Oleh:
Syaiful
Arif
Alumnus
Pesantren Ciganjur,
Peneliti
The Wahid Institute Jakarta
Penulis
sengaja ingin “membatasi diri” pada karakter dasar dari pemikiran demokrasi Gus
Dur. Pembatasan ini menurut penulis penting, karena banyak analisa atas
pemikirannya yang terpaku pada “kondisi pemungkin” dari karakter dasar itu
saja. Yang penulis sebut sebagai karakter dasar demokrasi Gus Dur adalah asumsi
dasar yang melandasi pemikirannya, sekaligus peran sosial yang dimainkan Gus
Dur yang pada awalnya berpijak pada peran intelektual organik. Sementara itu,
analisa “kondisi pemungkin” yang penulis maksud adalah analisa atas pemikiran
pluralisme atau hubungan antara agama dan negara, yang selama ini cenderung
hegemonik dalam pembincangan demokrasi Gus Dur.[1]
Dalam
kaitan ini, penulis menemukan fakta, bahwa diskursus demokrasi Gus Dur berada
di titik tegang, antara institusionalisme dan konstitusionalisme demokrasi. Di
satu sisi, Gus Dur melakukan kritik atas watak demokrasi (Orde Baru) yang
berkutat pada lembaga formal kenegaraan. Di sisi lain, Gus Dur menahbiskan
konstitusi sebagai mekanisme demokratis bagi pendampingan rakyat, ketika negara
melakukan penindasan konstitusional. Jadi, pemikiran Gus Dur berada di titik
tegang ini: melampaui institusi formal demokrasi, namun menjadikan konstitusi
sebagai solusi-transformatif atas kesewenangan negara, yang sering menggunakan
institusi-institusi demokrasi sebagai media represif anti-demokrasi. Ya, kita
tentu tak asing dengan statement Gus Dur, bahwa demokrasi Orde Baru adalah
“demokrasi seolah-olah”. Seolah-olah demokrasi karena adanya lembaga-lembaga
demokrasi, namun hakikatnya tidak demokratis karena kultur demokratis tidak
tergelar dalam sistem dan praktik politiknya.[2]
Gus
Dur mengkritik hal ini. Yakni, institusionalisme demokrasi, yang membatasi
praktik demokrasi hanya pada pendirian lembaga-lembaga demokrasi, seperti trias
politica dan pemilu. Adanya lembaga (formal) demokrasi ini, bagi Gus Dur,
belum mencukupi, karena Orde Baru saat itu telah memberangus kebebasan sipil
dan politik yang membuat rakyat tidak bebas berpikir, menyampaikan pendapat,
dan berserikat. Dengan pemberangusan demokratisasi sosial-politik, Orde Baru
bagi Gus Dur telah membonsai praktik demokrasi dalam lembaga negara. Hal ini
berbahaya karena keberadaan lembaga demokrasi itu kemudian diklaim oleh negara
sebagai penuntasan pelaksanaan demokrasi. Jadi risikonya, segenap kehendak
demokratis dari masyarakat yang menginginkan perluasan demokratisasi hak sipil
dan politik bahkan dianggap sebagai niatan yang anti-demokrasi. Demikianlah
Orde Baru juga hendak melarang berdirinya Forum Demokrasi, karena di sebuah
negara yang memiliki lembaga (formal) demokrasi, tidak dibutuhkan lagi adanya
forum-forum demokrasi.[3]
Dari
sini Gus Dur kemudian menawarkan konstitusi sebagai mekanisme demokratis yang
melindungi rakyat dari kesewenangan konstitusional negara. Artinya, setelah
mengkritik institusionalisme demokrasi, Gus Dur mendaulat konstitusi sebagai
media bagi radikalisasi prosedur demokrasi, yang oleh Orde Baru dibatasi hanya
pada tataran formal. Pada titik ini, Gus Dur telah menjadikan konstitusi
sebagai mekanisme demokratis yang melampaui institusi demokrasi, dalam hal ini trias
politica dan pemilu yang menjebak demokrasi dalam proseduralisme formal.
Tulisnya: Konstitusi pada hakikatnya mengatur tentang kekuasaan dan hubungan
kekuasaan di dalam negara, memberi batas tegas pada wewenang kekuasaan negara,
dan sekaligus meneguhkan hak-hak warga negaranya, berikut menjamin perlindungan
baginya. Kita ingin memberikan penekanan pada segi ini, yaitu bahwa konstitusi
justru diadakan untuk menjamin warganegara dari kemungkinan kesewenang-wenangan
kekuasaan negara. Ini didasarkan faham bahwa pemegang kekuasaan memang bisa
menyalahgunakan kekuasaan.
Cara
mendekati seperti ini, berlainan dengan kebiasaan yang melihat konstitusi
sebagai sumber pemberi kekuasaan pada negara, membuka kemungkinan untuk
memahami bahwa kekuasaan negara pun bisa bertindak ‘inkonstitusional’, yaitu
ketika ia bertindak melampaui batas kewenangan yang ditetapkan dalam
konstitusi. Sehingga suatu pelanggaran atau pengingkaran hak-hak warganegara,
bahkan sekadar penghambatannya oleh kekuasaan negara, baik melalui keputusan
pejabat ataupun peraturan perundang-undangan sekalipun, tidak lain adalah
perbuatan inkonstitusional. Tetapi soalnya, siapa atau badan apa yang akan
menilai konstitusionalitas suatu keputusan, kebijaksanaan atau peraturan?
Soal
yang pelik ini, yang selain bersifat legal juga terutama politis, tidak akan
dapat kita bahas pemecahannya sekarang. Hanya tentu kita dengan yakin dapat
mengatakan, bahwa termasuk dalam proses demokratisasi ialah usaha untuk
menegakkan peradilan yang bebas (independent judiciary), juga berwenang
mengadili gugatan pelanggaran hak konstitusi warga negara, dan menciptakan
suatu instansi penguji kesesuaian peraturan perundang-undangan dengan
konstitusi (judicial review), apakah itu Mahkamah Agung atau suatu mahkamah
konstitusi tersendiri.[4]
Pada
titik ini menarik kiranya, karena di tahun 1990-an itu, Gus Dur telah menggagas
perlunya mahkamah konstitusi. Satu mahkamah yang bisa menjadi pelindung bagi
rakyat dari penindasan konstitusional negara. Tentu ketika saat ini mimpi Gus
Dur itu menjadi nyata, karena Mahkamah Konstitusi (MK) kita memang memiliki
kewenangan pengujian UU terhadap UUD 1945. MK, selayak mimpi Gus Dur, telah
menjadi mahkamah banding konstitusi yang bisa membatalkan produk UU yang
bertentangan dengan UUD. Selayak mimpi Gus Dur pula, pengujian UU ini berpijak
dari landasan pemahaman bahwa konstitusi semestinyalah menjadi payung yuridis
yang membela rakyat dari kesewenangan konstitusional negara, sebab di dalam
UUD, hak dasar warga negaralah yang dibela.
Pada
titik ini, pemikiran demokrasi Gus Dur bisalah kita masukkan dalam gerbong
demokrasi substantif. Satu gerbong yang mengkritik keterjebakan prosedural
dalam demokrasi. Hanya saja dalam diskursus Gus Dur, bukan an sich
proseduralisme yang terkritik, melainkan institusionalisme, yakni keterjebakan
demokrasi hanya pada lembaga-lembaga formalnya.
Dari
sini Gus Dur kemudian menawarkan perlunya demokratisasi dari dua arah. Pertama,
tuntutan kepada negara agar mewujudkan praktik politik demokratis, berupa
pemenuhan hak sipil dan politik masyarakat. Tuntutan ini seperti termaktub di
atas, lahir dari pembacaan Gus Dur bahwa negara hanya berkutat pada praktik
institusional demokrasi, minus perwujudan demokrasi sebagai kultur pemerintahan
itu sendiri. Hal ini menjadi urgen sebab Gus Dur melihat terjadinya suatu
institusionalisme otoriter. Kenapa? Karena pembatasan demokrasi hanya pada
pendirian lembaga formal kenegaraan, telah dijadikan alibi bahwa negara telah
mewujudkan demokrasi, sehingga tuntutan demokrasi (substantif) dari rakyat
bahkan dianggap mengancam demokrasi.
Arah
kedua, demokratisasi melalui masyarakat sipil. Tidak hanya menuntut negara agar
mewujudkan demokratisasi pada ranah kultur pemerintahan, Gus Dur terlebih
menggerakkan demokratisasi melalui masyarakat sipil. Ini yang membuatnya tak
begitu tertarik dengan perdebatan teoretis dalam internal teori demokrasi. Bagi
Gus Dur, perdebatan yang mempertanyakan kandungan ideologis dalam teori
demokrasi tidak begitu diperlukan, di tengah sistem politik yang otoriter. Maka
yang diperlukan bukanlah mempertanyakan “keabsahan teoretis” demokrasi,
melainkan menggerakkan demokratisasi agar nilai-nilai demokrasi bisa terwujud
dalam masyarakat.
Dari
sini menjadi mafhum bahwa yang diperjuangkan Gus Dur (era Orde Baru) adalah
demokrasi politik dengan tuntutan bagi terpenuhinya kebebasan negatif. Yakni,
satu kebebasan dari struktur politik menindas, yang menghambat warga negara
untuk mendapatkan hak sipil (hak berekspresi, berpendapat, dan mengkritik
pemerintah) dan hak politik (partisipasi politik tanpa pembatasan, kebebasan
berserikat dan berideologi). Segenap hak sipil dan politik ini tidak dipenuhi
Orde Baru, karena ia telah membonsai partai hanya menjadi tiga partai (Golkar,
PDI, PPP) dengan pendaulatan Golkar sebagai partai yang pasti menang setiap
pemilu, serta penahbisan Pancasila sebagai satu-satunya asas politik yang sah, melikuidasi
paham politik Islamis dan Marxis.
Memang
pada satu titik, Gus Dur juga menggagas perlunya struktur ekonomi berkeadilan.
Namun gagasan ini tidak dalam domain kritiknya atas demokrasi politik
perspektif demokrasi sosial. Gagasan ekonomi berkeadilan, Gus Dur tembakkan
pada sifat pembangunan ekonomi yang hanya berorientasi pada pertumbuhan, bukan
pemerataan. Artinya, pemikiran demokrasi Gus Dur masih terkonstruksi pada
demokrasi politik perspektif kebebasan negatif. Satu model demokrasi yang menempatkan
praktik demokratis pada wilayah politik, dengan tuntutan terpenuhinya kebebasan
negatif. Gus Dur pada titik ini tidak menggagas perluasan demokrasi sosial
melalui pemenuhan kebebasan positif. Dalam terang gagasan ini, demokrasi bukan
hanya urusan pemerintahan demokratis, melainkan pula struktur ekonomi
demokratis. Sebab selain kebebasan negatif, manusia juga memiliki tuntutan
kebebasan positif yang bisa memenuhi haknya atas keterbukaan akses
sosial-ekonomi sehingga masyarakat berada dalam struktur sosial berkeadilan.[5] Sifat
pemikiran demokrasi Gus Dur yang masih berada dalam domain demokrasi politik
via kebebasan negatif ini bisa dipahami, sebab Gus Dur hidup dalam cengkeraman
otoritarianisme Orde Baru, yang melindas model demokrasi politik tersebut.
Hanya
saja membatasi pemikiran (politik) Gus Dur dalam demokrasi politik juga tak
masuk akal, sebab Gus Dur sejak awal kritis terhadap pembangunanisme. Artinya,
perhatian Gus Dur tidak hanya pada terpasungnya kebebasan politik yang membuat
rakyat tak bisa berpartisipasi secara demokratis. Perhatian Gus Dur juga
tertuju pada watak pembangunan yang mewujudkan ketidakadilan struktural.[6] Pada
titik ini, Gus Dur juga seorang pemikir yang menjadikan persoalan
ekonomi-politik sebagai persoalan problematik, di samping pemberangusan
kebebasan politik yang menjadi karakter dari demokrasi politik.
Dalam
kritiknya atas pembangunan yang timpang inilah kita menemukan sifat dasar
pemikiran Gus Dur yang kritis-transformatif. Hal ini terlihat misalnya dalam
gagasan Islam sebagai etika sosial. Gus Dur, melampaui Cak Nur yang hendak
memperbarui (rasionalisasi) Islam, lebih mengarahkan pemikiran Islam sebagai
kritik etis atas ketimpangan sosial. Hal ini Gus Dur landaskan pada hilangnya
“keprihatinan sosial” dalam pemikiran umat Islam. Padahal “yang sosial” ini
secara implisit telah terdapat pada perintah zakat dalam rukun Islam. Hanya saja,
baik rukun Islam maupun rukun iman, cenderung terjebak dalam nuansa
individualis, yakni an sich hubungan manusia dan Tuhan. Pada titik
inilah Gus Dur menggagas perlunya “rukun sosial” untuk menjembatani rukun iman
dan rukun Islam, agar keprihatinan dan orientasi sosial bisa menjadi landasan
teologis dalam keberislaman.[7]
Arah
kritik-etis ini pun terbaca dalam jantung pemikiran kebudayaan Gus Dur yang
menjadikan terma kehidupan sosial manusiawi (human social life) sebagai
batas-definitif dari kebudayaan.[8]
Artinya, kebudayaan bagi Gus Dur adalah usaha manusia untuk mewujudkan
masyarakat yang secara sosial bersifat manusiawi. Sifat manusiawi menjadi
landasan etis sekaligus orientasi utama dari kemasyarakatan itu sendiri.
Dari
sini menjadi mafhum kenapa Gus Dur menggunakan kaidah fiqh tasharruf al-imam
ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah sebagai landasan etis dari
kepemimpinan, karena Gus Dur memang tidak menjadikan negara, politik, dan
kepemimpinan sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri. Ia menempatkan semua itu
sebagai alat bagi kesejahteraan manusia.[9]
Inilah yang ia sebut human social life itu, karena tujuan politik adalah
penciptaan kehidupan sosial manusiawi. Ini yang membuatnya menjadikan Islam
sebagai etika sosial, karena Islam mestilah bereaksi atas ketimpangan sosial
yang membuat kehidupan sosial manusiawi terhambat.
Pada
titik ini kita pun menjadi mafhum, kenapa Gus Dur mengkritik institusionalisme
demokrasi dan menawarkan gerakan demokratisasi melalui masyarakat sipil.
Jawabnya sederhana. Karena praktik demokrasi yang terbatas dalam lembaga
formalnya, tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Yang terjadi
sebaliknya, memberangus aspirasi rakyat atas nama lembaga-lembaga demokrasi.
Jika demikian, maka rakyat tidak berdaulat lagi, dan kesejahteraan sosial
semakin menjauh, karena kebebasan politik tidak terwadahi. Ini yang membuat Gus
Dur memilih demokratisasi sebagai model demokrasinya, karena yang terpenting
bagi cita kesejahteraan rakyat bukanlah pendirian lembaga-lembaga demokrasi,
tetapi sejauh mana lembaga tersebut akomodatif dengan kebaikan bersama yang
menjadi harapan rakyat. Hal ini pula yang membuat Gus Dur mendaulat konstitusi
sebagai pembela rakyat dari penindasan konstitusional negara, karena di dalam
konstitusi (UUD), hak warga negara telah dijamin. Persoalannya kemudian adalah
bagaimana menggerakkan konstitusi itu agar mampu mengkritisi ketidakadilan
struktural yang diciptakan negara. Gus Dur dengan sangat intuitif di tahun 1992
itu, telah menggagas perlunya Mahkamah Konstitusi.
Pada
titik inilah karakter dasar dari pemikiran Gus Dur bisalah diwakili oleh terma
demokratisasi konstitusional. Artinya demokrasi ala Gus Dur bukanlah demokrasi
dalam lembaga dan prosedur formalnya. Demokrasi ala Gus Dur adalah proses
demokratisasi, sebagai kritik atas keterjebakan formalis dari institusi
demokrasi. Proses demokratisasi ini berjalan dua arah. Satu sisi sebagai usaha
perealisasian nilai-nilai demokratis dalam institusi demokrasi. Artinya, Gus
Dur telah melakukan tuntutan terhadap negara agar mewujudkan nilai-nilai
demokratis melalui lembaga formal demokrasi. Tentu hal serupa juga dilakukan
ketika menjabat presiden. Gus Dur saat itu telah menggerakkan demokratisasi
“dari dalam” negara, melalui pembubaran institusi politik yang menghambat
demokrasi, dan menciptakan aturan yang memuluskan nilai-nilai demokrasi.
Sementara sisi lain, Gus Dur menggerakkan demokratisasi melalui masyarakat
sipil, dalam hal ini melalui NU, Fordem, dan kapasitasnya sebagai intelektual.
Yang dilakukan Gus Dur dalam ranah sipil ini adalah pengembangan wacana
demokrasi substantif, sebagai kritik atas “demokrasi seolah-olah” Orde Baru
yang terjebak dalam demokrasi-institusional-otoriter.
Hanya
saja, segenap gerakan demokratisasi baik dari dalam maupun dari luar negara
ini, Gus Dur pijakkan pada konstitusi. Artinya, konstitusi menjadi pijakan
normatif kenegaraan, karena melaluinya, hak warga negara dan hak manusia
terjamin. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa negara memanglah alat untuk
mewujudkan kesejahteraan manusia yang dijamin dalam konstitusi. Hal sama juga
terjadi pada alasan strategis Gus Dur yang menempatkan konstitusi sebagai
“kritikus internal” negara itu sendiri. Jadi, karena negara dibentuk oleh
konstitusi, sementara konstitusi adalah penjamin normatif-institusional atas
hak asasi manusia, maka melalui konstitusi, “negara telah mengkritik dirinya
sendiri”. Persis seperti Habermas yang mendaulat hukum sebagai “sabuk
penyambung” keterpisahan sistem dan dunia-kehidupan. Gus Dur melalui pemahaman
atas konstitusi sebagai pelindung rakyat, telah menjadikan konstitusi sebagai
media konstitusional bagi gerakan demokratisasi masyarakat sipil.
Dalam
perkembangannya, demokrasi dalam artian demokratisasi konstitusional ini Gus
Dur gerakkan ketika menjadi presiden. Berbagai gagasan seperti penghapusan TAP
MPRS No XXV/1966 tentang pelarangan Marxisme-Leninisme, penghapusan dwifungsi
TNI, supremasi sipil atas militer, pembubaran Departemen Penerangan, adalah
segenap usaha Gus Dur untuk menggerakkan demokratisasi via internal negara. Hal
ini terlihat dari kritiknya atas berbagai lembaga dan aturan yang menghambat
kebebasan sipil dan politik, seperti kebebasan berpikir dan partisipasi politik
anak cucu PKI dalam kasus penghapusan TAP MPRS No XXV/1966, pembubaran Deppen
demi kebebasan pers, supremasi sipil atas militer, pengakuan Konghucu sebagai
agama resmi, dan sebagainya. Bagi Gus Dur, segenap lembaga negara yang
menghambat proses demokratisasi perlu dibubarkan. Satu paradigma yang berbeda
dengan Orde Baru yang menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai alibi bagi
terlaksananya demokrasi qua negara, dan oleh karenanya segenap usaha
masyarakat sipil dalam gerakan demokratisasi adalah subversif.
Kelemahan
Teoretis
Sayangnya,
pada satu titik ada kelemahan mendasar dalam pemikiran Gus Dur, yakni
keengganannya dalam kritik teoretis demokrasi itu sendiri.[10] Pilihan
ini Gus Dur lakukan karena baginya yang paling penting adalah demokratisasi,
bukan perdebatan teoretis demokrasi. Pilihan ini bisa kita pahami dalam konteks
posisi awal Gus Dur sebagai intelektual organik yang berada dalam rezim tiran
Orde Baru. Demokratisasi merupakan pilihan mendasar, karena yang paling penting
memanglah menggerakkan demokratisasi, sebab segenap lembaga dan prosedur
demokrasi formal telah dikooptasi oleh negara.
Namun
“keengganan teoretis” ini membuat Gus Dur terjebak dalam satu model demokrasi
saja, yakni demokrasi perwakilan yang menjadikan partai sebagai agen utama
partisipasi politik. Gus Dur tidak mencari kemungkinan format demokrasi
alternatif,[11]
misalnya penggantian sistem pemilu mekanik menjadi organik. Satu penggantian
yang membuat agen pemilu tak hanya partai, melainkan kelompok masyarakat.
Secara taken for granted, Gus Dur telah menerima kenyataan prosedural
bahwa secara konstitusional, alat partisipasi politik kita adalah partai. Hal
inilah yang membuatnya tetap keukeuh berada di PKB hingga akhir hayat.[12]
Hal
ini bermasalah, sebab dalam kacamata demokrasi deliberatif misalnya, partai
terbukti kurang efektif dalam memainkan peran perwakilanismenya. Demokrasi
deliberatif kemudian menggagas perluasan partisipasi politik, dari an sich
parlemen, menjadi gerakan kontrol publik terhadap kebijakan negara. Gus Dur,
karena enggan menanyakan ulang bangunan teoretis demokrasi perwakilan, akhirnya
menyetujui sistem perwakilan berbasis partai sebagai mekanisme utama dalam
demokrasi. Hal ini cenderung kontradiktif dengan pemikiran dan gerakan
demokrasinya pada era Orde Baru yang menempatkannya sebagai pemimpin masyarakat
sipil, dan menggerakkan demokratisasi dari luar negara. Seandainya Gus Dur
melakukan pemikiran-ulang (teori) demokrasi, maka Gus Dur pasca-lengser
kepresidenan tidak akan berjibaku dengan politik praktis yang menyempitkan
gerakan demokrasinya dalam demokrasi formal (partai), bukan demokrasi
substansial melalui gerakan masyarakat sipil.***
Artikel Terkait
- Salam Redaksi
- Riset Redaksi
- Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
- Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
- Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
- Demokrasi Deliberatif
- Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
- Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
- Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
- Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
- Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
- Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
- Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
- Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)
* Tulisan ini
adalah makalah untuk diskusi Epistemologi Gus Dur: “Demokrasi dalam Pemikiran
Gus Dur: Tatapan Teori Politik”, The Wahid Institute, 27 Mei 2011. Dimuat di
sini dengan izin penulis.
** Penulis buku Gus
Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual (Koekoesan,
2009), peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D).
[1] Pada titik ini, Gus Dur memang pejuang
pluralisme sebagai bagian dari perjuangan demokrasi. Artinya, demokrasi yang
mensyaratkan tergeraknya politik kewargaan melampaui sekat agama dan kelompok,
telah menjadi perjuangan demokrasi Gus Dur. Jadi membincang pluralisme Gus Dur
menjadi penting dalam konteks politik kewargaan. Demokrasi pastilah
mensyaratkan pluralisme agama, karena dengannya, masyarakat warga yang
berkumpul untuk merumuskan kebaikan bersama (res publica) bisa terwujud.
Terkumpulnya masyarakat warga dalam terang res publica tidak akan
terwujud, jika ia masih disekat dalam benturan keagamaan. Sementara itu,
hubungan agama dan negara yang oleh Gus Dur ditempatkan secara substansial
(bukan formal), menjadi prasyarat bagi demokrasi. Kenapa? Karena dalam
demokrasi, nilai primordial seperti agama haruslah diletakkan dalam kerangka
konsensus rasional. Hal ini tidak akan terjadi jika agama disatukan secara
formal, menjadi negara. Hanya saja, wacana pluralisme dan hubungan agama-negara
menjadi “kondisi pemungkin” bagi sifat dasar pemikiran demokrasi Gus Dur yang
telah memperjuangan demokrasi substantif-konstitusional. Dalam terang akar
pemikiran ini, perjuangan demokrasi Gus Dur mengena pada jantung keberpihakannya,
yakni perwujudan kehidupan sosial manusiawi. Pluralisme agama dan hubungan
substantif Islam-negara menjadi conditio sine qua non bagi cita
humanisasi tersebut.
[3] Hal ini diungkapkan khususnya oleh militer. Lihat
pernyataan Kapuspen ABRI era Orde Baru, Brigadir Jenderal Nurhadi, dalam “Suara-Suara
di Tengah Forum”, Tempo, 13 April 1991.
[4] Abdurrahman Wahid, Forum
Demokrasi: Sebuah Pertanggungjawaban, makalah Ketua Pokja Forum Demokrasi,
1992, h. 3-5.
[6] Lihat Abdurrahman Wahid, Development by Developing
Ourselves, makalah diskusi The Study Days on ASEAN Development Processes,
Malaysia, 22-25 November 1979.
[7] Abdurrahman Wahid, “Islam dan
Titik Tolak Etik”, Kompas, 13 Agustus 1987. Lihat juga Abdurrahman Wahid, “Fiqh
dan Etika Sosial Kita”, Kompas, 14 Agustus 1987.
[8] Abdurrahman Wahid, “Negara dan Kebudayaan”, dalam
Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Depok: Desantara, 2001), h. 4.
[10] Keengganan “pikir-ulang teoretis”
demokrasi ini pula yang membuat Gus Dur tidak sepakat dengan Negara Islam.
Kenapa? Karena agenda Negara Islam berangkat dari kecurigaan ideologis atas
demokrasi yang berasal dari Barat dan oleh karenanya berbahaya bagi Islam sebab
telah melahirkan negara sekular. Bagi Gus Dur, persoalan bernegara bukanlah
persoalan perdebatan ideologis atas landasan dan bangunan negara. Melampaui hal
itu, yang terpenting adalah penciptaan pemerintahan demokratis. Jadi
pertarungan teoretis dalam benturan ideologi politik akan melupakan kebutuhan
faktual dalam politik yakni pemerintahan demokratis. Gus Dur secara eksplisit
bahkan menyamakan cita Negara Islam dengan negara fasis dan komunis yang
melandaskan pemerintahan pada landasan ideologis. Bukan usaha perwujudan
pemerintahan demokratis. Lihat Abdurrahman Wahid, Masih Relevankah Teori
Kenegaraan Islam? Makalah Diskusi Konsep Negara Islam, FH-UII, Yogyakarta,
7-02-1988, h. 4.
[11] Kemungkinan alternatif teori
demokrasi inilah yang melahirkan model-model demokrasi yang saling mengkritisi.
Demokrasi liberal dikritik oleh demokrasi Marxian karena keterjebakannya pada
individualisme dan melupakan atau bahkan menimpangkan sosialitas. Demokrasi
perwakilan telah melahirkan kritik dari republikanisme yang meluaskan partisipasi
tidak hanya dalam parlemen, tetapi reaktivasi ruang publik. Namun demokrasi
Marxian yang mencitakan masyarakat adil secara holistik juga dikritik oleh
demokrasi pluralis yang mengajak kita untuk menghentikan mimpi tentang
masyarakat ideal, untuk kemudian mengamini saja realitas politik yang berisi
pluralitas kekuatan politik. Ada banyak pemikiran politik yang mempertanyakan
ulang demokrasi perwakilan yang akhirnya mengajak kita untuk merumuskan ulang
“yang politik” (the political) dalam situasi pragmatis yang membuat
politik hanya sebagai ajang perebutan “kue kekuasaan”. Pluralitas teori
demokrasi yang saling mengkritisi ini yang tidak dilihat Gus Dur, sehingga ia
mengamini satu demokrasi, yakni demokrasi perwakilan berbasis partai. Untuk
perdebatan teoretis demokrasi, lihat David Held, Models of Democracy, (Jakarta:
Akbar Tandjung Institute, 2006), Frank Cunningham, Theories of Democracy: A
Critical Introduction, (London and New York: Routledge, 2002), Claude
Lefort, Democracy and Political Theory, (Polity Press, 1988) dan Kembalinya
Politik: Pemikiran Politik Kontemporer, P2D, (Tangerang: Marjin Kiri, 2008).
[12] Gus Dur menyatakan bahwa karena
media partisipasi demokrasi yang disahkan konstitusi adalah partai, maka ia tak
bisa keluar dari PKB. Ungkapan ini dinyatakan sebagai permintaan maaf kepada
sejawatnya yang dulu bersama aktif di Fordem, yang menghendaki agar Gus Dur
keluar dari partai, dan kembali kepada gerakan sipil. Pertemuan antara Gus Dur
dan sejawat Fordem-nya diadakan di rumah Bondan Gunawan dalam rangka ulang
tahun Gus Dur yang ke-69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar