Senin, 06 Januari 2014

Perspektif al-Qur’an tentang Tidur

Maftukhan

Mengingat kata “tidur” adalah asli produk dalam negeri dan belum diserap menjadi salah satu kosakata bahasa Arab secara resmi, maka untuk mengawali penelusuran ayat-ayat yang membahas tentang tidur, penulis berusaha mencari padanan kata ini dalam bahasa Arab. Adapun cara yang digunakan adalah mencari persamaan kata Arab  untuk  “tidur” dalam kamus Indonesia-Arab. Pada pencarian ini, penulis menemukan ada dua kata  bahasa Arab  yaitu naum dan subat.[1]

Selanjutnya, guna mendapatkan pencarian yang menyeluruh dan penelitian tentang ayat-ayat tidur secara komprehensif, penulis mengembalikan arti kata kepada bahasa asal, yakni Arab. Metode seperti ini penting untuk dilakukan untuk membuka kemungkinan adanya ayat-ayat yang meskipun secara tekstual tidak berarti tidur, namun bisa jadi masih ada hubungannya dengan pembahasan ini.

Dalam Lisan al-Arab, an-naum berarti nu’as (ngantuk). Lebih lanjut Ibnu al-Mandzur menjelaskan bahwa kata nama yanamu memiliki dua  bentuk mashdar yakni naum dan niyam sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Sibawaih. Seseorang dikatakan tidur apabila ia telah berbaring (raqada).[2]  Sedangkan Menurut Ibnu Faris, kata naum dengan  huruf nun, wawu dan mim menunjukkan arti jumud dan sukunu harakah yakni seperti benda mati yang tidak bergerak/ statis.[3]   

Ar-Raghib al-Ashfihani dalam kamusnya menjelaskan bahwa naum adalah istirkhou a’shab ad-dimagh bi rathubat al-Bukhor al-musha’id ilaih (beristirahatnya urat syaraf otak disebabkan sejuknya udara yang masuk ke dalamnya).  Ia juga menambahkan bahwa ungkapan naum ini bisa berarti Allah mewafatkan jiwa tanpa kematian. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa naum merupakan kematian sebentar, sedangkan kematian pada hakikatnya  adalah tidur yang cukup lama/panjang. [4]

Kata subat, menurut Ibnu Mandzur, merupakan bentuk mashdar dari sabata yasbutu. Sebenarnya ada tiga mashdar dari kata ini yakni sibt, sabt dan subat. Namun, anehnya, perbedaaan makna dasar sangat nampak dari ketiga mashdar ini. Sibt dengan dibaca kasrah huruf sin-nya berarti kullu jild madbugh (setiap kulit yang disamak, sementara kata sabt dan subat dapat berari ad-dahr (masa), secara khusus sabt berarti istaraha wa sakana (istirahat  dan diam), dan juga bisa berarti memutus (al-qath’u), subat memiliki arti tidur ringan atau juga dapat diartikan permulaan dari mata sampai hilangnya konsentrasi pada hati.[5]  Hal senada juga dinyatakan oleh Ibnu Faris dan Ar-Raghib dalam kitab mereka.
    
Sinonim atau muradif dari naum, selain kata subat  adalah ruqud dan ruqad yang juga berarti tidur. Namun sebagian pakar bahasa menyatakan ada perbedaan diantara keduanya. Al-Laist sebagaimana dikutip oleh ibn al-Mandzur dalam Lisan al-Arab-nya berpendapat bahwa ar-ruqud adalah an-naum bi al-lail (tidur di waktu malam), sementara ar-ruqad memiliki arti an-naum bi an-nahar (tidur di siang hari). Pendapat ini ditentang oleh al-Azhari yang menyatakan bahwa orang arab tidak membedakan penggunaan dua kata ini, yakni ruqud dan ruqad untuk arti tidur baik dilakukan pada waktu siang maupun malam. [6]

Lebih lanjut, Ibnu al-Mandzur memberi penjelasan  bahwa fi’il madhi (bentuk lampau/past) dari ruqud dan ruqad, yakni raqada memiliki arti yang perlu disesuaikan dengan konteks kalimat. Kalau ia bersanding dengan kata al-hur (raqada al-hur), maka artinya adalah sakana al-hur (berkurang panasnya), sementara apabila kata ini bersambung dengan kata as-suq (raqada as-suq), maka dapat diartikan dengan kelesuan pasar, dan jika ungkapan ini berjalin dengan lafadz makan (arqada bi al-makan), maka akan memiliki arti menempati. Bentuk isim zaman dan makan dari kata ini adalah marqad yang dimaknai oleh Ibn al-Mandzur dengan al-madlja’ (tempat pembaringan). [7]

Ibnu Faris dalam Maqayis-nya mengartikan kata ruqud dengan naum (tidur), namun jika ungkapan ini digabungkan dengan kata yang merujuk tempat, ia akan memiliki arti mendiami seperti ungkapan arqada bi al-ardhi (ia menempati bumi/tempat itu).[8] Lain halnya dengan al-Ashfihani yang mengartikan bahwa ruqad adalah al-mustathab min annaum al-qalil (mendapatkan kenikmatan dengan tidur yang sebentar). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa minimal ada dua ungkapan al-Qur’an yang terkait dengan kata ini, yakni ruqud dan marqad. [9]

 

Dari uraian di atas, penulis kemudian melanjutkan pencarian ayat-ayat yang terkait dengan tidur. Ada kata naum berikut  derivasinya, ruqud beserta semua turunannya dan ayat-ayat yang berpotensi terkait dengan pembahasan ini seperti indikasi yang ditawarkan oleh para  pakar bahasa diatas yakni nu’as, yatawaffa al-anfusa dan madhja’. Sarana yang cukup representatif untuk melakukan pencarian ini adalah indeks al-Qur’an.   

Dalam al-Qur’an, lafadz naum dan yang musytaq  (keluar) darinya terdapat di 9 tempat,  naum dengan bentuk mashdar ghairu mim  terdapat di 3 tempat: surat al-Baqarah ayat 255, al-Furqan  ayat 47 dan an-Naba ayat 9. Redaksi dengan menggunakan manam ada di 4 tempat: Surat al-Anfal ayat 44, ar-Rum ayat 23, as-Shaffat ayat 102, dan az-Zumar ayat 43. Sedangkan  kata naimun (bentuk jama’ isim fa’il) terdapat pada dua surat: al-A’raf ayat 96 dan al-Qalam ayat 19.[10] Sedangkan ungkapan Sabt bersama variannya terdapat di 9 tempat dalam Al-Qur’an.[11]

Lafadz ruqud beserta variannya terdapat 2 ayat, satu ayat menggunakan bentuk plural/jama’ (ruqud) terdapat dalam surat al-Kahfi ayat  18, dan yang satu menggunakan bentuk isim zaman atau makan (marqad) terdapat pada surat Yasin ayat 52.[12] Sedangkan kata  nu’as  dapat ditemukan di 2 tempat: surat Ali Imran ayat 154 dan surat al-Anfal ayat 11.[13]

            Redaksi dengan menggunakan yatawaffa ada 9 ayat, masing-masing terdapat pada: surat al-Anfal ayat 120, az-Zumar 43, al-An’am 60, Yunus 104, an-Nahl 70, as-Sajdah 11, an-Nisa’14, dan an-Nahl 28 dan 32.[14]  Sedangkan untuk kata madhaji’ (bentuk jama’) dari madhja’ terdapat pada  3 tempat: Ali Imran 154, an-Nisa’ 33 dan as-Sajdah 16.[15]Dari data yang telah ada, kita dapat melihat adanya persamaan pada pembahasan lafadz naum dan yatawaffa yakni pada surat az-Zumar ayat 43. Oleh karena itu, penelitian pada ayat ini nantinya cukup dilakukan sekali dan tidak perlu diulangi.


[1]  A.W.Munawir, M. Fairuz, Kamus Al-Munawwir Indonesia-Arab,(Surabaya: Pustaka Progessif), cet I, 2007 hal.893
[2]  Ibn al-Mandzur,  Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif), tt. Jilid VI,1999, Hal.4583
[3]  Abu al-Husain Ahmad bin Faris, Maqayis al-Lughah, ( Dar al-Fikr), tt  jilid V, Hal.372
[4] Husain bin Muhammad, Mufradat Gharib al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’arif) tt, hal. 510.
[5] Lisan, op.cit jilid III,hal. 1912.
[6] Lisan al-Arab,. jilid II, hal.1702.
[7] ibid
[8] Maqayis al-Lughah jil.II, hal.428
[9] Mufradat Gharib al-Qur’an, hal. 201
[10] Faidhullah al-Hasani , Fath ar-Rahman, , (Surabaya: Al-Hidayah), 1322 H, Hal.451
[11] Ibid. hal. 203
[12] Ibid. hal.187
[13] Ibid. hal.440
[14] Ibid. hal.474
[15] Ibid. hal.264

Tidak ada komentar:

Posting Komentar