Kamis, 28 November 2013

Politik NU



Politik NU
Oleh: al Bonny
               
Sebenarnya politik itu apa? Dikalangan NU, berpolitik itu boleh berbeda tapi tidak boleh berbeda sisi kemanusiaan dengan doktrin tasyamum/persamaannya yang sesuai konsep Islam di Indonesia. Kalau orang Barat memahami politik sebagai berjuang untuk mendapatkan kekuasaan. Ada juga yang memaknai politik adalah pembagian materi/uang yang sah. Ada juga memaknai politik sebagai konflik. Makanya ada konflik yang dilembagakan, ini salah satu tipologi pemikiran Barat mengenai politik untuk mencapai kekuasaan, uang dan konflik, karena mereka bersumber dari filsafat materialistis. Akhirnya banyak orang berpikir bahwa politik adalah merebut presiden, gubenur dan bupati, dan di kalangan NU pun masih seperti itu. Walaupun konsep politik dikalangan NU tidak seperti itu namun dalam hal praktis terperangkap dalam filsafat materialism. Sebab dalam konsep Islam, memahami politik sebagai metode untuk mencapai kemaslahatan umat (dunia dan akhirat), yakni makmur secara ekonomi, orangnya pintar, bebas berekpresi termasuk kebebasan beribadah. Dan dalam hal ini, Barat juga intres dalam maslahat umat dan politik demi kepentingan nasional, tapi kepentingannya itu hanya di dunia saja tdak ada bentuk akhiratnya, ini yang membedakan dengan NU. Karena kerancuan inilah yang menyebabkan umat masih terfragmentasi/terkotak-kotakkan.

Sekarang pertanyaannya adalah berpolitik itu untuk apa? Pertanyaan seperti ini harus mulai dibangun dalam pembelajaran dan pemahaman untuk tidak mempertanyakan hal seperti itu. Banyak orang mengatakan ‘saya tidak ingin bersinggungan dengan politik, saya ingin hidup netral sajalah’, pernyataan seperti ini dalam bentuk ketidak mengertian akan berpolitik atau mengerti? Dalam pemikiran Barat seperti John. Locke atau Thomas Hobbes banyak memberikan pemahaman akan politik dari ranah teori yang melihat  mind set (sikap kejiwaan) masyarakat umum sudah terbentuk bahwa politik adalah hal negative, dan seakan-akan politik itu tidak bisa terlepas dari partai, padahal berbeda antara politik dengan partai. Semua masyarakat menjalankan politik tapi belum tentu mereka berpartai, hanya saja demokrasi yang berjalan di Indonesia itu harus melalui partai, seakan-akan kalau berpolitik ya berpartai juga. Itu yang belum dikembangkan pemahamannya kepada masyarakat umum sehingga wajar saja banyak masyarakat yang tidak ikut serta dalam pemilihan presiden, gubenur atau bupati alias golput karena sudah berpikir negative terhadap perpolitikan kita. Kalau kita merujuk pada kitab-kitab klasik, politik dalam kitab pesantren menggunakan lafadz ‘assiyasat’, artinya mensiasati bagaimana tujuan-tujuan itu bisa tercapai, dan bagi kalangan NU mencoba menyiasati antara kehidupan dunia dan akhirat, seperti bagaimana kita bisa selamat dan masuk surga, bagaimana kita mendapat ridho Allah, disitulah agama memberikan pemahaman berpolitik. Jadi tidak hanya masalah akal tapi ada kalbu yang berperan juga, tidak hanya hal yang dhahir tapi yang bathin juga harus di asah, ini sebagai keilmuan berpolitik dalam NU. 

