Jika ada suatu pengetahuan tertentu yang dengannya
seluruh pengetahuan mistik atau sufistik dimungkinkan, maka itu adalah pengetahuan
ladunni (literal: dari-Ku). Menolak
kemungkinan pengetahuan ladunni akan sama belaka dengan menolak keseluruhan
pengetahuan mistik. Satu misal karya yang isinya merupakan hasil pengetahuan
ladunni adalah Fushush al-Hikam, karya teragung as-Syaikh al-Akbar Ibn
‘Arabi. Dalam bagian pengantar, ia menulis pengakuan tentang bagaimana ia mendapatkan
ide-idenya,
“aku berharap al-Haq telah menjawab seruanku
kala Ia dengar doaku. Tidaklah aku bicarakan selain apa yang Ia ‘bisikkan’
padaku. Tidaklah aku tulis pada lembar ini kecuali apa yang Ia ‘turunkan’
padaku. Tapi aku bukan seorang nabi, juga bukan seorang rasul. Aku hanyalah
seorang pewaris [kenabian], dan penjaga akhiratku.”[1]
Secara teologis, kemungkinan pengetahuan
ladunni telah seringkali dijustifikasi dengan beberapa ayat Qur’an. Yang paling
terkenal adalah ayat tentang Nabi Khidir ‘alahi as-salaam, seorang nabi yang
digambarkan sebagai “seorang hamba dari hamba-hamba-Ku yang padanya telah Ku
curahkan kasih dari-Ku dan yang telah Ku ajari pengetahuan dari-Ku.”
(al-Kahf: 65). Satu lagi adalah penutup ayat terpanjang dalam Qur’an, “dan
bertakwalah kalian pada Allah, maka Ia akan mengajari kalian.” (al-Baqarah:
282).
Meski demikian, tidak semua muslim menerima
kemungkinan pengetahuan ladunni, suatu fakta yang kemudian mendorong al-Ghazali
menulis Risalah tentang Pengetahuan Ladunni. Dalam risalah singkat dan
padat ini, ia hendak menjelaskan secara filosofis sekurang-kurangnya dua poin
penting: 1) hakikat pengetahuan ladunni, dan 2) bagaimana pengetahuan ini
dimungkinkan dalam sistem metafisika Islam. Kita akan mulai menjelajah dari yang
pertama.
Pengetahuan ladunni, menurut al-Ghazali,
sebenarnya adalah istilah teknis untuk menamai suatu pengetahuan yang merupakan
hasil dari suatu proses yang disebut ilham. Ilham ini sendiri
adalah tanbiyh an-nafs al-kulliyyah li an-nafs al-juz’iyyah al-insaaniyyah
‘alaa qadri shafaaihaa wa quwwat isti’daadihaa, yakni, secara literal, peringatan
dari Jiwa Universal pada jiwa partikular manusiawi sesuai dengan kadar
kemurnian dan potensi kesiapannya. Perlu digarisbawahi, tanbiyh di sini
tidak boleh dimengerti hanya sebagai peringatan yang seringkali berkonotasi
moral. Ia juga mengandung makna pengertian yang mendalam (insight) dan
yang seringkali “hadir” dengan tiba-tiba.
Menurut al-Ghazali, ilham terjadi bukan
karena kehendak sadar si penerima ilham, namun lebih karena pancaran (isyraq)
dari Jiwa Universal. Meski demikian, tentu saja terdapat “syarat wajib” bagi seseorang
untuk dapat menerima ilham. Pertama, ia harus telah mempelajari dan memahami
sebagian besar dari segala cabang ilmu. Kedua, ia harus melakukan olahjiwa yang
sungguh-sungguh (ar-riyadlah ash-shadiqah) dan selalu bersikap eling
lan waspada (al-muraqabah ash-shahihah). Terakhir, ia mesti
berkontemplasi (at-tafakkur) mengenai apa yang telah diketahuinya. Jika
jiwa telah dilatih melakukan ketiga syarat ini, maka, dalam kata-kata
al-Ghazali, “pintu kegaiban akan terbuka padanya.” (253)
Sedikit catatan tentang kontemplasi perlu
diberikan di sini. Kontak antara manusia sebagai subyek pengetahuan dengan Jiwa
Universal sebenarnya tidak hanya terjadi dalam modus ilham, yang merupakan
modus yang ilahiah (at-ta’lim ar-rabbaani) dalam proses pengetahuan. Al-Ghazali
menyebut modus lain yang ia sebut sebagai modus manusiawi (at-ta’lim
al-insaani). Ada dua macam modus yang terakhir ini : lahir (min
kharij), yaitu belajar pada bimbingan orang lain, dan batin (min
dakhil), yakni berkontemplasi rasional. Dalam modus batin ini, subyek yang
berkontemplasi sesungguhnya, menurut al-Ghazali, juga memperoleh pengetahuan
dari Jiwa Universal. Hanya saja, meski sama-sama dihasilkan dari kontak dengan
Jiwa Universal, pengetahuan ini oleh al-Ghazali tidak dimasukkan ke dalam
kategori pengetahuan ladunni. Sebabnya, menurut saya, adalah bahwa pengetahuan
ladunni lebih bersifat, sebagaimana telah disebut di atas, “mendadak” dan, karena itu, subyeknya dalam derajat
tertentu bersifat pasif. Peran kontemplasi dalam pengetahuan ladunni, meski dalam
risalah ini dianggap sebagai syarat oleh al-Ghazali, tampaknya harus dipahami
sebagai sekunder saja dibandingkan dengan ar-riyadlah dan al-muraqabah.
Sampai di sini, barangkali sudah jelas bahwa ilham
merupakan suatu proses pengetahuan yang ilahiah. Akibatnya, pengetahuan ladunni
harus dianggap sama dengan pengetahuan kenabian (‘ilm nabawi), yakni
pengetahuan yang diwahyukan kepada para nabi, dalam hal keduanya sama-sama
bersifat ilahiah. Bedanya adalah pengetahuan kenabian merupakan emanasi (faydl)
cahaya dari Akal Universal (al-‘aql al-kulli), yang lebih “tinggi” dan
sempurna daripada Jiwa Universal, sehingga pengetahuan kenabian lebih tinggi
dari pengetahuan ladunni. Di samping itu, pengetahuan kenabian bersifat terang
(tashrih), sedang pengetahuan ladunni bersifat alusif atau isyarat. Di
sisi lain, pengetahuan kenabian khusus untuk para nabi, sedangkan pengetahuan
ladunni untuk para nabi dan juga untuk para wali. Terakhir, wahyu telah
berakhir dengan tertutupnya pintu kenabian, sedangkan pintu ilham masih terus
terbuka.
Dari paparan di atas, kita dapat melihat dua
“pelaku” dalam proses pengetahuan ladunni, Jiwa Universal dan manusia sebagai
subyek penerima. Dengan berusaha mendedahkan hakikat keduanya, kita akan dapat
menjawab pertanyaan kedua, yakni bagaimana pengetahuan ladunni mungkin dalam
sistem metafisika Islam. Kita akan mulai dengan yang terakhir.
Mengenai manusia sebagai subyek, al-Ghazali
menerima dualitas tubuh (jism) dan jiwa (nafs) dan, lalu,
mengafirmasi prioritas jiwa di atas tubuh. Dalam konsepsi al-Ghazali, tubuh
adalah materi gelap nan pejal, spasial, dan tunduk pada hukum kefanaan.
Sedangkan tentang jiwa, al-Ghazali, mengikuti Aristoteles, menyatakan bahwa jiwa manusia sebenarnya ada
tiga macam: jiwa alami (ruuh thabi’iy), jiwa hewani (ruuh hayawaaniy),
dan jiwa insani (ruuh al-insaaniy). Dua macam jiwa yang pertama
sebenarnya juga bagian dari tubuh dan bukan merupakan differentia spesifica manusia
dari tumbuhan dan hewan. Pembeda spesifiknya adalah jiwa insani yang bukan
materi dan bukan aksiden, melainkan “subtansi tunggal yang bercahaya, yang mengetahui,
yang adalah subyek, penggerak, dan penyempurna tubuh sebagai instrumen.” (241)
Jiwa insani ini, demikian al-Ghazali,
non-spasial. Ia tidak bertempat baik di dalam maupun di luar tubuh, tidak
bersambung maupun terpisah dari tubuh. Walau demikian, jiwa “membanjiri tubuh,
memberinya kegunaan, dan beremanasi padanya.” Di samping itu, tubuh merupakan
“alat” atau “kendaraan” jiwa. Karena asal-usulnya yang ilahi, jiwa bagai orang
asing di bumi tubuh. Wajahnya senantiasa menghadap Asal yang dari-Nya ia lahir,
dan kepada-Nya ia akan kembali.
Dalam konteks pengetahuan, lokus (mahall)
atau “papan” (lauh) di mana pengetahuan “tertulis” bukanlah tubuh,
karena ia terbatas, melainkan jiwa insani. “Selama perjalanan [hidup] ini, jiwa
selalu disibukkan dengan pencarian pengetahuan, sebab pengetahuan adalah
hiasannya nanti di akhirat.” (243). Dalam proses mengetahui, jiwa insani
menangkap bentuk segala apa yang dapat diketahui (shuwar al-ma’luwmaat)
dan hakikat pengada-pengada (haqaaiq al-mawjuwdaat).
Hanya saja, kesiapan jiwa insani untuk
memperoleh pengetahuan berbanding lurus dengan “kesucian”-nya yang primordial.
Faktanya, demikian al-Ghazali, sementara sebagian jiwa, yaitu jiwa para nabi,
di dunia ini tetaplah “sehat” dan “suci”, sebagian jiwa yang lain telah
tertimpa “penyakit” yang dapat menghalanginya untuk menangkap kebenaran. “Penyakit”
itu diakibatkan oleh “tenggelam”-nya jiwa dalam kubangan lumpur duniawi.
Tentang Jiwa Universal, sedikit sekali yang
al-Ghazali paparkan dalam risalah ini. Menurutnya, Jiwa Universal adalah nama
lain bagi Papan yang Terjaga (al-lauwh al-mahfuwdh), yang tak lain merupakan
salah satu dari Substansi-substansi Pertama yang Murni. Segala pengetahuan
telah “hadir” dalam substansi ini. Lebih jelas lagi, dalam Kitab tentang
Keajaiban-keajaiban Jiwa, al-Ghazali menulis bahwa segala kejadian dari
awal hingga akhir telah “ditulis” oleh Tuhan dalam satu naskah dari Papan yang
Terjaga sebelum kemudian “mengeluarkan”-nya menjadi wujud material yang dapat
kita ketahui secara inderawi dan, lalu, secara mental.[2]
Kaitan antara Jiwa Universal ini dengan jiwa
insani dalam konteks pengetahuan adalah bahwa jiwa insani dapat memperoleh
pengetahuan dari dua “pintu”: pintu yang terbuka langsung pada Jiwa Universal
dan pintu yang terbuka pada wujud material melalui panca indera. Melalui yang
terakhir ini, subyek-jiwa dapat memperoleh pengetahuan dengan cara, sebagaimana
di atas, kontemplasi rasional (at-tafakkur) atau, sebagaimana dalam Kitab
tentang Keajaiban-keajaiban Jiwa, berargumentasi (istidlaal).
Sementara itu, dalam hal usaha untuk
memperoleh pengetahuan ladunni, sejauh apa yang dapat diusahakan secara aktif
oleh subyek-jiwa adalah sebab tak langsungnya, yaitu mengembalikan jiwa pada
kesucian primordialnya melalui ar-riyadlah dan al-muraqabah. Sedangkan
peran subjek-jiwa dalam sebab langsungnya, yang tidak lain adalah ilham,
hanyalah menunggu dan menerima “keterbukaan” Jiwa Universal padanya.
Terakhir, kebijaksanaan (hikmah) yang
sejati hanya dapat diperoleh, menurut al-Ghazali, dari pengetahuan ladunni.
Seseorang tidak akan bisa menjadi orang bijak (hakiym) selama belum
sampai pada derajat pengetahuan ladunni. “Sebab hikmah”, demikian al-Ghazali, “
adalah pemberian Tuhan.”***
* Edisi ar-Risalah al-Ladunniyyah
yang saya pakai adalah edisi Majmu’at Rasaail al-Imam al-Ghazali (Kumpulan
Risalah Imam al-Ghazali), Kairo: Al Tawfikia Bookshop, tt, hlm. 239-253.
Meskipun di sampul depan ada jaminan “naskah telah diedit dan diperbaiki oleh
Kantor Penelitian dan Studi” dari penerbit, kami masih menemukan beberapa
kekeliruan yang cukup serius dalam naskah ini. Walau demikian, tanggungjawab
tulisan ini sepenuhnya adalah di pundak kami.
[1] Fushush al-Hikam, ed. Dr. Abu
al-‘Ala al-‘Afifi, Beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi, vol. I. hlm. 48.
[2] Ihya’ Ulumiddin, Semarang:
Karya Toha Putra, tt, vol. III, hlm. 19.
Ilmu Ludunny hanyalah karunia Ilahi yang tak mudah didapat kecuali dengan bertaqwa, bila ada orang yang tak bertaqwa dianggap mendapat ilmu ladunny,... itu hanyalah dugaan angan-angan ybs...
BalasHapus