Kamis, 28 November 2013

Politik NU



Politik NU
Oleh: al Bonny
               
Sebenarnya politik itu apa? Dikalangan NU, berpolitik itu boleh berbeda tapi tidak boleh berbeda sisi kemanusiaan dengan doktrin tasyamum/persamaannya yang sesuai konsep Islam di Indonesia. Kalau orang Barat memahami politik sebagai berjuang untuk mendapatkan kekuasaan. Ada juga yang memaknai politik adalah pembagian materi/uang yang sah. Ada juga memaknai politik sebagai konflik. Makanya ada konflik yang dilembagakan, ini salah satu tipologi pemikiran Barat mengenai politik untuk mencapai kekuasaan, uang dan konflik, karena mereka bersumber dari filsafat materialistis. Akhirnya banyak orang berpikir bahwa politik adalah merebut presiden, gubenur dan bupati, dan di kalangan NU pun masih seperti itu. Walaupun konsep politik dikalangan NU tidak seperti itu namun dalam hal praktis terperangkap dalam filsafat materialism. Sebab dalam konsep Islam, memahami politik sebagai metode untuk mencapai kemaslahatan umat (dunia dan akhirat), yakni makmur secara ekonomi, orangnya pintar, bebas berekpresi termasuk kebebasan beribadah. Dan dalam hal ini, Barat juga intres dalam maslahat umat dan politik demi kepentingan nasional, tapi kepentingannya itu hanya di dunia saja tdak ada bentuk akhiratnya, ini yang membedakan dengan NU. Karena kerancuan inilah yang menyebabkan umat masih terfragmentasi/terkotak-kotakkan.

Sekarang pertanyaannya adalah berpolitik itu untuk apa? Pertanyaan seperti ini harus mulai dibangun dalam pembelajaran dan pemahaman untuk tidak mempertanyakan hal seperti itu. Banyak orang mengatakan ‘saya tidak ingin bersinggungan dengan politik, saya ingin hidup netral sajalah’, pernyataan seperti ini dalam bentuk ketidak mengertian akan berpolitik atau mengerti? Dalam pemikiran Barat seperti John. Locke atau Thomas Hobbes banyak memberikan pemahaman akan politik dari ranah teori yang melihat  mind set (sikap kejiwaan) masyarakat umum sudah terbentuk bahwa politik adalah hal negative, dan seakan-akan politik itu tidak bisa terlepas dari partai, padahal berbeda antara politik dengan partai. Semua masyarakat menjalankan politik tapi belum tentu mereka berpartai, hanya saja demokrasi yang berjalan di Indonesia itu harus melalui partai, seakan-akan kalau berpolitik ya berpartai juga. Itu yang belum dikembangkan pemahamannya kepada masyarakat umum sehingga wajar saja banyak masyarakat yang tidak ikut serta dalam pemilihan presiden, gubenur atau bupati alias golput karena sudah berpikir negative terhadap perpolitikan kita. Kalau kita merujuk pada kitab-kitab klasik, politik dalam kitab pesantren menggunakan lafadz ‘assiyasat’, artinya mensiasati bagaimana tujuan-tujuan itu bisa tercapai, dan bagi kalangan NU mencoba menyiasati antara kehidupan dunia dan akhirat, seperti bagaimana kita bisa selamat dan masuk surga, bagaimana kita mendapat ridho Allah, disitulah agama memberikan pemahaman berpolitik. Jadi tidak hanya masalah akal tapi ada kalbu yang berperan juga, tidak hanya hal yang dhahir tapi yang bathin juga harus di asah, ini sebagai keilmuan berpolitik dalam NU. 

Walaupun kenyataan saat ini tidak begitu, dan sebagian para pemimpin kita banyak menerapkan paham filsafat materialism, seperti pemahaman bahwa modal awal kita dalam pencalonan berapa dan kita harus bisa mengembalikan modal awalnya, itulah yang terjadi dalam kepemimpinan kita. Tetapi politik dalam masyarakat bawah masih santun dan jujur. Berbeda jika mereka (para pemimpin) menggunakan konsep Islam yang membangun kemaslahatan umat dalam bentuk dunia dan akheratnya, maka tidak akan terjadi yang namanya money politic (politik uang), serangan fajar atau apa yang mengarah pada kekuasaan belaka. Itu yang sangat disayangkan dalam demokrasi kita. Lalu apakah salah berpolitik seperti itu? Bukan masalah salah atau tidak, tetapi masyarakat kita harus menyadari konsep apa yang di kembangkan oleh para politisi ini, kalau tidak, politik akan selalu dianggap negative dan masyarakat umum makin tidak acuh dengan kehidupan Negara ini.
Sulit tapi bisa, tergantung niatnya ditaruh dimana?