Demokrasi sebagai Ruang
Pembebasan dan Penyetaraan[1]?
Oleh:
Arief al-Bony
Santri Pesantren
Ciganjur,
Mahasiswa ICAS Jakarta
Wacana demokrasi saat ini sudah
bukan lagi menjadi sebuah perdebatan dalam ruang ideal melainkan sudah mengarah
pada sosio-historis dan relasinya. Dengan banyaknya model dan teori telah
menunjukkan pada kita bahwa untuk mengkaji demokrasi harus dilihat sosio-historis
dan relasinya. Apa bentuk dan aplikasinya? Sebab sebuah negara yang berusaha atau
sudah menganut jalan demokrasi melalui penerapan paham kebebasan dan kesetaraan
tidak akan sama bentuk dan tatanan dengan demokrasi di tempat lain. Realitas
ini yang membawa kita untuk melihat sosio-historis dan relasinya, apakah negara
kita (Indonesia) menganut jalan demokrasi atau ada bentuk lain yang memang sama
dengan nilai-nilai demokrasi? Tapi bagaimana pun juga, selama ini Indonesia
sudah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi itu, jika kebebasan dan kesetaraan
menjadi nilai utama yang diberikan oleh demokrasi terhadap kehidupan warganya.
Akan tetapi apakah hanya dengan menerapkan nilai-nilai itu negara menjadi
demokratis?
Paham bebas bukan berarti lepas,
kebebasan memiliki nilai pertanggungjawaban yang luhur atas tindakannya. Bebas
bukan berarti tidak memiliki sebuah tatanan nilai, melainkan proses dalam
pengembangan akan tindakan yang mereka ketahui, bagaimana seseorang harus bertanggung
jawab atas dirinya dan orang lain sebagai manusia yang sama-sama bebas.
Sehingga apa yang mereka ketahui akan sesuatu biarkan mereka mengelola sesuatu
itu. Namun, dengan banyaknya sudut pandang akan demokrasi telah memberikan kita
ruang untuk mengkaji ulang sosio-historis dan relasi secara terbuka. Bagaimana
ruang demokrasi mengatur tatanan negara yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat
secara adil, bisa sesuai dengan data-data empiris di dalam suatu negara yang
menganutnya. Sehingga nilai-nilai demokrasi yang bersifat universal dapat
terlihat sebagai nilai yang menjamin kesejahteraan dan keadilan warganya. Apa
nilai universal demokrasi itu? Universalitas itu berupa kebebasan dan
kesetaraan— ada hak dan kewajiban yang harus dijalankan sesuai tatanan demokrasi
di berbagai ranah sosial, ekonomi, politik maupun budaya tanpa ada tekanan dari
manapun. Hal ini yang akan menentukan konsep dan jalannya demokrasi di setiap negara.
Dalam teori klasik demokrasi adalah
kekuasaan di tangan rakyat, yang di perintah pun rakyat. Apakah dalam hal ini rakyat
merupakan substansi dari paham demokrasi yang menjadi kekuatan penuh atau hanya
sebuah loncatan untuk mencapai kesepakatan dalam kekuasaan. Prosesnya, suara rakyat
menjadi suara mayoritas untuk menentukan perjalanan demokrasi tanpa
mengesampingkan suara terkecil. Hal semacam ini yang dilihat dalam kacamata
umum demokrasi, seakan-akan demokrasi hanya berada dalam tatanan politik yang
hanya mengumpulkan suara terbanyak dari rakyat untuk mencapai berkuasa,
sehingga demokrasi akan memberikan pengakuan terhadap hak-hak individu yang
bebas dalam berbagai bentuk tindakan untuk berpartisipasi yang tidak
berkesudahan dan tidak hanya berhenti dalam tatanan formal saja.
Namun realitasnya tindakan warga terhenti
hanya dalam bentuk sistem prosedur Pemilihan Umum dan tidak ada kelanjutan dari
tindakan itu. Padahal demokrasi tidak hanya dilihat dari sudut pandang ini
saja, walaupun partisipasi tidak berkesudahan dan bergerak dalam tatanan sosial
atau budaya, tetapi kebutuhan akan partisipasi bisa terbentur dengan otoritas
individu, kepentingan, dan tujuan. Semua ini sebagai bentuk kekuasaan yang dicapai
setiap individu untuk mengatur individu lainnya. Maka diadakan suatu bentuk undang-undang
atau norma-norma sosial untuk menekan kebebasan yang sesuai dengan hak-hak
individunya secara adil, serta membentuk lembaga atau institusi lain yang dapat
membangun kesadaran tindakan masyarakat terhadap tatanan demokrasi yang berada
di berbagai ruang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Melalui bentuk tindakan
yang didasari kebebasan dan kesetaraan seseorang telah membentuk suatu kesepakatan
dari semua warga yang disebut dengan kontrak sosial.
Persoalannya tidak hanya di sini, dalam
kontrak ini yang membentuk kesepakatan bersama pun masih belum begitu jelas,
sebab terjadinya kontrak hanya sebatas permukaan. Dalam pemikiran Jurgen Habermas
dipahami sebagai komunikasi prosedural yang menghubungkan para penguasa dengan
kehendak warganegara, atau dengan kata lain, sebagai komunikasi tak bersubjek.[2]
Namun prosedural Jurgen Habermas ini, merupakan demokrasi terlembaga yang diterapkan
dalam bentuk ‘kekuasaan’ dengan banyaknya partai yang bersaing untuk menjadi
salah satu wakil rakyat. Sehingga partisipasi rakyat sangat dibutuhkan bagi
tatanan ini untuk mengambil suara terbanyak dalam partainya. Kemudian bagaimana
dengan kontrak dalam tatanan ekonomi, sosial, budaya atau lainnya?
Menurut Pericles, setiap warga dapat
dan harus berpartisipasi dalam membuat dan menjaga peraturan. Sebab, Pericles
menyadari jika sistem pemerintahan dipegang oleh segelintir orang akan terjadi
manipulasi-manipulasi dan tidak adanya kontrol terhadap para pemegang kekuasaan.
Konsep ini yang tergambarkan di Athena sebagai partisipasi demos dalam
urusan negara dan kehidupan warganya. Adanya demokrasi Athena ditandai dengan
komitmen masyarakat pada kebajikan sipil, yaitu pengabdian (dedikasi) pada negara-kota
dan mendahulukan kepentingan orang banyak, sehingga menjalankan demokrasi tidak
hanya dalam politik saja, tapi bisa dijalankan di tatanan ekonomi, sosial atau
lainnya. Walaupun demokrasi Athena cenderung memandang bahwa ‘kebajikan
individu sama dengan kebajikan warga negara’, karena etika dan politik
bersatu dalam komunitas politik dengan bentuk hak dan kewajiban. Keberadaan
warga Negara selalu dibarengi hak dan kewajiban sesuai keberadaannya (publik).[3]
Namun, keberadaan demokrasi Athena hanya menjadi perdebatan dalam ruang ideal
dan proses perkembangan demokrasi saat ini lebih demokratis dari pada massa di
Athena, tetapi terlihat dampak dari negara yang menganut jalan demokrasi,
tinggal bagaimana demokrasi itu bisa sesuai dengan budaya negaranya
masing-masing.
Kendalanya, sekarang kita kesulitan
untuk melihat relasi hak kebebasan dan kesetaraan dalam berbagai ruang politik,
ekonomi, sosial atau budaya. Jika jalan demokrasi itu hanya dipahami sebagai satu
sistem tanpa melihat bentuk tatanan demokrasi itu sendiri yang berada dalam
setiap ruang[4].
Seperti Pemilihan Umum, mensyaratkan adanya partai, yang menjadi ruang dari adanya
kebebasan dan kesetaraan rakyat dalam mengekspresikan nilai-nilai demokrasi,
tapi apakah nilai demokrasi hanya dipahami sebatas ini. Kalau demokrasi
dipahami seperti ini, maka akan mempersempit peran dari demokrasi itu sendiri
ketika hak mereka tergadaikan hanya dalam tataran formal yang terfokus pada
wilayah politik saja. Dari sini penglihatan kita terhadap demokrasi semakin
meluas, tidak hanya dalam tataran politik tetapi ke berbagai ranah ekonomi,
sosial maupun budaya. Sebab kita menyakini bahwa tujuan dari adanya demokrasi
adalah kesejahteraan dan keadilan yang menjadikan rakyat hidup damai dan adanya
tatanan sosial sebagai ruang interaksi individu dengan kelompok lain untuk
mencapai kedudukan yang sama atau adanya tatanan ekonomi untuk mengatur
kesejahteraan rakyatnya.
Maka, ruang demokrasi seharusnya
bisa berjalan di berbagai tatanannya, adanya UU bisa menjamin kenyamanan dan
keamanan warganya, ekonomi mampu mengatur kesejahteraan rakyatnya, politik
mengatur kedamaian warganya dan lainnya. Secara ideal semua negara menginginkan
demokrasi seperti ini bagi rakyatnya, tetapi bagaimana tujuan itu bisa tercapai,
kita harus memahami realitas nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Sehingga kita
mampu memberikan bukti adanya kebebasan dan kesetaraan pada setiap warganya,
apa jaminan kebebasan dan kesetaraan itu? Hal ini yang harus direlasikan dengan
adanya demokrasi, artinya dalam kebebasan dan kesetaraan masih terus dikaji, sehingga
jalan demokrasi tidak banyak dimanfaatkan dalam kebijakan umum maupun kekuasaan
dengan melegitimasi kebenaran subjektivitasnya, walaupun demokrasi sudah
menjaminya. Sekarang bagaimana kita membedakan tindakan warga negara dengan
tindakan yang dilakukan pemerintah di dalam negara yang semua manusia memiliki
tujuan dan kepentingan untuk mempertahankan hidupnya.
Dalam perjalanan demokrasi, setiap
warga memiliki kebebasan bertindak, berkeyakinan, posisi yang sama, tetapi
bagaimana kebebasan dan kesetaraannya tidak dicurangi atau ketidakbebasan dimanfaatkan
untuk tujuan tertentu yang bersifat privat. Dari sini penyesuaian kebebasan dan
kesetaraan yang merupakan salah satu unsur utama demokrasi agar tidak ada lagi
hierarki kedudukan dalam masyarakat di muka undang-undang, karena undang-undang
terbentuk dalam kesatuan dan kesepakatan rakyat bukan keputusan individu. Jadi,
undang-undang tidak bisa dijadikan sebagai ‘alat pemisah’ kedudukan
rakyat atau meligitimasi kekuasaan seperti problem-problem keyakinan,
kemiskinan ruang, penyempitan hak-hak manusia dan penyitaan kebebasan.
Pada dasarnya sudah tertulis kontrak
dalam undang-undang, akan tetapi bagi mereka yang memiliki kekuasaan akan membuat
undang-undang itu sebagai kekuatan dirinya untuk meruntuhkan argumen orang lain
dan mempertahankan kepentingannya. Oleh karena itu, jalan demokrasi tidak
semakin baik jika kecurangan dalam ruang publik dan pemanfaatan ketidakbebasan
seseorang yang digunakan sebagai kepentingan dalam ruang privat masih terjadi.
Maka menjadi penting untuk memahami demokrasi sebagai sub-prosedural dengan
memisahkan antara kepentingan privat dan publik untuk memperbaiki tatanan yang
demokratis. Dan semakin memperjelas ruang-ruang yang sebetulnya tidak harus
terlibat dalam urusannya antara ruang rakyat dan negara.
Nilai Tawar Demokrasi
Negara yang demokratis akan selalu
menawarkan paham kebebasan dan kesetaraan. Dua nilai ini menjadi tolak ukur
pemikir atau teoritis untuk memahami negara yang demokratis. Dalam kasus Indonesia,
proses demokratisasi telah mengalami kesenjangan ruang dalam bentuk kebijakan
yang berbeda-beda. Terjadi perubahan kebijakan dalam setiap rezim berpengaruh
terhadap kehidupan negara yang menerapkan demokrasi. Sejak zaman Soekarno
sampai sekarang telah menerapkan berbagai bentuk tatanan dan sistem demokrasi
yang terus disesuaikan dengan kultur lingkungan Indonesia. Demokrasi memang
bukan hal yang ideal sepenuhnya, tetapi setidaknya di banyak negara ia sudah
teruji oleh sejarah. Kita harus mengakui bahwa setengah abad merdeka, Indonesia
kini sudah menjadi sebuah negara demokratis dengan keberadaan budaya sama
tinggi dan sama bernilai di dalam tatanan masyarakat yang pluralistik.
Walaupun dalam realitasnya demokrasi
belum bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang ditawarkan oleh nilai-nilai
demokrasi itu sendiri baik sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Tetapi dari
buah pikiran ini, persamaan hak dan kebebasan individu dalam demokrasi
diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar keutamaan sistem dan tatanan yang
lebih baik ketimbang yang sudah ada sebelumnya. Tentu saja para pemikir-pemikir
memiliki pandangan berbeda terhadap
kekuatan dan kelemahan demokrasi itu sendiri. Plato dapat dikatakan sebagai
pengkritik demokrasi yang paling keras karena dianggap dapat mendegradasi
kualitas sebuah polis dan warganya. Sebaliknya, Aristoteles memandang justru
sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan polis berkembang dan bertahan
karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam
pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan
yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.[5]
Dalam penerimaan dan penolakan akan demokrasi ini tidak hanya tataran konsep
melainkan dalam bentuk relasinya juga masih ada yang hidup tidak demokratis
walaupun negaranya menganut jalan demokratis. Kemudian bagaimana seharusnya
menempatkan nilai-nilai demokrasi itu?
Memang demokrasi disepakati oleh
para teoritisi sebagai jalan pemerintahan yang baik dengan menawarkan
nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan. Akan tetapi, apakah nilai-nilai itu telah
dimiliki dalam setiap individu atau nilai itu dibentuk oleh keberadaan paham
demokrasi? Kalau kebebasan dan kesetaraan merupakan hal yang sudah ada dalam
diri individu bukan bentukan, untuk apa menjalankan demokrasi jika individu
atau lingkungannya tidak demokratis. Maka, seharusnya nilai-nilai yang sudah dibentuk
dalam demokrasi mampu dijalankan sesuai tatanan demokrasi bukan hanya sistem
yang menjalankan nilai-nilai itu. Sebab, tatanan ini berupa seperangkat sistem
yang mampu menjalankan kepentingan bersama dari berbagai ranah tidak hanya
ruang politik yang mendapatkan dan mempertahankan kepentingannya, melainkan
demokrasi mampu dipahami di berbagai ranah. Artinya tatanan-tatanan ini bukan
hanya sebatas prosedural dari kekuasaan mayoritas atau suara terbanyak.
Persoalannya adalah realitasnya tidak
demikian. Dengan adanya konsep kebebasan dan kesetaraan yang menghubungkan
individu-individu dengan kelompok lain atau institusi, menunjukkan adanya
tujuan bersama-sama demi tercapai kepentingan pribadi, seperti korupsi, penyelewengan
kekuasaan yang akan mempengaruhi hak-hak mereka yang bebas, penahanan oleh para
pemodal melalui pasar bebas, atau realitas lainnya. Ini menunjukkan bahwa
demokrasi hanya sebagai alat untuk mencapai kepentingan atau tujuan tertentu. Bisa
kita lihat dalam tatanan politik bagaimana birokrasi atau institusi-institusi
lain semuanya menyuarakan hak-hak individu tanpa menegasikan hak yang lainnya. Ide
perwakilan rakyat dalam bentuk DPR atau MPR yang dipahami oleh masyarakat
sebagai manifestasi dari hak rakyat yang mendelegasikan kekuasaannya. Justru mereka
memanfaatkan identitas dirinya sebagai ‘perwakilan rakyat’ demi kebenaran
kekuasaan pribadi melalui adanya kontrak yang dibentuk dalam UU.
Namun dengan adanya satu kontrak
yang pasti, warga negara masih bisa menentukan kerangka kontrak kerja sama
sosial dan bentuk pemerintahan yang sebaiknya. Kontrak kepastian ini sebagai
gambaran nilai demokrasi melalui prinsip keadilan yang membuka ruang bagi
manusia bebas dan rasional. Untuk memahami kontrak yang di sepakatinya,
bagaimana individu harus bisa memutuskan dengan rasional bentuk yang adil dan
tidaknya. Dalam kontrak sosial ini, ada struktur dasar masyarakat atau lembaga
sosial yang mendistribusikan hak dan kewajiban dalam kerjasama sosial yang telah
di jadikan subjek utama bagi keadilan yang dipahami Rawls.[6]
Prinsip ini terus berlanjut dalam menentukan kerja sama seperti apa yang harus
di jalankan sesuai rasa kesejahteraan dan keadilan. Kerjasama individu dengan individu
lainnya bukan merupakan bentuk pertukaran melainkan bentuk kerjasama
yang sama-sama memiliki keadilan. Kalau hak dan kewajiban individu didistribusikan
dalam bentuk pertukaran maka tidak ada bedanya dengan pemahaman John Locke
bahwa kontrak sosial antara individu dengan individu lainnya merupakan
kesepakatan yang telah mengikat individu untuk menyerahkan kekuasaannya kepada
komunitas yang baru terbentuk.[7]
Teori locke ini yang diterapkan
dalam demokrasi liberal dengan kekuasaan mayoritas yang berbentuk individual. Disadari
atau tidak, kontrak sosial ini secara tidak langsung ditekan dengan adanya
kepentingan dan pemanfaatan ruang ketidakbebasan individu. Karena terjadinya
kontrak sosial antarindividu dengan individu lainnya berlandaskan paham
kebebasan yang merupakan lawan dari ketidakkebebasan dan kontrak ini terjadi
hanya sebatas permukaan sebagai warga negara saja. Terlihat sebagian besar dalam
prosedural demokrasi ini dengan di batasi oleh partai-partai politik yang hanya
terjadi dalam pemilihan para wakil rakyat. Pasca-pemilu, hak masyarakat sebagai
otoritas tertinggi dalam demokrasi seakan-akan tidak ada seperti adanya
institusi atau individu sebagai representasi masyarakat yang mengontrol
tindakan para wakil rakyat, apalagi dalam tatanan ekonomi, sosial maupun budaya
yang tak nampak bentuk kontraknya. Walaupun adanya kontrak sosial proses
demokratisasi belum terlihat baik sebab dalam kontrak ini terjadi adanya kebutuhan
dan kekacauan, sehingga kontrak sosial ini hanya menjadi alat untuk mencapai dan
mempertahankan kekuasaan.
Bentuk kebutuhan dan kekacauan ini
dibuat dalam tataran politik melalui konflik dalam tatanan sosial atau ekonomi.
Maka perlu adanya kesetaraan untuk mencapai sebuah tujuan yang adil. Dan perlu
sikap tegas terhadap kontrak sosial sebagai kerjasama untuk mempertahankan
posisi sebagai masyarakat yang bisa mengontrol jalannya demokrasi. Sehingga
kontrak ini tidak mudah disalahgunakan dalam kepentingan politik, ekonomi atau
sosial. Di sini perlunya perundingan kedua pihak untuk menentukan satu arah
dengan penyimpulan bersama-sama bahwa kontraknya bebas dan setara. Persoalan menjadi
sulit ketika kontrak ini dilihat dari sisi tatanan demokrasi yang hendak didistribusikan
secara adil ditekankan konsep keadilan sangat menuntut hal yang layak dan benar
adanya dengan beberapa elemen-elemen yang harus diterapkan dalam negara yang berupa
kedaulatan hukum dan kontrol masyarakat. Jadi jelas, bahwa keadilan dihormati
hanya jika pelaku-pelakunya bebas dan setara serta adanya persaingan yang terbuka.[8]
Persaingan ini tidak untuk membuka
ruang kekuasaan atau membahas keuntungan dan kerugian tetapi bagaimana dengan adanya
keterikatan antar individu mampu memberikan timbal balik yang setara di segala
pihak. Seperti adanya UU sebagai landasan untuk mengatur kehidupan warga negara
yang dibentuk melalui kontrak tidak memberikan ketimpangan bagi kehidupan
masyarakat dan UU bisa berjalan adil sesuai realitas yang terjadi, sebab UU
berlaku bagi semua masyarakat. Hal semacam ini hanya akan terjadi kalau
demokrasi tidak hanya dilihat dari sudut sistemnya saja melainkan tatanan
demokrasi juga yang mengakar di berbagai ranah.
Dalam buku Theory of Justice
(1972) John Rawls mengemukakan teorinya yang berupa menghidupkan kembali ide “Social
Contract”. Menurutnya suatu masyarakat yang adil bukanlah hanya menjamin “The
greatest good for the greatest number” yang terkenal dalam prinsip
demokrasi melainkan keadilan di landasi dengan hak yang sama atas kebebasan
dasar yang luas bagi setiap manusia, dan bisa mengatur ketimpangan ekonomi dan
sosial serta memberi keuntungan bagi
yang tidak dapat keuntungan.[9]
Oleh sebab itu, suatu masyarakat yang berkeadilan, hak-hak yang dijamin oleh keadilan
itu sendiri menjadi sesuatu yang tidak dapat ditawar dalam demokrasi. Namun prinsip
keadilan Rawl ini merupakan posisi awal kesamaan dari seseorang yang bebas dan
rasional. Berdasarkan keadaan hak manusia yang tidak dapat dilanggar, Rawls
menerapkan pengertian ini kedalam kemerdekaan konstitusional, keadilan distributif
(distributive justice) serta dasar-dasar dan batas dari kewajiban
politis. Sehingga Rawls mengemukakan konsep masyarakat sebagai “kesatuan
sosial” serta merumuskan nilai-nlai komunitas. Sebaiknya bentuk keadilan
Rawls ini tidak hanya mengarah dalam pembagian kekuasaan, presties atau bentuk
kekayaan. Melainkan bagaimana dari prinsip keadilan ini, kebebasan dan
kesetaraan individu harus disejajarkan dengan pertanggungjawaban sesuai
posisinya yang tidak hanya terfokus dalam keuntungan atau persamaan hak. Sebab
keadilan ini menjadi ruang besar yang harus mengada di berbagai ruang, baik
politik, ekonomi, sosial atau budaya.
Dengan demikian, berbagai model
demokrasi dan teori demokrasi[10]
kita tidak bisa lepas dari paham kebebasan dan kesetaraan. Dari sini pentingnya
untuk memahami nilai-nilai yang ditawarkan demokrasi itu sendiri. Adanya konsep
keadilan, kontrak sosial atau kerjasama yang ditawarkan Rawls, Locke atau
pemikir lainnya merupakan pemahaman dari kebebasan dan kesetaraan. Tetapi bukan
hal yang mudah memposisikan demokrasi sebagai jalan kebebasan dan kesetaraan. Hal
ini harus dilihat dari penyesuaian dengan nilai-nilai positif demokrasi, kalau demokrasi
hanya dilihat dari sistemnya tanpa diimbangi dengan adanya tatanan yang bersifat
objektif dan kedudukan yang sama. Maka demokrasi sebagai ruang pembebasan dan
penyetaraan akan sulit terjadi dalam berbagai ruang politik, ekonomi, sosial
atau kebudayaan, seperti dalam keadilan Rawls yang hanya melihat bentuk keuntungan
bagi yang tidak mendapatkannya sebagai bentuk yang adil dalam hal ekonomi atau
Locke dalam kontrak sosialnya. Sebab nilai yang diterapkan oleh para teoritis
demokrasi hanya menempatkan ruang demokrasi dalam sistem. Dan, masyarakat kita
menjalankan demokrasi masih sebatas sistem prosedural yang dilimpahkan dalam
pemilu.
Ini membuktikan bahwa demokrasi kita
hanya menjalankan sistem prosedural belum mengena pada tatanan demokrasi itu
sendiri yang menjadi tolok ukur perjalanan demokrasi seperti kuatnya
partai-partai yang bersaing. Seakan-akan melalui partai-partai inilah negara
menjadi demokratis, dengan kelompok kepentingan dan lobi-lobi yang sudah wajar
dalam demokrasi: korupsi, kecurangan dan penyelewengan nilai demokrasi yang
akan menggerogoti tatanan demokrasi. Padahal problem utama yang harus
diselesaikan oleh demokrasi adalah pada tatanan itu sendiri. Dapat kita lihat
secara sistem orang-orang bebas untuk memilih kehidupannya tetapi secara
tatanan menyebabkan hancurnya jalan demokrasi seperti adanya korupsi, pasar
bebas, penyumbatan hukum, nilai kemiskinan bertambah dan lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya konsep kebebasan, kesetaraan, keadilan, atau kontrak
sosial, jika diterapkan pada ruang
sistem tanpa melihat tatanannya hanya memberikan ruang kebebasan dan kesetaraan
di atas permukaan demokrasi saja.
Maka, paham penyeimbangan ini menjadi
sangat penting untuk menopang proses demokratisasi yang baik. Sehingga nilai-nilai
yang ditawarkan demokrasi (kebebasan dan kesetaraan) dapat dipahami sebagai tatanan
dan sistem yang sama. Sehingga interaksi atau tindakan masyarakat dalam menjalankan
bentuk kesetaraan dan kebebasan akan memberikan ruang kesejahteraan dan keadilan.
Dengan tindakan yang seimbang ini, nilai-nilai demokrasi dapat menjamin konsep
kebebasan dan kesetaraan yang ada di berbagai tatanan politik, hukum, ekonomi,
sosial maupun budaya, dan demokrasi mampu menata bentuk tatanan dengan baik. Dari
sisi tatanan inilah yang membedakan konsep dan model demokrasi di berbagai negara
dan menjadi persoalan tersendiri dalam realitas demokrasi.
Problem Kontrol dalam
Ruang Publik dan Privat [11]
Pembahasan ruang publik dan privat
merupakan permasalahan tersendiri dalam demokrasi yang membawa paham
kesamaan-kesamaan dengan keberadaan individu atau kelompok. Prinsip persamaan
ini menjadikan ruang utama dalam pertarungan untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan.
Dalam ruang ini semua individu atau kelompok memiliki tujuan dan kepentingan
yang dicapai. Sehingga kepentingan dalam ruang publik atau privat dapat disuarakan
dengan kepentingan-kepentingan bersama. Persoalannya adalah ketika kepentingan
bersama ini menjadi ruang yang dimanfaatkan dalam sarana-sarana kekuasaan, maka
hanya akan memaksakan kepentingan bersama di atas kepentingan privat.[12]
Sehingga kepentingan warganegara yang hanya mementingkan kepentingan privat
tidak akan bisa menjalankan kepentingan bersama. Di sini telah terjadi
ketegangan dalam ruang publik dan privat ketika tidak dipisahkan wilayah
kepentingan dan tujuannya. Wilayah ini mengarah pada kekuasaan yang tidak hanya
dipahami sebagai bentuk akses dalam politik melainkan kekuasaan di berbagai
ruang ekonomi, sosial maupun budaya. Sebab kekuasaan ini telah mengikat seorang
individu yang bebas dengan kepatuhan dan ketidakmampuannya.
Maka dalam tatanan politik misalnya,
terjadi pembagian wilayah kekuasaan yang dikenal dengan Trias Politica:
yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mencegah terjadi tirani. Hal
ini telah menunjukkan adanya ketegangan dalam hubungan antar individu atau
kelompok. Eksekutif merupakan tempat yang memiliki posisi tinggi di atas
legislatif dan yudikatif. Legislatif hanya mampu mendefinisikan dan menetapkan
aturan-aturan yang sudah ada. Sedangkan yudikatif hanya berusaha untuk
menemukan dan mendefinisikan apa yang adil dalam kehidupan bernegara. Dari sini
kita dapat mengerti bagaimana rezim demokrasi ini bisa berjalan tanpa ada
dominasi dari pihak eksekutif dan legislatif atau yudikatif. Jika salah satunya
saling mendominasi kekuasaan, bagaimana kita menjalankan dan menerapkan
nilai-nilai demokrasi itu seperti yang terjadi dalam pemahaman demokrasi
liberal yang menempatkan posisi legislatif di atas eksekutif. Liberalisme ini
merupakan ideologi politik dan ekonomi yang ditekankan dalam kebebasan
individu. Paham semacam ini hanya akan memunculkan ruang baru bagi hak milik
kekuasaan demi kepentingan pribadi tanpa melihat hak lainnya. Lebih jelasnya, gerakan
para pemodal di balik kekuasaan memiliki nilai tawar yang tinggi untuk
mempertahankan kekuasaannya.
Seyogjanya, yang perlu kita pahami
adalah kepentingan dalam ruang publik atau privat yang harus jelas posisinya. Jangan
sampai kepentingan dalam ruang publik disatukan dengan kepentingan privat, sehingga
mengaburkan bentuk kecurangan atau penyelewengan dalam tatanan politik, ekonomi,
maupun sosial. Kalau kita dapat menekankan satu titik dasar tujuan dari adanya demokrasi
itu sendiri bahwa dalam demokrasi ada tatanan politik, ekonomi atau sosial yang
harus dilaksanakan secara bersama untuk mewujudkan tujuan pokoknya yakni
kesejahteraan dan keadilan. Maka tujuan ini memungkinkan semua tatanan menjadi
setara dalam kesejahteraan dan berkeadilan sesuai jalan demokrasi yang akan
diterapkan dengan adanya paham ‘bersama’, sehingga masyarakat bisa bertindak
sesuai nilai-nilai demokrasi. Asumsi bersama ini bisa menjadi sudut pandang
kita sebagai warga negara terhadap demokrasi dengan adanya kontrol masyarakat
dalam mengatur perancangan undang-undang (legislasi) dan fungsi-fungsi
yudisial tanpa ada dominasi kekuasaan.
Persoalaannya adalah seberapa besar kemampuan,
kepatuhan atau penolakan masyarakat terhadap kekuasaan atau dalam taraf apa
fungsi-fungsi kekuasaan dijalankan? Sebab bentuk kebebasan dan kesetaraan yang
diberikan demokrasi semakin hilang jika wilayah publiknya diganggu dengan kepentingan
privat atau sebaliknya seperti adanya ketimpangan hukum, hak rakyat digadaikan,
dan korupsi. Hal tersebut telah menunjukkan adanya kekuasaan yang tidak sesuai
fungsinya dalam semua tatanan. Sehingga masyarakat kita sudah semakin hilang
kontrol atau tidak memiliki otoritas untuk bertindak terhadap pemegang
kekuasaan karena otoritasnya terganggu.
Adanya kekuasaan karena adanya
kepatuhan atau ketidakmampuan, itulah sebabnya tujuan kekuasaan sama dengan
kepentingan sehingga mempertegas pembedaan antara ruang publik dan privat. Jika
tidak, institusi pemerintah atau perwakilan rakyat akan menjadi ruang besar
untuk menjalankan otoritas penuh demi kepentingan dirinya melalui tubuh
demokrasi. Padahal dalam demokrasi telah menyatakan bahwa peraturan dalam ruang
privat harus dibedakan dengan hukum-hukum publik yang diberlakukan secara
merata terhadap warga dan peraturan-peraturan privat yang tidak melanggar hukum
publik positif.[13]
Sehingga perlu adanya tindakan atau kontrol terhadap penilaian
peraturan-peraturan yang adil dan tidaknya. Penilaian ini untuk memisahkan
kelompok-kelompok kepentingan yang memiliki ruang untuk membentuk dan mempertahankan
kekuasaannya. Dalam keyakinan beragama, negara tidak bisa masuk. Adanya pasar
bebas yang telah menghambat perekonomian warganya, misalnya. Realitas seperti
ini perlu ada ketegasan dalam ruang yang memiliki kepentingan masing-masing.
Dari sini terlihat ada kesenjangan
dalam pembedaan ruang publik dan privat antara tindakan warga dan tindakan
pemerintah yang bersifa subjektif. Maka, tindakan dan kontrol masyarakat
menjadi peran sentral dalam mengontrol peraturan-peraturan privat dan publik. Persoalannya
adalah seberapa kuat kebebasan masyarakat dalam menilai bentuk peraturan dan
hukum publik? Kebebasan masyarakat ini harus ditopang dengan otoritas kebenaran
publik untuk menjaga ruang objektivitas melalui institusi atau kelompok
masyarakat dan harus bersifat objektif dan terbuka. Ketika kelompok masyarakat
ini mampu bertindak dan menghukum para pelanggar politisi, ekonomi, sosial atau
hukum, maka dalam membangun keadilan hukum atau peraturan-peraturan secara
objektif harus lepas dari konsepsi-konsepsi para penguasa yang memiliki
otoritas dalam hukum, kebijakan politik, ekonomi maupun sosial. Dan menjaga
konsepsi para pembuat kebijakan aturan untuk tidak masuk dalam kepentingan
privat yang diaktualkan dalam ruang publik.
Sudah jelas bahwa ketika ruang
privat masuk dalam ruang publik dengan kelompok-kelompok kepentingan atau
lobi-lobi atau sebaliknya publik masuk ke ruang privat, keterlibatan warga yang
bukan urusannya telah mempengaruhi perjalanan demokrasi ke depan dan
ketidakmungkinan akan adanya kontrol pihak satu dengan pihak lainnya. Sebab adanya
bentuk ketidakmampuan atau penolakan individu terhadap kepentingan bersama,
mereka akan menjadikan kepentingan bersama sebagai bentuk untuk mencapai
tujuan-tujuan pribadinya. Dengan ketidakmungkinan untuk menjaga tatanan
demokrasi dari serangan ruang publik dan privat, setidaknya pemisahan ini mampu
memperlihatkan bagaimana bahayanya pembauran dalam ruang publik dan privat
dengan adanya kelompok-kelompok kepentingan yang mempengaruhi kebebasan dalam
tatanan politik, ekonomi, sosial atau budaya. Sehingga pengembangkan
koekistensi dalam dua kepentingan yang selalu bertentangan dapat tertata dalam
ruang yang lain. Dengan mengarah pada keseimbangan dari kepentingan-kepentingan
yang diwujudkan dalam tatanan yang bebas dan setara.
Jadi, pemahaman akan relasi
kebebasan dan kesetaraan demokrasi masih sangat jauh dengan realitas kehidupan
manusia. Apalagi kalau perjalanan demokrasi ini, hanya dilakukan dalam tatanan
politik, tanpa melihat tananan lainnya atau demokrasi hanya dipahami sebagai
sistem (alat) perpolitikan. Padahal adanya kebebasan dan kesetaraan dalam
demokrasi telah didukung dengan tatanan lainnya (ekonomi, sosial, budaya).
Tanpa adanya tatanan ini, demokrasi sulit berkembang, sebab hanya orang-orang
berkepentingan akan dirinya tanpa melihat kepentingan lainnya. Dalam tatanan
ekonomi, sosial atau budaya, tidak sama tatanannya dan kepentingan dengan
tatanan lain, sehingga kalau demokrasi ini hanya berjalan dalam tatanan
tertentu politik misalnya, akan menghambat demokrasi di tatanan ekonomi, sosial
atau budaya. Dampak yang sangat jelas adalah ketidakadilan dalam sosial dan
ekonomi yang hanya orang-orang tertentu yang mendapat ruang kebebasan, sistem
pasar bebas, ketimpangan hukum, dan penghambatan hak. Seharusnya dalam
demokrasi Indonesia perlu adanya satu bentuk lembaga yang mempu mengontrol dan
menghantui mereka yang berlindung di tubuh demokrasi, seperti adanya KPK
seharusnya bisa mengontrol, tetapi kalau bentuk seperti KPK sudah kabur dengan
kepentingan-kepentingan, lalu siapa lagi? Sebab saat ini baru hanya KPK yang
mampu memperlihatkan kontrol terhadap para pemilik kekuasaan.
Dengan demikian, perjalanan
demokrasi dapat terlihat jelas dengan memisahkan antara demokrasi sebagai
sistem dan tatanan dalam menjalankan nilai-nilainya, harus terjadi kontrol
dalam pemisahan antara ruang privat dan publik untuk memperjelas tindakannya. Sebab
asumsi adanya demokrasi sebagai ruang kebebasan dan kesetaraan sudah ada relasinya
yang selama ini tersumbat dalam ketimpangan, kecurangan dan ketidakadilan, maka
nilai-nilai demokrasi bisa berjalan sesuai sistem dan tatanannya, baik dalam
politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Jika nilai-nilai itu bisa dipahami dan
diterapkan sesuai bentuk universal, demokrasi mampu dijalankan di
berbagai tatanannya.
Dari sini akan mengurangi
ketimpangan terhadap nilai demokrasi yang selama ini dipahami sebagai ruang
kebebasan dan kesetaraan hanya dijadikan sistem (alat) dalam ruang
politik, ekonomi atau sosial saja, sehingga nilai-nilai demokrasi tidak mampu
terealisasikan di berbagai tempat melalui kontrol masyarakat atau lembaga yang
bisa menjaga nilai-nilai itu. Ketimpangan dalam demokrasi sangat sulit untuk
dihindari, tetapi bisa terhambat dengan mempertegas pemisahan ruang privat dan
publik, sistem dan tatanan, dan adanya kontrol masyarakat atau lembaga terhadap
kehidupan dirinya dan negaranya. Sehingga demokrasi sebagai ruang pembebasan
dan penyetaraan dapat terealisasi di semua tatanannya. (*)
Artikel Terkait
- Salam Redaksi
- Riset Redaksi
- Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
- Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
- Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
- Demokrasi Deliberatif
- Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
- Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
- Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
- Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
- Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
- Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
- Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
- Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)
[1] Kedua
konsep ini (kebebasan dan kesetaraan) merupakan nilai utama demokrasi yang dipahami
secara umum sebagai loncatan untuk mendapatkan apa yang menjadikan individu
bebas. Berbagai bentuk ekspresi kebebasan telah ditampakkan dalam ruang umum. Tetapi
dengan adanya kebebasan dan kesetaraan, telah terjadi kecurangan-kecurangan,
perluasan gerak dalam ruang publik, penyelewengan hak maupun adanya korupsi. Ini
adalah hal-hal paradoks yang sulit dihindari dalam tatanan demokrasi baik
politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Karena, nilai-nilai ini membuka
orang-orang bebas untuk menentukan keinginan-keinginannya, maka berbagai bentuk
kepentingan dicapai bersama-sama atas nama kebebasan dan kesetaraan. Dalam buku
‘Demokrasi: Sebuah Tinjauan Analitis’ Jean Beachler memahami konsep kebebasan
sebagai sifat tripartit yang terdiri atas pilihan, otonomi, dan kejujuran.
Setiap manusia bebas mempunyai kapasitas untuk mengambil pilihan secara otonom
yang tepat. Akan tetapi kebebasan merupakan lawan dari ketidakbebasan (kebutuhan,
heteronomi, dan kekacauan) atau adanya kebebasan dan ketidakbebasan berada pada
posisi-posisi individu dalam kedudukan politik, ekonomi, sosial atau budaya.
Sifat ketidakbebasan ini yang dijadikan alat dalam ‘ruang bebas’ untuk
mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dalam semua tatanan. (Jean Baechler, Democracy
an Analytical Survey, (terj), (Yogyakarta: Kanisius, 2001) h. 20-21. Dari tulisan
ini, demokrasi telah dipahami oleh setiap orang untuk merasa menjadi bebas dan
setara, tetapi tidak menyadari bentuk dan relasi dari kebebasan dan kesetaraan
itu. Maka, tema tulisan ini akan mengarahkan bagaimana seharusnya nilai-nilai
demokrasi berada sesuai dengan relasi dan tatanan sosio-historis. Sehingga ruang
kebebasan dan kesetaraan warga yang telah terbentuk dalam demokrasi dapat
terjamin di berbagai tatanan politik, ekonomi, hukum, sosial maupun budaya.
[2] F. Budi
Hardiman, ‘Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik
dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas (Yogyakarta: Kanisius, 2009) h. 103
[4]
Pemisahan demokrasi dari sisi sistem dan tatanan merupakan langkah untuk melihat
demokrasi seutuhnya yang tidak hanya sebatas dijalankan oleh orang-orang
berkepentingan diri. Apapun model demokrasi akan selalu membawa nilai-nilai
besar, yakni kebebasan dan kesetaraan, baik demokrasi liberal, deliberatif,
langsung atau terpimpin, dan bentuk lainnya. Tetapi dari banyaknya model
demokrasi hanya memunculkan satu sisi sebagai sistem yang merupakan bentuk yang
bersifat instrumental, sedangkan sisi lain sebagai bentuk tatanan tidak nampak,
yang memiliki tujuan bersifat deskripsi dan penyesuaian. Kalau hanya sistem
yang dijalankan, bentuk kebebasan dan kesetaraan akan terhenti mewujud dalam
kesejahteraan dan keadilan. Jadi, demokrasi dalam tatanan telah membentuk ruang
gerak manusia dengan tujuan dan sarana yang ingin diwujudkan. Sebab sistem ini
tidak ada keterkaitan dengan sistem lainnya, sistem berjalan sesuai bentuk yang
di buatnya seperti adanya paham liberalisme dan kapitalisme yang
menginformasikan nilai-nilai demokrasi demi kepentingan individu tanpa memperdulikan
kelompok lainnya, tapi dapat mempengaruhi bentuk tatanan. Seperti adanya kekuasaan,
dalam sistem demokrasi hanya akan menimbulkan pertarungan untuk mempertahankan
kekuasaannya, yang berbeda dalam tatanan yang mengatur ruang untuk kepentingan
bersama di berbagai ranah politik, ekonomi atau budaya dengan bentuk tatanannya
walaupun sistemnya berbeda-beda. Dalam tatanan ini, terbentuk interaksi dengan
lingkungannya yang bersifat spesifik dan pola tatanan itu sendiri mengada dalam
norma atau aturan masyarakat. Sehingga tatanan sebagai bentuk adaptasi yang
komplek dan sistem berusaha untuk menjaga keberlangsungan tatanan ini. Dari dua
sudut pandang ini yang harus kita jaga dalam perjalanan demokratisasi.
[7]Henry J.
Schmandt, Filsafat Politik kajian Historis dari zaman Yunani Kuno sampai
Zaman Modern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) h. 339
[10] Dalam
buku David Held ada beberapa model demokrasi di antaranya, demokrasi klasik
(kesetaraan politik dan kepemimpinan secara bergilir), demokrasi protektif
(keseimbangan dalam kepentingan bersama), demokrasi development
(partisipasi masyarakat dalam politik), demokrasi langsung (merealisasikan
bentuk kebebasan dan kesetaraan sesuai kemampuannya), demokrasi partisipasi,
demokrasi delebratif, demokrasi kosmopolitan, dan bentuk lainnya.
[11] Ruang
publik berhubungan dengan tujuan dan kepentingan-kepentingan umum yang diwujudkan
pada semua warga sedangkan ruang privat sebagai kepentingan-kepentingan khusus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar