Mengingat kata “tidur” adalah asli produk dalam negeri
dan belum diserap menjadi salah satu kosakata bahasa Arab secara resmi, maka
untuk mengawali penelusuran ayat-ayat yang membahas tentang tidur, penulis berusaha
mencari padanan kata ini dalam bahasa Arab. Adapun cara yang digunakan
adalah mencari persamaan kata Arab untuk
“tidur” dalam kamus Indonesia-Arab. Pada
pencarian ini, penulis menemukan ada dua kata bahasa Arab yaitu naum dan subat.[1]
Selanjutnya, guna mendapatkan pencarian yang menyeluruh
dan penelitian tentang ayat-ayat tidur secara komprehensif, penulis
mengembalikan arti kata kepada bahasa asal, yakni Arab. Metode
seperti ini penting untuk dilakukan untuk membuka
kemungkinan adanya ayat-ayat yang meskipun secara tekstual tidak berarti tidur, namun
bisa jadi masih ada hubungannya dengan pembahasan ini.
Dalam Lisan al-Arab, an-naum
berarti nu’as (ngantuk). Lebih lanjut Ibnu al-Mandzur menjelaskan bahwa
kata nama yanamu memiliki dua
bentuk mashdar yakni naum dan niyam sebagaimana
yang telah diungkapkan oleh Sibawaih. Seseorang dikatakan tidur apabila ia
telah berbaring (raqada).[2] Sedangkan Menurut Ibnu Faris, kata naum
dengan huruf nun, wawu dan mim
menunjukkan arti jumud dan sukunu harakah yakni seperti benda
mati yang tidak bergerak/ statis.[3]
Ar-Raghib al-Ashfihani dalam kamusnya menjelaskan bahwa naum
adalah istirkhou a’shab ad-dimagh bi rathubat al-Bukhor al-musha’id ilaih (beristirahatnya
urat syaraf otak disebabkan sejuknya udara yang masuk ke dalamnya). Ia juga menambahkan bahwa
ungkapan naum ini bisa berarti Allah mewafatkan jiwa tanpa kematian. Ada
juga pendapat yang mengatakan bahwa naum merupakan kematian sebentar, sedangkan
kematian pada hakikatnya adalah tidur
yang cukup lama/panjang. [4]
Kata subat, menurut Ibnu Mandzur, merupakan bentuk
mashdar dari sabata yasbutu. Sebenarnya
ada tiga mashdar dari kata ini yakni sibt, sabt dan subat.
Namun, anehnya,
perbedaaan makna dasar sangat nampak dari ketiga mashdar ini. Sibt
dengan dibaca kasrah huruf sin-nya berarti kullu jild madbugh
(setiap kulit yang disamak, sementara kata sabt dan subat dapat
berari ad-dahr (masa), secara khusus sabt berarti istaraha wa
sakana (istirahat dan diam), dan
juga bisa berarti memutus (al-qath’u), subat memiliki arti tidur ringan
atau juga dapat diartikan permulaan dari mata sampai hilangnya konsentrasi pada
hati.[5] Hal senada juga dinyatakan oleh Ibnu Faris dan
Ar-Raghib dalam kitab mereka.
Sinonim atau muradif dari naum, selain kata subat adalah ruqud dan ruqad yang
juga berarti tidur. Namun sebagian pakar bahasa menyatakan ada perbedaan
diantara keduanya. Al-Laist sebagaimana dikutip oleh ibn al-Mandzur dalam Lisan
al-Arab-nya berpendapat bahwa ar-ruqud adalah
an-naum bi al-lail (tidur di waktu malam), sementara ar-ruqad
memiliki arti an-naum bi an-nahar (tidur di siang hari). Pendapat ini
ditentang oleh al-Azhari yang menyatakan bahwa orang arab tidak membedakan
penggunaan dua kata ini, yakni ruqud dan ruqad untuk arti tidur
baik dilakukan pada waktu siang maupun malam. [6]
Lebih lanjut, Ibnu al-Mandzur memberi penjelasan bahwa fi’il madhi (bentuk lampau/past)
dari ruqud dan ruqad, yakni raqada memiliki arti yang
perlu disesuaikan dengan konteks kalimat. Kalau ia bersanding dengan
kata al-hur (raqada al-hur), maka artinya adalah sakana al-hur
(berkurang panasnya), sementara apabila kata ini bersambung dengan kata as-suq
(raqada as-suq), maka dapat diartikan dengan kelesuan pasar, dan jika
ungkapan ini berjalin dengan lafadz makan (arqada bi al-makan),
maka akan memiliki arti menempati. Bentuk isim zaman dan makan dari kata
ini adalah marqad yang dimaknai oleh Ibn al-Mandzur dengan al-madlja’ (tempat pembaringan). [7]
Ibnu Faris dalam Maqayis-nya mengartikan kata ruqud
dengan naum (tidur), namun jika ungkapan ini digabungkan dengan kata
yang merujuk tempat, ia akan memiliki arti mendiami seperti ungkapan arqada
bi al-ardhi (ia menempati bumi/tempat itu).[8] Lain halnya dengan al-Ashfihani yang mengartikan bahwa
ruqad adalah al-mustathab min annaum al-qalil (mendapatkan
kenikmatan dengan tidur yang sebentar). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
minimal ada dua ungkapan al-Qur’an yang terkait dengan kata ini, yakni ruqud
dan marqad. [9]
Dari uraian di atas,
penulis kemudian melanjutkan pencarian ayat-ayat yang terkait dengan tidur. Ada
kata naum berikut derivasinya, ruqud
beserta semua turunannya dan ayat-ayat yang berpotensi terkait dengan
pembahasan ini seperti indikasi yang ditawarkan oleh para pakar bahasa diatas yakni nu’as, yatawaffa
al-anfusa dan madhja’. Sarana yang cukup representatif untuk
melakukan pencarian ini adalah indeks al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an, lafadz naum dan yang musytaq
(keluar) darinya terdapat di 9 tempat, naum dengan bentuk mashdar ghairu
mim terdapat di 3 tempat: surat
al-Baqarah ayat 255, al-Furqan ayat 47
dan an-Naba ayat 9. Redaksi dengan menggunakan manam ada di 4 tempat: Surat
al-Anfal ayat 44, ar-Rum ayat 23, as-Shaffat ayat 102, dan az-Zumar ayat 43.
Sedangkan kata naimun (bentuk
jama’ isim fa’il) terdapat pada dua surat: al-A’raf ayat 96 dan al-Qalam
ayat 19.[10] Sedangkan ungkapan Sabt
bersama variannya terdapat di 9 tempat dalam Al-Qur’an.[11]
Lafadz ruqud beserta variannya terdapat 2 ayat,
satu ayat menggunakan bentuk plural/jama’ (ruqud) terdapat dalam
surat al-Kahfi ayat 18, dan yang satu
menggunakan bentuk isim zaman atau makan (marqad) terdapat
pada surat Yasin ayat 52.[12] Sedangkan
kata nu’as dapat ditemukan di 2 tempat: surat Ali Imran
ayat 154 dan surat al-Anfal ayat 11.[13]
Redaksi dengan menggunakan yatawaffa
ada 9 ayat, masing-masing terdapat pada: surat al-Anfal ayat 120, az-Zumar 43,
al-An’am 60, Yunus 104, an-Nahl 70, as-Sajdah 11, an-Nisa’14, dan an-Nahl 28
dan 32.[14] Sedangkan untuk kata madhaji’
(bentuk jama’) dari madhja’ terdapat pada
3 tempat: Ali Imran 154, an-Nisa’ 33 dan as-Sajdah 16.[15]Dari data yang telah ada,
kita dapat melihat adanya persamaan pada pembahasan lafadz naum dan yatawaffa
yakni pada surat az-Zumar ayat 43. Oleh karena itu, penelitian pada ayat ini
nantinya cukup dilakukan sekali dan tidak perlu diulangi.
[1] A.W.Munawir, M. Fairuz, Kamus
Al-Munawwir Indonesia-Arab,(Surabaya: Pustaka Progessif), cet I, 2007 hal.893
[2] Ibn
al-Mandzur, Lisan al-Arab, (Kairo:
Dar al-Ma’arif), tt. Jilid VI,1999, Hal.4583
[3] Abu
al-Husain Ahmad bin Faris, Maqayis al-Lughah, ( Dar al-Fikr), tt jilid V, Hal.372
[4] Husain bin Muhammad, Mufradat Gharib
al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’arif) tt, hal. 510.
[6] Lisan al-Arab,. jilid II, hal.1702.
[7] ibid
[12] Ibid. hal.187
[14] Ibid. hal.474
[15] Ibid. hal.264
Tidak ada komentar:
Posting Komentar