Walaupun kenyataan saat ini tidak begitu, dan sebagian para pemimpin kita banyak menerapkan paham filsafat materialism, seperti pemahaman bahwa modal awal kita dalam pencalonan berapa dan kita harus bisa mengembalikan modal awalnya, itulah yang terjadi dalam kepemimpinan kita. Tetapi politik dalam masyarakat bawah masih santun dan jujur. Berbeda jika mereka (para pemimpin) menggunakan konsep Islam yang membangun kemaslahatan umat dalam bentuk dunia dan akheratnya, maka tidak akan terjadi yang namanya money politic (politik uang), serangan fajar atau apa yang mengarah pada kekuasaan belaka. Itu yang sangat disayangkan dalam demokrasi kita. Lalu apakah salah berpolitik seperti itu? Bukan masalah salah atau tidak, tetapi masyarakat kita harus menyadari konsep apa yang di kembangkan oleh para politisi ini, kalau tidak, politik akan selalu dianggap negative dan masyarakat umum makin tidak acuh dengan kehidupan Negara ini.
Sulit tapi bisa, tergantung niatnya ditaruh dimana?  

Sabtu, 26 Oktober 2013

Umat Islam dan Industrialisasi di Indonesia: sebuah tantangan modernisasi

Sayyid Ja'far Sodiq

Industrialisasi di pelabagai negara di dunia–tidak terkecuali di Indonesia-merupakan sebuah transformasi  sosial-ekonomi yang tidak terelakkan. Ia merupakan sebuah proses perubahan di mana masyarakat negara dunia menerimanya dalam keadaan berbeda, mulai dari proses, kecepatan sampai pada konskwensi-konskwensinya di negara-negara itu. Indonesia dalam kaitannya dengan industrialisasi tentu memiliki modelnya sendiri.

Indonesia memiliki  jalan yang beragam. Kuntowijoyo, memaparkan hasil bacaannya atas buku Social Origins of Dictatorship and Democracy yang ditulis oleh Barington Moore, menyebutkan bahwa terdapat banyak jalan menuju industrialisasi, yaitu: revolusi borjuis, fasisme, komunisme dll.

Industrialisasi merupakan bagian dari modernisasi. Ia tidak dapat lepas darinya. Tapi keduanya dapat dibedakan. Industrialisasi dan modernisasi bisa berjalan bersamaan atau berjalan sendiri-sendiri. Saluran telpon beserta alat komunikasi lain dapat masuk ke desa terpencil meski tidak ada usaha-usaha industri di sana.

Lalu bagaimana industrialisasi bisa terwujud? Jawabannya adalah bahwa  proses itu dapat terwujud bila metode ilmu pengetahuan dan teknologi diterapkan di masyarakat. Namun yang perlu diingat adalah bahwa terdapat unsur yang melekat dan tidak dapat ditinggalkan dalam dunia industri yaitu usaha yang diprakarsai oleh banyak orang yang menerapkan metode ilmu pengetahuan atau semangat ilmu pengetahuan.

Industri sudah barang tentu dapat mempengarui masyarakat. Oleh karenanya, terdapat gejala-gejala penting dalam masyarakat industri. Dalam hal ini, Kuntiwijoyo mengungkapkan sejumlah gejala-gejala sesuai yang diungkapkan oleh Raymon Aron. Gejala-gejala tersebut adalah: memanjangnya usia rata-rata, kenaikan yang terus menerus dalam output nasional, rasionalisasi sosial–yang akan menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini-dan lain-lain.

Industri mempunyai andil cukup besar dalam perubahan sebuah masyarakat yang menerimanya. Ia tidak hanya membuat manusia bak mesin yang terorganisir rapih, tetapi di sisi lain dapat membuat jarak antara mereka dengan tradisi mereka sendiri akibat peran tradisi yang tergantikan oleh hubungan-hubungan yang sifatnya rasional, legal dan bersifat kontraktual.

Moralitas baru yang dimiliki masyarakat industri lebih menekankan pada rasionalisme ekonomi, hasil perorangan, dan kesamaan yang merupakan ciri masyarakat industrial. Berbeda dengan masyarakat dalam dunia pertanian, masyarakat agraris mengalami pembagian status yang jelas, yaitu antara pemilik lahan dengan sang penggarap lahan itu. Dan perubahan kesadaran masyarakat maupun perorangan merupakan syarat memasuki model masyarakat seperti masyarakat industri atau yang lain.

