Oleh:
Slamet Tri Wahyudi, S.H., M.H
Santri Pesantren
Ciganjur,
Alumnus
Pascasarjana Hukum Pidana UNPAD Bandung
Abstract
In
principle, all forms of human rights violations can not be tolerated, it is
because human rights are natural rights which are essentially a gift of God
Almighty, not least when the victim is a prisoner dies, it remains to be
guaranteed and protected rights of sustainability human rights as stated in
Article 28 of the 1945 Constitution the letter A that "every person has
the right to live and to defend life and living". This research is a
normative legal normative juridical approach. The data collected is secondary
data were analyzed using qualitative methods juridical analysis. Based on these
results it can be concluded that the policy of the Government to defer the
execution of the death penalty violated the norms of human rights, so that the
legal implications of the Government's policy is to make death row inmates as
"victims". In addition, the Government policy is a violation of human
rights, as stipulated in Article 28 UUD 1945.
Abstrak
Pada prinsipnya segala
bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia tidak bisa ditolerir. Hal ini dikarenakan
hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang secara hakikat merupakan pemberian
dari Tuhan Yang Maha Esa. Tidak terkecuali apabila korbannya hanyalah seorang
terpidana mati, maka tetap harus dijamin dan dilindungi keberlangsungan hak
asasi manusianya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28 huruf a UUD 1945
bahwa: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif.
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang dianalisis dengan menggunakan
metode analisis yuridis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa kebijakan pemerintah dalam melakukan penundaan eksekusi
pidana mati telah melanggar norma-norma hak asasi manusia, sehingga implikasi
yuridis dari kebijakan pemerintah tersebut menjadikan terpidana mati sebagai
“korban”. Selain itu, kebijakan pemerintah tersebut merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945.
Pendahuluan
Demokrasi
yang berintikan kebebasan dan persamaan sering dikaitkan dengan berbagai unsur
dan mekanisme. Demikian pula paham negara berdasarkan atas hukum. Salah satu
ciri unsur itu adalah jaminan perlindungan dan penghormatan atas HAM. Jaminan
perlindungan dan penghormatan HAM tidak mungkin tumbuh dan secara wajar apabila
tidak ada demokrasi dan tidak terlaksananya prinsip-prinsip negara berdasarkan
atas hukum. Dari pendekatan ini dapat ditarik suatu dasar bahwa demokrasi dan
pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum merupakan instrumen
bahkan prasyarat bagi jaminan perlindungan dan penegakan HAM. Oleh karena itu,
hubungan antara HAM, demokrasi, dan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas
hukum harus dilihat dalam hubungan keseimbangan “simbiosis mutualistik”.
Pada
dasarnya hak asasi manusia dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan, justru
berpikir secara hukum berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban
dapat terwujud. Dengan demikian, pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah
satu tujuannya melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus
kebebasan perseorangan diakui, dihormati, dan dijunjung tinggi.
Dalam
konteks penegakan hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia
mengharuskan suatu negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin
kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh
karena itu, pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga
keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan bersama. Tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi
kepentingan-kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektiviteit dari
perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang
dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai
kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman,
ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya merujuk pada kesimpulan dari
seminar kriminologi ke-3 1976 di Semarang antara lain, hukum pidana hendaknya
dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defense yaitu untuk
perlindungan masyarakat.
Pada
hakikatnya pemidanaan bukanlah sekedar untuk menyengsarakan seseorang yang
melakukan kejahatan atau pelanggaran, akan tetapi hakikat sebenarnya adalah
guna melindungi hak asasi dari orang diperlakukan jahat, dan di sinilah negara
hadir untuk menegakkan ketertiban dalam masyarakat. Adapun landasan dasarnya
bersumber pada “ius puniendi” bahwa negara berhak untuk menghukum
melalui “ius poenale” (hukum pidana); mewakili korban untuk
menyelesaikan akibat kejahatan. Oleh karena itu, negara wajib untuk memberikan
rasa aman dan menjaga ketertiban hubungan antar warga masyarakatnya (social
contract doctrine).
Negara
dalam upaya mewujudkan perlindungan kepentingan hukum masyarakat perlu
menetapkan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam daripada sanksi
yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Terutama dalam bidang penegakan hukum
sangatlah diperlukan mengingat hukum pidana yang dipandang mampu memberikan
efek jera terhadap pelanggarnya.
Selanjutnya
Barda Nawawi Arif menyatakan
bahwa perumusan tujuan pemidanaan
dimaksudkan sebagai ”fungsi pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan
landasan filosofis, dasar rasionalitas, dan motivasi pemidanaan yang jelas dan
terarah. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur, serta mencegah terjadinya tindak
kejahatan.
Di samping teori-teori
tersebut yang menjelaskan tentang tujuan pemidanaan, dapat pula kita temukan tujuan
pemidanaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54 ayat (1) RUU KUHP (tahun
2006):
- Mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dan pengayoman
masyarakat;
- Memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
- Menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
- Membebaskan
rasa bersalah pada terpidana.
Sedangkan pada ayat (2) disebutkan juga bahwa
pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia. Dalam prinsip hukum pidana,
bahwa ancaman berupa sanksi pidana itu hendaknya dipandang sebagai “ultimum remidium” atau sebagai suatu
upaya yang harus dipergunakan sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki kelakuan
manusia dan wajarlah apabila orang menghendaki agar hukum pidana itu dalam
penerapannya haruslah disertai pembatasan-pembatasan yang seketat mungkin.
Hal ini dikarenakan sanksi hukum pidana mempunyai pengaruh preventif
(pencegahan) terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma hukum. Karena itu,
harus diingat bahwa sebagai alat “social control” fungsi hukum pidana adalah sebagai langkah akhir, artinya
hukum pidana diterapkan bila usaha-usaha lain kurang memadai.
Dalam perkembangannya, pidana mati (capital punishment) masih tetap dipertahankan, namun
diatur dalam pasal tersendiri, yakni sebagai pidana yang bersifat khusus dan
selalu diancamkan secara alternatif. Pidana mati dijatuhkan sebagai upaya
terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 89 RUU KUHAP bahwa pemberlakuan pidana mati
merupakan pidana tersendiri, khusus dan bersifat alternatif artinya
pemberlakuan tentang ketentuan pidana mati mempunyai batasan-batasan tertentu. Adapun
pembatasan-pembatasan dalam pengaturan pidana mati yang dimaksudkan Pasal 89
RUU KUHAP adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal-Pasal yang mengatur tentang
pidana mati hanya mengenai delik-delik tertentu saja atau dengan kata lain
deliknya bersifat khusus artinya terbatas pada delik-delik tertentu saja contoh:
korupsi, narkoba, teroris, dan lain-lain;
2. Keberlakuan pengaturan pidana mati haruslah
sebagai aturan alternatif, artinya bahwa pidana mati bukanlah sebagai pidana
pokok melainkan sebagai pidana alternatif semata (tidak sebagaimana yang
diancamkan di dalam KUHP);
3. Keberlakuan dari sifat delik yang khusus
ditambah dengan keberlakuannya alternatif, akan tetapi dalam penerapan pidana
mati tersebut harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak
asasi manusia.
Berdasarkan
data yang dikeluarkan oleh Ditjen Lapas, sampai pada akhir tahun lalu tepatnya pada
Desember 2011, sebanyaknya 113 orang terpidana sedang menunggu eksekusi
pidana mati (jumlah tersebut dari seluruh lembaga pemasyarakatan yang
terkumpul di Indonesia) sebanyak 113 terpidana mati tersebut mengajukan grasi
kepada Presiden dan kesemuannya ditolak, artinya mereka dalam proses menunggu
untuk dilakukannya eksekusi mati.
Dalam
realitasnya, kebijakan penundaan terhadap eksekusi pidana mati dapat berpotensi
melanggar hukum, adapun perlakuan
terhadap terpidana mati yang berpotensi melanggar hukum adalah sebagai berikut:
1. Terjadinya
ketidakpastian hukum yang mengakibatkan
terpidana mati tidak bisa menggunakan hak-haknya untuk diperlakukan secara adil
di mata hukum;
2. Adanya perlakuan diskriminatif yakni dengan
membeda-bedakan masa hukuman antara terpidana mati yang satu dengan yang
lainnya;
3. Adanya indikasi penyiksaan terhadap terpidana
mati yakni dengan memberlakukan pidana mati ditambah dengan pidana penjara
(dalam kurun waktu yang tidak menentu).
Setiap
manusia mempunyai kedudukannya yang sama di mata hukum dan pemerintahan
(sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 27 UUD 1945), utamanya di hadapan
Tuhan Yang Maha Esa. Artinya setiap manusia memiliki hak untuk diperlakukan
sama dan oleh karena itu tidak diperkenankan adanya perlakuan diskriminasi yang
membeda-bedakan antara manusia yang satu dengan yang lain.
Dalam
perkembangannya terdapat perluasan arti dan makna tentang korban, bahwa korban
yang umumnya dianalogikan sebagai orang baik secara perilaku dan tindakan yang
karena perbuatan jahat dari seseorang mengalami kerugian, baik materil maupun
non materil, contohnya: korban penipuan, pemerkosaan dan pembunuhan. Dalam perspektif
ini korban adalah orang yang baik yang tidak memiliki cacat dalam tingkah
lakunya atau dengan kata lain tidak memiliki rekam jejak buruk. Pertanyaan yang
kemudian muncul apakah seseorang yang memiliki track record buruk yang
dirugikan oleh tindakan jahat dari orang lain atau suatu kebijakan negara dapat
dikategorikan sebagai korban?
Menarik
untuk dikaji apakah terpidana mati dapat dikualifikasi sebagai korban mengingat
terpidana mati mempunyai rekam jejak sebagai pelanggar hukum. Kemudian menguji
keabsahan dari kebijakan pemerintah dalam penundaan terhadap eksekusi pidana
mati yang diukur dengan UUD 1945, dan apakah kebijakan pemerintah tersebut
dapat dikualifikasikan sebagai kebijakan yang melanggar hak asasi manusia.
Metode Penelitian
Penulisan ini merupakan karya tulis ilmiah di bidang ilmu
hukum maka metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum.
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang
didasarkan pada pengkajian hukum positif. Penelitian ini menggunakan bahan
hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, sebagai objek penelitian.
Undang-undang yang menjadi objek penelitian utamanya adalah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 yang terkait dengan hak asasi manusia. Sehingga
pendekatan pada penelitian ini dilakukan secara pendekatan yuridis normatif. Metode
pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji, menguji, dan menelaah tentang implikasi
yuridis terkait dengan kebijakan pemerintah dalam melakukan penundaan terhadap
eksekusi pidana mati.
Penelitian ini menggunakan data sekunder di bidang hukum
yaitu jenis data yang diperoleh dari riset kepustakaan (library research),
putusan pengadilan (kasus)
serta dari data-data lain (misalnya:
media cetak, hasil seminar, dan lain-lain) yang berhubungan dengan
permasalahan yang dibahas. Adapun spesifikasi penelitian dalam penelitian ini,
termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu; tidak hanya menggambarkan
permasalahan saja, tetapi menjelaskan pula asas-asas yang terdapat dalam
pembahasan persoalan yang ada. Dengan demikian, penelitian ini dimaksudkan
untuk mencari landasan teoritis konsep tentang terpidana mati sebagai korban
dalam pelanggaran hak asasi manusia akibat dari adanya kebijakan pemerintah
dalam penundaan eksekusi pidana mati.
Pembahasan
Tinjauan Umum mengenai Pengertian Korban dan Ruang
Lingkupnya
Banyak
pakar atau ahli hukum yang memberikan pengertian atau definisi tentang korban, adapun
pengertian dan definisi tentang korban dengan rincian sebagai berikut:
1. Arief Goita: Korban
adalah mereka yang menderita jasmaniah
dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan
hak asasi pihak yang dirugikan.
2. Muladi: Korban
yaitu orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita
kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau
gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental melalui perbuatan
atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk
penyalahgunaan kekuasaan.
3. Cohen: Korban (victims) adalah “…. whose pain and suffering have been neglected
by the state while it spends immense resources to hunt down and punish the
offender who responsible for that pain and suffering;
4. Ralph de Sola:
Korban (victims) adalah “... Person
who has injured mental or physical suffering, loss of propertyor
deathresultingfrom an actual or attempted criminal offense commited by another;
5. Z.P Separovic: Korban (victims) adalah “… the person who are threatened injured or
destroyed by on actor or omission of another (mean structure, organization, or
institution) and consequently; a victim would be anyone who has suffered from
or been threatened by a punishable act (not only criminal act but also other
punishable acts as misdemeanors, economic offences, non fulfillment of work
duties) or an accidents. Suffering maybe caused by another man or another
structure, where people are also involved.
Sedangkan
pengertian korban menurut peraturan perundang-undangan dan deklarasi PBB adalah
sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga memberikan pengertian bahwa yang dimaksud korban
adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup
rumah tangga;
2. Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dimaksud korban adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mengalami pederitaan, baik fisik, mental
maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan,
atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia
yang berat termasuk adalah ahli warisnya;
3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban memberikan definisi korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana;
4. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang
Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan
kekerasan dari pihak manapun;
5. Ketentuan angka 1 Declaration of Basic Principles of Justice For Victims of Crime and
Abuse of Power Adopted by General Assembly Resolution 40/34 of 29 November
1985 yang menyatakan bahwa “Victims” means persons who, individually or
collectively, have suffered harm, including physical or mental injury,
emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their
fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal
laws operative within member states, including those laws proscribing criminal
abuse power.
Dalam
prespektif keilmuan viktimologi, bahwa untuk menilai seorang korban tidak hanya
dalam wujud fisiknya saja, melainkan dapat dinilai dalam sudut pandang yang
lain, seperti penilaian berdasarkan tipologi dari korban. Adapun pembagian
tipologi korban sebagai berikut:
1. Notparticipating victims, yakni mereka yang tidak peduli terhadap upaya
penanggulangan kejahatan;
2. Latent victims,
yakni mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi
korban;
3. Procative victims, yakni mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya
kejahatan;
4. Participating victims, yakni mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya
menjadi korban;
5. False victims,
yakni mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuat sendiri.
Tipologi korban
sebagaimana dikemukakan di
atas, memiliki kemiripan dengan
tipologi korban yang dikemukakan oleh Schafer
dalam Separofic yang mengidentifikasi korban menurut keadaan dan statusnya,
adapun rinciannya sebagai berikut:
1. Unrelated victims, yakni korban
yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan
pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggung jawab
sepenuhnya terletak pada pelaku.
2. Provocative
victims, yakni
seseorang yang secara
aktif mendorong dirinya menjadi
korban, misalnya pada kasus selingkuh, di mana korban juga sebagai pelaku.
3. Participating victims, yakni seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan
sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
4. Biologically weak
victims, yakni
mereka yang secara
fisik memiliki kelemahan yang
menyebabkan ia menjadi korban.
5. Socially weak victims, yakni mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah
yang menyebabkan ia menjadi korban.
6. Self
victimizing victims, yakni mereka
yang menjadi korban
karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius,
judi, aborsi, prostitusi.
Selanjutnya
pengelompokan korban menurut Sellin dan
Wolfgang, yakni sebagai berikut:
1. Primary victimization, yakni korban yang berupa individu atau perorangan
(bukan kelompok);
2. Secondary victimization, yakni korban kelompok, misalnya badan hukum;
3. Tertiary victimization, yakni korban masyarakat luas;
4. No victimization, yakni korban yang tidak dapat diketahui, misalnya
konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.
Konsep tentang Terpidana Mati sebagai Korban dalam
Pelanggaran HAM
Dalam
Resolusi MU-PBB 40/34 tertanggal 29 November 1985 tentang “Declaration of
Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of power” bahwa
yang dimaksud dengan korban ialah orang-orang baik secara individual maupun
kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang
melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk
peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.
Sebagaimana
yang terdapat dalam penjelasan tentang “Victims
Abuse of Power” bahwa pengertian “korban” sangat luas termasuk orang-orang
yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan, (tidak berbuat) yang walaupun
belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi
sudah merupakan pelanggaran menurut norma-norma HAM yang diakui secara
internasional.
Maksud
yang terkandung dalam resolusi sebagaimana
tersebut di atas, bahwa pemahaman tentang pengertian korban tidak dapat
dibatasi harus mengalami kerugian dari perbuatan yang melanggar hukum pidana serta
perbuatan yang melanggar hukum tersebut harus tercantum dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. Meskipun perbuatan tersebut bukanlah dikategorikan sebagai
perbuatan yang melanggar hukum tetapi termuat dalam ketentuan norma-norma hak
asasi manusia, maka perbuatan tersebut telah sah dikatakan sebagai perbuatan
yang merugikan.
Sejauh
penulis meneliti tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
prosedur dan mekanisme pelaksanaan pidana mati, tidak ada satu pun klausul
tentang mengatur mengenai waktu pelaksanaan pidana mati dan tidak ada satu pun
ketentuan yang mengatur secara detil bahwa terpidana mati yang hak asasi
dilanggar masuk dalam kualifikasi sebagai “korban”.
Dengan
tidak diaturnya secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang menjelaskan
secara eksplisit tentang kebijakan penundaan eksekusi pidana mati, bukan
berarti kebijakan tersebut bukanlah kebijakan yang melanggar hukum. Apabila merujuk
pada klausul yang terkandung dalam ketentuan
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (MU-PBB), maka
kebijakan penundaan tersebut telah melanggar norma-norma hak asasi manusia. Oleh
karena itu, sudah cukup untuk menarik kesimpulan bahwa kebijakan negara
tersebut merupakan kebijakan yang merugikan. Sehingga implikasi yuridis dari
kebijakan pemerintah tersebut membuat terpidana mati yang hak-hak asasinya
dilanggar menjadi korban.
Selain
berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan Resolusi MU-PBB 40/34 tentang “Declaration
of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of power”, pemahaman
bahwa terpidana mati sebagai korban atas kebijakan Pemerintah juga didasarkan
pada penafsiran ekstensif terhadap Pasal 28 UUD 1945. Setelah dilakukan
penafsiran, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan penundaan eksekusi pidana
mati bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
Berikut
ini beberapa indikator yang menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tentang
penundaan eksekusi pidana mati telah melanggar hak asasi manusia:
1)
Pertentangan penundaan pidana mati dengan Pasal 28 huruf d
ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk mendapatkan kepastian hukum.
Apabila mencermati kasus yang dialami oleh Sumiarsih dan
Sugeng mereka berdua divonis mati oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada tahun
1988. Tetapi pelaksanaan pidana mati keduanya baru dilakukan pada tahun 2008,
sehingga dalam kurun waktu 20 tahun tersebut mereka mengalami situasi
ketidakpastian hukum tentang waktu dan kapan dilaksanakannya pidana mati.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28 huruf d ayat (2) “Bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum”. Oleh karena itu, situasi ketidakpastian hukum yang
dialami oleh Sumiarsih dan Sugeng merupakan termasuk dalam kualifikasi tindakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Apabila ditelaah secara mendalam tentang substansi
ketentuan Pasal 28 huruf d ayat (2) tersebut bahwa pada dasarnya semua orang
berhak mendapatkan rasa keadilan dan kepastian hukum tidak terkecuali bagi
terpidana mati Sumiarsih dan Sugeng, meskipun track record (rekam jejak)
masa lalu dari ketiganya adalah pembunuh. Tetapi mereka juga mempunyai hak yang
sama yakni untuk mendapatkan rasa keadilan dan kepastian hukum. Maka dari itu,
tindakan pemerintah yang menggantung nasib mereka bisa dikategorikan ke dalam
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal ini serupa dengan apa yang telah disarankan
oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana yang tertuang dalam putusan MK No 2-3/PUU-V/2007.
Selain itu, apabila mengacu pada putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 tentang pengujian
terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang berkaitan
dengan pidana mati, bahwa demi kepastian hukum yang adil, MK menyarankan agar
semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde) agar segera dilaksanakan.
2)
Pertentangan penundaan pidana mati dengan Pasal 28 huruf g
ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk
tidak disiksa.
Implikasi terhadap ketidakpastian hukum dalam kasus yang
dialami oleh Sumiarsih dan Sugeng bahwa mereka berdua tidak hanya diganjar oleh
pidana mati saja melainkan juga pidana penjara artinya bahwa hukuman yang
dijalani oleh kedua terpidana tersebut merupakan salah satu bentuk pidana
penyiksaan. Dalam ketentuan UUD 1945 Pasal 28 huruf g ayat 2 “Bahwa setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
Apabila menafsirkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal
28 huruf g ayat (2) tersebut menyatakan secara tegas mengenai larangan terhadap
segala bentuk penyiksaan, baik penyiksaan fisik maupun psikis kepada semua
orang. Untuk melegitimasi bahwa konsep penyiksaan dalam UUD 1945 bersesuaian
dengan kondisi yang dialami oleh Sumiarsih dan Sugeng, maka harus dibuktikan
terlebih dahulu, apakah kondisi yang dialami oleh terpidana mati tersebut
adalah bentuk penyiksaan?
Tindakan penundaan yang dialami oleh Sugeng dan Sumiarsih
tersebut bisa dikualifikasikan pada tindakan penyiksaan. Hal ini bisa kita
lihat dari efek atau dampak yang ditimbulkan dari penundaan. Dalam realitasnya
keduanya divonis mati pada tahun 1988. Dari tahun 1988 sampai tahun 2008
merupakan pidana penjara sebagai akibat dari penundaan eksekusi mati tersebut.
Oleh karena itu, secara logika kurun waktu selama 20 tahun merupakan hukuman
tambahan sebagai akibat dari tindakan penundaan yang dilakukan oleh pemerintah
yang tidak segera mengeksekusi mati terpidana. Seharusnya apabila seorang telah
divonis pidana mati oleh pengadilan maka harus segera dieksekusi. Hal ini
ditujukan bukan hanya untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan
bagi terpidana mati saja, melainkan agar tindakan dari pemerintah tersebut
dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas.
3)
Pertentangan penundaan pidana mati dengan Pasal 28 huruf i
ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk
tidak diperlakukan diskriminasi.
Pemahaman tentang diskriminasi dalam hal ini terkait
dengan perbedaan waktu eksekusi pidana mati. Apabila kita telisik lebih jauh
lagi untuk membuktikan apakah dalam hal penundaan pidana mati terdapat kondisi
diskriminasi? Bahwa faktanya pelaku pelaku pengeboman seperti Amrozi, Imam
Samudra dan kawan-kawannya, mereka diadili pada 2003 kemudian melakukan upaya
hukum Banding, Kasasi, bahkan sampai Peninjauan Kembali (PK), yang berujung
pada penolakan memori PK oleh Hakim PK. Kemudian tepatnya pada 2008
dieksekusilah Amrozi cs. Mari kita bandingkan kasus ini dengan kasus terpidana
mati yang lain seperti yang dialami Sugeng dan Sumiarsih. Mereka didakwa
melakukan pembunuhan berencana, kemudian majelis hakim memvonis mati pada
keduanya. Akan tetapi mereka tidak langsung dieksekusi, tetapi mereka harus
menunggu 20 tahun untuk dilakukannya eksekusi.
Perbedaan waktu penundaan pidana mati yang menimpa Amrozi
cs, merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 28 huruf i ayat (2) UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”. Apabila
dibandingkan mengenai pelaksanaan pidana mati antara terdakwa Amrozi cs dengan Sugeng dan
Sumiarsih terdapat perbedaan waktu eksekusi. Hal ini mempertegas bahwa
perlakuan yang diterima oleh Amrozi cs dalam penundaan pidana mati yang berbeda
dengan Sugeng dan Sumiarsih adalah perlakuan yang diskriminatif. Oleh karena
itu, perlakuan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Kesimpulan
Apabila
mendasarkan pada klausul yang terkandung dalam ketentuan Resolusi MU-PBB 40/34 tentang “Declaration
of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of power”,
maka kebijakan pemerintah dalam melakukan penundaan penerapan pidana mati telah
melanggar norma-norma hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah cukup untuk
menarik kesimpulan bahwa kebijakan negara tersebut merupakan kebijakan yang
merugikan. Sehingga implikasi yuridis dari kebijakan pemerintah tersebut
membuat menjadikan terpidana mati sebagai “korban”.
Selain itu, pemahaman tentang terpidana mati sebagai korban atas kebijakan pemerintah
didasarkan pula pada penafsiran ekstensif terhadap Pasal 28 UUD 1945. Berdasarkan
penafsiran ekstensif kebijakan penundaan eksekusi pidana mati bertentangan
dengan hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945. Adapun
solusi hukum terkait dengan problematika penerapan pidana mati tersebut, yakni dengan
menjalankan saran yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang
tercantum dalam Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 tentang
pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang
berkaitan dengan pidana mati, bahwa demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah
Konstitusi menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) agar segera dilaksanakan.
(*)
Daftar Pustaka
Buku-Buku;
Kholik, M.Abdul, Buku Pedoman kuliah hukum pidana, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII,
2002
Manan, Bagir, Perkembangan
Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Bandung: Alumni,
2006
Muchsin, Ikhtisar
Sejarah Hukum, Jakarta: STIH “IBLAM”, 2004
Muladi dan Barda
Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997
Ralph de Sola, Crime
Dictionary, New York: Facts and File Publication, 1998
Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., G Wiratama Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan
Prespektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Jakarta: Universitas
Atmajaya, Cetakan Pertama, 2001
Syahdeni,
Sutan Remy, Pertanggung Jawaban
Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2006
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, 2005
Peraturan Perundang-undangan;
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
Berat
Declaration of Basic
Principles of Justice For Victims of Crime and Abuse of Power Adopted by
General Assembly Resolution 40/34 of 29
November 1985
Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Tahun 2006)
Jurnal Hukum;
Wahyudi, Slamet Tri, Problematika
Penerapan Pidana Mati dalam Konteks Penegakan Hukum, Mahkamah Agung RI:
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1, Nomor 2, 2012
Internet;
Ditjen Lapas, Hukuman Mati
Senafas dengan Semangat Perlindungan HAM, yang diunduh pada tanggal 12
September 2012, Pkl 10.00 WIB
Muchsin, Ikhtisar
Sejarah Hukum, (Jakarta: STIH “IBLAM”), 2004 hal. 47
M. Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII,
2002), h. 15
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2005), h. 52
Soedarto, Suatu
Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 1974), h. 34
Muladi dan Barda
Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung:
Alumni, 1992), h. 84
Declaration of Basic Principles of Justice For Victims of
Crime and Abuse of Power Adopted by General Assembly Resolution 40/34 of 29 November 1985, h. 1