Sayyid Ja’far Shadiq
Teori sosial merupakan salah satu instrumen yang manusia
buat dalam upaya memecahkan problem sosial. Keberadaannya yang tentu diangkat
oleh para sosiolog mampu mempengaruhi khalayak baik secara keseleluruhan teori
maupun sebagiannya, serta diikuti oleh semua masyarakat di tempat tertentu
maupun sebagian.
Kendati sebuah teori dapat diaplikasikan, namun kadang
tidak dapat dipungkiri adanya kekurangan di dalam tubuhnya sendiri. Siapa pun
patutlah maklumi sekaligus berhati-hati, pasalnya sebuah teori dibuat oleh
manusia yang tidak lepas dari sifat salah maupun lupa.
Lalu adakah rumusan teori yang sempurna tanpa cacat yang
dibuat bersandar pada data sakral yang diciptakan oleh Pencipta sakral itu
sendiri (baca: Tuhan)? Kuntowijoyo dalam sebuah karyanya tampak begitu meyakini—dan
seharusnya kitapun juga harus bersikap demikian—bahkan menghendaki terwujudnya
rumusan teori sosial yang tanpa cacat itu. Sebagai seorang pemikir muslim, al-Quran
merupakan satu-satunya pilihan untuk sebuah perumusan teori itu. Namun, sebelum
membuat sebuah teori sosial ala al-Quran, kita terlebih dahulu harus memahami al-Quran
sebagai paradigma.
Paradigma al-Quran menurut Kuntowijoyo berarti suatu
konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana al-Quran
memahaminya. Dengan demikian, menemukan sekaligus merumuskan kerangka sistem
Islam bisa dimungkinkan lewat konstruksi pengetahuan dalam al-Quran.
Dalam memahami al-Quran terdapat banyak pendekatan, salah
satunya, yang coba diperkenalkan oleh Kunto, adalah pendekatan
sintetik-analitik. Pendekatan ini mengklasifikasi isi al-Quran dalam dua
bagian, yaitu : pertama, konsep-konsep, baik yang abstrak seperti konsep Tuhan,
malaikat, maupun yang konkret seperti konse kaum dhu’afa (golongan lemah). Tujuan
konsep-konsep al-Quran adalah penggambaran utuh tentang doktrin Islam dan apa
yang Kuntowijoyo sebut sebagai weltanschaung (pandangan dunia) al-Quran.
Pada klasifikasi bagian kedua, al-Quran berisi
kisah-kisah historis dan perumpamaan. Dengan ini, kita dikenalkan pada arche-type
tentang kondisi-kondisi yang universal semisal kedzaliman Fir’aun. Fir’aun
digambarkan sebagai sosok penguasa awal yang dzalim yang dikenal manusia. Kisah
Fir’aun adalah sebuah data historis, tapi pesannya tidak berhenti hanya pada
masa hidupnya. Kisahnya adalah adalah peristiwa yang bersifat universal dan tak
lekang oleh waktu. Itulah sebabnya, kitab Tuhan abadi. Memahami al-Quran
semacam ini disebut dengan memahami secara sintetik.
Sejarah mencatat bahwa Islam sebagai sebuah agama
mempunyai kekuatan untuk melakukan perubahan sosial. Bagi Kuntowijoyo, kita
tidak cukup hanya melakukan subjektifikasi terhadap ajaran-ajaran Islam melalui
pemahaman sintetik yang pada akhirnya hanya berfungsi sebagai transformasi
psikologis saja, akan tetapi juga harus memahaminya sedemikian rupa sehingga
dapat berfungsi pada level objektif untuk perubahan sosial.
Islam mempunyai tugas besar dalam transformasi sosial. Ini
sesuai dengan cita-cita profetiknya yang secara eksplisit termaktub dalam al-Quran
:
"كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر
وتؤمنون بالله ولو آمن أهل الكتاب لكان
خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقون " (آل عمران : 110)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia,menyuruh kepada yang ma’ruf,dan mencegah dari yang mungkar,dan beriman
kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman,tentulah itu lebih baik bagi
mereka,di antara mereka ada yang beriman,dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.
Melalui ayat ini, dapat dipahami bahwa misi profetik
Islam adalah humanisme, emansipasi, dan transendensi. Untuk mewujudkan dan merumuskan secara
objektif cita-cita profetik semacam itu, Kuntowijoyo mengenalkan pendekatakan
analitik sebagai sebuah tawaran.
Pendekatan
ini mengajak untuk memberlakukan kitab Tuhan sebagai pedoman kehidupan. Pendekatan ini menuntut
adanya konstruk teoritis kitab—dalam hal ini al-Quran—sebagaimana kegiatan analisa
pada sebuah data. Dari kegiatan seperti inilah, paradigma al-Quran muncul.
Lalu apa fungsi paradigma al-Quran? Secara sederhana, Kuntowijoyo mengatakan bahwa
fungsi paradigma al-Quran pada dasarnya adalah untuk membangun perspektif al-Quran
dalam memahami realitas. Paradigma al-Quran akan memungkinkan adanya
pengembangan eksperimen baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Dan, tentu saja, ini
akan turut memperkaya khazanah ilmu pengetahuan umat manusia, khususnya kaum Muslim.[]
[i] Artikel ini
adalah hasil ringkasan kami atas esai Kuntowijoyo berjudul “Paradigma
al-Quran untuk Perumusan Teori”
mantap Broooooooooo
BalasHapusperlu diperkaya referensinya, komparasikan dengan buku Murtadlo Mutahari yang judulnya "Masyarakat dan Sejarah".......
BalasHapus