Agama yang mempunyai nilai-nilai agungnya sendiri melakukan upaya penaklukan industrialisasi dan modernisasi yang dianggapnya sebagai momok yang mengancam nilai-nilai itu. Sebut saja seperti sosialisme gospel, yaitu sebuah gerakan sosialisme Kristen yang sudah lama berdiri sebagai jawaban menghadapi tantangan modernisasi. Begitu pula Islam  yang mendirikan gerakan yang tidak jauh berbeda tetapi tentu dengan nilai luhurnya masing-masing.

Perlu ditegaskan bahwa pemakalah dalam tulisan ini memfokuskan pada tantangan industrialisasi dalam konteks masyarakat pertiwi. Dimulai dari pembangungan industri agraria yang sudah dibangun ketika pemerintah kolonial mengirim tanaman ekspor dan komersial ke Indonesia.

Pada zaman kolonial, masyarakat pribumi tidak mempunyai peluang besar dalam mengembangkan usaha mereka. Hal ini ditengarahi oleh minimnya permodalan dan nihilnya organisasi besar yang diperlukan. Ditambah lagi peranan terbesar dalam transformasi ekonomi ada pada pemerintah kolonial dan swasta asing. Pun demikian di saat Indonesia merdeka, tidak ada perubahan berarti kecuali adanya nasionalisi terhadap usaha-usaha asing.

Kemerdekaan menempatkan pemerintah dan swasta nonpri memegang peranan besar dalam industrialisasi. Meski demikian bukan tanpa hambatan-hambatan. Apa yang Kuntowijoyo sebut sebagai buruh kiri dan tani kiri merupakan tantangan bagi uasaha pemerintah dalam bidang industri maupun perkebunan.

Aliansi antara pemerintah dan swasta menjadikan swasta mendapatkan perlindungan yang cukup untung membendung usaha kesamaan oleh para  tenaga kerja. Di sisi lain pemerintah dengan aliansi itu mendapatkan keuntungan berupa modal sebagai penggerak politik. Pasca kemerdekaan tahun 1965 muncul kelompok baru, yaitu kelompok militer yang juga beraliansi dengan pemerintah serta swasta. Hal ini tentu saja semakin memperjelas adanya ketidakberpihakan terhadap warga sipil dan pada akhirnya politik ekonomi akan menggantikan budaya politik dalam percaturan politik di Indonesia.

Konflik industrialisasi dan umat Islam

Di negara-negara yang masyarakat industrinya maju ada kecenderungan persamaan sosial dan ketidaksamaannya menurun. Hal ini belum berlaku di negara Indonesia, hanya berlaku bagi negara maju semisal Jepang dll.

Model perkembangan industrialisasi dan politik luar negri tidak menjamin adanya hasil yang sama dalam hal pembagian pendapatan yang di alami di negara lain yang kemudian menciptakaan adanya kesamaan. Indonesia menurut Kuntowijoyo harus memakai pola “revolusi dari atas” guna mencapai keadilan sosial ekonomi meski tanpa menunggu proses demokrasi yang utuh sebagaimana negara maju. Dalam hal ini kekuatan politik pemerintah dan the ruling elite sendiri yang menentukan.

Sementara umat Islam masih sebagai sebuah–seperti yang dikutip oleh Kuntowijoyo-strategic group. Mereka masih menamakan dirinya sebagai non-class group dan berdiri di atas kepentingan kelas-kelas sosial.

Kuntowijoyo membuat gambaran hubungan antara umat,kekuatan sosial politik,kelas sosial dan pemerintah dalam upaya perubahan sosial tanpa menimbulkan disintegrasi sosial dan sistem di bawah ini:



Sebagai pengendali tentu saja harus mempunyai kecermatan untuk mengawasi pelaku ekonomi dan politik dalam masyarakat mulai dari tingkat daerah pusat sampai desa. Dan umat Islam dalam kemampuannya memerankan pengendalian itu seyogyanya mendapat perhatian besar dari berbagai pihak.

Hanya tuhanmu yang tahu terhadap kebenaran!

Semantik Ibshar dalam al-Qur’an*

Semantik Ibshar dalam al-Qur’an*

Wawan Kurniawan

Manusia, menurut al-Qur’an, dilahirkan dengan kondisi tanpa pengetahuan akan sesuatu apa pun, namun dibekali pelbagai kemampuan sebagai sarana untuk memperolehnya, yakni pendengaran (sam’), penglihatan (bashar/abshar), dan hati (fuad/af’idah). Tujuan dari pembekalan ini adalah agar manusia berterima kasih (syukr) kepada Tuhan. Dalam bahasa al-Qur’an sendiri;

وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا، وَجَعَلَ لَكُمْ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ (النحل : 78)
Allah mengeluarkan diri kalian dari dalam perut ibu dalam keadaan tidak mengenal sedikit pun apa yang ada di sekeliling kalian. Kemudian Allah memberi kalian pendengaran, penglihatan dan mata hati sebagai bekal mencari ilmu pengetahuan, agar kalian beriman kepada-Nya atas dasar keyakinan dan bersyukur atas segala karunia-Nya.

Penglihatan yang diacu oleh bashar dalam ayat ini adalah penglihatan secara fisik atau inderawi (empiris). Peran penglihatan melalui kedua biji mata ini dalam cara manusia memperoleh pengetahuan inderawi, tidak diragukan lagi, begitu besar. Bahkan, seperti telah disadari oleh Aristoteles jauh-jauh hari, penglihatan, dibandingkan dengan beberapa organ inderawi yang lain, merupakan organ yang mampu menangkap dimensi paling luas dari objek inderawi. Ia dapat menangkap sekaligus warna, bentuk, besaran, gerak, dan jumlah.[1] Pun, ia memainkan peranan penting dalam hampir setiap tingkat pengetahuan, mulai dari pengetahuan biasa yang tak sistematis sampai ke pengetahuan yang sistematis (science). Al-Qur’an memberi kita contoh,

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ (3) ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ (4) (الملك : 3-4)
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.

Ayat ini mengajukan sebuah, katakanlah, “klaim saintifik” bahwa tidak ada yang tidak seimbang dari alam semesta; segala sesuatu yang kita kenal sebagai ciptaan Tuhan mestilah tercipta sedemikian teratur dan tanpa cacat.[2] Tak tanggung-tanggung, ayat ini bahkan juga berani menantang siapa pun untuk membuktikan yang sebaliknya atau, dalam bahasa filsafat ilmu, “falsifikasi” dengan cara menggunakan daya panca indera mata bashar hingga sampai pada suatu kesimpulan teoritis, ru’yah. Seberapa sering pun “falsifikasi” itu dilakukan, hingga mata mengalami kelelahan sekali pun, hasilnya pasti akan tetap membenarkan klaim ayat tersebut.

Di sini, kita menemukan satu kata kunci lain yang terkait erat dengan bashar dan yang juga sering digunakan al-Qur’an dalam konteks penglihatan ayat-ayat non-verbal atau kauniah, yakni ra’a, yang makna dasarnya berarti “melihat dengan pikiran”.[3]  Sejauh ini, kita dapat membangun hipotesa bahwa ru’yah atau ra’y merupakan penglihatan yang satu tingkat lebih abstrak di atas bashar sebagai penglihatan fisik biasa. Sebab, sementara bashar sebagai penglihatan inderawi hanya dapat mengindra objek empiris-partikular, ra’y mampu membangun suatu “penglihatan” terhadap kenyataan yang universal dan sistematis, namun masih juga terkait objek empiris.

Sejauh yang kita selidiki adalah epistemologi religius al-Qur’an, maka perlu digaris-bawahi bahwa baik pengetahuan yang diperoleh melalui perantara bashar maupun ru’yah belum tentu bersifat religius. Seabstrak atau sesistematis apapun suatu ra’y tidak akan bersifat religius bila hanya berhenti pada objek yang “dilihat” dan tidak “memahami” atau “mengimani” apa yang tersembunyi di balik objek tersebut, yakni kedudukannya sebagai tanda ayat yang diturunkan atau diciptakan Allah. Semesta dimana kita hidup, menurut al-Qur’an, adalah “semesta tanda”, dan  “melihat” suatu fenomena secara religius berarti menganggapnya sebagai ayat dari Allah. Memang benar, suatu pengetahuan sistematis dan abstrak tentang suatu objek bisa, tapi tidak niscaya, menjadi motivasi untuk “memahami”-nya sebagai ayat.

فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُ‌وا مِن قَوْمِهِ مَا نَرَ‌اكَ إِلَّا بَشَرً‌ا مِّثْلَنَا وَمَا نَرَ‌اكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَ‌اذِلُنَا بَادِيَ الرَّ‌أْيِ وَمَا نَرَ‌ىٰ لَكُمْ عَلَيْنَا مِن فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ ﴿هود: ٢٧﴾

Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta."

Ini adalah suatu kasus ekstrem dimana penggunaan ra’y oleh kaum Nabi Nuh-alaihi wa’ala nabiyyinaa-shalatu wa-s-salam- justru membuat mereka menolak ajakan (dakwah) beliau. Contoh yang lebih “lunak” diberikan dalam ayat berikut,

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ (الأنبياء : 30)
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”

Menurut ayat ini, orang-orang kafir, dengan mengerahkan kemampuan ra’y, telah dapat mengetahui asal-usul langit dan bumi, yang jelas-jelas bukan merupakan pengetahuan inderawi biasa, namun tetap saja mereka tidak beriman.

Hal ini dapat terjadi karena, selain kemampuan penglihatan bashar dan ra’y yang sama-sama inderawi itu, masih terdapat kemampuan penglihatan yang lebih tinggi dan penting, yakni “melihat secara batiniah” ibshar (bentuk nominal/mashdar dari kata kerja abshara, dengan mubshir sebagai bentuk partisipial/isim fa’il). Dalam konteks struktur epistemologi penglihatan dalam al-Qur’an, ibshar merupakan kata fokus yang dikelilingi kata-kata kunci lain yang terkait, seperti bashar dan ra’y. Sebab, jika hasil akhir dari pengetahuan religius adalah satu dari dua kondisi religius yang saling berpasangan, yakni petunjuk hidayah dan kesesatan dlalal, maka unsur determinan dalam tindakan manusia bagi terwujudnya salah satu hasil akhir tersebut tidak lain adalah satu di antara oposisi antara ibshar dan ‘ama “kebutaan batin”.

وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ (20) وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (21)  (الذاريات)
“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
قَدْ جَاءَكُمْ بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ أَبْصَرَ فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ عَمِيَ فَعَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ (104)
Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka barangsiapa melihat (kebenaran itu, maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara(mu).

Dari kedua ayat ini, kita mendapat pemahaman bahwa Allah telah menebar ayat-Nya, baik di alam semesta maupun dalam diri manusia. Respon manusia terhadap ayat tersebut terkategorikan ke dalam dua kelompok yang bertentangan antara “yang melihat” mubshir dan “yang buta” a’maa. Walaupun ayat itu dapat berupa fenomena empiris, namun lokus sebenarnya dari “penglihatan” dan “kebutaan” di sini qalb “hati”, meskipun mata inderawi tetaplah mempunyai peran.

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179) (الأعراف)
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (46) (الحج)

 maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.

Sesungguhnya, bila kutipan pertama di atas ditafsir secara harfiah dan ketat, maka kita perlu membedakan antara dua “organ” hati qalb dan mata fisik ‘ain. Qalb berfungsi “merenung” ya’qil, sedangkan ‘ain berfungsi “melihat secara fisik” ibshar. Ini berarti bahwa, berlawanan dengan uraian di atas, ibshar pada dasarnya tetaplah bermakna denotatif (hakiki) yaitu “melihat secara fisik”, bukan konotatif (metaforis/majazi).

Ada sedikitnya tiga kemungkinan cara untuk menala kembali hal ini. Pertama dengan mengingat pernyataan oleh Dr. Daud Rahbar dalam God of Justice yang diafirmasi Prof. Izutsu dalam studi semantiknya, bahwa “apa yang diharapkan dari sebuah kitab wahyu yang besar bukanlah konsistensi logis yang mutlak, namun konsistensi terhadap dominannya gagasan.”[4] Sementara itu, gagasan dominan tentang makna ibshar dalam al-Qur’an, terlepas dari apa lokus atau organnya, adalah “melihat secara batiniah”. Cara kedua adalah dengan menafsirkan ‘ain dalam ayat tersebut secara metaforis, yakni sebagai “mata hati”. Dengan otomatis, ibshar juga mendapat arti sebagaimana diuraikan di atas.

Kami sendiri lebih memilih kemungkinan ketiga, yakni tetap memaknai ‘ain sebagai mata fisik, sedangkan ibshar tetap berarti “melihat secara batiniah”. Untuk menjelaskan bagaimana “mata batin” dan mata inderawi ini berperan bersama-sama dalam proses “penglihatan hati”, yang tak lain adalah proses “merenung” atau “berpikir” ya’qil menurut ayat terakhir di atas, kami mengajukan suatu hipotesa tentang konektivitas antara kedua jenis atau juga level “mata” itu. Maksudnya, dalam analisis, kedua “mata” itu memang harus dibedakan dengan tegas, namun dalam realitas, keduanya saling terkait erat dan saling mendukung dalam proses perenungan tanda-tanda ayat Tuhan. Dengan demikian, penunjukan ‘ain sebagai organ ibshar dalam ayat di atas adalah untuk menegaskan satu unsur yang penting dalam ibshar.

Tidak pada semua orang konektivitas ini dapat terjalin rekat. Pada orang-orang mendustakan takdzib tanda-tanda dari Allah dan yang secara religius lalai ghafil, konektivitas antara kedua “mata”-nya terputus karena “sekat rohani” yang ditimpakan sedemikian rupa oleh Allah di antara keduanya, hingga ketika melihat suatu fenomena, yang bagi orang yang takut pada ancaman Allah muttaqun merupakan ayat Allah, ia hanya menganggapnya sebagai hal biasa.

أُولَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (النحل : 108)
Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai.
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ آيَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِنْ يَرَوْا سَبِيلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَكَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ (الأعراف : 146)

Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.

Ayat yang pertama berisi semacam definisi untuk suatu kondisi ruhani ghaflah lalai, yakni suatu kondisi dimana segala akses untuk mereguk kebenaran dari ayat Allah telah ditutup. Akibatnya, sebagaimana dalam ayat kedua, teramat fatal, yaitu dapat memilih secara sadar jalan yang jelas-jelas sesat.

Sebaliknya, orang yang bertakwa, membenarkan ayat Allah dan selalu mengingatnya dapat “melihat” atau memahami apa yang ada di balik segala fenomena.

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ (201)
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.

Dalam bentuk diagram, berikut ini adalah struktur epistemologi ibshar,

Allah                                                Manusia                        Manusia                      Manusia
 



Sesat
 
“Buta”
 
Mendustakan/Kufr
 
Ayat
 




Wallahu a’lam bish shawab.



* Dipresentasikan dalam kajian mingguan Pesantren Ciganjur 13 Oktober 2013. Seluruh terjemahan ayat al-Qur’an dalam esai ini mengacu pada terjemahan Depag RI.
[1] Diktat “Membaca Teks Metafisica Aristoteles” oleh H. Dwi Kristanto, Lic.Phil. di STF Driyarkara, hlm. 13.
[2] Dalam konteks wacana filsafat agama tentang bukti eksistensi Tuhan, “argumen desain” membahasakan klaim ini dengan lebih saintifik.Tentang argumen ini, lihat “5 Tantangan Abadi terhadap Agama dan Jawaban Islam terhadapnya”, Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahuddin Ahmad, (Mizan; Bandung), hlm. 24.
[3] Kajian yang lebih lengkap terhadap kata kunci ra’a ini insya Allah akan menyusul. Dungone pun njeh...
[4] Dikutip oleh Prof. Toshihiko Izutsu dalam Relasi Tuhan dan Manusia, ( Yogyakarta; Tiara Wacana), 2003, h. 75.

Hukum Tata Negara (Studi Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah karya Imam Al-Mawardi)

Hukum Tata Negara
(Studi Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah karya Imam Al-Mawardi)
M. Rifqi Fawaid

I.         Pendahuluan
Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah merupakan salah satu kitab politik atau hukum ketatanegaraan yang patut mendapat perhatian lebih. Karena, di samping penulisnya, imam al-Mawardi, adalah seorang faqih (ahli hukum Islam), beliau juga hidup dimasa pemerintahan ‘Abbasiyah yang waktu itu merupakan kekhilafahan Islam.
Seperti kitab-kitab fiqh politik lainnya, al-Mawardi memberikan tempat untuk menjelaskan perbedaan pendapat dari madzhab lain. Akan tetapi, al-Mawardi lebih mengutamakan pendapat madzhab yang dianutnya, Syafi’i.
Faktor yang mendorong Al-Mawardi untuk membukukan pikirannya adalah karena terjadinya krisis khilafah dan madzhab sunni pada pertengahan abad keempat hijriyah.
Sejarah politik yang terjadi di masyarakat arab[1] sebelumnya tidak dapat terpisahkan dengan sejarah agama yang mereka anut. Namun, pada masa Al-Mawardi kondisinya sudah berbeda. Banyak aliran-aliran yang berkembang. Pertama,  Imamiyyah yang disokong oleh Buwaihiyah. Kedua,  Isma’iliyyah[2]. Ketiga, Sunni.
Mungkin akan timbul pertanyaan, sesuaikah pemikiran Al-Mawardi yang ditulis lima belas tahun silam jika diaplikasikan di abad ini? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus akui terlebih dahulu bahwa ada sesuatu yang hilang dalam masyarakat Islam; yaitu hukum perbudakan, hukum harta ghanimah[3], dll.
Banyak yang mengatakan bahwa khilafah telah jatuh, tapi jika memang ia benar-benar jatuh, apakah pemerintahan juga turut jatuh? Pada hakikatnya, pemerintahan ini setiap harinya berkembang. Dan, dari sinilah kita dapat membuktikan pemikiran Al-Mawardi ini sesuai  dengan abad sekarang.

II.      Biografi Imam Al-Mawardi

Al-Mawardi adalah nama yang dinisbatkan terhadap pekerjaan keluarganya. Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib. Beliau lahir di Basrah tahun 364H/972M. Masa mudanya ia habiskan untuk belajar fiqh madzhab Imam Syafi’i di bawah bimbingan Abu al-Qasim as-Shaimariy. Kemudian meneruskan perjalanannya ke Baghdad untuk lebih memperdalam lagi ilmu fiqh di bawah bimbingan ulama besar Syafi’iyah, Al-Isfiraainiy, disamping juga belajar bahasa Arab, hadits dan tafsir. Al-Mawardi wafat tahun 450H/1058M, dan kemudian dikebumikan di kota Mansur, Baghdad.[4]
Meskipun al-Mawardi adalah orang yang dikenal di Baghdad, tetapi sumber sejarah tidak banyak mengupas tentang kehidupan keluarganya di Bashrah dan Baghdad. Pada masa pemerintahan ‘Abbasiyah, Al-Mawardi merapat kepada Khalifah ‘Abbasiyah al-Qadir Billaah setelah memberikan ringkasan kitab fiqh Syafi’i, al-Iqna’.[5]
Al-Mawardi juga dikenal sebagai duta diplomatis di antara para penguasa Buwaih di satu sisi, dan khalifah-khalifah ‘Abbasiyah di sisi lain, terlebih lagi dengan khalifah Al-Qadir Billah. Tujuan diplomasinya adalah untuk kembali mengharmoniskan hubungan politik antara penguasa-penguasa pada zaman itu, yang dulunya hanya mencari solusi dengan pertumpahan darah.[6]
Dalam segi pemikiran, al-Mawardi menuangkannya dalam bentuk tulisan. Berbagai displin ilmu ditulisnya, dari tafsir, fiqh, hingga sastra. Dari berbagai kitab yang ia tulis, al-Ahkam as-Sulthaniyyah merupakan salah satu kitab yang cukup terkenal. Selain itu, karya-karyanya dalam bidang sosial-politik adalah Adab ad-Dunya wa ad-Din, Siyasatu al-Wizarat wa Siyasat al-Malik, Tashil an-Nadzar wa Ta’jil adz-Dzafar fi Akhlaq al-Malik wa Siyasat al-Malik, Siyasat al-Malik, Nashihat al-Muluk.

III.   Pemikiran Politik Al-Mawardi

Al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah tidak menjelaskan secara gamblang makna politik sendiri, karena pada masanya sudah berdiri khilafah ‘Abbasiyah yang sudah diterima oleh masyarakat pada waktu itu.

a.     Al-Khilafah/Al-Imamah

Sebelum melangkah lebih jauh, lebih baik kiranya mendefinisikan terlebih dahulu arti khilafah dan khalifah. Khilafah adalah konsep kenegaraan atau hukum tata negara “yang bertujuan untuk melanjutkan tugas nabi dalam melindungi agama dan mengatur dunia.[7] Seperti halnya nabi yang diperintah untuk menyampaikan risalah, khalifah juga mempunyai peran sama.
Sedikitpun tidak pernah tebersit dalam benak Al-Mawardi untuk memisahkan antara agama dan dunia; pemuka agama hanya mengurus soal agamanya sedang pemerintah megurus pemerintahannya, tidak.
Seorang Imam yang dirinya sebagai khalifah (penerus) nabi adalah seorang yang meneruskan tongkat estafet untuk melanjutkan perjuangan nabi dalam menjalankan syari’at. Syari’at yang dimaksud ialah dasar-dasar (pondasi) agama Islam, sendi-sendi agama yang kemudian menjalankan hukum dan mengatur kehidupan individu dan masyarakat.
Al-Imamah merupakan satu dari beberapa peninggalan para nabi dan wajib ada (didirikan) untuk menjalakan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia.  Akan tetapi, kewajiban tersebut masih terdapat perdebatan. Apakah penetapan kewajiban ini cukup dengan akal saja tanpa naql (syari’at)? Atau dengan naql yang kemudian menuntun akal untuk menetapkannya?
Sebagian berpendapat bahwa penetapan ini cukup dengan akal, karena pada dasarnya akal sehat sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Misal, ketika ada pertengkaran atau perkelahian antar individu atau kelompok, otomatis akal mendorong si empunya untuk melerai.
Sebagian lain mengatakan bahwa akal saja tidak cukup untuk menjadi legitimasi atas kewajiban ini, ia harus ditopang dengan naql karena ini merupakan masalah syar’iyyah.
Terlepas dari semua itu, kewajiban ini berupa fardlu kifayah. Artinya, jika sebagian melaksanakan maka telah terpenuhi. Jika tidak dilaksanakan, maka harus ada kelompok masyarakat yang harus memenuhi kewajiban tersebut. Dan kelompok inilah yang disebut dengan Ahl al-Ikhtiyar dan Ahl al-Imamah, dengan syarat dan ketentuan masing-masing.



[1] Masyarakat Islam pada abad pertengahan.
[2] Mereka adalah Fathimiyyun yang berasal dari mesir yang sudah tersistem.
[3] Harta ghanimah adalah harta yang diambil oleh kaum muslimin dari musuh mereka dalam peperangan. Lebih singkatnya adalah harta rampasan perang.
[4] Pengantar Dr. Ahmad Mubarak al-Baghdadi (ed) dalam al-Ahkaam as-Sulthaaniyyah (Kuwait: Maktabah Daar Ibn Qutaibah, 1989), hlm. خ خ
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid. hlm. 3.