Sabtu, 26 Oktober 2013

Hukum Tata Negara (Studi Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah karya Imam Al-Mawardi)

Hukum Tata Negara
(Studi Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah karya Imam Al-Mawardi)
M. Rifqi Fawaid

I.         Pendahuluan
Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah merupakan salah satu kitab politik atau hukum ketatanegaraan yang patut mendapat perhatian lebih. Karena, di samping penulisnya, imam al-Mawardi, adalah seorang faqih (ahli hukum Islam), beliau juga hidup dimasa pemerintahan ‘Abbasiyah yang waktu itu merupakan kekhilafahan Islam.
Seperti kitab-kitab fiqh politik lainnya, al-Mawardi memberikan tempat untuk menjelaskan perbedaan pendapat dari madzhab lain. Akan tetapi, al-Mawardi lebih mengutamakan pendapat madzhab yang dianutnya, Syafi’i.
Faktor yang mendorong Al-Mawardi untuk membukukan pikirannya adalah karena terjadinya krisis khilafah dan madzhab sunni pada pertengahan abad keempat hijriyah.
Sejarah politik yang terjadi di masyarakat arab[1] sebelumnya tidak dapat terpisahkan dengan sejarah agama yang mereka anut. Namun, pada masa Al-Mawardi kondisinya sudah berbeda. Banyak aliran-aliran yang berkembang. Pertama,  Imamiyyah yang disokong oleh Buwaihiyah. Kedua,  Isma’iliyyah[2]. Ketiga, Sunni.
Mungkin akan timbul pertanyaan, sesuaikah pemikiran Al-Mawardi yang ditulis lima belas tahun silam jika diaplikasikan di abad ini? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus akui terlebih dahulu bahwa ada sesuatu yang hilang dalam masyarakat Islam; yaitu hukum perbudakan, hukum harta ghanimah[3], dll.
Banyak yang mengatakan bahwa khilafah telah jatuh, tapi jika memang ia benar-benar jatuh, apakah pemerintahan juga turut jatuh? Pada hakikatnya, pemerintahan ini setiap harinya berkembang. Dan, dari sinilah kita dapat membuktikan pemikiran Al-Mawardi ini sesuai  dengan abad sekarang.

II.      Biografi Imam Al-Mawardi

Al-Mawardi adalah nama yang dinisbatkan terhadap pekerjaan keluarganya. Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib. Beliau lahir di Basrah tahun 364H/972M. Masa mudanya ia habiskan untuk belajar fiqh madzhab Imam Syafi’i di bawah bimbingan Abu al-Qasim as-Shaimariy. Kemudian meneruskan perjalanannya ke Baghdad untuk lebih memperdalam lagi ilmu fiqh di bawah bimbingan ulama besar Syafi’iyah, Al-Isfiraainiy, disamping juga belajar bahasa Arab, hadits dan tafsir. Al-Mawardi wafat tahun 450H/1058M, dan kemudian dikebumikan di kota Mansur, Baghdad.[4]
Meskipun al-Mawardi adalah orang yang dikenal di Baghdad, tetapi sumber sejarah tidak banyak mengupas tentang kehidupan keluarganya di Bashrah dan Baghdad. Pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah, Al-Mawardi merapat kepada Khalifah ‘Abbasiyah al-Qadir Billaah setelah memberikan ringkasan kitab fiqh Syafi’i, al-Iqna’.[5]
Al-Mawardi juga dikenal sebagai duta diplomatis di antara para penguasa Buwaih di satu sisi, dan khalifah-khalifah ‘Abbasiyah di sisi lain, terlebih lagi dengan khalifah Al-Qadir Billah. Tujuan diplomasinya adalah untuk kembali mengharmoniskan hubungan politik antara penguasa-penguasa pada zaman itu, yang dulunya hanya mencari solusi dengan pertumpahan darah.[6]
Dalam segi pemikiran, al-Mawardi menuangkannya dalam bentuk tulisan. Berbagai displin ilmu ditulisnya, dari tafsir, fiqh, hingga sastra. Dari berbagai kitab yang ia tulis, al-Ahkam as-Sulthaniyyah merupakan salah satu kitab yang cukup terkenal. Selain itu, karya-karyanya dalam bidang sosial-politik adalah Adab ad-Dunya wa ad-Din, Siyasatu al-Wizarat wa Siyasat al-Malik, Tashil an-Nadzar wa Ta’jil adz-Dzafar fi Akhlaq al-Malik wa Siyasat al-Malik, Siyasat al-Malik, Nashihat al-Muluk.

III.   Pemikiran Politik Al-Mawardi

Al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah tidak menjelaskan secara gamblang makna politik sendiri, karena pada masanya sudah berdiri khilafah ‘Abbasiyah yang sudah diterima oleh masyarakat pada waktu itu.

a.     Al-Khilafah/Al-Imamah

Sebelum melangkah lebih jauh, lebih baik kiranya mendefinisikan terlebih dahulu arti khilafah dan khalifah. Khilafah adalah konsep kenegaraan atau hukum tata negara “yang bertujuan untuk melanjutkan tugas nabi dalam melindungi agama dan mengatur dunia.[7] Seperti halnya nabi yang diperintah untuk menyampaikan risalah, khalifah juga mempunyai peran sama.
Sedikitpun tidak pernah tebersit dalam benak Al-Mawardi untuk memisahkan antara agama dan dunia; pemuka agama hanya mengurus soal agamanya sedang pemerintah megurus pemerintahannya, tidak.
Seorang Imam yang dirinya sebagai khalifah (penerus) nabi adalah seorang yang meneruskan tongkat estafet untuk melanjutkan perjuangan nabi dalam menjalankan syari’at. Syari’at yang dimaksud ialah dasar-dasar (pondasi) agama Islam, sendi-sendi agama yang kemudian menjalankan hukum dan mengatur kehidupan individu dan masyarakat.
Al-Imamah merupakan satu dari beberapa peninggalan para nabi dan wajib ada (didirikan) untuk menjalakan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia.  Akan tetapi, kewajiban tersebut masih terdapat perdebatan. Apakah penetapan kewajiban ini cukup dengan akal saja tanpa naql (syari’at)? Atau dengan naql yang kemudian menuntun akal untuk menetapkannya?
Sebagian berpendapat bahwa penetapan ini cukup dengan akal, karena pada dasarnya akal sehat sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Misal, ketika ada pertengkaran atau perkelahian antar individu atau kelompok, otomatis akal mendorong si empunya untuk melerai.
Sebagian lain mengatakan bahwa akal saja tidak cukup untuk menjadi legitimasi atas kewajiban ini, ia harus ditopang dengan naql karena ini merupakan masalah syar’iyyah.
Terlepas dari semua itu, kewajiban ini berupa fardlu kifayah. Artinya, jika sebagian melaksanakan maka telah terpenuhi. Jika tidak dilaksanakan, maka harus ada kelompok masyarakat yang harus memenuhi kewajiban tersebut. Dan kelompok inilah yang disebut dengan Ahl al-Ikhtiyar dan Ahl al-Imamah, dengan syarat dan ketentuan masing-masing.



[1] Masyarakat Islam pada abad pertengahan.
[2] Mereka adalah Fathimiyyun yang berasal dari mesir yang sudah tersistem.
[3] Harta ghanimah adalah harta yang diambil oleh kaum muslimin dari musuh mereka dalam peperangan. Lebih singkatnya adalah harta rampasan perang.
[4] Pengantar Dr. Ahmad Mubarak al-Baghdadi (ed) dalam al-Ahkaam as-Sulthaaniyyah (Kuwait: Maktabah Daar Ibn Qutaibah, 1989), hlm. خ خ
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm. 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar