Hukum Tata Negara
(Studi
Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah karya Imam Al-Mawardi)
M. Rifqi Fawaid
I.
Pendahuluan
Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah
merupakan salah satu kitab politik atau hukum ketatanegaraan yang patut
mendapat perhatian lebih. Karena, di samping penulisnya, imam al-Mawardi, adalah seorang faqih (ahli hukum Islam),
beliau juga hidup dimasa pemerintahan ‘Abbasiyah yang waktu itu merupakan kekhilafahan Islam.
Seperti
kitab-kitab fiqh politik lainnya, al-Mawardi memberikan tempat untuk
menjelaskan perbedaan pendapat dari madzhab lain. Akan tetapi, al-Mawardi lebih
mengutamakan pendapat madzhab yang dianutnya, Syafi’i.
Faktor
yang mendorong Al-Mawardi untuk membukukan pikirannya adalah karena terjadinya krisis
khilafah dan madzhab sunni pada pertengahan abad keempat hijriyah.
Sejarah
politik yang terjadi di masyarakat arab[1]
sebelumnya tidak dapat terpisahkan dengan sejarah agama yang mereka anut.
Namun, pada masa Al-Mawardi kondisinya sudah berbeda. Banyak aliran-aliran yang
berkembang. Pertama, Imamiyyah
yang disokong oleh Buwaihiyah. Kedua, Isma’iliyyah[2]. Ketiga,
Sunni.
Mungkin
akan timbul pertanyaan, sesuaikah pemikiran Al-Mawardi yang ditulis lima belas
tahun silam jika diaplikasikan di abad ini? Sebelum menjawab pertanyaan
tersebut, kita harus akui terlebih dahulu bahwa ada sesuatu yang hilang dalam
masyarakat Islam; yaitu hukum perbudakan, hukum harta ghanimah[3],
dll.
Banyak
yang mengatakan bahwa khilafah telah jatuh, tapi jika memang ia benar-benar
jatuh, apakah pemerintahan juga
turut jatuh? Pada hakikatnya, pemerintahan ini setiap harinya berkembang. Dan,
dari sinilah kita dapat membuktikan pemikiran Al-Mawardi ini sesuai dengan abad sekarang.
II.
Biografi
Imam Al-Mawardi
Al-Mawardi adalah nama yang dinisbatkan
terhadap pekerjaan keluarganya. Nama
lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib. Beliau lahir di Basrah tahun 364H/972M. Masa mudanya ia
habiskan untuk belajar fiqh madzhab Imam Syafi’i di bawah bimbingan Abu al-Qasim
as-Shaimariy. Kemudian meneruskan perjalanannya ke Baghdad untuk lebih
memperdalam lagi ilmu fiqh di bawah bimbingan ulama besar Syafi’iyah,
Al-Isfiraainiy, disamping juga belajar bahasa Arab, hadits dan tafsir. Al-Mawardi
wafat tahun 450H/1058M, dan kemudian dikebumikan di kota Mansur, Baghdad.[4]
Meskipun al-Mawardi adalah orang yang dikenal di Baghdad,
tetapi sumber sejarah tidak banyak mengupas tentang kehidupan keluarganya di
Bashrah dan Baghdad. Pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah, Al-Mawardi merapat
kepada Khalifah ‘Abbasiyah al-Qadir Billaah setelah memberikan ringkasan kitab
fiqh Syafi’i, al-Iqna’.[5]
Al-Mawardi
juga dikenal sebagai duta diplomatis di antara
para penguasa Buwaih di satu sisi, dan khalifah-khalifah ‘Abbasiyah di sisi
lain, terlebih lagi dengan khalifah Al-Qadir Billah. Tujuan diplomasinya adalah untuk
kembali mengharmoniskan hubungan politik antara penguasa-penguasa pada zaman
itu, yang dulunya hanya mencari
solusi dengan
pertumpahan darah.[6]
Dalam
segi pemikiran, al-Mawardi menuangkannya dalam bentuk tulisan. Berbagai displin
ilmu ditulisnya, dari tafsir, fiqh, hingga sastra.
Dari berbagai kitab yang ia tulis, al-Ahkam as-Sulthaniyyah merupakan salah
satu kitab yang cukup terkenal. Selain itu, karya-karyanya dalam bidang sosial-politik adalah Adab ad-Dunya
wa ad-Din, Siyasatu al-Wizarat wa Siyasat al-Malik, Tashil an-Nadzar wa
Ta’jil adz-Dzafar fi Akhlaq al-Malik wa Siyasat al-Malik, Siyasat al-Malik,
Nashihat al-Muluk.
III.
Pemikiran
Politik Al-Mawardi
Al-Mawardi
dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah tidak menjelaskan secara gamblang makna politik sendiri, karena pada masanya sudah
berdiri khilafah ‘Abbasiyah yang sudah diterima oleh masyarakat pada waktu itu.
a.
Al-Khilafah/Al-Imamah
Sebelum
melangkah lebih jauh, lebih baik kiranya mendefinisikan terlebih dahulu arti khilafah
dan khalifah. Khilafah adalah konsep kenegaraan atau hukum tata negara “yang
bertujuan untuk melanjutkan tugas nabi dalam melindungi agama dan mengatur
dunia.”[7]
Seperti halnya nabi yang diperintah untuk menyampaikan risalah, khalifah juga
mempunyai peran sama.
Sedikitpun
tidak pernah tebersit
dalam benak Al-Mawardi untuk memisahkan antara agama dan dunia; pemuka agama
hanya mengurus soal agamanya sedang pemerintah megurus pemerintahannya, tidak.
Seorang
Imam yang dirinya sebagai khalifah (penerus) nabi adalah seorang yang
meneruskan tongkat estafet untuk melanjutkan perjuangan nabi dalam menjalankan
syari’at. Syari’at yang dimaksud ialah dasar-dasar (pondasi) agama Islam,
sendi-sendi agama yang kemudian menjalankan hukum dan mengatur kehidupan
individu dan masyarakat.
Al-Imamah
merupakan satu dari beberapa peninggalan para nabi dan wajib ada (didirikan)
untuk menjalakan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia. Akan tetapi, kewajiban tersebut masih
terdapat perdebatan. Apakah penetapan kewajiban ini cukup dengan akal saja
tanpa naql (syari’at)?
Atau dengan naql yang kemudian menuntun akal untuk menetapkannya?
Sebagian
berpendapat bahwa penetapan ini cukup dengan akal, karena pada dasarnya akal
sehat sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Misal, ketika
ada pertengkaran atau perkelahian antar individu atau kelompok, otomatis akal
mendorong si empunya untuk melerai.
Sebagian
lain mengatakan bahwa akal saja tidak cukup untuk menjadi legitimasi atas
kewajiban ini, ia harus ditopang dengan naql karena ini merupakan
masalah syar’iyyah.
Terlepas
dari semua itu, kewajiban ini berupa fardlu kifayah. Artinya, jika sebagian
melaksanakan maka telah terpenuhi. Jika tidak dilaksanakan, maka harus ada kelompok masyarakat yang
harus memenuhi kewajiban tersebut. Dan kelompok inilah yang disebut dengan Ahl
al-Ikhtiyar dan Ahl al-Imamah,
dengan syarat dan ketentuan masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar