Salam Redaksi
Reformasi 1998 digerakkan oleh cita-cita memperbaiki keadaan Indonesia yang sedang terpuruk dalam krisis. Itu berarti ia membawa amanat yang akan menjadi pegangan dalam melangkah menuju masa depan yang lebih baik. Amanat itu tak lain adalah pelajaran-pelajaran yang ditarik dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam bernegara.
Bergulirnya Reformasi itu sendiri didahului oleh runtuhnya legitimasi rezim Orde Baru. Berbagai faktor telah menyebabkan legitimasi itu tidak dapat dibangun lagi. Di antara faktor-faktor itu adalah krisis ekonomi yang begitu akut, pelbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan krisis demokrasi. Itu berarti bahwa pemerintahan setelah Reformasi mesti bisa membawa Indonesia keluar dari pelbagai krisis ini.
Kini, beberapa rezim pemerintahan setelah Reformasi telah silih berganti. Harus diakui bahwa beberapa perubahan penting telah terjadi selama empat belas tahun sejak Reformasi itu bergulir. Sistem pemerintahan kini jelas lebih demokratis. Kebebasan dan partisipasi politik dengan lebih luas dapat dinikmati oleh rakyat. Pun, ekonomi kita dapat keluar dari krisis.
Meski demikian, ruang untuk mengoreksi kembali koreksi terhadap rezim-rezim sebelum Reformasi masih terbuka lebar. Malah, lebih dari itu, kita mesti ragu, walau tidak berarti harus bersikap pesimis, apakah cita-cita dan harapan Reformasi itu seutuhnya telah berhasil “dibumikan”. Memang benar, kemiripan penuh antara apa yang diidealkan dengan apa yang sungguh-sungguh riil terjadi adalah mustahil. Kehidupan dunia bukanlah surga. Akan tetapi, kenyataan bahwa kondisi riil setelah reformasi lebih sesuai dengan cita-cita dan harapan itu sendiri daripada kondisi sebelumnya cukup membuktikan bahwa memikirkan dan mengusahakan kondisi yang lebih baik daripada kondisi yang sedang atau sudah terjadi adalah mungkin.
Keraguan itu sendiri, tentu saja, bukan tanpa alasan. Kenyataan bahwa hari-hari ini kita disesaki oleh krisis kepemimpinan, oleh kerusuhan-kerusuhan sosial, dan banyak hal lain cukup mendorong keraguan itu.
Jurnal Pesantren Ciganjur, pada edisi kali ini, terdorong oleh semangat keraguan itu. Artikel-artikel utama di dalamnya, eksplisit atau implisit, langsung atau tidak langsung, mencoba mengurai pelbagai problem demokrasi setelah Reformasi. Problem itu mengambil beberapa tema berbeda, mulai dari yang bersifat filosofis, semisal tentang ide kebebasan dalam demokrasi, hingga yang prosedural, semisal problem pemilihan umum.
Akhirnya, ada satu hal lain yang mendorong penulisan keseluruhan artikel dalam jurnal ini; keberanian untuk berkarya. Hampir keseluruhan tulisan dalam jurnal ini ditulis oleh santri-santri muda yang tidak mengambil bidang politik sebagai spesialisasi studi di perguruan tinggi. Meski begitu, terdorong oleh dua hal di atas, keraguan dan keberanian, diskusi-diskusi mingguan selama lebih dari setahun digelar demi terwujudnya jurnal bertemakan demokrasi ini. Selamat menikmati!
Daftar Isi
Daftar Isi
- Salam Redaksi
- Riset Redaksi
- Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
- Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
- Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
- Demokrasi Deliberatif
- Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
- Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
- Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
- Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
- Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
- Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
- Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
- Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar