Libido, Neurosis dan Agama
Oleh; Ihya' Ulumuddin
Sepertinya tidak ada satu rentang masa dalam kehidupan manusia yang
tidak terisi oleh agama. Ini bisa dilihat dari lukisan-lukisan pra-sejarah,
seperti misalnya di dinding gua-gua di Ardeche Gorge di Prancis yang
diperkirakan diciptakan 32.000-an tahun yang lalu yang menunjukkkan bahwa
manusia pada waktu itu menyembah hal-hal yang ghaib . Berbagai suku asli di
Asia selatan, Asia Tenggara, Australia dan kepulauan Pasifik menghayati tuhan
dalam kenyataan setiap harinya dengan kepercayaan, mitos-mitos yang
diceritakan, ritual-ritual dan doa-doa serta kebiasaan yang lain(lih. Franz
Magnis; 2006). Pencapaian agama pada usia yang sebegitu tuanya dalam sejarah
manusia tidak selalu diterima sebagian masyarakat dengan begitu mudahnya. Ini
bisa kita lihat dari munculnya
tokoh-tokoh yang mengkampanyekan hasil pemikirannya tentang agama, sebut saja misalnya
Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Sigmund Freud dan lain sebagainya. Masing-masing
tokoh memiliki model pemikirannya sendiri dalam melihat agama. Feuerbach
melihat agama sebagai proyeksi diri, Marx cenderung mengikuti Feuerbach
kemudian disandingkan dengan kondisi sosial politik, Sigmund Freud melihat
agama dari psikologi. Di sini akan diulas sedikit pandangan Sigmund Freud
tentang asal usul agama.
Libido
sebagai akar
Sebagai tokoh psikoanalisa Sigmund Freud melihat agama dari sisi
perkembangan kejiwaan manusia sebagaimana gejala kejiwaan yang lain. Menurutnya
agama adalah salah satu penyakit kejiwaan. Baginya setiap penyakit atau
penyimpangan kejiwaan yang terjadi pada manusia bisa dicarikan akarnya dalam
perkembangan jiwanya mulai dari masa kanak-kanak dan bisa disembuhkan dengan
metode yang dimiliki psikoanalisa. Seperti kasus seorang gadis cantik yang
mengalami histeri di usia remaja, Anna O., yang diobati oleh Breuer, seorang
dokter dari Wina, dengan menggunakan teknik psikoanalisa. Breuer berhasil memastikan penyebab penyakit
histeri tersebut dengan mengembalikan ingatan-ingatan traumatis masa lalu. Begitu juga dengan penyimpangan seksual
seperti Homoseksual, Lesbian dan pemuasan seks bukan pada organ genital bisa
dijelaskan melalui pengungkapan pengalaman masa lalu dalam perkembangan libido
orang yang mengalami penyimpangan tersebut. Artinya, penyakit kejiwaan tidak
lepas dari pengalaman masa lalu dari perkembangan psikisnya.
Bagaimana dengan agama? Sebagai sebuah penyakit kejiwaan, agama
ditimbulkan oleh pengalaman jiwa seseorang ketika masa perkembangan libidonya
di waktu kecil. Pengalaman yang dimaksud adalah kondisi libido pada masa
Phalic, usia 6 tahun. Pada masa ini seorang anak mulai menemukan perbedaan
antara laki-laki dan perempuan serta mulai bisa merasakan kenikmatan pada alat
vital. Pada masa ini pula, menurut Freud, seorang anak laki-laki mulai melihat
ayahnya sebagai saingan untuk mendapatkan kasih sayang ibunya. Anak laki-laki
tersebut, dalam fase ini, punya hasrat untuk menikahi ibunya tapi tidak
memungkinkan karena terhalang oleh ayahnya yang termasuk saingannya dan
sekaligus sangat dikagumi keperkasaannya. Kemudian, keinginan itu ditahan,
tidak ditanggapi dan kemudian anak tersebut menyangkalnya. Keadaan inilah yang
disebut oleh Freud sebagai Oedipus
complex, yang diambil dari kisah laki-laki karangan Sophocles. Nah, keadaan
ini(Oedipus complex) kemudian
menyebabkan timbulnya neurosis(lihat Freud : 2009).
Tentang
Neurosis
Neurosis adalah kelakuan-kelakuan atau perasaan-perasaan yang aneh
yang tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Ambillah contoh orang yang
takut tanpa alasan, tidak mampu berkomunikasi dengan normal dan sebaginya.
Menurut Freud orang bisa mengalami neurosis bila bereaksi tidak benar atas
suatu pengalaman yang amat emosional dan memalukan. Contohnya, seorang gadis
yang pernah diperkosa, karena malu, ia langsung mencoba menghapus kejadian itu dari
ingatannya seolah-olah hal itu tidak terjadi. Namun perasaan malu yang tertekan
seakan terus bergejolak dalam bagian jiwa tak sadarnya hingga pada waktu
tertentu muncul dalam alam sadarnya sebagai sesuatu yang aneh.
Neurosis dalam pandangan Freud berkaitan dengan super-ego. Dalam
super-ego menempel pada suara hati. Dalam super ego ini norma-norma dibatinkan
sehingga batin menyuarakan larangan-larangan. Setiap kali orang mau mengambil
langkah-langkah yang dilarang oleh norma-norma moral yang sudah membatin, super
ego akan menegur dengan keras. Untuk menghindari teguran super ego, orang
biasanya menekan perasaan itu seakan-akan tidak ada yang terjadi (Sigmun Freud :
2009). Dalam psikologi beberapa hal yang dianggap menunjuk pada kemungkinan
adanya neurosis adalah seperti fobia(ketakutan terus menerus tanpa orang lain
melihat alasannnya), histeri dll.
Agama = Ilusi
Freud menjelaskan asal-usul agama dengan sebuah cerita ; dalam
gerombolan asali manusia terdapat ayah super yang mempunyai monopoli atas semua
perempuan. Hal itu menimbulkan rasa iri dan benci anak-anak lelakinya sehingga
mereka membunuh ayah mereka. Namun, mereka tetap mengagumi ayah yang mereka
bunuh serta ingin perkasa seperti dia. Kemudian, peraturan dan larangan sang ayah
super tadi dijadikan aturan hidup mereka. Maka, lahirlah agama sebagai sistem peraturan yang apabila ditaati
akan mendapat perlindungan ayah super. (lih. Frans Magnis; 2006)
Agama, sebagaimana kita lihat dalam cerita Freud tersebut, berasal
dari oedipus complex, satu keadaan dalam tahap perkembangan libido, yang
kemudian menghasilkan neurosis. Agama sebagai gejala sosial menunjukan persis
ciri-ciri dari sebuah neurosis. Orang yang beragama melakukan perintah dan
tidak berani melakukan hal lain yang tidak diizinkan oleh agama bukan karena
pertimbangan rasional, melainkan karena takut dihukum oleh Tuhan. Tuhan adalah bapak/ayah
super yang dicintai dan sekaligus ditakuti. Orang yang beragama meyakini
dewa-dewa/tuhan dan mengharapkan perlindungan darinya. Melalui agama manusia
hendak melindungi diri dari ancaman. Namun, kata Freud, perlindungan itu
hanyalah ilusi dan ilusi itu infantil. Dewa-dewa/tuhan itu tidak
sungguh-sungguh melindungi manusia, tapi hanya diinginkan agar melindungi (Sigmun
Freud; 1961).