Semantik Ibshar
dalam al-Qur’an*
Wawan Kurniawan
Manusia, menurut
al-Qur’an, dilahirkan dengan kondisi tanpa pengetahuan akan sesuatu apa pun,
namun dibekali pelbagai kemampuan sebagai sarana untuk memperolehnya, yakni
pendengaran (sam’), penglihatan (bashar/abshar), dan hati
(fuad/af’idah). Tujuan dari pembekalan ini adalah agar manusia
berterima kasih (syukr) kepada Tuhan. Dalam bahasa al-Qur’an sendiri;
وَاللهُ
أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا، وَجَعَلَ
لَكُمْ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ (النحل
: 78)
Allah mengeluarkan diri kalian
dari dalam perut ibu dalam keadaan tidak mengenal sedikit pun apa yang ada di
sekeliling kalian. Kemudian Allah memberi kalian pendengaran, penglihatan dan
mata hati sebagai bekal mencari ilmu pengetahuan, agar kalian beriman
kepada-Nya atas dasar keyakinan dan bersyukur atas segala karunia-Nya.
Penglihatan yang diacu oleh
bashar dalam ayat ini adalah penglihatan secara fisik atau inderawi
(empiris). Peran penglihatan melalui kedua biji mata ini dalam cara manusia
memperoleh pengetahuan inderawi, tidak diragukan lagi, begitu besar. Bahkan, seperti
telah disadari oleh Aristoteles jauh-jauh hari, penglihatan, dibandingkan
dengan beberapa organ inderawi yang lain, merupakan organ yang mampu menangkap
dimensi paling luas dari objek inderawi. Ia dapat menangkap sekaligus warna,
bentuk, besaran, gerak, dan jumlah.[1]
Pun, ia memainkan peranan penting dalam hampir setiap tingkat pengetahuan,
mulai dari pengetahuan biasa yang tak sistematis sampai ke pengetahuan yang
sistematis (science). Al-Qur’an memberi kita contoh,
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ
الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ (3)
ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا
وَهُوَ حَسِيرٌ (4) (الملك : 3-4)
“Yang telah menciptakan tujuh
langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang
Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah
kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian pandanglah sekali lagi
niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu
cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.”
Ayat ini mengajukan
sebuah, katakanlah, “klaim saintifik” bahwa tidak ada yang tidak seimbang dari
alam semesta; segala sesuatu yang kita kenal sebagai ciptaan Tuhan mestilah
tercipta sedemikian teratur dan tanpa cacat.[2]
Tak tanggung-tanggung, ayat ini bahkan juga berani menantang siapa pun untuk
membuktikan yang sebaliknya atau, dalam bahasa filsafat ilmu, “falsifikasi”
dengan cara menggunakan daya panca indera mata bashar hingga sampai pada
suatu kesimpulan teoritis, ru’yah. Seberapa sering pun “falsifikasi” itu
dilakukan, hingga mata mengalami kelelahan sekali pun, hasilnya pasti akan
tetap membenarkan klaim ayat tersebut.
Di sini, kita menemukan
satu kata kunci lain yang terkait erat dengan bashar dan yang juga
sering digunakan al-Qur’an dalam konteks penglihatan ayat-ayat non-verbal atau
kauniah, yakni ra’a, yang makna dasarnya berarti “melihat dengan
pikiran”.[3] Sejauh ini, kita dapat membangun hipotesa
bahwa ru’yah atau ra’y merupakan penglihatan yang satu tingkat
lebih abstrak di atas bashar sebagai penglihatan fisik biasa. Sebab,
sementara bashar sebagai penglihatan inderawi hanya dapat
mengindra objek empiris-partikular, ra’y mampu membangun suatu
“penglihatan” terhadap kenyataan yang universal dan sistematis, namun
masih juga terkait objek empiris.
Sejauh yang kita selidiki
adalah epistemologi religius al-Qur’an, maka perlu digaris-bawahi bahwa baik
pengetahuan yang diperoleh melalui perantara bashar maupun ru’yah
belum tentu bersifat religius. Seabstrak atau sesistematis apapun suatu ra’y
tidak akan bersifat religius bila hanya berhenti pada objek yang “dilihat”
dan tidak “memahami” atau “mengimani” apa yang tersembunyi di balik objek
tersebut, yakni kedudukannya sebagai tanda ayat yang diturunkan atau
diciptakan Allah. Semesta dimana kita hidup, menurut al-Qur’an, adalah “semesta
tanda”, dan “melihat” suatu fenomena
secara religius berarti menganggapnya sebagai ayat dari Allah. Memang
benar, suatu pengetahuan sistematis dan abstrak tentang suatu objek bisa, tapi
tidak niscaya, menjadi motivasi untuk “memahami”-nya sebagai ayat.
فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَوْمِهِ مَا
نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِّثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ
هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَىٰ لَكُمْ عَلَيْنَا مِن فَضْلٍ
بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ ﴿هود: ٢٧﴾
“Maka berkatalah
pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu,
melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak
melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina
di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki
sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah
orang-orang yang dusta."
Ini adalah suatu kasus
ekstrem dimana penggunaan ra’y oleh kaum Nabi Nuh-alaihi wa’ala
nabiyyinaa-shalatu wa-s-salam- justru membuat mereka menolak ajakan
(dakwah) beliau. Contoh yang lebih “lunak” diberikan dalam ayat berikut,
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ
الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ (الأنبياء : 30)
“Dan
apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.
Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka
tiada juga beriman?”
Menurut ayat ini,
orang-orang kafir, dengan mengerahkan kemampuan ra’y, telah dapat
mengetahui asal-usul langit dan bumi, yang jelas-jelas bukan merupakan
pengetahuan inderawi biasa, namun tetap saja mereka tidak beriman.
Hal ini dapat terjadi
karena, selain kemampuan penglihatan bashar dan ra’y yang
sama-sama inderawi itu, masih terdapat kemampuan penglihatan yang lebih
tinggi dan penting, yakni “melihat secara batiniah” ibshar (bentuk nominal/mashdar
dari kata kerja abshara, dengan mubshir sebagai bentuk
partisipial/isim fa’il). Dalam konteks struktur epistemologi penglihatan
dalam al-Qur’an, ibshar merupakan kata fokus yang dikelilingi kata-kata
kunci lain yang terkait, seperti bashar dan ra’y. Sebab, jika
hasil akhir dari pengetahuan religius adalah satu dari dua kondisi religius
yang saling berpasangan, yakni petunjuk hidayah dan kesesatan dlalal,
maka unsur determinan dalam tindakan manusia bagi terwujudnya salah satu hasil
akhir tersebut tidak lain adalah satu di antara oposisi antara ibshar
dan ‘ama “kebutaan batin”.
وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ (20) وَفِي
أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (21) (الذاريات)
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak
memperhatikan?”
قَدْ جَاءَكُمْ بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ
فَمَنْ أَبْصَرَ فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ عَمِيَ فَعَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ
بِحَفِيظٍ (104)
“Sesungguhnya
telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka barangsiapa melihat
(kebenaran itu, maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta
(tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya. Dan aku
(Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara(mu).”
Dari kedua ayat ini, kita mendapat pemahaman bahwa Allah telah menebar ayat-Nya,
baik di alam semesta maupun dalam diri manusia. Respon manusia terhadap ayat
tersebut terkategorikan ke dalam dua kelompok yang bertentangan antara
“yang melihat” mubshir dan “yang buta” a’maa. Walaupun ayat itu
dapat berupa fenomena empiris, namun lokus sebenarnya dari “penglihatan” dan
“kebutaan” di sini qalb “hati”, meskipun mata inderawi tetaplah
mempunyai peran.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ
الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا
يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ
كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179) (الأعراف)
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.”
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ
لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا
تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (46) (الحج)
“maka apakah mereka tidak berjalan di
muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada.”
Sesungguhnya, bila kutipan pertama
di atas ditafsir secara harfiah dan ketat, maka kita perlu membedakan antara
dua “organ” hati qalb dan mata fisik ‘ain. Qalb berfungsi
“merenung” ya’qil, sedangkan ‘ain berfungsi “melihat secara
fisik” ibshar. Ini berarti bahwa, berlawanan dengan uraian di atas, ibshar
pada dasarnya tetaplah bermakna denotatif (hakiki) yaitu “melihat secara
fisik”, bukan konotatif (metaforis/majazi).
Ada sedikitnya tiga
kemungkinan cara untuk menala kembali hal ini. Pertama dengan mengingat
pernyataan oleh Dr. Daud Rahbar dalam God of Justice yang diafirmasi Prof.
Izutsu dalam studi semantiknya, bahwa “apa yang diharapkan dari sebuah kitab
wahyu yang besar bukanlah konsistensi logis yang mutlak, namun konsistensi
terhadap dominannya gagasan.”[4] Sementara itu, gagasan
dominan tentang makna ibshar dalam al-Qur’an, terlepas dari apa lokus
atau organnya, adalah “melihat secara batiniah”. Cara kedua adalah dengan
menafsirkan ‘ain dalam ayat tersebut secara metaforis, yakni sebagai
“mata hati”. Dengan otomatis, ibshar juga mendapat arti sebagaimana
diuraikan di atas.
Kami sendiri lebih memilih
kemungkinan ketiga, yakni tetap memaknai ‘ain sebagai mata fisik,
sedangkan ibshar tetap berarti “melihat secara batiniah”. Untuk
menjelaskan bagaimana “mata batin” dan mata inderawi ini berperan bersama-sama dalam
proses “penglihatan hati”, yang tak lain adalah proses “merenung” atau
“berpikir” ya’qil menurut ayat terakhir di atas, kami mengajukan suatu
hipotesa tentang konektivitas antara kedua jenis atau juga level “mata” itu.
Maksudnya, dalam analisis, kedua “mata” itu memang harus dibedakan dengan
tegas, namun dalam realitas, keduanya saling terkait erat dan saling mendukung
dalam proses perenungan tanda-tanda ayat Tuhan. Dengan demikian,
penunjukan ‘ain sebagai organ ibshar dalam ayat di atas adalah
untuk menegaskan satu unsur yang penting dalam ibshar.
Tidak pada semua orang
konektivitas ini dapat terjalin rekat. Pada orang-orang mendustakan takdzib tanda-tanda
dari Allah dan yang secara religius lalai ghafil, konektivitas
antara kedua “mata”-nya terputus karena “sekat rohani” yang ditimpakan
sedemikian rupa oleh Allah di antara keduanya, hingga ketika melihat suatu
fenomena, yang bagi orang yang takut pada ancaman Allah muttaqun merupakan
ayat Allah, ia hanya menganggapnya sebagai hal biasa.
أُولَئِكَ
الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (النحل : 108)
Mereka itulah orang-orang yang
hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka
itulah orang-orang yang lalai.
سَأَصْرِفُ
عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ
يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا
يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ (الأعراف
: 146)
Aku akan memalingkan
orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar
dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka
tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada
petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan
kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka
mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.
Ayat yang pertama berisi semacam
definisi untuk suatu kondisi ruhani ghaflah lalai, yakni suatu kondisi
dimana segala akses untuk mereguk kebenaran dari ayat Allah telah ditutup.
Akibatnya, sebagaimana dalam ayat kedua, teramat fatal, yaitu dapat memilih
secara sadar jalan yang jelas-jelas sesat.
Sebaliknya, orang yang bertakwa,
membenarkan ayat Allah dan selalu mengingatnya dapat “melihat” atau
memahami apa yang ada di balik segala fenomena.
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ
طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ (201)
“Sesungguhnya
orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka
ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”
Dalam bentuk diagram, berikut ini adalah
struktur epistemologi ibshar,
Allah Manusia
Manusia Manusia
![]() |
|
|
|


![]() |
|||
![]() |
|||
Wallahu a’lam bish shawab.
* Dipresentasikan dalam kajian
mingguan Pesantren Ciganjur 13 Oktober 2013. Seluruh terjemahan ayat al-Qur’an
dalam esai ini mengacu pada terjemahan Depag RI.
[1] Diktat “Membaca Teks Metafisica
Aristoteles” oleh H. Dwi Kristanto, Lic.Phil. di STF Driyarkara, hlm. 13.
[2] Dalam konteks wacana filsafat
agama tentang bukti eksistensi Tuhan, “argumen desain” membahasakan klaim ini
dengan lebih saintifik.Tentang
argumen ini, lihat “5 Tantangan Abadi terhadap Agama dan Jawaban Islam
terhadapnya”, Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahuddin Ahmad, (Mizan;
Bandung), hlm. 24.
[3] Kajian yang lebih lengkap terhadap kata
kunci ra’a ini insya Allah akan menyusul. Dungone pun njeh...
[4] Dikutip oleh Prof. Toshihiko Izutsu dalam Relasi Tuhan dan Manusia,
( Yogyakarta; Tiara Wacana), 2003, h. 75.
salam Mas Wawan yang baik... terima kasih atas wawasan yang publish... saya sangat menikmati tulisan panjenengan... tetap produktif seperti waktu di pondok dulu.
BalasHapusterkait bagian akhir tulisan, saya sedikit "terganggu" dengan diagram yang muncul. mungkin gak sma dengan yang di Offiece geh...??? gimana mas? syukron.
المقالة ممتازة ، بارك الله فيكم أيها الكاتب على ما سعيتم من الجهد المبذول ، و فقكم الله ( أخوكم محي الدين
BalasHapus