Politik NU
Oleh: al Bonny
Sebenarnya politik itu apa? Dikalangan NU, berpolitik itu boleh
berbeda tapi tidak boleh berbeda sisi kemanusiaan dengan doktrin tasyamum/persamaannya
yang sesuai konsep Islam di Indonesia. Kalau orang Barat memahami politik sebagai
berjuang untuk mendapatkan kekuasaan. Ada juga yang memaknai politik adalah
pembagian materi/uang yang sah. Ada juga memaknai politik sebagai konflik.
Makanya ada konflik yang dilembagakan, ini salah satu tipologi pemikiran Barat
mengenai politik untuk mencapai kekuasaan, uang dan konflik, karena mereka
bersumber dari filsafat materialistis. Akhirnya banyak orang berpikir bahwa
politik adalah merebut presiden, gubenur dan bupati, dan di kalangan NU pun
masih seperti itu. Walaupun konsep politik dikalangan NU tidak seperti itu
namun dalam hal praktis terperangkap dalam filsafat materialism. Sebab dalam konsep
Islam, memahami politik sebagai metode untuk mencapai kemaslahatan umat (dunia
dan akhirat), yakni makmur secara ekonomi, orangnya pintar, bebas berekpresi
termasuk kebebasan beribadah. Dan dalam hal ini, Barat juga intres dalam
maslahat umat dan politik demi kepentingan nasional, tapi kepentingannya itu
hanya di dunia saja tdak ada bentuk akhiratnya, ini yang membedakan dengan NU.
Karena kerancuan inilah yang menyebabkan umat masih terfragmentasi/terkotak-kotakkan.
Sekarang pertanyaannya adalah berpolitik itu untuk apa? Pertanyaan
seperti ini harus mulai dibangun dalam pembelajaran dan pemahaman untuk tidak
mempertanyakan hal seperti itu. Banyak orang mengatakan ‘saya tidak ingin
bersinggungan dengan politik, saya ingin hidup netral sajalah’, pernyataan
seperti ini dalam bentuk ketidak mengertian akan berpolitik atau mengerti?
Dalam pemikiran Barat seperti John. Locke atau Thomas Hobbes banyak memberikan
pemahaman akan politik dari ranah teori yang melihat mind set (sikap kejiwaan) masyarakat
umum sudah terbentuk bahwa politik adalah hal negative, dan seakan-akan politik
itu tidak bisa terlepas dari partai, padahal berbeda antara politik dengan partai.
Semua masyarakat menjalankan politik tapi belum tentu mereka berpartai, hanya
saja demokrasi yang berjalan di Indonesia itu harus melalui partai, seakan-akan
kalau berpolitik ya berpartai juga. Itu yang belum dikembangkan pemahamannya
kepada masyarakat umum sehingga wajar saja banyak masyarakat yang tidak ikut
serta dalam pemilihan presiden, gubenur atau bupati alias golput karena
sudah berpikir negative terhadap perpolitikan kita. Kalau kita merujuk pada
kitab-kitab klasik, politik dalam kitab pesantren menggunakan lafadz ‘assiyasat’,
artinya mensiasati bagaimana tujuan-tujuan itu bisa tercapai, dan bagi
kalangan NU mencoba menyiasati antara kehidupan dunia dan akhirat, seperti
bagaimana kita bisa selamat dan masuk surga, bagaimana kita mendapat ridho
Allah, disitulah agama memberikan pemahaman berpolitik. Jadi tidak hanya
masalah akal tapi ada kalbu yang berperan juga, tidak hanya hal yang dhahir
tapi yang bathin juga harus di asah, ini sebagai keilmuan berpolitik dalam
NU.
Walaupun kenyataan saat ini tidak begitu, dan sebagian para pemimpin
kita banyak menerapkan paham filsafat materialism, seperti pemahaman bahwa modal
awal kita dalam pencalonan berapa dan kita harus bisa mengembalikan modal
awalnya, itulah yang terjadi dalam kepemimpinan kita. Tetapi politik dalam
masyarakat bawah masih santun dan jujur. Berbeda jika mereka (para pemimpin) menggunakan
konsep Islam yang membangun kemaslahatan umat dalam bentuk dunia dan
akheratnya, maka tidak akan terjadi yang namanya money politic (politik
uang), serangan fajar atau apa yang mengarah pada kekuasaan belaka. Itu yang
sangat disayangkan dalam demokrasi kita. Lalu apakah salah berpolitik seperti
itu? Bukan masalah salah atau tidak, tetapi masyarakat kita harus menyadari
konsep apa yang di kembangkan oleh para politisi ini, kalau tidak, politik akan
selalu dianggap negative dan masyarakat umum makin tidak acuh dengan kehidupan
Negara ini.
Sulit tapi bisa, tergantung niatnya ditaruh dimana?