosio-historis. Sehingga ruang kebebasan dan kesetaraan warga yang telah terbentuk dalam demokrasi dapat terjamin di berbagai tatanan politik, ekonomi, hukum, sosial maupun budaya.
[2] F. Budi Hardiman, ‘Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas (Yogyakarta: Kanisius, 2009) h. 103
[3] David Held, Models of democracy (terj), (Jakarta: Akbar Tandjung Institute, 2007), h. 5-9
[4] Pemisahan demokrasi dari sisi sistem dan tatanan merupakan langkah untuk melihat demokrasi seutuhnya yang tidak hanya sebatas dijalankan oleh orang-orang berkepentingan diri. Apapun model demokrasi akan selalu membawa nilai-nilai besar, yakni kebebasan dan kesetaraan, baik demokrasi liberal, deliberatif, langsung atau terpimpin, dan bentuk lainnya. Tetapi dari banyaknya model demokrasi hanya memunculkan satu sisi sebagai sistem yang merupakan bentuk yang bersifat instrumental, sedangkan sisi lain sebagai bentuk tatanan tidak nampak, yang memiliki tujuan bersifat deskripsi dan penyesuaian. Kalau hanya sistem yang dijalankan, bentuk kebebasan dan kesetaraan akan terhenti mewujud dalam kesejahteraan dan keadilan. Jadi, demokrasi dalam tatanan telah membentuk ruang gerak manusia dengan tujuan dan sarana yang ingin diwujudkan. Sebab sistem ini tidak ada keterkaitan dengan sistem lainnya, sistem berjalan sesuai bentuk yang di buatnya seperti adanya paham liberalisme dan kapitalisme yang menginformasikan nilai-nilai demokrasi demi kepentingan individu tanpa memperdulikan kelompok lainnya, tapi dapat mempengaruhi bentuk tatanan. Seperti adanya kekuasaan, dalam sistem demokrasi hanya akan menimbulkan pertarungan untuk mempertahankan kekuasaannya, yang berbeda dalam tatanan yang mengatur ruang untuk kepentingan bersama di berbagai ranah politik, ekonomi atau budaya dengan bentuk tatanannya walaupun sistemnya berbeda-beda. Dalam tatanan ini, terbentuk interaksi dengan lingkungannya yang bersifat spesifik dan pola tatanan itu sendiri mengada dalam norma atau aturan masyarakat. Sehingga tatanan sebagai bentuk adaptasi yang komplek dan sistem berusaha untuk menjaga keberlangsungan tatanan ini. Dari dua sudut pandang ini yang harus kita jaga dalam perjalanan demokratisasi.
[5] http:// www.sparknotes.com/philosphy/republic/themes.html
[6]John Rawls, A Theori of Justice (terj) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) h. 13
[7]Henry J. Schmandt, Filsafat Politik kajian Historis dari zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) h. 339
[8] Ibid. Democracy An Analytical Survey (ter), h. 61-63
[9] John Rawls, A Theori of Justice (terj) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) h. 72
[10] Dalam buku David Held ada beberapa model demokrasi di antaranya, demokrasi klasik (kesetaraan politik dan kepemimpinan secara bergilir), demokrasi protektif (keseimbangan dalam kepentingan bersama), demokrasi development (partisipasi masyarakat dalam politik), demokrasi langsung (merealisasikan bentuk kebebasan dan kesetaraan sesuai kemampuannya), demokrasi partisipasi, demokrasi delebratif, demokrasi kosmopolitan, dan bentuk lainnya.
[11] Ruang publik berhubungan dengan tujuan dan kepentingan-kepentingan umum yang diwujudkan pada semua warga sedangkan ruang privat sebagai kepentingan-kepentingan khusus.
[12] Ibid. Democracy An Analytical Survey (terj), h. 112
[13] Ibid. Democracy An Analytical Survey (terj), h. 132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar