Sabtu, 26 Oktober 2013

Semantik Ibshar dalam al-Qur’an*

Semantik Ibshar dalam al-Qur’an*

Wawan Kurniawan

Manusia, menurut al-Qur’an, dilahirkan dengan kondisi tanpa pengetahuan akan sesuatu apa pun, namun dibekali pelbagai kemampuan sebagai sarana untuk memperolehnya, yakni pendengaran (sam’), penglihatan (bashar/abshar), dan hati (fuad/af’idah). Tujuan dari pembekalan ini adalah agar manusia berterima kasih (syukr) kepada Tuhan. Dalam bahasa al-Qur’an sendiri;

وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا، وَجَعَلَ لَكُمْ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ (النحل : 78)
Allah mengeluarkan diri kalian dari dalam perut ibu dalam keadaan tidak mengenal sedikit pun apa yang ada di sekeliling kalian. Kemudian Allah memberi kalian pendengaran, penglihatan dan mata hati sebagai bekal mencari ilmu pengetahuan, agar kalian beriman kepada-Nya atas dasar keyakinan dan bersyukur atas segala karunia-Nya.

Penglihatan yang diacu oleh bashar dalam ayat ini adalah penglihatan secara fisik atau inderawi (empiris). Peran penglihatan melalui kedua biji mata ini dalam cara manusia memperoleh pengetahuan inderawi, tidak diragukan lagi, begitu besar. Bahkan, seperti telah disadari oleh Aristoteles jauh-jauh hari, penglihatan, dibandingkan dengan beberapa organ inderawi yang lain, merupakan organ yang mampu menangkap dimensi paling luas dari objek inderawi. Ia dapat menangkap sekaligus warna, bentuk, besaran, gerak, dan jumlah.[1] Pun, ia memainkan peranan penting dalam hampir setiap tingkat pengetahuan, mulai dari pengetahuan biasa yang tak sistematis sampai ke pengetahuan yang sistematis (science). Al-Qur’an memberi kita contoh,

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ (3) ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ (4) (الملك : 3-4)
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.

Ayat ini mengajukan sebuah, katakanlah, “klaim saintifik” bahwa tidak ada yang tidak seimbang dari alam semesta; segala sesuatu yang kita kenal sebagai ciptaan Tuhan mestilah tercipta sedemikian teratur dan tanpa cacat.[2] Tak tanggung-tanggung, ayat ini bahkan juga berani menantang siapa pun untuk membuktikan yang sebaliknya atau, dalam bahasa filsafat ilmu, “falsifikasi” dengan cara menggunakan daya panca indera mata bashar hingga sampai pada suatu kesimpulan teoritis, ru’yah. Seberapa sering pun “falsifikasi” itu dilakukan, hingga mata mengalami kelelahan sekali pun, hasilnya pasti akan tetap membenarkan klaim ayat tersebut.

Di sini, kita menemukan satu kata kunci lain yang terkait erat dengan bashar dan yang juga sering digunakan al-Qur’an dalam konteks penglihatan ayat-ayat non-verbal atau kauniah, yakni ra’a, yang makna dasarnya berarti “melihat dengan pikiran”.[3]  Sejauh ini, kita dapat membangun hipotesa bahwa ru’yah atau ra’y merupakan penglihatan yang satu tingkat lebih abstrak di atas bashar sebagai penglihatan fisik biasa. Sebab, sementara bashar sebagai penglihatan inderawi hanya dapat mengindra objek empiris-partikular, ra’y mampu membangun suatu “penglihatan” terhadap kenyataan yang universal dan sistematis, namun masih juga terkait objek empiris.

Sejauh yang kita selidiki adalah epistemologi religius al-Qur’an, maka perlu digaris-bawahi bahwa baik pengetahuan yang diperoleh melalui perantara bashar maupun ru’yah belum tentu bersifat religius. Seabstrak atau sesistematis apapun suatu ra’y tidak akan bersifat religius bila hanya berhenti pada objek yang “dilihat” dan tidak “memahami” atau “mengimani” apa yang tersembunyi di balik objek tersebut, yakni kedudukannya sebagai tanda ayat yang diturunkan atau diciptakan Allah. Semesta dimana kita hidup, menurut al-Qur’an, adalah “semesta tanda”, dan  “melihat” suatu fenomena secara religius berarti menganggapnya sebagai ayat dari Allah. Memang benar, suatu pengetahuan sistematis dan abstrak tentang suatu objek bisa, tapi tidak niscaya, menjadi motivasi untuk “memahami”-nya sebagai ayat.

فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُ‌وا مِن قَوْمِهِ مَا نَرَ‌اكَ إِلَّا بَشَرً‌ا مِّثْلَنَا وَمَا نَرَ‌اكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَ‌اذِلُنَا بَادِيَ الرَّ‌أْيِ وَمَا نَرَ‌ىٰ لَكُمْ عَلَيْنَا مِن فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ ﴿هود: ٢٧﴾

Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta."

Ini adalah suatu kasus ekstrem dimana penggunaan ra’y oleh kaum Nabi Nuh-alaihi wa’ala nabiyyinaa-shalatu wa-s-salam- justru membuat mereka menolak ajakan (dakwah) beliau. Contoh yang lebih “lunak” diberikan dalam ayat berikut,

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ (الأنبياء : 30)
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”

Menurut ayat ini, orang-orang kafir, dengan mengerahkan kemampuan ra’y, telah dapat mengetahui asal-usul langit dan bumi, yang jelas-jelas bukan merupakan pengetahuan inderawi biasa, namun tetap saja mereka tidak beriman.

Hal ini dapat terjadi karena, selain kemampuan penglihatan bashar dan ra’y yang sama-sama inderawi itu, masih terdapat kemampuan penglihatan yang lebih tinggi dan penting, yakni “melihat secara batiniah” ibshar (bentuk nominal/mashdar dari kata kerja abshara, dengan mubshir sebagai bentuk partisipial/isim fa’il). Dalam konteks struktur epistemologi penglihatan dalam al-Qur’an, ibshar merupakan kata fokus yang dikelilingi kata-kata kunci lain yang terkait, seperti bashar dan ra’y. Sebab, jika hasil akhir dari pengetahuan religius adalah satu dari dua kondisi religius yang saling berpasangan, yakni petunjuk hidayah dan kesesatan dlalal, maka unsur determinan dalam tindakan manusia bagi terwujudnya salah satu hasil akhir tersebut tidak lain adalah satu di antara oposisi antara ibshar dan ‘ama “kebutaan batin”.

وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ (20) وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (21)  (الذاريات)
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
قَدْ جَاءَكُمْ بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ أَبْصَرَ فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ عَمِيَ فَعَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ (104)
Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka barangsiapa melihat (kebenaran itu, maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara(mu).

Dari kedua ayat ini, kita mendapat pemahaman bahwa Allah telah menebar ayat-Nya, baik di alam semesta maupun dalam diri manusia. Respon manusia terhadap ayat tersebut terkategorikan ke dalam dua kelompok yang bertentangan antara “yang melihat” mubshir dan “yang buta” a’maa. Walaupun ayat itu dapat berupa fenomena empiris, namun lokus sebenarnya dari “penglihatan” dan “kebutaan” di sini qalb “hati”, meskipun mata inderawi tetaplah mempunyai peran.

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179) (الأعراف)
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (46) (الحج)

 maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.

Sesungguhnya, bila kutipan pertama di atas ditafsir secara harfiah dan ketat, maka kita perlu membedakan antara dua “organ” hati qalb dan mata fisik ‘ain. Qalb berfungsi “merenung” ya’qil, sedangkan ‘ain berfungsi “melihat secara fisik” ibshar. Ini berarti bahwa, berlawanan dengan uraian di atas, ibshar pada dasarnya tetaplah bermakna denotatif (hakiki) yaitu “melihat secara fisik”, bukan konotatif (metaforis/majazi).

Ada sedikitnya tiga kemungkinan cara untuk menala kembali hal ini. Pertama dengan mengingat pernyataan oleh Dr. Daud Rahbar dalam God of Justice yang diafirmasi Prof. Izutsu dalam studi semantiknya, bahwa “apa yang diharapkan dari sebuah kitab wahyu yang besar bukanlah konsistensi logis yang mutlak, namun konsistensi terhadap dominannya gagasan.”[4] Sementara itu, gagasan dominan tentang makna ibshar dalam al-Qur’an, terlepas dari apa lokus atau organnya, adalah “melihat secara batiniah”. Cara kedua adalah dengan menafsirkan ‘ain dalam ayat tersebut secara metaforis, yakni sebagai “mata hati”. Dengan otomatis, ibshar juga mendapat arti sebagaimana diuraikan di atas.

Kami sendiri lebih memilih kemungkinan ketiga, yakni tetap memaknai ‘ain sebagai mata fisik, sedangkan ibshar tetap berarti “melihat secara batiniah”. Untuk menjelaskan bagaimana “mata batin” dan mata inderawi ini berperan bersama-sama dalam proses “penglihatan hati”, yang tak lain adalah proses “merenung” atau “berpikir” ya’qil menurut ayat terakhir di atas, kami mengajukan suatu hipotesa tentang konektivitas antara kedua jenis atau juga level “mata” itu. Maksudnya, dalam analisis, kedua “mata” itu memang harus dibedakan dengan tegas, namun dalam realitas, keduanya saling terkait erat dan saling mendukung dalam proses perenungan tanda-tanda ayat Tuhan. Dengan demikian, penunjukan ‘ain sebagai organ ibshar dalam ayat di atas adalah untuk menegaskan satu unsur yang penting dalam ibshar.

Tidak pada semua orang konektivitas ini dapat terjalin rekat. Pada orang-orang mendustakan takdzib tanda-tanda dari Allah dan yang secara religius lalai ghafil, konektivitas antara kedua “mata”-nya terputus karena “sekat rohani” yang ditimpakan sedemikian rupa oleh Allah di antara keduanya, hingga ketika melihat suatu fenomena, yang bagi orang yang takut pada ancaman Allah muttaqun merupakan ayat Allah, ia hanya menganggapnya sebagai hal biasa.

أُولَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (النحل : 108)
Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai.
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ (الأعراف : 146)

Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.

Ayat yang pertama berisi semacam definisi untuk suatu kondisi ruhani ghaflah lalai, yakni suatu kondisi dimana segala akses untuk mereguk kebenaran dari ayat Allah telah ditutup. Akibatnya, sebagaimana dalam ayat kedua, teramat fatal, yaitu dapat memilih secara sadar jalan yang jelas-jelas sesat.

Sebaliknya, orang yang bertakwa, membenarkan ayat Allah dan selalu mengingatnya dapat “melihat” atau memahami apa yang ada di balik segala fenomena.

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ (201)
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.

Dalam bentuk diagram, berikut ini adalah struktur epistemologi ibshar,

Allah                                                Manusia                        Manusia                      Manusia
 



Sesat
 
“Buta”
 
Mendustakan/Kufr
 
Ayat
 




Wallahu a’lam bish shawab.



* Dipresentasikan dalam kajian mingguan Pesantren Ciganjur 13 Oktober 2013. Seluruh terjemahan ayat al-Qur’an dalam esai ini mengacu pada terjemahan Depag RI.
[1] Diktat “Membaca Teks Metafisica Aristoteles” oleh H. Dwi Kristanto, Lic.Phil. di STF Driyarkara, hlm. 13.
[2] Dalam konteks wacana filsafat agama tentang bukti eksistensi Tuhan, “argumen desain” membahasakan klaim ini dengan lebih saintifik.Tentang argumen ini, lihat “5 Tantangan Abadi terhadap Agama dan Jawaban Islam terhadapnya”, Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahuddin Ahmad, (Mizan; Bandung), hlm. 24.
[3] Kajian yang lebih lengkap terhadap kata kunci ra’a ini insya Allah akan menyusul. Dungone pun njeh...
[4] Dikutip oleh Prof. Toshihiko Izutsu dalam Relasi Tuhan dan Manusia, ( Yogyakarta; Tiara Wacana), 2003, h. 75.

2 komentar:

  1. salam Mas Wawan yang baik... terima kasih atas wawasan yang publish... saya sangat menikmati tulisan panjenengan... tetap produktif seperti waktu di pondok dulu.
    terkait bagian akhir tulisan, saya sedikit "terganggu" dengan diagram yang muncul. mungkin gak sma dengan yang di Offiece geh...??? gimana mas? syukron.

    BalasHapus
  2. المقالة ممتازة ، بارك الله فيكم أيها الكاتب على ما سعيتم من الجهد المبذول ، و فقكم الله ( أخوكم محي الدين

    BalasHapus