Senin, 06 Januari 2014

Paradigma Al-Quran untuk Perumusan Teori


Sayyid Ja’far Shadiq


Teori sosial merupakan salah satu instrumen yang manusia buat dalam upaya memecahkan problem sosial. Keberadaannya yang tentu diangkat oleh para sosiolog mampu mempengaruhi khalayak baik secara keseleluruhan teori maupun sebagiannya, serta diikuti oleh semua masyarakat di tempat tertentu maupun sebagian.


Kendati sebuah teori dapat diaplikasikan, namun kadang tidak dapat dipungkiri adanya kekurangan di dalam tubuhnya sendiri. Siapa pun patutlah maklumi sekaligus berhati-hati, pasalnya sebuah teori dibuat oleh manusia yang tidak lepas dari sifat salah maupun lupa.


Lalu adakah rumusan teori yang sempurna tanpa cacat yang dibuat bersandar pada data sakral yang diciptakan oleh Pencipta sakral itu sendiri (baca: Tuhan)? Kuntowijoyo dalam sebuah karyanya tampak begitu meyakini—dan seharusnya kitapun juga harus bersikap demikian—bahkan menghendaki terwujudnya rumusan teori sosial yang tanpa cacat itu. Sebagai seorang pemikir muslim, al-Quran merupakan satu-satunya pilihan untuk sebuah perumusan teori itu. Namun, sebelum membuat sebuah teori sosial ala al-Quran, kita terlebih dahulu harus memahami al-Quran sebagai paradigma.

Paradigma al-Quran menurut Kuntowijoyo berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana al-Quran memahaminya. Dengan demikian, menemukan sekaligus merumuskan kerangka sistem Islam bisa dimungkinkan lewat konstruksi pengetahuan dalam al-Quran.


Dalam memahami al-Quran terdapat banyak pendekatan, salah satunya, yang coba diperkenalkan oleh Kunto, adalah pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini mengklasifikasi isi al-Quran dalam dua bagian, yaitu : pertama, konsep-konsep, baik yang abstrak seperti konsep Tuhan, malaikat, maupun yang konkret seperti konse kaum dhu’afa (golongan lemah). Tujuan konsep-konsep al-Quran adalah penggambaran utuh tentang doktrin Islam dan apa yang Kuntowijoyo sebut sebagai weltanschaung (pandangan dunia) al-Quran.


Pada klasifikasi bagian kedua, al-Quran berisi kisah-kisah historis dan perumpamaan. Dengan ini, kita dikenalkan pada arche-type tentang kondisi-kondisi yang universal semisal kedzaliman Fir’aun. Fir’aun digambarkan sebagai sosok penguasa awal yang dzalim yang dikenal manusia. Kisah Fir’aun adalah sebuah data historis, tapi pesannya tidak berhenti hanya pada masa hidupnya. Kisahnya adalah adalah peristiwa yang bersifat universal dan tak lekang oleh waktu. Itulah sebabnya, kitab Tuhan abadi. Memahami al-Quran semacam ini disebut dengan memahami secara sintetik.


Sejarah mencatat bahwa Islam sebagai sebuah agama mempunyai kekuatan untuk melakukan perubahan sosial. Bagi Kuntowijoyo, kita tidak cukup hanya melakukan subjektifikasi terhadap ajaran-ajaran Islam melalui pemahaman sintetik yang pada akhirnya hanya berfungsi sebagai transformasi psikologis saja, akan tetapi juga harus memahaminya sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi pada level objektif untuk perubahan sosial.


Islam mempunyai tugas besar dalam transformasi sosial. Ini sesuai dengan cita-cita profetiknya yang secara eksplisit termaktub dalam al-Quran :
"كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ولو آمن أهل الكتاب لكان خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقون " (آل عمران : 110)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,menyuruh kepada yang ma’ruf,dan mencegah dari yang mungkar,dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman,tentulah itu lebih baik bagi mereka,di antara mereka ada yang beriman,dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.


Melalui ayat ini, dapat dipahami bahwa misi profetik Islam adalah humanisme, emansipasi, dan transendensi. Untuk mewujudkan dan merumuskan secara objektif cita-cita profetik semacam itu, Kuntowijoyo mengenalkan pendekatakan analitik sebagai sebuah tawaran.
Pendekatan ini mengajak untuk memberlakukan kitab Tuhan sebagai pedoman kehidupan. Pendekatan ini menuntut adanya konstruk teoritis kitab—dalam hal ini al-Quran—sebagaimana kegiatan analisa pada sebuah data. Dari kegiatan seperti inilah, paradigma al-Quran muncul.


Lalu apa fungsi paradigma al-Quran?  Secara sederhana, Kuntowijoyo mengatakan bahwa fungsi paradigma al-Quran pada dasarnya adalah untuk membangun perspektif al-Quran dalam memahami realitas. Paradigma al-Quran akan memungkinkan adanya pengembangan eksperimen baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Dan, tentu saja, ini akan turut memperkaya khazanah ilmu pengetahuan umat manusia, khususnya kaum Muslim.[]




[i] Artikel ini adalah hasil ringkasan kami atas esai Kuntowijoyo berjudul “Paradigma al-Quran untuk Perumusan Teori”

2 komentar:

  1. perlu diperkaya referensinya, komparasikan dengan buku Murtadlo Mutahari yang judulnya "Masyarakat dan Sejarah".......

    BalasHapus