Minggu, 09 Maret 2014

Libido, Neurosis dan Agama



Libido, Neurosis dan Agama
Oleh; Ihya' Ulumuddin
 
Sepertinya tidak ada satu rentang masa dalam kehidupan manusia yang tidak terisi oleh agama. Ini bisa dilihat dari lukisan-lukisan pra-sejarah, seperti misalnya di dinding gua-gua di Ardeche Gorge di Prancis yang diperkirakan diciptakan 32.000-an tahun yang lalu yang menunjukkkan bahwa manusia pada waktu itu menyembah hal-hal yang ghaib . Berbagai suku asli di Asia selatan, Asia Tenggara, Australia dan kepulauan Pasifik menghayati tuhan dalam kenyataan setiap harinya dengan kepercayaan, mitos-mitos yang diceritakan, ritual-ritual dan doa-doa serta kebiasaan yang lain(lih. Franz Magnis; 2006). Pencapaian agama pada usia yang sebegitu tuanya dalam sejarah manusia tidak selalu diterima sebagian masyarakat dengan begitu mudahnya. Ini bisa  kita lihat dari munculnya tokoh-tokoh yang mengkampanyekan hasil pemikirannya tentang agama, sebut saja misalnya Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Sigmund Freud dan lain sebagainya. Masing-masing tokoh memiliki model pemikirannya sendiri dalam melihat agama. Feuerbach melihat agama sebagai proyeksi diri, Marx cenderung mengikuti Feuerbach kemudian disandingkan dengan kondisi sosial politik, Sigmund Freud melihat agama dari psikologi. Di sini akan diulas sedikit pandangan Sigmund Freud tentang asal usul agama.

Libido sebagai akar

Sebagai tokoh psikoanalisa Sigmund Freud melihat agama dari sisi perkembangan kejiwaan manusia sebagaimana gejala kejiwaan yang lain. Menurutnya agama adalah salah satu penyakit kejiwaan. Baginya setiap penyakit atau penyimpangan kejiwaan yang terjadi pada manusia bisa dicarikan akarnya dalam perkembangan jiwanya mulai dari masa kanak-kanak dan bisa disembuhkan dengan metode yang dimiliki psikoanalisa. Seperti kasus seorang gadis cantik yang mengalami histeri di usia remaja, Anna O., yang diobati oleh Breuer, seorang dokter dari Wina, dengan menggunakan teknik psikoanalisa.  Breuer berhasil memastikan penyebab penyakit histeri tersebut dengan mengembalikan ingatan-ingatan traumatis masa lalu.  Begitu juga dengan penyimpangan seksual seperti Homoseksual, Lesbian dan pemuasan seks bukan pada organ genital bisa dijelaskan melalui pengungkapan pengalaman masa lalu dalam perkembangan libido orang yang mengalami penyimpangan tersebut. Artinya, penyakit kejiwaan tidak lepas dari pengalaman masa lalu dari perkembangan psikisnya.

Bagaimana dengan agama? Sebagai sebuah penyakit kejiwaan, agama ditimbulkan oleh pengalaman jiwa seseorang ketika masa perkembangan libidonya di waktu kecil. Pengalaman yang dimaksud adalah kondisi libido pada masa Phalic, usia 6 tahun. Pada masa ini seorang anak mulai menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan serta mulai bisa merasakan kenikmatan pada alat vital. Pada masa ini pula, menurut Freud, seorang anak laki-laki mulai melihat ayahnya sebagai saingan untuk mendapatkan kasih sayang ibunya. Anak laki-laki tersebut, dalam fase ini, punya hasrat untuk menikahi ibunya tapi tidak memungkinkan karena terhalang oleh ayahnya yang termasuk saingannya dan sekaligus sangat dikagumi keperkasaannya. Kemudian, keinginan itu ditahan, tidak ditanggapi dan kemudian anak tersebut menyangkalnya. Keadaan inilah yang disebut oleh Freud sebagai Oedipus complex, yang diambil dari kisah laki-laki karangan Sophocles. Nah, keadaan ini(Oedipus complex) kemudian menyebabkan timbulnya neurosis(lihat Freud : 2009).

Tentang Neurosis

Neurosis adalah kelakuan-kelakuan atau perasaan-perasaan yang aneh yang tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Ambillah contoh orang yang takut tanpa alasan, tidak mampu berkomunikasi dengan normal dan sebaginya. Menurut Freud orang bisa mengalami neurosis bila bereaksi tidak benar atas suatu pengalaman yang amat emosional dan memalukan. Contohnya, seorang gadis yang pernah diperkosa, karena malu, ia langsung mencoba menghapus kejadian itu dari ingatannya seolah-olah hal itu tidak terjadi. Namun perasaan malu yang tertekan seakan terus bergejolak dalam bagian jiwa tak sadarnya hingga pada waktu tertentu muncul dalam alam sadarnya sebagai sesuatu yang aneh.

Neurosis dalam pandangan Freud berkaitan dengan super-ego. Dalam super-ego menempel pada suara hati. Dalam super ego ini norma-norma dibatinkan sehingga batin menyuarakan larangan-larangan. Setiap kali orang mau mengambil langkah-langkah yang dilarang oleh norma-norma moral yang sudah membatin, super ego akan menegur dengan keras. Untuk menghindari teguran super ego, orang biasanya menekan perasaan itu seakan-akan tidak ada yang terjadi (Sigmun Freud : 2009). Dalam psikologi beberapa hal yang dianggap menunjuk pada kemungkinan adanya neurosis adalah seperti fobia(ketakutan terus menerus tanpa orang lain melihat alasannnya), histeri dll.

Agama = Ilusi

Freud menjelaskan asal-usul agama dengan sebuah cerita ; dalam gerombolan asali manusia terdapat ayah super yang mempunyai monopoli atas semua perempuan. Hal itu menimbulkan rasa iri dan benci anak-anak lelakinya sehingga mereka membunuh ayah mereka. Namun, mereka tetap mengagumi ayah yang mereka bunuh serta ingin perkasa seperti dia. Kemudian, peraturan dan larangan sang ayah super tadi dijadikan aturan hidup mereka. Maka, lahirlah agama  sebagai sistem peraturan yang apabila ditaati akan mendapat perlindungan ayah super. (lih. Frans Magnis; 2006)

Agama, sebagaimana kita lihat dalam cerita Freud tersebut, berasal dari oedipus complex, satu keadaan dalam tahap perkembangan libido, yang kemudian menghasilkan neurosis. Agama sebagai gejala sosial menunjukan persis ciri-ciri dari sebuah neurosis. Orang yang beragama melakukan perintah dan tidak berani melakukan hal lain yang tidak diizinkan oleh agama bukan karena pertimbangan rasional, melainkan karena takut dihukum oleh Tuhan. Tuhan adalah bapak/ayah super yang dicintai dan sekaligus ditakuti. Orang yang beragama meyakini dewa-dewa/tuhan dan mengharapkan perlindungan darinya. Melalui agama manusia hendak melindungi diri dari ancaman. Namun, kata Freud, perlindungan itu hanyalah ilusi dan ilusi itu infantil. Dewa-dewa/tuhan itu tidak sungguh-sungguh melindungi manusia, tapi hanya diinginkan agar melindungi (Sigmun Freud; 1961).

Jumat, 07 Maret 2014

Dalam relung yg hampa!

Ada sinar yg menranngi
Ada chaya yg menyinari
Diluar relung yg menjdi
Kenikmatan chaya yg kau nikmati
Kenikmatan chaya yg hrus kau syukuri
Channya olehnya
Cahanya karnaNya
Manfaatkan sebaik kau memanfaatkan dirimu sendiri