Kamis, 16 Januari 2014

Demokratisasi Konstitusional: Gus Dur tentang Demokrasi

Oleh: 
Syaiful Arif
Alumnus Pesantren Ciganjur,
Peneliti The Wahid Institute Jakarta

Penulis sengaja ingin “membatasi diri” pada karakter dasar dari pemikiran demokrasi Gus Dur. Pembatasan ini menurut penulis penting, karena banyak analisa atas pemikirannya yang terpaku pada “kondisi pemungkin” dari karakter dasar itu saja. Yang penulis sebut sebagai karakter dasar demokrasi Gus Dur adalah asumsi dasar yang melandasi pemikirannya, sekaligus peran sosial yang dimainkan Gus Dur yang pada awalnya berpijak pada peran intelektual organik. Sementara itu, analisa “kondisi pemungkin” yang penulis maksud adalah analisa atas pemikiran pluralisme atau hubungan antara agama dan negara, yang selama ini cenderung hegemonik dalam pembincangan demokrasi Gus Dur.[1]

Dalam kaitan ini, penulis menemukan fakta, bahwa diskursus demokrasi Gus Dur berada di titik tegang, antara institusionalisme dan konstitusionalisme demokrasi. Di satu sisi, Gus Dur melakukan kritik atas watak demokrasi (Orde Baru) yang berkutat pada lembaga formal kenegaraan. Di sisi lain, Gus Dur menahbiskan konstitusi sebagai mekanisme demokratis bagi pendampingan rakyat, ketika negara melakukan penindasan konstitusional. Jadi, pemikiran Gus Dur berada di titik tegang ini: melampaui institusi formal demokrasi, namun menjadikan konstitusi sebagai solusi-transformatif atas kesewenangan negara, yang sering menggunakan institusi-institusi demokrasi sebagai media represif anti-demokrasi. Ya, kita tentu tak asing dengan statement Gus Dur, bahwa demokrasi Orde Baru adalah “demokrasi seolah-olah”. Seolah-olah demokrasi karena adanya lembaga-lembaga demokrasi, namun hakikatnya tidak demokratis karena kultur demokratis tidak tergelar dalam sistem dan praktik politiknya.[2]

Gus Dur mengkritik hal ini. Yakni, institusionalisme demokrasi, yang membatasi praktik demokrasi hanya pada pendirian lembaga-lembaga demokrasi, seperti trias politica dan pemilu. Adanya lembaga (formal) demokrasi ini, bagi Gus Dur, belum mencukupi, karena Orde Baru saat itu telah memberangus kebebasan sipil dan politik yang membuat rakyat tidak bebas berpikir, menyampaikan pendapat, dan berserikat. Dengan pemberangusan demokratisasi sosial-politik, Orde Baru bagi Gus Dur telah membonsai praktik demokrasi dalam lembaga negara. Hal ini berbahaya karena keberadaan lembaga demokrasi itu kemudian diklaim oleh negara sebagai penuntasan pelaksanaan demokrasi. Jadi risikonya, segenap kehendak demokratis dari masyarakat yang menginginkan perluasan demokratisasi hak sipil dan politik bahkan dianggap sebagai niatan yang anti-demokrasi. Demikianlah Orde Baru juga hendak melarang berdirinya Forum Demokrasi, karena di sebuah negara yang memiliki lembaga (formal) demokrasi, tidak dibutuhkan lagi adanya forum-forum demokrasi.[3]

Dari sini Gus Dur kemudian menawarkan konstitusi sebagai mekanisme demokratis yang melindungi rakyat dari kesewenangan konstitusional negara. Artinya, setelah mengkritik institusionalisme demokrasi, Gus Dur mendaulat konstitusi sebagai media bagi radikalisasi prosedur demokrasi, yang oleh Orde Baru dibatasi hanya pada tataran formal. Pada titik ini, Gus Dur telah menjadikan konstitusi sebagai mekanisme demokratis yang melampaui institusi demokrasi, dalam hal ini trias politica dan pemilu yang menjebak demokrasi dalam proseduralisme formal. Tulisnya: Konstitusi pada hakikatnya mengatur tentang kekuasaan dan hubungan kekuasaan di dalam negara, memberi batas tegas pada wewenang kekuasaan negara, dan sekaligus meneguhkan hak-hak warga negaranya, berikut menjamin perlindungan baginya. Kita ingin memberikan penekanan pada segi ini, yaitu bahwa konstitusi justru diadakan untuk menjamin warganegara dari kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan negara. Ini didasarkan faham bahwa pemegang kekuasaan memang bisa menyalahgunakan kekuasaan.

Cara mendekati seperti ini, berlainan dengan kebiasaan yang melihat konstitusi sebagai sumber pemberi kekuasaan pada negara, membuka kemungkinan untuk memahami bahwa kekuasaan negara pun bisa bertindak ‘inkonstitusional’, yaitu ketika ia bertindak melampaui batas kewenangan yang ditetapkan dalam konstitusi. Sehingga suatu pelanggaran atau pengingkaran hak-hak warganegara, bahkan sekadar penghambatannya oleh kekuasaan negara, baik melalui keputusan pejabat ataupun peraturan perundang-undangan sekalipun, tidak lain adalah perbuatan inkonstitusional. Tetapi soalnya, siapa atau badan apa yang akan menilai konstitusionalitas suatu keputusan, kebijaksanaan atau peraturan?

Soal yang pelik ini, yang selain bersifat legal juga terutama politis, tidak akan dapat kita bahas pemecahannya sekarang. Hanya tentu kita dengan yakin dapat mengatakan, bahwa termasuk dalam proses demokratisasi ialah usaha untuk menegakkan peradilan yang bebas (independent judiciary), juga berwenang mengadili gugatan pelanggaran hak konstitusi warga negara, dan menciptakan suatu instansi penguji kesesuaian peraturan perundang-undangan dengan konstitusi (judicial review), apakah itu Mahkamah Agung atau suatu mahkamah konstitusi tersendiri.[4]

Pada titik ini menarik kiranya, karena di tahun 1990-an itu, Gus Dur telah menggagas perlunya mahkamah konstitusi. Satu mahkamah yang bisa menjadi pelindung bagi rakyat dari penindasan konstitusional negara. Tentu ketika saat ini mimpi Gus Dur itu menjadi nyata, karena Mahkamah Konstitusi (MK) kita memang memiliki kewenangan pengujian UU terhadap UUD 1945. MK, selayak mimpi Gus Dur, telah menjadi mahkamah banding konstitusi yang bisa membatalkan produk UU yang bertentangan dengan UUD. Selayak mimpi Gus Dur pula, pengujian UU ini berpijak dari landasan pemahaman bahwa konstitusi semestinyalah menjadi payung yuridis yang membela rakyat dari kesewenangan konstitusional negara, sebab di dalam UUD, hak dasar warga negaralah yang dibela.

Pada titik ini, pemikiran demokrasi Gus Dur bisalah kita masukkan dalam gerbong demokrasi substantif. Satu gerbong yang mengkritik keterjebakan prosedural dalam demokrasi. Hanya saja dalam diskursus Gus Dur, bukan an sich proseduralisme yang terkritik, melainkan institusionalisme, yakni keterjebakan demokrasi hanya pada lembaga-lembaga formalnya.

Dari sini Gus Dur kemudian menawarkan perlunya demokratisasi dari dua arah. Pertama, tuntutan kepada negara agar mewujudkan praktik politik demokratis, berupa pemenuhan hak sipil dan politik masyarakat. Tuntutan ini seperti termaktub di atas, lahir dari pembacaan Gus Dur bahwa negara hanya berkutat pada praktik institusional demokrasi, minus perwujudan demokrasi sebagai kultur pemerintahan itu sendiri. Hal ini menjadi urgen sebab Gus Dur melihat terjadinya suatu institusionalisme otoriter. Kenapa? Karena pembatasan demokrasi hanya pada pendirian lembaga formal kenegaraan, telah dijadikan alibi bahwa negara telah mewujudkan demokrasi, sehingga tuntutan demokrasi (substantif) dari rakyat bahkan dianggap mengancam demokrasi.

Arah kedua, demokratisasi melalui masyarakat sipil. Tidak hanya menuntut negara agar mewujudkan demokratisasi pada ranah kultur pemerintahan, Gus Dur terlebih menggerakkan demokratisasi melalui masyarakat sipil. Ini yang membuatnya tak begitu tertarik dengan perdebatan teoretis dalam internal teori demokrasi. Bagi Gus Dur, perdebatan yang mempertanyakan kandungan ideologis dalam teori demokrasi tidak begitu diperlukan, di tengah sistem politik yang otoriter. Maka yang diperlukan bukanlah mempertanyakan “keabsahan teoretis” demokrasi, melainkan menggerakkan demokratisasi agar nilai-nilai demokrasi bisa terwujud dalam masyarakat.

Dari sini menjadi mafhum bahwa yang diperjuangkan Gus Dur (era Orde Baru) adalah demokrasi politik dengan tuntutan bagi terpenuhinya kebebasan negatif. Yakni, satu kebebasan dari struktur politik menindas, yang menghambat warga negara untuk mendapatkan hak sipil (hak berekspresi, berpendapat, dan mengkritik pemerintah) dan hak politik (partisipasi politik tanpa pembatasan, kebebasan berserikat dan berideologi). Segenap hak sipil dan politik ini tidak dipenuhi Orde Baru, karena ia telah membonsai partai hanya menjadi tiga partai (Golkar, PDI, PPP) dengan pendaulatan Golkar sebagai partai yang pasti menang setiap pemilu, serta penahbisan Pancasila sebagai satu-satunya asas politik yang sah, melikuidasi paham politik Islamis dan Marxis.

Memang pada satu titik, Gus Dur juga menggagas perlunya struktur ekonomi berkeadilan. Namun gagasan ini tidak dalam domain kritiknya atas demokrasi politik perspektif demokrasi sosial. Gagasan ekonomi berkeadilan, Gus Dur tembakkan pada sifat pembangunan ekonomi yang hanya berorientasi pada pertumbuhan, bukan pemerataan. Artinya, pemikiran demokrasi Gus Dur masih terkonstruksi pada demokrasi politik perspektif kebebasan negatif. Satu model demokrasi yang menempatkan praktik demokratis pada wilayah politik, dengan tuntutan terpenuhinya kebebasan negatif. Gus Dur pada titik ini tidak menggagas perluasan demokrasi sosial melalui pemenuhan kebebasan positif. Dalam terang gagasan ini, demokrasi bukan hanya urusan pemerintahan demokratis, melainkan pula struktur ekonomi demokratis. Sebab selain kebebasan negatif, manusia juga memiliki tuntutan kebebasan positif yang bisa memenuhi haknya atas keterbukaan akses sosial-ekonomi sehingga masyarakat berada dalam struktur sosial berkeadilan.[5] Sifat pemikiran demokrasi Gus Dur yang masih berada dalam domain demokrasi politik via kebebasan negatif ini bisa dipahami, sebab Gus Dur hidup dalam cengkeraman otoritarianisme Orde Baru, yang melindas model demokrasi politik tersebut.

Hanya saja membatasi pemikiran (politik) Gus Dur dalam demokrasi politik juga tak masuk akal, sebab Gus Dur sejak awal kritis terhadap pembangunanisme. Artinya, perhatian Gus Dur tidak hanya pada terpasungnya kebebasan politik yang membuat rakyat tak bisa berpartisipasi secara demokratis. Perhatian Gus Dur juga tertuju pada watak pembangunan yang mewujudkan ketidakadilan struktural.[6] Pada titik ini, Gus Dur juga seorang pemikir yang menjadikan persoalan ekonomi-politik sebagai persoalan problematik, di samping pemberangusan kebebasan politik yang menjadi karakter dari demokrasi politik.

Dalam kritiknya atas pembangunan yang timpang inilah kita menemukan sifat dasar pemikiran Gus Dur yang kritis-transformatif. Hal ini terlihat misalnya dalam gagasan Islam sebagai etika sosial. Gus Dur, melampaui Cak Nur yang hendak memperbarui (rasionalisasi) Islam, lebih mengarahkan pemikiran Islam sebagai kritik etis atas ketimpangan sosial. Hal ini Gus Dur landaskan pada hilangnya “keprihatinan sosial” dalam pemikiran umat Islam. Padahal “yang sosial” ini secara implisit telah terdapat pada perintah zakat dalam rukun Islam. Hanya saja, baik rukun Islam maupun rukun iman, cenderung terjebak dalam nuansa individualis, yakni an sich hubungan manusia dan Tuhan. Pada titik inilah Gus Dur menggagas perlunya “rukun sosial” untuk menjembatani rukun iman dan rukun Islam, agar keprihatinan dan orientasi sosial bisa menjadi landasan teologis dalam keberislaman.[7]

Arah kritik-etis ini pun terbaca dalam jantung pemikiran kebudayaan Gus Dur yang menjadikan terma kehidupan sosial manusiawi (human social life) sebagai batas-definitif dari kebudayaan.[8] Artinya, kebudayaan bagi Gus Dur adalah usaha manusia untuk mewujudkan masyarakat yang secara sosial bersifat manusiawi. Sifat manusiawi menjadi landasan etis sekaligus orientasi utama dari kemasyarakatan itu sendiri.

Dari sini menjadi mafhum kenapa Gus Dur menggunakan kaidah fiqh tasharruf al-imam ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah sebagai landasan etis dari kepemimpinan, karena Gus Dur memang tidak menjadikan negara, politik, dan kepemimpinan sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri. Ia menempatkan semua itu sebagai alat bagi kesejahteraan manusia.[9] Inilah yang ia sebut human social life itu, karena tujuan politik adalah penciptaan kehidupan sosial manusiawi. Ini yang membuatnya menjadikan Islam sebagai etika sosial, karena Islam mestilah bereaksi atas ketimpangan sosial yang membuat kehidupan sosial manusiawi terhambat.

Pada titik ini kita pun menjadi mafhum, kenapa Gus Dur mengkritik institusionalisme demokrasi dan menawarkan gerakan demokratisasi melalui masyarakat sipil. Jawabnya sederhana. Karena praktik demokrasi yang terbatas dalam lembaga formalnya, tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Yang terjadi sebaliknya, memberangus aspirasi rakyat atas nama lembaga-lembaga demokrasi. Jika demikian, maka rakyat tidak berdaulat lagi, dan kesejahteraan sosial semakin menjauh, karena kebebasan politik tidak terwadahi. Ini yang membuat Gus Dur memilih demokratisasi sebagai model demokrasinya, karena yang terpenting bagi cita kesejahteraan rakyat bukanlah pendirian lembaga-lembaga demokrasi, tetapi sejauh mana lembaga tersebut akomodatif dengan kebaikan bersama yang menjadi harapan rakyat. Hal ini pula yang membuat Gus Dur mendaulat konstitusi sebagai pembela rakyat dari penindasan konstitusional negara, karena di dalam konstitusi (UUD), hak warga negara telah dijamin. Persoalannya kemudian adalah bagaimana menggerakkan konstitusi itu agar mampu mengkritisi ketidakadilan struktural yang diciptakan negara. Gus Dur dengan sangat intuitif di tahun 1992 itu, telah menggagas perlunya Mahkamah Konstitusi.

Pada titik inilah karakter dasar dari pemikiran Gus Dur bisalah diwakili oleh terma demokratisasi konstitusional. Artinya demokrasi ala Gus Dur bukanlah demokrasi dalam lembaga dan prosedur formalnya. Demokrasi ala Gus Dur adalah proses demokratisasi, sebagai kritik atas keterjebakan formalis dari institusi demokrasi. Proses demokratisasi ini berjalan dua arah. Satu sisi sebagai usaha perealisasian nilai-nilai demokratis dalam institusi demokrasi. Artinya, Gus Dur telah melakukan tuntutan terhadap negara agar mewujudkan nilai-nilai demokratis melalui lembaga formal demokrasi. Tentu hal serupa juga dilakukan ketika menjabat presiden. Gus Dur saat itu telah menggerakkan demokratisasi “dari dalam” negara, melalui pembubaran institusi politik yang menghambat demokrasi, dan menciptakan aturan yang memuluskan nilai-nilai demokrasi. Sementara sisi lain, Gus Dur menggerakkan demokratisasi melalui masyarakat sipil, dalam hal ini melalui NU, Fordem, dan kapasitasnya sebagai intelektual. Yang dilakukan Gus Dur dalam ranah sipil ini adalah pengembangan wacana demokrasi substantif, sebagai kritik atas “demokrasi seolah-olah” Orde Baru yang terjebak dalam demokrasi-institusional-otoriter.

Hanya saja, segenap gerakan demokratisasi baik dari dalam maupun dari luar negara ini, Gus Dur pijakkan pada konstitusi. Artinya, konstitusi menjadi pijakan normatif kenegaraan, karena melaluinya, hak warga negara dan hak manusia terjamin. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa negara memanglah alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia yang dijamin dalam konstitusi. Hal sama juga terjadi pada alasan strategis Gus Dur yang menempatkan konstitusi sebagai “kritikus internal” negara itu sendiri. Jadi, karena negara dibentuk oleh konstitusi, sementara konstitusi adalah penjamin normatif-institusional atas hak asasi manusia, maka melalui konstitusi, “negara telah mengkritik dirinya sendiri”. Persis seperti Habermas yang mendaulat hukum sebagai “sabuk penyambung” keterpisahan sistem dan dunia-kehidupan. Gus Dur melalui pemahaman atas konstitusi sebagai pelindung rakyat, telah menjadikan konstitusi sebagai media konstitusional bagi gerakan demokratisasi masyarakat sipil.

Dalam perkembangannya, demokrasi dalam artian demokratisasi konstitusional ini Gus Dur gerakkan ketika menjadi presiden. Berbagai gagasan seperti penghapusan TAP MPRS No XXV/1966 tentang pelarangan Marxisme-Leninisme, penghapusan dwifungsi TNI, supremasi sipil atas militer, pembubaran Departemen Penerangan, adalah segenap usaha Gus Dur untuk menggerakkan demokratisasi via internal negara. Hal ini terlihat dari kritiknya atas berbagai lembaga dan aturan yang menghambat kebebasan sipil dan politik, seperti kebebasan berpikir dan partisipasi politik anak cucu PKI dalam kasus penghapusan TAP MPRS No XXV/1966, pembubaran Deppen demi kebebasan pers, supremasi sipil atas militer, pengakuan Konghucu sebagai agama resmi, dan sebagainya. Bagi Gus Dur, segenap lembaga negara yang menghambat proses demokratisasi perlu dibubarkan. Satu paradigma yang berbeda dengan Orde Baru yang menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai alibi bagi terlaksananya demokrasi qua negara, dan oleh karenanya segenap usaha masyarakat sipil dalam gerakan demokratisasi adalah subversif.

Kelemahan Teoretis

Sayangnya, pada satu titik ada kelemahan mendasar dalam pemikiran Gus Dur, yakni keengganannya dalam kritik teoretis demokrasi itu sendiri.[10] Pilihan ini Gus Dur lakukan karena baginya yang paling penting adalah demokratisasi, bukan perdebatan teoretis demokrasi. Pilihan ini bisa kita pahami dalam konteks posisi awal Gus Dur sebagai intelektual organik yang berada dalam rezim tiran Orde Baru. Demokratisasi merupakan pilihan mendasar, karena yang paling penting memanglah menggerakkan demokratisasi, sebab segenap lembaga dan prosedur demokrasi formal telah dikooptasi oleh negara.

Namun “keengganan teoretis” ini membuat Gus Dur terjebak dalam satu model demokrasi saja, yakni demokrasi perwakilan yang menjadikan partai sebagai agen utama partisipasi politik. Gus Dur tidak mencari kemungkinan format demokrasi alternatif,[11] misalnya penggantian sistem pemilu mekanik menjadi organik. Satu penggantian yang membuat agen pemilu tak hanya partai, melainkan kelompok masyarakat. Secara taken for granted, Gus Dur telah menerima kenyataan prosedural bahwa secara konstitusional, alat partisipasi politik kita adalah partai. Hal inilah yang membuatnya tetap keukeuh berada di PKB hingga akhir hayat.[12]

Hal ini bermasalah, sebab dalam kacamata demokrasi deliberatif misalnya, partai terbukti kurang efektif dalam memainkan peran perwakilanismenya. Demokrasi deliberatif kemudian menggagas perluasan partisipasi politik, dari an sich parlemen, menjadi gerakan kontrol publik terhadap kebijakan negara. Gus Dur, karena enggan menanyakan ulang bangunan teoretis demokrasi perwakilan, akhirnya menyetujui sistem perwakilan berbasis partai sebagai mekanisme utama dalam demokrasi. Hal ini cenderung kontradiktif dengan pemikiran dan gerakan demokrasinya pada era Orde Baru yang menempatkannya sebagai pemimpin masyarakat sipil, dan menggerakkan demokratisasi dari luar negara. Seandainya Gus Dur melakukan pemikiran-ulang (teori) demokrasi, maka Gus Dur pasca-lengser kepresidenan tidak akan berjibaku dengan politik praktis yang menyempitkan gerakan demokrasinya dalam demokrasi formal (partai), bukan demokrasi substansial melalui gerakan masyarakat sipil.***


Artikel Terkait
  1. Salam Redaksi
  2. Riset Redaksi
  3. Reproduksi Relasi Dominasi dalam Pemilu: Pertarungan Politik dan Simbolik
  4. Demokrasi sebagai Ruang Pembebasan dan Penyetaraan?
  5. Demokrasi Minus Toleransi: Politik Diskriminasi Beragama / Berkeyakinan di Indonesia
  6. Demokrasi Deliberatif
  7. Demokrasi dan Dua Pemikiran Tentang Kebebasan; Antara Isaiah Berlin dan Carol C. Gould
  8. Demokrasi Kosmopolitas dan Hak-hak atas Distribusi Ekonomi
  9. Pemikiran Politik Soekarno Tentang Demokrasi Indonesia
  10. Demokratisasi Konstitusional: Pemikiran Gus Dur tentang Demokrasi
  11. Platon; Demokrasi itu Rezim Uang (Wawancara: Romo Dr. A. Setyo Wibowo)
  12. Problematika Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum (Artikel Lepas)
  13. Demokrasi Substansial, Risalah Kebangkrutan Liberalisme (Resensi Buku)
  14. Demokrasi untuk Indonesia Pemikiran Politik Bung Hatta (Resensi Buku)



* Tulisan ini adalah makalah untuk diskusi Epistemologi Gus Dur: “Demokrasi dalam Pemikiran Gus Dur: Tatapan Teori Politik”, The Wahid Institute, 27 Mei 2011. Dimuat di sini dengan izin penulis.
** Penulis buku Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual (Koekoesan, 2009), peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D).
[1] Pada titik ini, Gus Dur memang pejuang pluralisme sebagai bagian dari perjuangan demokrasi. Artinya, demokrasi yang mensyaratkan tergeraknya politik kewargaan melampaui sekat agama dan kelompok, telah menjadi perjuangan demokrasi Gus Dur. Jadi membincang pluralisme Gus Dur menjadi penting dalam konteks politik kewargaan. Demokrasi pastilah mensyaratkan pluralisme agama, karena dengannya, masyarakat warga yang berkumpul untuk merumuskan kebaikan bersama (res publica) bisa terwujud. Terkumpulnya masyarakat warga dalam terang res publica tidak akan terwujud, jika ia masih disekat dalam benturan keagamaan. Sementara itu, hubungan agama dan negara yang oleh Gus Dur ditempatkan secara substansial (bukan formal), menjadi prasyarat bagi demokrasi. Kenapa? Karena dalam demokrasi, nilai primordial seperti agama haruslah diletakkan dalam kerangka konsensus rasional. Hal ini tidak akan terjadi jika agama disatukan secara formal, menjadi negara. Hanya saja, wacana pluralisme dan hubungan agama-negara menjadi “kondisi pemungkin” bagi sifat dasar pemikiran demokrasi Gus Dur yang telah memperjuangan demokrasi substantif-konstitusional. Dalam terang akar pemikiran ini, perjuangan demokrasi Gus Dur mengena pada jantung keberpihakannya, yakni perwujudan kehidupan sosial manusiawi. Pluralisme agama dan hubungan substantif Islam-negara menjadi conditio sine qua non bagi cita humanisasi tersebut.
[2] Abdurrahman Wahid, “Negeri Ini Kaya dengan Calon Presiden”, Forum Keadilan No. 02, 14 Mei 1992.
[3] Hal ini diungkapkan khususnya oleh militer. Lihat pernyataan Kapuspen ABRI era Orde Baru, Brigadir Jenderal Nurhadi, dalam “Suara-Suara di Tengah Forum”, Tempo, 13 April 1991.
[4] Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi: Sebuah Pertanggungjawaban, makalah Ketua Pokja Forum Demokrasi, 1992, h. 3-5.
[5] Carol C. Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 1-23.
[6] Lihat Abdurrahman Wahid, Development by Developing Ourselves, makalah diskusi The Study Days on ASEAN Development Processes, Malaysia, 22-25 November 1979.
[7] Abdurrahman Wahid, “Islam dan Titik Tolak Etik”, Kompas, 13 Agustus 1987. Lihat juga Abdurrahman Wahid, “Fiqh dan Etika Sosial Kita”, Kompas, 14 Agustus 1987.
[8] Abdurrahman Wahid, “Negara dan Kebudayaan”, dalam Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Depok: Desantara, 2001), h. 4.
[9] Abdurrahman Wahid, “Agama, Ideologi dan Pembangunan”, Prisma 11, November 1980, h. 11-14
[10] Keengganan “pikir-ulang teoretis” demokrasi ini pula yang membuat Gus Dur tidak sepakat dengan Negara Islam. Kenapa? Karena agenda Negara Islam berangkat dari kecurigaan ideologis atas demokrasi yang berasal dari Barat dan oleh karenanya berbahaya bagi Islam sebab telah melahirkan negara sekular. Bagi Gus Dur, persoalan bernegara bukanlah persoalan perdebatan ideologis atas landasan dan bangunan negara. Melampaui hal itu, yang terpenting adalah penciptaan pemerintahan demokratis. Jadi pertarungan teoretis dalam benturan ideologi politik akan melupakan kebutuhan faktual dalam politik yakni pemerintahan demokratis. Gus Dur secara eksplisit bahkan menyamakan cita Negara Islam dengan negara fasis dan komunis yang melandaskan pemerintahan pada landasan ideologis. Bukan usaha perwujudan pemerintahan demokratis. Lihat Abdurrahman Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam? Makalah Diskusi Konsep Negara Islam, FH-UII, Yogyakarta, 7-02-1988, h. 4.
[11] Kemungkinan alternatif teori demokrasi inilah yang melahirkan model-model demokrasi yang saling mengkritisi. Demokrasi liberal dikritik oleh demokrasi Marxian karena keterjebakannya pada individualisme dan melupakan atau bahkan menimpangkan sosialitas. Demokrasi perwakilan telah melahirkan kritik dari republikanisme yang meluaskan partisipasi tidak hanya dalam parlemen, tetapi reaktivasi ruang publik. Namun demokrasi Marxian yang mencitakan masyarakat adil secara holistik juga dikritik oleh demokrasi pluralis yang mengajak kita untuk menghentikan mimpi tentang masyarakat ideal, untuk kemudian mengamini saja realitas politik yang berisi pluralitas kekuatan politik. Ada banyak pemikiran politik yang mempertanyakan ulang demokrasi perwakilan yang akhirnya mengajak kita untuk merumuskan ulang “yang politik” (the political) dalam situasi pragmatis yang membuat politik hanya sebagai ajang perebutan “kue kekuasaan”. Pluralitas teori demokrasi yang saling mengkritisi ini yang tidak dilihat Gus Dur, sehingga ia mengamini satu demokrasi, yakni demokrasi perwakilan berbasis partai. Untuk perdebatan teoretis demokrasi, lihat David Held, Models of Democracy, (Jakarta: Akbar Tandjung Institute, 2006), Frank Cunningham, Theories of Democracy: A Critical Introduction, (London and New York: Routledge, 2002), Claude Lefort, Democracy and Political Theory, (Polity Press, 1988) dan Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer, P2D, (Tangerang: Marjin Kiri, 2008).
[12] Gus Dur menyatakan bahwa karena media partisipasi demokrasi yang disahkan konstitusi adalah partai, maka ia tak bisa keluar dari PKB. Ungkapan ini dinyatakan sebagai permintaan maaf kepada sejawatnya yang dulu bersama aktif di Fordem, yang menghendaki agar Gus Dur keluar dari partai, dan kembali kepada gerakan sipil. Pertemuan antara Gus Dur dan sejawat Fordem-nya diadakan di rumah Bondan Gunawan dalam rangka ulang tahun Gus Dur yang ke-69.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar